(KOMPAS 15 Agustus 2016)
JAKARTA – Rencana penggabungan dua perusahaan, yakni PT Pertamina Gas dengan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk, diyakini dapat menciptakan efisiensi. Saat ini pemerintah sedang menyiapkan payung hukum terkait rencana penggabungan tersebut.
Selain efisiensi, juga ada berbagai dampak positif lain yang akan dirasakan pasca penggabungan tersebut. Oleh karena itu, penggabungan Pertamina Gas dan Perusahaan Gas Negara (PGN) diharapkan bisa terealisasi Secepatnya.
Optimisme dan harapan positif mengemuka dalam diskusi mengenai rencana penggabungan dua perusahaan yang bergerak di sektor gas bumi itu, Minggu (14/8), di Jakarta. Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik, Kawasan, dan Pariwisata Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Edwin Hidayat Abdullah, Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Wianda Pusponegoro, dan Direktur Eksekutif ReforMiner Komaidi Notonegoro hadir sebagai narasumber.
Menurut Edwin, dampak positif tersebut antara lain tidak akan teljadi tumpang tindih pembangunan infrastruktur pipa gas.Akibatnya, kinerja bisa lebih cepat dan baik lantaran tidak terjadi kompetisi. Selanjutnya, akan ada kepastian mengenai pasokan gas dari sektor hulu.
“Pertamina, selaku induk Pertamina Gas, tentu dapat menjamin kepastian pasokan gas apabila Pertamina Gas dan PGN digabungkan dan menjadi anak usaha Pertamina Akan timbul efisiensi,” kata Edwin.
Edwin menambahkan, Presiden Joko Widodo sudah menginstruksikan penggabungan dua perusahaan ini segera dituntaskan. Saat ini, pemerintah sedang menyusun payung hukum berupa peraturan pemerintah terkait rencana penggabungan itu.
Penghematan
Menurut Wianda, ada potensi penghematan belanja modal sekitar 1 miliar dollar AS dalam penggabungan Pertamina Gas dan PGN. Dengan nilai tukar berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate pada Jumat (12/8) yang Rp 13.120 per dollar AS, penghematan itu setara dengan Rp 13,12 triliun.
Selain itu, ada potensi pemborosan sekitar 1,7 miliar dollar AS atau Rp 22,304 triliun akibat tumpang tindih pembangunan infrastruktur migas apabila dua perusahaan tidak digabung.
“Penggabungan perusahaan akan menghemat biaya operasi serta ongkos pemeliharaan, dan dampak akhirnya harga jual gas ke konsumen bisa lebih murah,” ujar Wianda.
Pertamina, lanjut Wianda, terus berkomunikasi dengan PGN untuk memetakan rencana kerja kedua perusahaan di sektor migas. “Potensi gas bumi sebanyak 11 triliun kaki kubik (TCF) memerlukan kerja sama yang optimal di antara kedua pihak, terutama untuk memenuhi kebutuhan gas domestik,” katanya.
Pengawasan mudah
Komaidi berpendapat, pemerintah harus menyiapkan landasan hukum proses penggabungan. Menurut dia, idealnya pemerintah harus membeli kembali (buyback) saham PGN yang dimiliki publik.
Komaidi juga meyakini, penggabungan perusahaan tersebut akan mempermudah pengawasan dan penugasan sebab hanya akan ada satu perusahaan yang bergerak di sektor gas bumi. Dengan demikian, penggabungan bisa menciptakan efisiensi modal dan sumber daya.
Secara terpisah, anggota Komisi VII DPR dari Partai Golkar, Satya Widya Yudha, mengatakan, secara politik, DPR mendukung upaya penggabungan BUMN sektor energi tersebut. Namun, ia mengingatkan, jangan sampai di kemudian hari sebagian saham BUMN hasil penggabungan itu dijual ke swasta.
“Rencana penggabungan itu positif saja Namun, yang perlu diwaspadai, jangan sampai ada upaya swastanisasi pasca penggabungan. Jika dua BUMN strategis digabungkan, nilainya akan makin tinggi. Dijual berapa persen pun sahamnya akan mudah dilakukan,” ujar Satya Widya Yudha.
Mengenai dampak positif penggabungan BUMN, menurut Satya Widya Yudha, akan menjawab tantangan persaingan global saat ini. Pada era keterbukaan hubungan dagang seperti saat ini, persaingan akan dimenangi perusahaan yang mampu meningkatkan efisiensi dan memiliki pangsa pasar luas.