Thursday, November 21, 2024
HomeReforminer di MediaArtikel Tahun 2023Sektor Energi Rendah Karbon, Skenario dan Faktor yang Mempengaruhinya

Sektor Energi Rendah Karbon, Skenario dan Faktor yang Mempengaruhinya

Katadata.co.id; 16 November 2023
Penulis: Pri Agung Rakhmanto
Founder & Advisor ReforMiner Institute; pengajar ekonomi dan kebijakan energi FTKEnergi Universitas Trisakti.

Mewujudkan tingkat emisi nol bersih (Net Zero Emission, NZE) pada 2060 atau lebih cepat, telah menjadi komitmen pemerintah. Salah satu kerangka regulasi yang memayunginya saat ini adalah Keputusan Menteri (Kepmen) KLHK No.168/Menlhk/PTKL/PLA.1/2/2002. Merujuk regulasi tersebut, terdapat beberapa kemungkinan dan pilihan skenario untuk mencapai target emisi nol bersih, yaitu skenario Current Policy (CPOS), peta jalan Transitions (TRNS), dan skenario Low Carbon Development Compatible with Paris (LCPP). Dalam skenario CPOS, emisi gas rumah kaca Indonesia diproyeksikan akan terus meningkat menjadi sekitar 2.500 juta ton CO2e pada 2050.

Emisi diproyeksikan turun menjadi sekitar 1.500 juta ton CO2e pada 2050 jika Indonesia menjalankan skenario TRNS. Sementara jika skenario LCPP yang dijalankan, emisi gas rumah kaca Indonesia pada 2050 diproyeksikan dapat lebih rendah lagi.

Terkait dengan berbagai kemungkinan dan pilihan skenario Indonesia untuk mencapai NZE, berbagai komunitas energi internasional seperti International Energy Agency (IEA) dan pelaku industri energi berskala global-multinasional seperti Shell International turut memberikan perhatian.

Dalam dokumen A Roadmap to a Net Zero Energy Sector for Indonesia yang diterbitkan oleh IEA disebutkan, sekitar seperempat pengurangan emisi yang dibutuhkan pada 2050, memerlukan kontribusi penggunaan hidrogen dan bahan bakar berbasis hidrogen, elektrifikasi rendah karbon pada beberapa proses industri, serta penerapan teknologi penangkapan, penyimpanan dan penggunaan karbon (Carbon Capture Storage/Utilisation, CCS/CCUS).

Shell International, dalam dokumen Shell Scenarios Sketch, Indonesia: Transitioning Towards A Sustainable and Inclusive Energy Future (2021) menggarisbawahi beberapa komponen utama yang perlu mendapatkan perhatian, dukungan, dan digarap secara lebih serius dan masif untuk mencapai NZE di sektor energi.

Komponen tersebut meliputi: 1) pengembangan sektor kelistrikan dan infrastrukturnya yang berbasiskan energi baru terbarukan dan rendah karbon; 2) penggunaan bahan bakar rendah karbon seperti hidrogen, green hydrogen, bioenergy, dan bahan bakar nabati pada sektor di luar kelistrikan seperti transportasi dan industri; dan 3) penerapan teknologi Carbon Capture Storage/Utilisation (CCS/CCUS) pada industri energi, baik hulu, midstream, maupun hilir.

Dari berbagai proyeksi skenario dan kemungkinan pilihannya sebagaimana dikemukakan di atas, semuanya pada dasarnya menggarisbawahi sektor energi memegang peranan penting dalam pencapaian target NZE. Sektor kelistrikan akan menjadi kuncinya.

Berdasarkan informasi yang ada, penurunan emisi gas rumah kaca terbesar di sektor kelistrikan ditargetkan akan berasal dari pembangkit listrik. Pencapaian NZE pada sektor kelistrikan dilakukan dengan menyeimbangkan antara porsi pembangkit berbasis fosil dengan pembangkit berbasis energi baru dan energi terbarukan (EBET) rendah karbon.

Kapasitas pembangkit berbasis fosil dikurangi secara bertahap, sementara kapasitas pembangkit berbasis EBET ditambah secara lebih progresif. Secara umum, dapat dikatakan bahwa sektor kelistrikan nasional perlu bertransformasi dari yang saat ini kurang lebih 60% mengandalkan fosil, menjadi 60% lebih mengandalkan EBET di tahun 2060.

Penggunaan bahan bakar rendah karbon seperti hidrogen, green hydrogen, bioenergy, dan bahan bakar nabati, terutama ditujukan untuk mengurangi emisi karbon pada sektor di luar kelistrikan. Sebagaimana terangkum dari berbagai proyeksi di atas, emisi sektor energi yang pada tahun 2060 kurang lebih akan mencapai 401 juta ton CO2e atau lebih, akan berasal dari penggunaan energi pada sektor industri, transportasi, komersial, rumah tangga, dan sektor lainnya.

Salah satu skenario Shell merekomendasikan Indonesia perlu meningkatkan porsi pemanfaatan bahan bakar nabati dan hidrogen hingga porsi terhadap total konsumsi energi final pada 2060 masing-masing mencapai 60% dan 10%.

Penerapan teknologi CCS/CCUS diproyeksikan dapat berkontribusi dalam mengurangi emisi karbon sekitar 190 Mt CO2 atau sekitar sepertiga dari jumlah emisi karbon saat ini. Pada skenario yang progresif, penerapannya diperkirakan bahkan dapat membantu mengurangi emisi karbon hingga sebesar 400 Mt CO2.

Faktor Kunci yang Berpengaruh

Berbagai skenario dan pilihan peta jalan untuk mencapai target NZE di sektor energi sebagaimana dipaparkan di atas pada dasarnya memang telah tersedia, dan dari angka-angka yang ada semuanya tampak menjanjikan. Namun, untuk merealisasikannya sangat tidak mudah.

Sektor energi Indonesia, saat ini, baik dalam hal kondisi, sistem infrasruktur maupun kebijakannya secara keseluruhan dapat dikatakan masih sangat berat-bergantung kepada bahan bakar dan sumber energi berbasis fosil. Porsi energi fosil dalam sistem energi nasional saat ini masih signifikan, jika tidak bisa dikatakan sangat signifikan. Porsi batubara misalnya, merujuk pada data dan laporan Dewan Energi Nasional (DEN)-KESDM 2022, pada 2021 tercatat masih mencapai 37,6% dalam bauran energi primer. Porsi minyak dan gas (migas), lebih besar lagi, yaitu mencapai kisaran 51% dari bauran energi primer nasional pada 2021 lalu.

Data Kementerian ESDM (2022) menyebutkan, porsi EBET di dalam bauran energi nasional tercatat baru mencapai 14,11% dari target 23% di tahun 2025. Realisasi EBET di dalam bauran energi nasional yang belum memenuhi target tersebut menegaskan bahwa transisi energi dan pencapaian NZE memang tidak mudah untuk dilakukan. Di dalam praktek, untuk dapat merealisasikan target NZE diperlukan investasi (pendanaan) dalam jumlah masif yang disertai dengan dukungan kebijakan fiskal dan non-fiskal. Bagi para pelaku usaha di sektor energi, pergeseran investasi dari fosil ke arah non-fosil dan rendah karbon memerlukan tambahan investasi baru.

Implikasinya, sampai dengan batas waktu tertentu hingga skala ekonominya terpenuhi, harga jual produk EBET tetap akan lebih mahal dibandingkan dengan harga energi fosil. Dalam situasi seperti ini, mekanisme pasar tidak akan dapat bekerja dan berjalan sendiri. Perbedaan target penurunan emisi Indonesia sebesar 26% (0,038 Giga ton CO2) dengan upaya sendiri atau sebesar 41% (0,056 Giga ton CO2) jika mendapatkan bantuan dari dunia internasional, menggambarkan bahwa konsekuensi biaya yang akan timbul atas pilihan skenario yang diambil, menjadi pertimbangan utama di dalam menjalankan berbagai upaya untuk pencapaian target NZE.

Dalam konteks ini, ada tiga hal yang seluruhnya merupakan aspek ekonomi dan memerlukan kebutuhan dana di dalam prakteknya, yaitu investasi (di sisi pelaku usaha), fiskal (di sisi pemerintah) dan pasar (di sisi konsumen). Instrumen kebijakan yang dapat mewakili ketiga aspek ekonomi ini adalah kebijakan harga energi yang tepat, konsisten mengedepakan pertimbangan kaidah keekonomian dan mekanisme bisnis yang wajar, bukan kebijakan harga yang semata mengedepankan pertimbangan politis-populis.

Faktor lain yaitu pertimbangan jaminan keberlanjutan dan keamanan pasokan energi, juga tidak kalah pentingnya. Peningkatan 6% konsumsi energi fosil global terutama batubara pada 2020-2021, yaitu di Asia Pasifik (5,2%), Amerika Utara (16,1%), Amerika Latin (13,6%), Eropa (8,6%), Eurasia (1,4%), Afrika (5,7%), di tengah kampanye transisi energi yang terus menguat, menegaskan bahwa keamanan dan keberlanjutan pasokan energi tetap menjadi prioritas utama dari masing-masing negara.

Fenomena sejumlah negara yang sebelumnya telah berkomitmen meninggalkan batubara tetapi pada saat kritikal kembali menggunakan batubara, perlu menjadi perhatian dan referensi bagi Indonesia dalam menjalankan kebijakan NZE. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa aspek keamanan pasokan energi untuk setiap negara tetap merupakan yang terpenting di dalam era transisi energi dan penerapan NZE ke depan.

Revisi target waktu pencapaian penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia dari tahun 2020 (Perpres No.61/2011), menjadi mundur pada 2030 (UU No.16/2016), telah mengonfirmasi bahwa pencapaian target NZE di dalam prakteknya memang tetap selalu perlu menyesuaikan dengan kondisi dan aspek ketahanan ekonomi-energi. Baik di tingkat global maupun regional-nasional yang selalu bergerak dinamis.

Hal tersebut tidak berarti kita mesti melangkah mundur dari komitmen NZE yang telah digariskan, tetapi justru menjadi pendorong untuk segera menciptakan ekosistem bisnis EBET yang lebih solid. Pengembangan EBET tidak semata-mata dilakukan hanya untuk mencapai target NZE, tetapi tetap merupakan bagian dari upaya untuk mengamankan pasokan energi di dalam negeri.

Karena itu, kerangka regulasi yang diperlukan seperti Undang-Undang Energi Terbarukan dan peraturan pelaksanaanya, aturan tentang insentif dan pelaksanaan CCS/CCUS dan perdagangan karbon, perlu segera disediakan.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments