Pertamina Diminta Pertimbangkan Daya Beli Konsumen Elpiji

Jakarta (ANTARA News)

Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) meminta PT Pertamina (Persero) melakukan kenaikan harga elpiji tabung 12 kg dengan mempertimbangkan daya beli konsumen.

Direktur Puskepi Sofyano Zakaria di Jakarta, Minggu mengatakan, Pertamina bisa melakukan kenaikan harga elpiji 12 kg secara bertahap hingga nantinya mencapai tingkat keekonomiannya. “Kenaikannya mesti dilakukan secara bertahap dan sebaiknya setiap awal bulan,” ujarnya.

Menurut dia, kenaikan harga elpiji dapat dilakukan dengan sejumlah alasan. Pertama, konsumen elpiji 12 kg tidak layak mendapat subsidi, karena berpenghasilan di atas Rp1,5 juta per bulan. Sedang, masyarakat yang mempunyai penghasilan di bawah Rp1,5 juta per bulan, sudah diberikan subsidi oleh negara melalui program konversi ke tabung 3 kg. “Jadi, tidak bijak jika konsumen 12 kg masih pula menikmati elpiji yang `disubsidi` oleh Pertamina,” katanya.

Alasan kedua, lanjut Sofyano, Pertamina telah melanggar UU tentang BUMN, jika masih memberikan subsidi. Terakhir, pemberian subsidi Pertamina, juga berarti BUMN tersebut dipaksa merugi dalam menjalankan bisnis elpiji 12 kg. Catatan Puskepi, Pertamina bakal menanggung kerugian hingga Rp3,6 triliun dengan mempertimbangkan harga elpiji internasional berkisar 600-700 dolar AS per metrik ton. “Dengan demikian, rencana kenaikan harga elpiji ini juga merupakan upaya Pertamina menekan kerugian,” katanya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto meminta pemerintah menekan biaya distribusi dan marjin (beta) elpiji. “Angka beta yang kini dipakai sekitar 40 persen terlalu tinggi. Seharusnya, bisa di bawah 25 persen,” katanya. Menurut dia, dengan asumsi harga internasional 500-515 dolar AS per ton, kurs Rp10.000 per dolar AS, pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen, dan beta 40 persen, maka harga keekonomian elpiji 12 kg Rp7.500-7.750 per kg. Dengan harga jual hanya Rp5.750 per kg, maka Pertamina merugi Rp2.000-2.250 per kg. “Tapi, kalo bisa mengurangi komponen beta yang terdiri dari biaya transportasi, penyimpangan, dan marjin, maka rugi bisa ditekan,” ujarnya. Pri menambahkan, berdasarkan perhitungannya, harga produk elpijinya sendiri hanya Rp5.000 per kg.(*)

Pertamina Mestinya Masih Bisa Tekan Harga Elpiji 12 Kg

Detik Finance, 07/08/2009

Jakarta – PT Pertamina (persero) harusnya bisa mampu mengefisienkan komponen alpha dalam penjualan elpiji 12 kg. Jika bisa efisien, seharusnya harga elpiji tidak lebih dari Rp 5.000 per kg.

Saat ini Pertamina menjual elpiji 12 kg sebesar Rp 5.250 per kg. Dengan besarnya komponen alpha, maka Pertamina memang ‘layak’ menanggung kerugian.

Direktur Refor-Miner Institute, Pri Agung Rakhmanto menjelaskan, Pertamina diperkirakan harus menanggung kerugian sebesar Rp 21.000-Rp 24.000 dari setiap satu tabung elpiji 12 Kilogram yang dijualnya.

Menurutnya, dengan asumsi elpiji aramco US$ 500-515 per ton, nilai tukar rupiah 10.000 per dolar AS, PPN 10 persen dan alpha sebesar 40 persen, maka harga keekonomian elpiji mencapai Rp 7.500- Rp 7.750 per kilogram. Sementara saat ini, Pertamina menjual elpiji 12 kilogram seharga Rp 5.250 per kilogram.

“Sehingga rugi yang harus ditanggung Pertamina sebesar Rp 1.750- Rp 2.000 per kilogram,” kata Pri Agung kepada detikFinance, Jumat (7/8/2009).

Menurut Pri Agung, sebenarnya kerugian tersebut bisa ditekan jika Pertamina mampu mengefisiensikan komponen alpha (transport, storage, distribusi,margin). Ia menilai, alpha 40 persen yang ditetapkan Pertamina itu masih terlalu tinggi dan masih bisa ditekan hingga di bawah 25 persen.

“Kalau bisa dibawah 25 persen, ya bisa lebih kecil ruginya. Harga produk elpiji sendiri (tanpa lain-lain) sebenarnya kan tidak lebih dari Rp 5.000 per kilogram,” jelas Pri Agung.

Seperti diketahui, PT Pertamina (Persero) telah mengajukan usulan kenaikan harga elpiji 12 Kilogram kepada pemerintah.

Menurut Vice Presiden Pertamina Basuki Trikora Putra, jika harga elpiji 12 Kilogram tidak dinaikkan hingga tahun depan maka subsidi yang ditanggung Pertamina akan semakin besar.

“Jangan sampai beban subsidi Pertamina menjadi besar untuk elpiji 12 KG,” ungkap Basuki dalam pesan singkatnya, Kamis (6/8/2009).

Namun sayangnya, Basuki belum mau menyebutkan besaran kenaikan yang diajukan oleh Pertamina tersebut.

“Besarannya nanti ditetapkan pemerintah, tapi yang jelas dalam perhitungannya kita sangat memperhatikan masyarakat sehingga tidak membebani,” kata Basuki.

Sementara itu, Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro mengaku pihaknya telah menerima surat pengajuan kenaikan harga elpiji ukuran 12 Kilogram tersebut dari Pertamina.

“Saat ini hal itu sedang dievaluasi oleh Dirjen Migas,” kata Purnomo di sela acara Diskusi mengenai Penyusunan Roadmap Sektor Ketenagalistrikan, di Menara Kadin, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta, Kamis (6/8/2009).

(epi/qom)

Pembelian Saham NNT Pekan Ini
Selasa, 04 Agustus 2009
“Jika beli 14 persen saham NNT pemerintah harus menyiapkan 492 juta dolar AS.

JAKARTA Keputusan pemerintah untuk membeli atau tidak 14 persen saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) senilai 492,8 juta dolar AS akan ditetapkan pekan ini. Bila pemerintah jadi membeli saham NNT, sebaiknya lewat BUMN daripada membebani APBN 2010.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengatakan, keputusan tersebut disesuaikan jadwal yang telah ditetapkan. ”Insya Allah pekan ini diputuskan,” kata Sri usai pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono soal RAPBN 2010 di depan Rapat Paripurna Luar Biasa DPR di Jakarta, Senin (3/8). Namun, ia enggan berkomentar apakah pemerintah membeli atau tidak saham Newmont tersebut. ”Kalau saya beritahu, nanti mendahului surat ke Presiden,” ujarnya.

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Purnomo Yusgiantoro, mengharapkan menkeu sudah memberikan kepastian penawaran saham divestasi NNT pada akhir bulan Juli 2009. Penetapan waktu tersebut terkait dengan batas waktu penyelesaian saham Newmont sesuai keputusan arbitrase internasional pada 27 September 2009. ”Waktu kami sempit. Jadi, akhir bulan ini diharapkan sudah ada keputusan menkeu,” kata Purnomo.

Arbitrase internasional memerintahkan Newmont mendivestasikan 17 persen saham tahun 2006-2008 yang tertunda. Newmont akan mendivestasikan 10 persen saham untuk tahun 2006 dan 2007 masing-masing sebesar tiga persen dan tujuh persen kepada pemerintah daerah Nusa Tenggara Barat. Sementara Pemerintah pusat akan mengambil divestasi 2008 dan 2009 yang masing-masing sebesar tujuh persen. Sesuai putusan arbitrase, harga saham divestasi 2006, 2007, dan 2008 paling lambat diselesaikan 27 September 2009. Tim Pemerintah RI dan Newmont pada 14 Juli 2009 sudah menyepakati harga 100 persen saham Newmont untuk menghitung saham divestasi tahun 2008 dan 2009.

Direktur Eksekutif Reforminer Institut, Pri Agung Rakhmanto, menyambut baik rencana pemerintah yang akan segera memutuskan saham divestasi Newmont pada pekan ini. ”Hal ini sebetulnya sudah lama ditunggu-tunggu, supaya jelas BUMN yang mana yang akan membelinya,” kata Pri kepada Republika.

