Agenda Utama di Sektor Energi
Pri Agung Rakhmanto
Direktur Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi (ReforMiner Institute)
Koran Sindo, 10 November 2009

Pemerintah Dinilai Anak Tirikan Pertamina Soal Blok Masela

detikFinance, 5 November 2009

Jakarta – Pemerintah dinilai sangat tidak berpihak pada PT Pertamina (Persero) dengan tidak memberikan prioritas kepada BUMN Migas tersebut untuk masuk ke blok Masela.

Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Refor-Miner Institute, Pri Agung Rakhmanto dalam pesan singkatnya kepada detikFinance, Kamis (5/11/2009)

“Pemerintah sangat tidak berpihak pada BUMN-nya sendiri. Satu-satunya peluang yang feasible bagi Pertamina saat ini untuk dapat turut serta mengelola Blok yang cadangan gasnya mencapai 13,65 TCF(setara Blok Tangguh) malah diberikan ke swasta,” ujar Pri Agung.

Setelah divestasi Newmont, lanjut Pri Agung, nuansa politik balas jasa dan bagi-bagi sumber uang bagi pihak-pihak yang dekat dengan kekuasaan dengan menganaktirikan BUMN kembali sangat terasa disini.

Seperti diketahui, BUMN Migas terbesar di Indonesia ini memang sejak lama mengincar kepemilikan kepemilikan (participating interest) di Blok Masela. Ari Soemarno, yang saat itu masih menjabat sebagai Dirut pernah menyatakan pihaknya berminat memiliki participating interest hingga 30 persen di lapangan yang berada di laut Timor tersebut.

Keinginan Pertamina untuk masuk ke Blok tersebut terus berlanjut di masa kepimpinan Karen Agustiawan. Beberapa waktu lalu, Vice Presiden Pertamina Basuki Trikora Putra menyatakan Pertamina masih mengincar blok itu dan fokus melakukan kajian terhadap potensi yang ada di Masela.

“Apabila memang menarik, kita akan menggunakan porsi participating interest sesuai dengan portofolio kita,” ujar Basuki tanpa menyebutkan berapa porsi kepemilikan saham yang diincar perseroan.

Namun sayangnya keinginan Pertamina harus kandas di tengah jalan, karena PT EMP Energi Indonesia, anak usaha PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) telah menandatangani perjanjian akusisi 10% working interest di Blok Masela PSC milik INPEX Masela Ltd.

INPEX Masela merupakan perusahaan terafiliasi dengan INPEX Corporation. INPEX Masela saat ini menguasai 100% working interest di blok Masela PSC yang memiliki luas 3.221 kilometer persegi.

Blok Masela merupakan blok dengan kandungan gas yang terbilang besar. Blok ini direncanakan akan memproduksi 4,5 juta ton gas alam cair (LNG) per tahun mulai 2016.

Pengembangan Masela memakai pola hulu (upstream) yang terintegrasi mulai pengeboran sumur gas sampai pembangunan kilang LNG secara terapung (floating).

MANFAATKAN ENERGI TERBARUKAN

Jakarta, Sinar Harapan, 27 Oktober 2009

Dalam usaha mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen, salah satu sektor yang akan mendapatkan prioritas dari pemerintah adalah penguatan di bidang energi.

Untuk mendorong perkembangan industri, ketersediaan energi jadi sangat penting. Artinya, arah kebijakan energi yang jelas dan memihak kepentingan nasional mutlak dibutuhkan. Salah satu yang ditekankan pemerintah baru-bari ini adalah penyelesaian proyek pembangkit listrik 10.000 MW tahap pertama dan tahap kedua. Selain itu, harus dikembangkan juga energi terbarukan.

Masalahnya sampai saat ini, keseriusan pemerintah untuk mengembangakan energi terbarukan masih dirasa kurang. Menurut pengamat energi dari Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto, selain penyelesaian proyek 10.000 MW, program pengembangan enegi alternatif yang selama ini belum terlaksana harus segera direalisasikan jika pemerintah benar-benar mau mendukung pertumbuhan sektor energi. Sampai tahun 2008, bauran energi primer masih mengandalkan minyak bumi.

Dari total konsumsi energi 1.006,53 juta SBM (setara barel minyak), minyak bumi memberi kontribusi 48,4 persen, gas bumi 28,6 persen, batu bara 18,8 persen, panas bumi 1,6 persen, dan air 1,6 persen. Padahal dengan pertubuhan ekonomi dan industri, permintaan terhadap minyak bumi akan semakin meningkat dan harganya pun semakin mahal. Dari komposisi bauran energi itu, terlihat belum ber kembangnya energi terba ru kan.

Dengan asumsi tingkat pertumbuhan konsumsi energi 6 persen, kebutuhan energi pa da tahun 2014 sebesar 1.539 ju ta SBM. Industri dan transpor tasi menjadi pemakai energi terbesar. Untuk itu, diversifikasi energi mutlak dibutuhkan. Saat ini, konsumsi energi bahan baku nabati hanya 770.000 kliloliter. Bandingkan dengan 60 juta kiloliter BBM yang dikonsumsi, tutur Pri kepada SH, Selasa (27/10).

Senada dengan Pri, peneliti senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) Ari Kuncoro menambahkan, dengan perekonomian India dan China yang makin maju, konsumsi minyak akan terus meningkat dalam beberapa tahun ke depan.

Oleh karena itu, Indonesia sudah seharusnya melakukan diversifikasi energi ke tenaga listrik, air, atau panas bumi yang sumber dayanya melimpah di Indonesia. Menurutnya, hal yang paling memungkinkan dilakukan dalam waktu dekat ini adalah mengoptimalkan potensi energi rakyat skala kecil. Misanya, dengan mendukung penggunaaan metanol dari kotoran hewan atau tenaga air yang melimpah di Indonesia. Masalahnya, harus ada perbaikan di bagian hilir sungai untuk itu. Jika potensi energi skala kecil ini bisa dioptimalkan, bisa menekan biaya tinggi masyarakat untuk energi, serunya.

Untuk melaksanakan hal ini, Ari menegaskan, harus ada political will dari pemerintah. Pemerintah harus mempersiapkan segala infrastruktur dan mendorong industri melakukan alih teknologi yang menggunakan energi alternatif.

Pri Agung pun mendesak pemerintah untuk membuat aturan berupa perpres dan sejenisnya jika benar-benar serius memasukkan sektor energi dalam program yang dikembangkan untuk mencapai target pertumbuhan 7 persen. Dalam aturan tersebut, harus disebutkan target waktu pencapaian. Berapa pembangkit listrik yang harus terbangun misalnya, dan sebagainya.Jika ada aspek legalitas seperti itu, DPR dan masyarakat bisa mengawasi kinerja pemerintah, imbuhnya.

Tantangan terbesar dalam waktu dekat ini menurut Pri adalah harga minyak dunia yang sudah melewati US$ 80 per barel. Untuk itu, ia meminta pemerintah untuk bersiap menghadapinya. Harus ada rencana yang jelas apakah akan ada tambahan fiskal atau mensubsidi kendaran roda dua atau empat saja, atau mungkin menggunakan winfall profit atau memperbarui data kemsikinan. Kalau tak siap, hanya akan ada tindakan reaktif, seperti menaikkan harga minyak dan masyarakat tak mendapatkan apa-apa, ujarnya.

SUBSIDI DAN DANA CADANGAN DI APBN BISA TERKURAS

Suara Karya, 26 Oktober 2009

JAKARTA – Jika ancaman lonjakan harga minyak mentah (crude oil) dunia bertahan hingga tahun 2010, diperkirakan menguras subsidi untuk energi. Tahap awal gejolak harga minyak yang kini sudah menembus 80 dolar AS per barel akan menguras alokasi dana cadangan fiskal yang terdapat dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Menurut pengamat perminyakan Pri Agung Rakhmanto, untuk 2010, alokasi anggaran hanya bisa bertahan hingga harga 65 dolar Amerika Serikat (AS) per barel.

Tahun ini subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM) mencapai Rp 68 triliun dan untuk listrik Rp 37,8 triliun dengan asumsi harga minyak 65 dolar AS per barel. “Kalau harga minyak sampai 72 dolar AS per barel, misalnya untuk rata-rata tahun depan, alokasi untuk subsidi itu akan habis. Alokasi dana cadangan fiskal sebesar Rp 8,6 triliun tentunya terancam habis pula,” kata Direktur ReforMiner Institute ini di Jakarta, Minggu (25/10).

Meski demikian, Pri Agung mengatakan, untuk APBN 2009, diperkirakan masih bisa bertahan jika rata-rata harga minyak mulai Oktober hingga Desember 2009 mencapai 80 dolar AS per barel. Ini berarti patokan asumsi harga minyak Indonesia (Indonesia crude price/ICP) sekitar 75 dolar AS per barel. Artinya, secara fundamental, semestinya keseimbangan harga minyak hanya berada pada kisaran di bawah 75 dolar AS per barel. Ini mengingat APBN 2009 yang mematok harga minyak Indonesia 61 dolar AS per barel sudah dalam kondisi aman.

Namun, jika mengacu pada asumsi APBN 2010 sebesar 65 dolar AS per barel, diharapkan tidak akan ada pembengkakan yang lebih besar. “Bisa saja harga naik sampai di atas 100 dolar AS per barel. Namun, secara rata-rata, asumsi APBN 2009 masih sama. Oleh karena itu, pemerintah mesti memantau perkembangan harga minyak dunia,” ujarnya. Selain itu, Pri Agung juga mengatakan, penyebab kenaikan harga minyak dunia hingga 80 dolar AS per barel akhir-akhir ini akibat ulah spekulan. Semua dipicu adanya informasi terkait proyeksi permintaan minyak dunia yang akan naik sekitar 500.000 barel per hari dan turunnya nilai tukar dolar AS.

“Akibat aksi spekulasi, maka harga minyak akan naik atau turun secara cepat, tergantung pada beberapa informasi yang mewarnai pasar dan ditanggapi para pelaku,” tuturnya.

Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Depkeu Anggito Abimanyu menyatakan, dampak kenaikan harga minyak dunia di atas 80 dolar AS per barel bersifat netral di sisi kebijakan fiskal, sehingga tidak menimbulkan masalah serius.

“Dampaknya netral karena tambahan subsidi dikompensasi dengan tambahan pendapatan,” kata Anggito.

Menurut dia, masalah akan muncul justru karena adanya perbedaan harga BBM internasional dengan harga di dalam negeri. “Jadi, kalau dari sisi fiskal, secara umum tak ada masalah,” ucapnya.

Anggito mengatakan, alokasi dana cadangan risiko fiskal dalam APBN 2010 sebesar Rp 8,6 triliun sementara ini masih akan mampu menampung perubahan yang terjadi. Apalagi diyakini bakal mampu menghadapi gejolak harga karena sebelumnya pemerintah pernah menghadapi situasi seperti itu. “Kita pernah mengalami harga minyak hingga di atas 100 dolar AS per barel dan kita mampu menghadapinya,” kata Anggito.

Proyek Penghasil Energi Terbarukan Perlu Insentif

Kompas, 19 Oktober 2009

Jakarta, Kompas – Pemanfaatan energi terbarukan dalam penyediaan energi di Indonesia masih rendah. Padahal, itu bisa meningkatkan mutu lingkungan dan ikut mengurangi ketergantungan terhadap minyak mentah dan bahan bakar minyak yang ketersediaannya terus semakin turun. Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi Pri Agung Rakhmanto, Sabtu (17/10) di Jakarta, menyatakan perlu ada insentif bagi para investor dalam bidang energi terbarukan yang menggunakan teknologi efisien dan ramah lingkungan.

Data Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menyebutkan, pemanfaatan energi nonfosil jauh lebih kecil dibandingkan potensi yang ada. Sampai tahun 2008, kapasitas terpasang energi nonfosil, seperti tenaga air baru 4,2 gigawatt (GW) dari sumber daya 75,62 GW atau baru termanfaatkan sebesar 0,5 persen. Demikian juga dengan panas bumi. Dari total potensi 27.710 megawatt (MW) yang tersebar di beberapa wilayah, lapangan yang telah berproduksi, antara lain, adalah di Sibayak, Kamojang, Lahendong, Dieng, Wayang Windu, Darajat, dan Salak dengan total kapasitas 1.052 MW. Adapun kapasitas lapangan yang dalam pengembangan sekitar 1.537 MW, sedangkan kapasitas yang akan ditenderkan 680 MW. Rendahnya pemanfaatan energi terbarukan, antara lain, disebabkan tingginya investasi yang dibutuhkan sehingga biaya produksi energi dari nonfosil relatif mahal. Sebagai perbandingan, biaya pokok produksi listrik dari bahan bakar minyak atau diesel Rp 1.600-Rp 1.800 per kilowatt hour (kWh), batu bara Rp 250-Rp 350 per kWh, gas Rp 350-Rp 450 per kWh, sedangkan panas bumi Rp 700-Rp 800 per kWh.

Direktur Divisi Transmisi dan Distribusi Siemens Indonesia Markus Strohmeier menyatakan, dukungan pemerintah terhadap pemanfaatan teknologi ramah lingkungan masih kurang. Contohnya, pemerintah mematok harga sama untuk energi listrik yang dihasilkan pembangkit listrik tenaga batu bara ataupun pembangkit listrik tenaga angin dan panas bumi. Padahal, biaya pokok produksi listrik dari tenaga angin dan panas bumi lebih mahal daripada BBM dan batu bara.

Dalam rencana strategis pemerintah 2010-2014 disebutkan, PT PLN ditugaskan melakukan diversifikasi energi primer untuk pembangkit tenaga listrik 10.000 MW tahap pertama. Program 10.000 MW tahap kedua memberi porsi besar bagi kontribusi dari panas bumi, yaitu 4.733 MW yang akan mendorong pengembangan panas bumi.

Pri Agung menyatakan, insentif untuk proyek pembangkit listrik berbasis energi terbarukan akan menjadi daya tarik para investor untuk menanamkan modalnya. Menurut Pri Agung, insentif yang bisa diberikan, antara lain, adalah pemerintah menanggung sebagian biaya eksplorasi, memberi keringanan pajak untuk barang-barang impor atau penundaan pembayaran pajak, serta ada jaminan bahwa energi listrik yang dihasilkan akan dibeli PLN. Pemanfaatan panas bumi ini akan dapat mendorong sisi hilir, yaitu untuk meningkatkan penyediaan listrik bagi rakyat.

Dengan meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan, maka akan mengurangi konsumsi minyak mentah dan BBM, ujar Pri Agung.

Di beberapa negara maju, seperti Belanda dan Jerman, pemanfaatan teknologi yang efisien dan ramah lingkungan dengan energi terbarukan mendapat dukungan penuh dari pemerintah. (EVY)

Dampak Kenaikan Harga Harus Diawasi

Jakarta (Sinar Harapan)

Setelah resmi menaikkan harga elpiji kemasan 6 kg, 12 kg, dan 50 kg, PT Pertamina (persero) diminta mengawasi harga eceran tertinggi di masyarakat.

Direktur Eksekutif Rerfor miners Institute Pri Agung Rahkmanto mengatakan, pe merintah harus mengawal agar kenaikan tersebut tidak me mengaruhi konsumsi elpiji 3 kg. Pemerintah harus mengawal, misalnya dengan menerapkan semacam harga tertiggi sehingga harga di tingkat konsumen tidak naik berlipat-lipat, katanya yang dihubungi SH, Sabtu (10/10) pagi.

Pri Agung juga meminta agar pemerintah memantau dampak kenaikan terhadap konsumsi elpiji yang disubsidi langsung. Harus dipantau seberapa dampaknya ke konsumsi elpiji 3 kg. Jangan sampai ada kelangkaan, jelasnya. Terhitung mulai hari ini Sabtu (10/9), Pertamina menaikkan harga elpiji sebesar Rp 100 untuk elpiji ukuran 6 kg, 12 kg, dan 50 kg. Dengan kenaikan ini, harga elpiji 12 kg sebesar Rp 70.200 per tabung, 12 kg menjadi Rp 5.850 kg, dan Rp 35.100 untuk tabung 6 kg. Pertamina juga menaikkan harga elpiji ukuran 50 kg sebesar Rp 100 menjadi Rp 7.355 per kg mulai 10 Oktober atau Rp. 367.750 per tabung 50 kg.

Kenaikan harga ini menyesuaikan kenaikan harga pasar bahan baku LPG. Dengan diberlakukannya harga baru ini, Pertamina berharap dapat memberikan pelayanan yang lebih baik bagi konsumen, ujar VP Corporate Communication Pertamina Basuki Trikora Putra dalam siaran persnya, Jumat (9/10) malam. Pertamina tidak me naik kan harga elpiji 3 kg.

Karena itu, Pertamina meminta agar konsumen tidak beralih ke elpiji 3 kg yang dikhususkan untuk masyarakat tidak mampu. Rugi Rp 2,3 Triliun Sebelumya, Pertamina mengklaim kerugian penjualan elpiji 12 kg hingga Oktober diperkirakan mencapai Rp 2,3 triliun.

Sekretaris Perusahaan Pertamina Toharso mengatakan, kerugian itu turun dibanding tahun lalu yang mencapai Rp 4,7 triliun. Rata-rata CP Aramco sejak Januari sempai Oktober sekitar US$ 479 per ton, katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (7/10). Dengan rata-rata CP Aramco tersebut, harga keekonomian elpiji 12 kg sekitar Rp 8.343 per kilogram. Sementara itu, harga elpiji 12 kg dijual Rp 5.750 per kg. Konsumsi elpiji 12 kg sepanjang Januari hingga Sep tember mencapai 705.739 MT.

Sesuai UU BUMN, BUMN itu kan tidak boleh rugi, jelasnya. Hal tersebut mendorong Pertamina untuk segera menyesuaikan harga elpiji 12 kg sesuai harga keekonomiannya. Rencananya, Pertamina akan menaikkan harga elpiji tiap bulan sebesar Rp 100 hingga mencapai tingkat keekonomian.

Subsidi BBM Dihapus, Sistem Jaminan Sosial Baku Harus Disiapkan

detikFinance,27/09/2009 10:39 WIB

Pemerintah harus menyiapkan sistem jaminan sosial yang baku dan memadai bagi masyarakat kelas bawah, jika ingin menghapuskan subsidi BBM seperti yang diusulkan dalam forum G 20. Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Refor-Miner Institute Pri Agung Rakhmanto saat berbincang dengan detikFinance, Minggu (27/9/2009).

“Kalau pemerintah benar-benar serius, maka harus menyediakan kompensasinya dalam bentuk sistem jaminan sosial yang baku seperti tunjangan kesehatan, pendidikan, kebutuhan bahan pokok dan sebagainya bagi yang tidak mampu,” kata Pri Agung.

Ia menjelaskan, negara-negara maju yang tergabung dalam G-20 seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Jerman, juga tidak begitu saja memberlakukan harga pasar untuk BBM. Menurut Pri Agung, hal itu dilakukan setelah mereka menyediakan sistem jaminan sosial yang baku dan memadai untuk masyarakat ekonomi kelas bawahnya.

“Namun selama itu tidak dilakukan oleh pemerintah kita dan program kompensasinya tidak jelas dan cenderung hanya basa-basi seperti BLT saja, ya susah,” ungkapnya.

Pri Agung menegaskan, persoalan subsidi BBM di Indonesia ini adalah persoalan kemiskinan dan ketidakadilan. Selama keberpihakan terhadap kemiskinan tidak didahulukan, selama itu pula pnghapusan subsidi BBM akan selalu dipandang sebagai ketidakadilan dan akan selalu ditentang.

Dia juga menilai, hingga kini pemerintah masih belum berhasil dalam pengurangan subsidi BBM di negeri ini.

“Nyatanya sejak tahun 1998, subsidi BBM masih ada sampai dengan sekarang dan selalu menjadi persoalan, tidak cuma ekonomi tapi juga politik,” tandas Pri Agung.

Tiga Hal Mengapa 11 Blok WK Tak Laku
Okezone,12 September 2009

JAKARTA – Pengetatan anggaran dana Cost Recovery seharusnya tidaklah dijadikan sebagai kambing hitam atas tidak lakunya Wilayah Kerja Minyak dan Gas (WK MIGAS) dalam penawaran tahap pertama yang diumukan Jumat 11 September kemarin.

Menurut Direktur Eksekutif Reforminer Institute Priagung Rakhmanto, ada tiga hal yang dinilai lebih rasional yang bisa dijadikan alasan atas ketidaklakuan 11 dari 16 blok WK yang ditawarkan tersebut.

Pertama, kemungkinan blok-blok yang ditawarkan adalah blok-blok yang memang tidak prospektif. Kedua, kemungkinan blok-blok tersebut juga adalah blok-blok lama yang dulu juga belum laku.

Serta ketiga, berkaitan dengan data-data atau informasi awal berkenaan dengan blok-blok tersebut mungkin juga masih sangat mentah, sehingga mengharuskan investor untuk provide extra costs untuk memperkaya informasi tersebut.

“Solusinya, pemerintah harus mau keluar modal untuk provide data-data yang lebih matang atau memberi insentif. Kalau masalah cost recovery, kok terlalu jauh menurut saya. Ini kan baru mau eksplorasi,” ungkapnya dalam pesan singkatnya di Jakarta, Jumat (11/9/2009) malam.

Seperti diberitakan sebelumnya, pengetatan anggaran cost recovery mengancam investasi di sektor minyak dan gas bumi. Ditengarai hal itulah yang menjadi penyebab para investor enggan melakukan eksplorasi migas di Indonesia.

Pasalnya, ketidakjelasan Peraturan Pemerintah tentang Cost Recovery menjadi pengganjal. Serta menciutnya anggaran cost recovery yang disetujui dalam RAPBN menjadi hanya USD12,005 miliar.

Hal itu sudah terlihat dari sepinya peminat pada lelang Wilayah Kerja (WK) Migas tahap kedua yang mana dari 16 blok hanya laku lima blok saja menjadi suatu indikasi yang terlihat jelas. (ade)

Harga Minyak Mengancam, Beban Subsidi Meningkat

Kompas, 12 September 2009

Jakarta, Kompas – Pemerintah meminta tambahan dana cadangan risiko fiskal dalam Rancangan APBN 2010 ditambah Rp 3 triliun-Rp 5 triliun dari rencana awal sehingga menjadi Rp 8,6 triliun-Rp 10,6 triliun. Alasannya, APBN 2010 menghadapi risiko asumsi harga minyak meleset sehingga beban subsidi bahan bakar minyak bertambah.

Saat ini, kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Anggito Abimanyu, harga minyak mentah di pasar dunia sudah 70 dollar AS per barrel untuk transaksi kontrak pembelian untuk pengiriman minyak pada enam bulan ke depan. Adapun asumsi harga minyak dalam RAPBN 2010 hanya 60 dollar AS per barrel. Itu membutuhkan cadangan risiko fiskal tambahan, ujar Anggito di Jakarta, Jumat (11/9).

Menurut Anggito, risiko fluktuasi harga minyak mentah lebih tinggi dibanding risiko asumsi ekonomi makro lain, baik pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan 5,5 persen, inflasi 5 persen, tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 6,5 persen, maupun produksi minyak mentah siap jual 0,965 juta kiloliter. Harga minyak lebih tinggi dari asumsi APBN karena perbaikan ekonomi dunia yang memicu peningkatan permintaan global.

Nilai tukar rupiah diperkirakan akan diperkuat aliran dana masuk, baik dari investasi langsung maupun portofolio, katanya. BBM naik Pengamat Perminyakan Kurtubi berpendapat, harga minyak mentah tahun 2010 cenderung lebih tinggi dari 70 dollar AS per barrel. Jika asumsi harga minyak di APBN 2010 tidak diubah, tetap di 60 dollar AS per barrel, beban subsidi BBM akan meninggi. Ini bisa memaksa pemerintah menaikkan harga BBM. Agar opsi kenaikan harga BBM bisa dihindari pada 2010, harus diupayakan agar produksi minyak mentah domestik dinaikkan sehingga penerimaan negara dari minyak dan gas meningkat, tutur Kurtubi.

Dijelaskan, produksi minyak mentah seharusnya bisa dinaikkan menjadi 1 juta barrel per hari, lebih tinggi dibanding target dalam RAPBN 2010 yang hanya 965.000 barrel per hari. Adapun Direktur Eksekutif Institute Reforminer (Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi) Priagung Rahmanto menyatakan, kemungkinan naiknya harga BBM pada 2010 sangat besar. Ini karena kecenderungan ekonomi dunia yang semakin membaik. Selain karena sikap OPEC yang enggan menambah pasokan minyak mentah ke pasar internasional. Sebelumnya, pemimpin Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) beberapa kali menyebutkan, level harga yang kondusif adalah 70 dollar AS per barrel. Seluruh faktor itu mendorong penguatan harga minyak mentah ke level yang lebih tinggi dari 60 dollar AS per barrel.

Asumsi harga minyak di APBN 2010 sebesar 60 dollar AS per barrel terlalu rendah dan berisiko. Belum lagi target lifting ,965.000 barrel per hari sulit dicapai. Itu memberi tekanan pada APBN, kata Priagung. (OIN)

Pemerintah Dinilai Tak Siap Eksekusi Divestasi Newmont

detikFinance, 11/09/2009 14:47 WIB

Jakarta – Keinginan pemerintah untuk memperpanjang batas akhir penyelesaian abitrase divestasi PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) menunjukan pemerintah tidak siap mengeksekusi divestasi tersebut.

Menurut Direktur Eksekutif Refor-Miner Institute, Pri Agung Rakhmanto, perpanjangan batas waktu divestasi Newmont tersebut memang diperbolehkan jika pemerintah yang meminta perpanjangan tersebut.

“Tapi ini kan menjadi mengesankan bahwa pemerintah sendiri yang tidak serius dan tidak siap mengeksekusi divestasi,” kata Pri Agung dalam pesan singkatnya kepada detikFinance, Jumat (11/9/2009).

Menurut Pri Agung, hal tersebut semakin mengesankan adanya tarik menarik kepentingan berbagai pihak dalam penyelesaian proses divestasi ini.

“Inilah yang membuat proses ini menjadi bertele-tele,” jelasnya.

Direktur Jenderal Mineral Batubara dan Panas Bumi, Bambang Setiawan sebelumnya mengatakan, pemerintah ingin memperpanjang batas akhir penyelesaian divestasi saham Newmont yang akan berakhir pada 27 September. Pemerintah ingin memperpanjangnya hingga November 2009.