14 Kontraktor di Atas Target Produksi

Kompas, Senin, 8 Maret 2010

Jakarta – Sebanyak 14 kontraktor kontrak kerja sama melampaui target produksi yang ditetapkan pemerintah pada tahun 2009. Pencapaian produksi minyak ini diharapkan dapat terus ditingkatkan sehingga target produksi minyak yang ditetapkan dalam APBN 2010 sebesar 965.000 barrel minyak per hari diharapkan bisa tercapai.

Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) R Priyono, Minggu (7/3), di Jakarta menyatakan, status produksi migas per 28 Februari 2010 sebesar 961.964 barrel minyak, termasuk kondesat 148.762 barrel minyak per hari. Potensi produksi 974.000 barrel per hari, katanya.

Untuk mencapai target produksi, Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Edy Hermantoro menyatakan, pemerintah berupaya mengurangi gangguan teknis seperti penghentian produksi akibat kejadian tidak terencana, mempercepat izin eksplorasi dan eksploitasi, serta mempermudah proses pembebasan lahan.

Produksi minyak per Februari rata-rata 959.186 barrel per hari, sedangkan rata-rata produksi minyak 2010 sebesar 951.214 barrel per hari. Sejumlah kontraktor mengalami penurunan produksi karena kendala teknis. Untuk Kodeco, misalnya, produksi turun karena terjadi sludge flow (aliran lumpur) sehingga tekanan tinggi, ujar Priyono.

Namun, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi Pri Agung Rakhmanto justru memperkirakan produksi minyak nasional tahun ini di bawah target dalam APBN 2010, yakni 965.000 barrel per hari.

Produksi tetap di bawah target, kisaran 950.000 barrel per hari. Per akhir tahun bahkan bisa lebih rendah, yaitu 945.000 barrel, katanya.

Kondisi ini terjadi karena tidak ada penemuan lapangan baru dan tidak ada lapangan besar lain selain Blok Cepu sehingga tidak akan menutup rasio penurunan produksi secara alamiah. Target produksi minyak nasional 965.000 barrel itu tidak realistis. Tahun lalu, dengan produksi minyak nasional pun tidak mencapai target, ujarnya.

Untuk mempertahankan produksi minyak, menurut Pri Agung, optimalisasi produksi di level teknis perlu dilakukan, disertai upaya mempercepat birokrasi, sehingga produksi minyak bisa sesuai rencana. Agar produksi meningkat signifikan, fondasinya harus sudah diletakkan. Salah satunya dengan merevisi Undang-Undang Migas (UU Nomor 22 Tahun 2001), ujarnya.

Di hulu migas, keberadaan BP Migas yang bukan entitas bisnis membuat iklim bisnis atau kemitraan tidak terbentuk. Jadi, kontraktor bukan mitra, melainkan pihak yang diawasi. Peningkatan produksi itu bisa dilakukan dengan investasi. Kalau pemerintah tidak membuat kesepakatan bisnis untuk investasi, maka itu sulit dilaksanakan, katanya. (evy)

Rekomendasi Pansus BBM; Pemerintah Belum Dapat ‘Celah’ Revisi UU Migas

detikFinance, 4 Maret 2010

Jakarta – Revisi Undang-undang UU Migas No.22 tahun 2001 sudah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2010. Namun hingga kini pemerintah masih belum menemukan hal-hal apa yang perlu direvisi dari UU tersebut.

“Revisi UU Migas adalah salah satu dari permintaan pansus hak angket BBM. Kami sudah mencoba mempelajari, tapi belum menemukan yang perlu direvisi. Karena UU ini setidaknya sudah dua kali masuk Mahkamah Konstitusi dan direvisi,” ujar Direktur Jenderal Migas Evita Legowo kepada detikFinance, Rabu (3/3/2010).

Namun, Evita menyatakan pihaknya tetap akan menyiapkan konsep-konsep terkait rencana revisi UU yang penuh kontroversi ini.

Berbeda dengan Evita, Direktur Eksekutif Refor-Miner, Pri Agung Rakhmanto justru menilai revisi UU Migas ini sangat mendesak untuk dilakukan. Menurut dia, salah satu hal yang perlu ditinjau ulang yaitu mengenai posisi BP Migas sebagai kuasa pertambangan migas di sisi hulu.

Ia menilai dengan posisi BP Migas sebagai perwakilan pemerintah dalam pengawasan kegiatan yang dilakukan para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) telah membuat seluruh proses di sektor hulu Migas harus melalui birokrasi yang berbelit-belit.

“Itu yang menyebabkan kenapa rencana pengembangan (Plan of Development/PoD) yang diajukan KKKS penyelesaiannya butuh waktu sampai berbulan-bulan dan alasan kenapa aktivitas produksi menurun,” ungkap Pri Agung.

Menurutnya, akan lebih baik jika peran kuasa pertambangan hulu migas dikembalikan lagi ke PT Pertamina (Persero). Hal inipun sudah diterapkan di negara-negara lain seperti Malaysia, Iran, Arab, Brazil dan Venezuela, yang sudah menyerahkan kuasa pertambangan migasnya ke perusahaan migas mereka.

Dengan dikembalikannya peran BP Migas ke Pertamina, lanjut Pri Agung, maka akan terjalin kerjasama yang baik antara BUMN Migas tersebut dengan KKKS sehingga tercipta suasana bisnis yang sehat dan membangun iklim investasi.

Lagipula, tambah dia, jika peranan BP Migas telah digantikan Pertamina dan ada masalah hukum antara Pertamina dan salah satu KKKS tersebut, maka itu akan diselesaikan secara bisnis dan tidak perlu melibatkan pemerintah.

“Jadi sebaiknya posisi BP Migas ini ditinjau kembali, terserah apakah BP Migas akan dijadikan badan usaha atau peranan BP Migas dikembalikan lagi ke Pertamina. Tapi menurut saya logisnya sih diserahkan kembali ke Pertamina seperti negara-negara lain,” paparnya.

Sementara itu, anggota Komisi VII DPR, Satya W Yudha menyatakan saat ini usulan revisi UU Migas tersebut sudah masuk di Badan Legislatif (Baleg) DPR. Setelah masalah kasus Century selesai, rencananya revisi UU ini akan didorong agar segera masuk ke Badan Musyawarah (Bamus).

“Saya sebagai anggota Bamus akan medorong itu agar segera masuk ke Bamus. Kita akan inventarisasi apa-apa saja yang akan diperbaiki,” pungkasnya.

Target Lifting Tidak Masuk Akal, UU KLH Jadi Kambing Hitam

Okezone, 28 Februari 2010

Polemik tentang pemberlakuan Undang-Undang Kementerian Lingkungan Hidup (UU KLH) No. 32 Tahun 2009 yang dapat menyebabkan produksi minyak nasional akan terpangkas 40 persen, semestinya tidak perlu dilontarkan dulu ke publik sehingga menimbulkan kepanikan akan berkurangnya produksi dalam negeri.

Pasalnya, meskipun UU tersebut sudah keluar namun belum ada Peraturan Pemerintah (PP) maupun Peraturan Menteri (Permen) yang mengatur secara teknis pemberlakuan aturan tersebut. Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto menyatakan berhembusnya wacana yang menyebabkan kepanikan tersebut justru mencerminkan koordinasi yang tidak baik antar kementerian terkait.

PP atau Permen-nya itu kan belum keluar, semestinya jangan dilontarkan dulu ke publik. Seharusnya bisa diselesaikan secara internal, ini kan jadinya mencerminkan koordinasi yang tidak baik di Pemerintah ujarnya saat dihubungi okezone, di Jakarta, Minggu (28/2/2010).

Bahkan menurutnya, wacana yang pengurangan produksi minyak akibat dari pemberlakuan UU tersebut hanyalah sebagai kambing hitam belaka. Pasalnya, sejak awal target lifting yang ditetapkan sebesar 965 barel per hari tidaklah realistis. Tahun 2009 lalu dengan target lifting sebesar 960 barel per hari tidak dapat terpenuhi dan hanya tercapai sekira 949 barel per hari.

Ini kan kesannya jadi sepeti mencari kambing hitam karena target lifting tidak pernah tercapai. Sejak awal saya menganggap target 965 barel per hari itu tidak realistis, tambahnya.

Meskipun demikian, dirinya memaklumi jika pemerintah Percaya Diri memasang target sebesar itu, dengan alasan untuk mengejar angka pertumbuhan ekonomi dan penerimaan negara yang tinggi. Selama ini, kepercayaan diri pemerintah adalah dengan adanya keyakinan produksi minyak dari Blok Cepu yang akan masuk sebesar 20 ribu barel per hari, padahal hingga saat ini kendala produksi di Blok Cepu yang belum optimal karena masih adanya permasalahan di off taker dalam hal ini belum siapnya PT Tri Wahana Universal (TWU) dalam menampung produksi dari blok Cepu tersebut.

Sebenarnya angka itu (965 bph) tidak masuk akal, tapi mungkin pemerintah ingin menggenjot target pertumbuhan ekonomi jadi kalau dipasang tinggi (lifting) maka asumsi penerimaan negara juga akan tinggi, bisa jadi politis, tandasnya.

Sebelumnya, Dirjen Migas Evita Legowo, menyatakan bahwa Produksi minyak dan gas bumi (migas) nasional terancam dengan adanya Undang-Undang KLH No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang akan mulai diberlakukan awal April 2010 nanti. Penerapan standar baku mutu lingkungan pada industri migas dikhawatirkan akan membuat target produksi migas nasional tidak tercapai. Produksi Migas pun diproyeksikan hanya akan tercapai setengah dari yang ditargetkan saja.

“Kalau standar baku mutu betul-betul diterapkan per April 2010 seperti apa adanya, hampir separuh target produksi migas nasional tidak dapat diproduksikan karena banyak industri migas dalam waktu dekat tidak dapat memenuhi standar baku mutu temperatur air dari 45 menjadi 40,” ujar Evita.

Pasalnya, untuk menerapkan baku mutu lingkungan terkait temperatur air seperti yang dipersyaratkan tersebut, diperlukan proses yang tidak sederhana dan membutuhkan investasi yang besar sehingga tidak dapat diterapkan dalam waktu cepat.

Sementara itu, pemerintah belum akan mengubah target lifting minyak meskipun ada kekhawatiran karena pemberlakuan UU tersebut.

“Sekarang ini masih 965 ribu barel per hari, nanti akan APBN-P kita bicara dengan dewan,” ujar Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Kamis lalu.

Menurutnya, terbitnya UU tersebut tidak perlu dikhawatirkan. Namun hanya diperlukan sedikit harmonisasi antara Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup, serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).

“Tentu tidak begitu, kita perlu harmonisasikan tapi tentu tidak tiba-tiba turun 40 persen. Jangan panik. Memang nanti itu kita perlu harmonisasi sedikit,” tandasnya.(adn)

Revisi ICP di APBN-P 2010 Terlalu Tinggi

Detik Finance, 28 Februari 2010

Revisi asumsi harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) yang terlalu tinggi dalam APBN-P 2010 dikhawatirkan hanya akan mendorong belanja pemerintah yang berlebihan.

Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Refor-Miner Institute Pri Agung Rakhmanto kepada detikFinance, