Sunday, November 24, 2024
HomeReforminer di MediaArtikel Tahun 2023Penerapan PSC Gross Split dan Lifting Migas Nasional

Penerapan PSC Gross Split dan Lifting Migas Nasional

Inverstor Daily, 06 Juni 2023

Sejak Januari 2017, pemerintah menerapkan kebijakan Production Sharing Contract (PSC) Gross Split dalam kegiatan usaha hulu migas. Kebijakan tersebut efektif berlaku sejak terbitnya Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 8/2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Permen tersebut tercatat telah beberapa kali dilakukan perubahan, terakhir dengan Permen ESDM No 12/2020.

Secara konsep, PSC Gross Split merupakan model kontrak kerja sama bisnis hulu migas yang menerapkan pembagian hasil produksi yang pembagiannya dilakukan di awal, sebelum memperhitungkan biaya.

Model kontrak ini relatif mirip dengan model royalti, akan tetapi dalam eksekusi program dan pelaksanaannya masih mengikuti kontrak kerja sama. Salah satu faktor pendorong diterapkannya PSC Gross Split adalah untuk menghilangkan perdebatan terkait cost recovery.

Hal itu karena cost recovery sering dicurigai sebagai akar permasalahan, dan secara tidak langsung sering dinilai menjadi sarana untuk menyalahgunakan dana operasi migas. Mekanisme perhitungan konsep PSC Gross Split yang menghapus cost recovery dinilai cocok untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

Gross Split dan Lifting Migas Jika tujuan utama penerapan PSC Gross Split adalah untuk menghilangkan polemik dan perdebatan terkait cost recovery, kebijakan tersebut sudah berhasil. Dengan dihapusnya cost recovery dari mekanisme perhitungan konsep PSC Gross Split, secara otomatis tidak lagi terdapat polemik dan perdebatan mengenai cost recovery.

Namun demikian, tujuan penerapan kebijakan untuk kegiatan usaha hulu migas tentu jauh lebih besar dari sekadar menghilangkan polemik dan perdebatan mengenai cost recovery. Lebih dari itu, kebijakan ditujukan untuk meningkatkan kinerja usaha hulu migas itu sendiri yang direpresentasikan melalui meningkatnya jumlah cadangan dan produksi/lifting migas nasional.

Dalam kaitannya dengan ukuran tersebut, penerapan PSC Gross Split belum dapat dikatakan berhasil. Terkait lifting minyak misalnya, data menunjukkan bahwa selama periode pascapenerapan PSC Gross Split, lifting minyak nasional berada pada tren yang cenderung menurun. Pada tahun 2016, ketika belum diterapkan PSC Gross Split, realisasi lifting minyak Indonesia pada saat itu dilaporkan sebesar 829 ribu barel per hari (mbopd).

Sementara, realisasi lifting minyak pada 2022 dilaporkan turun menjadi 612 mbopd. Tidak hanya minyak, lifting gas juga dilaporkan turun dari 1.200 mboepd pada 2016 menjadi sekitar 955 mboepd pada 2022. Faktor penyebab turunnya lifting migas Indonesia tentu tidak tunggal, karena itu juga tidak sepenuhnya tepat jika hanya mengaitkan penurunan lifting migas Indonesia dengan implementasi kebijakan PSC Gross Split.

Akan tetapi, kondisi bahwa pasca implementasi PSC Gross Split lifting migas Indonesia terus menurun merupakan data dan fakta yang tidak terbantahkan. Meskipun dimaksudkan untuk meningkatkan minat investor, hasil dari implementasi PSC Gross Split sampai sejauh ini relatif masih jauh dari yang diekspektasikan.

Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh persepsi yang belum utuh terhadap pilihan model kebijakan yang akan diimplementasikan. Persepsi terhadap pilihan model kebijakan pada umumnya akan dipengaruhi oleh sudut pandang dan pengalaman. Dari aspek sudut pandang, evaluator dapat melihat secara pesimis atau optimis terhadap model kebijakan tertentu. Jika evaluator menggunakan sudut pandang pesimis, maka yang akan dilakukan adalah mencari kelemahan dan memang dapat menyisir satu persatu titik kelemahan yang ada pada model kebijakan tersebut. Karena pada dasarnya memang tidak ada suatu model kebijakan yang sempurna.

Jika menggunakan sudut pandang optimis, evaluator umumnya akan melihat, menelaah, dan mengurai hal-hal positif terhadap suatu model kebijakan yang diimplementasikan. Dengan menggunakan sudut pandang optimis, evaluator akan mencari kekuatan atau kelebihan pada masing-masing model kebijakan. Karena memang pada dasarnya baik model PSC Gross Split maupun PSC Cost Recovery dapat dilihat melalui dua sudut pandang tersebut.

Berdasarkan pencermatan, implementasi PSC Gross Split lebih banyak didorong oleh adanya cara pandang pesimistis terhadap model PSC Cost Recovery yang sudah berjalan. Salah satu indikasinya adalah munculnya tagar Gross Split Lebih Baik Bagi Indonesia.

Kelemahan model PSC Cost Recovery yang disebut bahwa: (1) cost recovery menjadi beban pemerintah, (2) cost recovery tidak efisien, (3) sejak tahun 2015 cost recovery lebih besar dari penerimaan negara, dan (4) persetujuan cost recovery rumit dan panjang, terpantau dikampanyekan secara masif kepada publik. Karena cara pandang tersebut, sejumlah keunggulan model PSC Cost Recovery menjadi seperti dilupakan.

Beberapa keunggulan yang tampak terlupakan di antaranya: (1) pada model PSC Cost Recovery tidak membebankan biaya dan risiko sepenuhnya kepada kontraktor, tetapi terdistribusi secara proporsional kepada kontraktor dan pemerintah, (2) variabel penentu dalam persentase pembagian pada model PSC Cost Recovery lebih sederhana, (3) kontraktor dibebaskan dari pajak tidak langsung karena bagian pemerintah sudah termasuk pajak-pajak tidak langsung. Kemudian (4), kontraktor diberikan penangguhan pembayaran pajak pada periode awal produksi, dan (5) praktisi hulu migas telah memiliki pengalaman panjang dengan PSC Cost Recovery karena sudah digunakan sejak 1966 dan disertai dengan berbagai peraturan pendukung.

Baik model PSC Gross Split maupun PSC Cost Recovery pada dasarnya memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Akan tetapi, jika dicermati ada dua hal yang prlu diperhatikan. Pertama, lifting migas yang menurun pasca-implementasi PSC Gross Split. Kedua, di sisi lain, ada usulan perubahan skema dari PSC Gross Split menjadi PSC Cost Recovery yang diajukan oleh beberapa wilayah kerja, adanya beberapa wilayah kerja alih kelola yang memilih menggunakan PSC Cost Recovery pasca penerapan fleksibilitas skema kontrak, dan fakta bahwa investor lebih memilih mengajukan skema PSC Cost Recovery pada bidding round tahun 2021-2022. Hal itu mencerminkan bahwa model PSC Cost Recovery masih cukup relevan dan lebih diminati oleh pelaku usaha hulu migas di Indonesia.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments