Koran Sindo: Kamis, 19 Oktober 2017 – 13:54 WIB
JAKARTA– Langkah kabinet Jokowi-JK menuju visi Kemandirian Energi Nasional dinilai sudah pada jalur yang tepat, kendati pelaksanaannya tidak semudah membalik telapak tangan.
Kebijakan energi pemerintahan Jokowi-JK yang berdampak besar, antara lain ketika mengubah pola subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan penetapan harganya. Selain itu, program BBM Satu Harga juga membantu menurunkan tekanan inflasi, terutama di wilayah yang jauh dari Jakarta. Di lain pihak, kebijakan BBM Satu Harga menimbulkan beban biaya bagi Pertamina. PT Pertamina (Persero) mencatatkan pendapatan sebesar USD20,5 miliar pada semester I/2017 atau meningkat 19% dibanding semester I/2016 yang tercatat USD17,2 miliar. Namun, peningkatan itu tidak sejalan dengan laba bersih perseroan yang anjlok 24% menjadi USD1,4 miliar.
Direktur Utama Pertamina Elia Masa Manik mengatakan, penurunan laba disebabkan fluktuasi harga minyak dunia yang cenderung meningkat sehingga berdampak pada harga keekonomian BBM. Rata-rata harga minyak mentah Indonesia pada semester I/2017 tercatat USD48,9 per barel, naik 35,4% dibanding periode yang sama tahun lalu. Pemerintah dinilai cukup konservatif dalam menetapkan asumsi harga minyak di APBNP 2017 dan APBN 2018. Asumsi lifting juga dirasa terlalu tinggi karena per September 2017 realisasinya 729.000 barel per hari.
Terkait produksi minyak bumi, pemerintah memperkirakan hingga akhir 2017 lifting minyak hanya mencapai 98% dari target. “Target kita 815.000 bph, sekarang rata-rata di bawah 800.000 bph. Sampai akhir tahun outlook-nya di bawah 815.000 bph,†sebut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan.
Meski lifting minyak tidak mencapai target, pencapaian lifting gas diyakini lebih baik, diperkirakan sampai akhir tahun mencapai 6.960 MMSCFD, lebih tinggi dari target APBPN 2017 sebesar 6.440 MMSCFD. Penerimaan negara dari sektor migas juga diperkirakan sesuai target. Hingga September 2017, kontribusi sektor migas terhadap penerimaan negara Rp92,43 triliun atau lebih besar 10,25% dibanding pada periode yang sama 2016. Poin positif juga harus diberikan dalam pencapaian pemerintah di sektor minerba, yaitu penggantian kontrak karya Freeport di Indonesia.
Pengamat energi UGM Fahmy Radhi mengatakan, perundingan dengan Freeport merupakan proses signifikan. Sejak awal pemerintah ingin mengubah dari kontrak karya. Meskipun Freeeport menolak, Menteri ESDM tidak gentar dalam berunding. “Akhirnya Freeport berubah menyetujui, meskipun dalam penetapan harga saham. Di bidang minerba ini cukup bagus,†ujarnya.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengapresiasi langkah pemerintah merevisi banyak regulasi. “Sudah banyak aturan baru dan revisi yang diterbitkan. Ini bukti respons cepat pemerintah membenahi sektor energi,†ucapnya.
Komaidi menilai, langkah pemerintah dalam tiga tahun sudah berada di jalur yang tepat, meskipun ada kekurangan dalam hal eksekusi. Proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW) juga menjadi sorotan. Sebelumnya, pemerintah berkomitmen merealisasikan penyediaan listrik 35.000 MW dalam jangka lima tahun (2014-2019). Namun, proyek ini diperkirakan molor dari target awal. Program ini sebelumnya dibuat dengan asumsi pertumbuhan ekonomi Indonesia 7% per tahun, tapi realisasinya hanya di kisaran 5%. Jadi, target 35.000 MW hingga 2019 juga harus disesuaikan.
Presiden Jokowi pun merestui penurunan target penyelesaian proyek 35.000 MW. Pembangunan infrastruktur listrik sudah seharusnya disesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi, di samping menjaga kondisi keuangan PT PLN (Persero). Menurut Jokowi, kebutuhan listrik sampai 2019 akan meningkat, walaupun jika dihitung tidak sampai 35.000 MW.
Presiden ingin penyediaan listrik terus ditingkatkan untuk mencukupi kebutuhan listrik nasional. Sementara PLN tetap berkomitmen melaksanakan proyek 35.000 MW dan 46.000 kms transmisi. Hanya saja, PLN akan menyesuaikan penyelesaian proyek 35.000 MW dengan mengkaji beban biaya yang harus ditanggung.
Adapun kemajuan proyek 35.000 MW, yaitu 773 MW pembangkit telah beroperasi secara komersial, sebesar 15.266 MW tengah dalam tahap konstruksi, dan sebanyak 10.255 MW telah melakukan perjanjian jual beli listrik namun belum konstruksi. Di samping itu, 4.563 MW tengah dalam proses pengadaan dan 6.970 MW dalam tahap perencanaan.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, selain faktor pertumbuhan ekonomi, laju konsumsi listrik juga tidak terlalu tinggi karena pembangunan smelter dan kawasan industri tidak secepat yang dibayangkan, dan ada rasionalisasi konsumsi listrik oleh konsumen industri.