Pri menduga lamanya keputusan ini dibuat terkait dengan RAPBN 2010. ”Mungkin pemerintah masih menunggu untuk dimasukkan ke RAPBN atau bisa juga tidak,” kata Pri. Karena jika memang terkait RAPBN tidak terlalu beralasan jika harus menunggu sekian lama. ”Saya pikir lebih bagus diberikan ke BUMN daripada RAPBN. Mekanisme financing-nya agak mepet jika harus masuk ke RAPBN,” kata Pri.

Tapi yang ditakutkan jika pemerintah dan BUMN tidak jadi membeli divestasi NNT. Jika itu terjadi, bisa saja perusahaan swasta nasional yang masuk walaupun bisa saja dananya justru dari luar negeri atau bahkan dari Newmont sendiri sehingga setelah dibeli pemiliknya bisa berganti. ”Jika seperti ini tujuan divestasi jadi tidak tercapai.” tandas Pri. cep/ant Divestasi NNT Tahun Harga NNT Divestasi 2006 3,63 miliar dolar AS 109 juta dolar AS 2007 4,03 miliar dolar AS 282 juta dolar AS 2008 3,52 miliar dolar AS 246 juta dolar AS 2009 3,52 miliar dolar AS 246 juta dolar AS @ Republika Online

Lifting Minyak 2010 Dinilai Tak Realistis

detikFinance, 3 Agustus 2009

Jakarta – Lifting minyak dalam RAPBN 2010 ditargetkan 965 ribu barel per hari (bph) atau naik dari 2009 yang sebesar 960 ribu bph. Namun sejumlah kalangan menilai target ini tidak realistis. Ada yang menganggap target tersebut terlalu rendah, namun ada juga yang menilai target itu terlalu tinggi.

Menurut pengamat perminyakan Kurtubi, meski target lifting 2010 sudah naik, namun target tersebut dinilai masih terlalu rendah karena seharusnya lifting minyak bisa digenjot hingga 980 ribu-1 juta bph.

“Sasaran lifting RAPBN 2010, 965 ribu bph terlalu rendah. Sasaran tersebut menggambarkan bahwa Pemerintah tidak melakukan apa-apa. Soalnya lifting saat ini sudah sekitar 960.000 bph,” jelasnya dalam pesan singkatnya kepada detikFinance, Senin (3/8/2009).

Menurut Kurtubi, salah satu yang bisa menggenjot lifting minyak adalah Blok Cepu yang akan berproduksi dalam beberapa minggu ke depan.

“Beberapa minggu yang akan datang, Blok Cepu sudah akan berproduksi 20.000 bph. Jadi sasaran yang lebih tepat adalah antara 980 ribu-1 juta bph dengan disertai upaya serius dan kerja keras BP Migas dan Departemen ESDM,”paparnya.

Berbeda dengan Kurtubi, Direktur Eksekutif Refor-Miner Institute, Pri Agung Rakhmanto justru pesimistis lifting sebesar 965 ribu bph pada 2010 bisa tercapai.

“965 ribu bph itu terlalu tinggi, sulit dicapai. Setahu saya tidak ada lapangan baru yang bisa untuk menambah produksi secara signifikan selain Blok Cepu,” ungkapnya.

Kalaupun Blok Cepu benar-benar berproduksi, lanjut Pri Agung, pada tahun depan produksi maksimalnya hanya mencapai 15-20 ribu bph. Menurut Pri Agung, dengan mempertimbangkan penurunan alamiah dari lapangan-lapangan tua sekitar 5%, maka total produksi 2010 hanya sekitar 912 ribu bph.

“Kalaupun toh upaya mengurangi decline yang dilakukan membuahkan hasil paling totalnya hanya bisa sampai 920-925 ribu bph saja,” paparnya.

Sementara Direktur Eksekutif Center for Indonesia Energy and Resources Law, Ryad A Chairil mengatakan, seharusnya pemerintah tak lagi mengandalkan pendapatan dari lifting minyak mentah. Jika kreatif, pemerintah harusnya bisa menargetkan pendapatan negara dari migas hingga 2 kali lebih besar.

“Karena banyak potensi dalam slot migas yang bisa di excercise pemerintah untuk men-generate pendapatan negara. Untuk meningkatkan pendapatan pemerintah harus cerdas dan cermat termasuk mengalokasikan derivasi industri dari sektor migas,” ujarnya.

Ia juga mengungkapkan, dengan struktur yang sekarang, lifting minyak 2010 jelas terlalu tinggi karena ada faktor yang tidak dimasukkan. Ia juga menilai banyak pemborosan yang tidak diantisipasi karena jeleknya pengaturan.

Sementara itu, Kepala BP Migas R Priyono mengatakan pihaknya akan berusaha secara maksimal agar target lifting minyak tahun depan bisa tercapai.

“Kalau Presiden bilang begitu, artinya harus diusahakan maksimal,” katanya dalam pesan singkatnya kepada detikFinance.

Sementara itu berdasarkan data BP Migas, produksi minyak sampai dengan tanggal 30 Juli 2009 yaitu mencapai 946.328 bph yang terdiri dari minyak 822.695 bph dan kondesat 123.633 bph. (epi/lih)

ICP US$ 60 Buka Peluang Kenaikan BBM di 2010

detikFinance, 03/08/2009

Jakarta – Asumsi harga minyak (ICP) di RAPBN 2010 sebesar US$ 60 per barel dinilai terlalu rendah dan berisiko membuka peluang untuk kenaikan harga BBM di tahun depan. Asumsi minyak tahun depan seharusnya ada di kisaran US$ 70 per barel.

Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Refor-Miner Institute, Pri Agung Rakhmanto kepada detikFinance, Senin (3/8/2009). “ICP US$ 60 per barel cenderung terlalu rendah dan berisiko. Asumsi US$ 60 per barel ini cenderung politis. Peluang harga BBM naik tahun depan sepertinya terbuka lebar jika pemerintah hanya memasang US$ 60 ini,” katanya.

Menurut Pri Agung, jika melihat kondisi saat ini dimana ICP sudah mencapai US$ 61 per barel, seharusnya asumsi yang digunakan untuk RAPBN 2010 bekisar US$ 65-70 per barel. “Mestinya asumsi tahun depan lebih tinggi daripada itu, seiring perekonomian global yang sudah lebih baik. Yang lebih realistis dan lebih aman dalam hitungan saya adalah US$ 65-70,” katanya.

Pengamat perminyakan Kurtubi pun setuju bahwa asumsi ICP sebesar US$ 60 terlalu rendah. Seharusnya pemerintah menggunakan angka US$ 75 per barel sebagai asumsi ICP 2010 karena pada ekonomi AS dan dunia yang sudah pulih dan akan mendorong harga minyak naik. “Jika lifting dan harga minyak dinaikkan sesuai saran saya tersebut maka besaran RAPBN 2010 bisa ditingkatkan untuk dapat lebih banyak menciptakan lapangan kerja,” ungkapnya.

Batas Akhir HoA, Konsorsium Senoro Sebaiknya Cari Pembeli Lokal

detikFinance,31/07/2009 08:55 WIB

Jakarta – Batas waktu Head of Agreement (HoA) jual beli LNG Senoro dengan pembeli di Jepang akan habis hari ini. Namun pemerintah tak kunjung memberikan persetujuan atas HoA tersebut.

Konsorsium DS LNG pun disarankan jangan memaksakan rencananya untuk mengekspor gas alam cair ke Jepang dan mulai mencari pembeli dari dalam negeri saja. Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Refor-Miner Institute, Pri Agung Rakhmanto dalam pesan singkatnya kepada detikFinance, Jumat (31/7/2009).

“Konsorsium sebaiknya jangan terpaku dan jangan memaksakan harus mengekspor gas ke Jepang saja,tapi justru juga harus kreatif mencari pembeli domestik,” kata Pri Agung.

Menurutnya, jika konsorsium pengembang LNG Senoro merasa keekonomian proyek tidak bisa terpenuhi dengan memasok gas ke domestik, seharusnya konsorsium membicarakannya dengan pemerintah dan mencari solusi bersama. “Misalnya meminta pemerintah memberi insentif-insentif tertentu,” ungkapnya.

Pri Agung menegaskan dari sisi kepentingan nasional yang lebih luas, memang akan lebih baik jika gas tidak diekspor. Untuk itu, ia menilai keputusan pemerintah yang belum memberikan persetujuan kepada konsorsium dimaksudkan agar gas tidak jadi diekspor, sudah tepat. “Prinsip itu yang mestinya pemerintah pegang. Jangan hal itu dikalahkan oleh kepentingan korporat,” tandasnya.

Seperti diketahui, rencana eskpor LNG Donggi Senoro hingga kini belum ada kejelasan. Rencana semula konsorsium untuk mengekspor LNG Senoro ke pembeli di Jepang, tersandung intruksi Wapres Jusuf Kalla agar semua potensi gas yang ada dipasok ke pasar domestik. Padahal konsorsium pengembang proyek gas Senoro yang terdiri dari Pertamina, Medco dan Mitsubishi sudah menyepakati dengan Head of Agreement (HoA) dengan pembeli asal Jepang, yaitu Chubu Electric Power Co Inc dan Kansai Electric Power Co Inc. Hari ini merupakan batas akhir HoA jual beli LNG Senoro antara konsorsium dengan pembeli asal Jepang tersebut, namun pemerintah masih belum juga menunjuk sinyal positif untuk memberikan persetujuan atas rencana konsosium mengeskpor LNG itu ke Jepang.

Belum Perlu Penghematan Terkait Kenaikan Harga Minyak

MediaIndonesia, Selasa, 28 Juli 2009

JAKARTA-MI: Meski harga minyak mentah (crude) dunia mulai merayap di kisaran US$70 per barel, pemerintah belum memiliki rencana kebijakan untuk melakukan penghematan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.

“Rencana penerapan kartu pintar (smart card) untuk membatasi konsumsi BBM dalam rangka penghematan BBM bersubsidi tidak akan dilakukan karena tidak ada anggaran. Kita akan dorong supaya bisa diterapkan di 2010 beserta penerapan nozzle khusus di SPBU. BPH Migas hanya melakukan ujicoba penerapan smart card untuk 2009 di pulau Bintan,” ujar Kepala Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas Tubagus Haryono, melalui pesan singkatnya kepada Media Indonesia, Selasa (28/7).

Meski demikian, imbuh Tubagus pemerintah terus memantau perkembangan harga minyak dunia untuk mengamankan ketersediaan anggaran BBM bersubsidi. Sementara itu, pihak PT Pertamina (Persero) yang selama ini berperan sebagai penyedia dan distributor BBM bersubsidi menyatakan tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan kebijakan penghematan terkait kenaikan harga crude saat ini. “Kita menjalankan mandat untuk menyediakan dan mendistribusikan BBM bersubsidi yang diatur dalam APBN, Jadi kita akan ikuti apapun kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah,” ujar Vice President Communications PT Pertamina (Persero) Basuki Trikora Putra.

Sedangkan Direktur Eksekutif Refrominer Institute, Pri Agung Rakhmanto mengatakan, kenaikan harga minyak kali ini tidak terkait dengan faktor fundamental karena sesungguhnya permintaan pasar internasional juga belum ada lonjakan yang berarti. “Kenaikan kali ini terjadi karena faktor sentimen positif saja terhadap pemulihan ekonomi global yang diprediksi lebih cepat,” ujar Pri Agung.

Kenaikan kali ini juga diyakini tidak akan membuat pasar internasional terlalu bergejolak. Hal ini terjadi karena negara produsen minyak, terutama yang tergabung dalam Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) justru akan berupaya mempertahankan harga di kisaran ini.

“Beberapa waktu lalu, harga sempat turun karena ada aksi ambil untung (profit taking) dari para pedagang minyak internasional. Untuk kenaikan saat ini OPEC juga tidak akan melakukan aksi apapun karena mereka justru menikmati harga minyak di kisaran US$70 ini,” ujar Pri Agung.

Menurut Pri Agung, dengan asumsi harga minyak Indonesia (ICP) di kisaran US$60 per barel, kenaikan kali ini masih relatif aman terhadap kemampuan keuangan APBN. “Sebenarnya kenaikan ini tidak terlalu membahayakan karena kemampuan APBN masih bisa menangani fluktuasi harga crude hingga akhir tahun,” ujar Pri Agung.

Dalam APBN-Perubahan 2009, parlemen dan pemerintah sepakat menetapkan besaran subsidi BBM di kisaran Rp52,392 triliun, atau turun Rp5,21 triliun dari anggaran APBN 2009 di kisaran Rp57,605 triliun. Pertimbangan kemampuan APBN ini, imbuh Pri Agung, yang membuat pemerintah tidak memiliki rencana untuk melakukan penghematan secara nasional untuk konsumsi BBM tahun ini.

“Tahun ini mungkin tidak ada upaya penghematan karena pemerintah percaya diri dengan kemampuan keuangan negara. Namun untuk 2010 harus ada upaya penghematan karena ada potensi harga crude akan melonjak hingga di atas US$80 pada tahun depan,” ujar Pri Agung.

Upaya untuk penghematan ini bisa dilakukkan secara langsung misalnya dengan membatasi penggunaan BBM bersubsidi hanya untuk kendaraan umum dan sepda motor saja, atau melalui pembatasn kapasitas mesin (cc) kendaraan. (Jaz/OL-7)

Klise: Target Produksi Minyak Cepu Gagal Lagi

TEMPO Interaktif, Rabu, 22 Juli 2009

Jakarta – Rencana produksi awal Blok Cepu di Bojonegoro, Jawa Timur, pada Agustus mendatang dipastikan molor. Dampaknya, target produksi minyak nasional sebesar 960 ribu barel per hari bakal gagal.

Pengamat perminyakan, Kurtubi, menyayangkan kegagalan rencana produksi Cepu pada bulan depan. “Cepu diharapkan mampu menambah produksi minyak yang sudah rendah pada tahun ini,” ujarnya kepada Tempo, Selasa (21/7).

Saat ini rata-rata produksi minyak nasional sebesar 952 barel per hari dari target 960 ribu barel. Menurut Kurtubi, pada saat Purnomo Yusgiantoro menjadi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral pada 2000, rata-rata produksi minyak sekitar 1,5 juta barel per hari. “Tapi menjelang berakhirnya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2009, produksi minyak di bawah satu juta barel per hari,” katanya. Awalnya, Blok Cepu ditargetkan berproduksi 20 ribu barel per hari pada Desember 2008. Namun, karena persoalan pembebasan lahan, target tersebut diundurkan menjadi April 2009. Sayangnya, target itu diubah kembali menjadi Agustus 2009.

Kurtubi mengatakan kegagalan memenuhi target produksi minyak nasional karena tidak adanya temuan baru sejak pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. “Padahal cadangan minyak sangat besar,” ujarnya. Dia menambahkan, manajemen minyak nasional pada pemerintahan mendatang harus segera dibenahi.

Direktur Eksekutif Reform-Miner Institut Pri Agung Rakhmanto menyatakan kegagalan produksi Cepu pada Agustus mendatang karena ada masalah pada kilang. “Saya dapat kabar ada masalah pada pembangunan kilangnya,” ujarnya. Menurut dia, saat ini pembangunan pipa sudah selesai. Kilang tersebut, kata Pri, dibuat di luar negeri dan berbentuk kilang apung.

Dia melanjutkan, keterlambatan produksi terus terjadi karena pemerintah tidak pernah terbuka soal situasi yang terjadi sebenarnya di blok itu. Selain itu, pemerintah tidak melakukan perencanaan yang baik di blok itu. Akibatnya, keputusan melakukan produksi awal tahun ini hanya karena dorongan politis semata. “Kalau memang tidak bisa, jangan dipaksakan,” katanya.

Direktur Operasi Pertamina EP Cepu Kunto Wibisono mengatakan pembangunan pipa dari lapangan Banyu Urip ke fasilitas penyimpanan Lapangan Mudi milik PetroChina sudah selesai. “Tapi kalau soal pembangunan pipa dari kepala sumur ke Banyu Urip itu urusan ExxonMobil,” katanya. “Saya tidak berhak kasih komentar.” Kunto mengatakan soal target produksi awal Blok Cepu sangat bergantung pada pekerjaan ExxonMobil tersebut. “Lebih baik tanya saja ke mereka (ExxonMobil),” ujar Kunto.

Kepala Badan Pengatur Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi R. Priyono dan juru bicara ExxonMobil Indonesia, Maman Budiman, tidak bisa dimintai komentarnya soal keterlambatan ini. Pesan singkat dan telepon dari Tempo tidak dibalas ataupun diangkat.

LNG Tangguh Dialihkan Karena Terminal Fujian Masih Disesuaikan

Rabu, 22/07/2009

Jakarta – Pengalihan pengiriman perdana LNG Tangguh yang seharusnya ke Fujian (China) menjadi ke Korea Selatan sempat dipertanyakan. Namun Departemen ESDM menegaskan, pengalihan tersebut harus dilakukan karena terminal penerima LNG di Fujian masih dalam penyesuaian untuk menerima LNG Tangguh.

Menurut Kepala Biro Hukum dan Humas Departemen ESDM Sutisna Prawira, spesifikasi LNG Tangguh termasuk dalam jenis Lean LNG (kandungan C3+ relatif rendah). Jenis ini berbeda dengan LNG Arun dan Bontang yang termasuk Rich LNG (kandungan C3+ relatif tinggi).

LNG Arun dan Bontang dikirim lebih dulu karena sedang mengalami kelebihan pasokan. Namun karena jenis LNG-nya berbeda, maka termina penerima LNG harus disesuaikan terlebih dulu ketika akan menerima LNG Tangguh. “Oleh karena itu, pengiriman kargo LNG pertama dari Tangguh tidak dikirimkan kepada Receiving Terminal LNG di Fujian tetapi ke pasar Korea Selatan,” kata Sutisna seperti dikutip di situs Departemen ESDM, Rabu (22/7/2009).

Sebelumnya, pengiriman perdana LNG Tangguh ke Korea Selatan dengan alasan terminal Fujian belum siap, dipertanyakan.

Menurut Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto, terminal Fujian sebenarnya sudah siap menerima LNG sejak sebelum Tangguh berproduksi. “Saya juga ‘tertipu’ karena setelah saya cek, ternyata sejak 17 Mei 2009 lalu LNG terminal di Fujian memang sudah full operation, tidak lagi dalam tahap commissioning,” jelasnya, Rabu (15/7/2009).

Sedangkan terkait rencana pengiriman LNG ke Fujian (China) pada akhir bulan ini, ia menegaskan pengiriman tersebut masih mengikuti komitmen dalam kontrak. Ia mengakui saat ini sudah ada kontrak yang mengikat dan ada tim negosiasi berupaya untuk memperbaiki kontrak. Namun selama belum ada perubahan kontrak, maka kontrak yang ada sekarang masih berlaku, termasuk hak dan kewajiban yang dipunyai oleh masing-masing pihak, seperti kewajiban untuk memasok LNG yang sudah harus dikirim dan penyesuaian harga kembali setiap 4 (empat) tahun sekali.

Bom Tak Berdampak pada Investasi Sektor Energi

Senin, 20 Juli 2009

JAKARTA– Pengemboman hotel JW Marriott dan hotel Ritz Carlton tidak memberikan dampak terhadap investasi di sektor energi meskipun pengeboman tersebut membuat sejumlah pengusaha di sektor energi menjadi korbannya.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan, pengeboman kedua hotel tersebut tidak memberikan dampak terhadap investasi di sektor energi.

“Pasalnya investasi di sektor energi tidak seperti investasi di pasar modal (hot money) di mana investor bisa datang dan pergi dengan cepat,” katanya di Jakarta, Senin, (20/7).

Namun, kata Pri Agung, untuk lebih meyakinkan investor bahwa Indonesia aman guna menanam modal, pemerintah mesti mengungkap para pelaku pengemboman hotel JW Marriott dan hotel Ritz Carlton dengan cepat. “Selain itu, pemerintah juga harus menangkap dan menumpas para pelaku pengeboman tersebut,” katanya. Pemerintah, ujar Pri Agung jangan malah mempolitisirnya. Sehingga bisa memperkeruh suasana jika hal itu dilakukan.

Di tempat terpisah, Pengamat Perminyakan Kurtubi juga menyatakan bahwa tidak ada dampak pengeboman hotel JW Marriott dan Ritz Carlton terhadap investasi migas dan energi. “Pasalnya investasi di sektor migas dan energi merupakan investasi jangka panjang. Sehingga tidak terpengaruh oleh aksi teror maupun gejolak politik,” katanya. Yang menyebabkan investasi pencarian cadangan baru migas anjlok dalam 8 tahun terakhir, lanjut Kurtubi adalah: (1) Sistem atau proses investasi dengan Undang-undang migas yang sangat birokratik atau berbelit-belit, (2) Dengan sistem UU Migas saat ini telah mencabut azas lex spesialist sehingga investor harus membayar pajak sebelum berproduksi. “Oleh karena itu, kami mengusulkan supaya UU Migas segera dicabut karena menghambat investasi. Selain itu investasi di sektor migas tidak ada urusannya dengan aksi teror,” katanya. dya/ahi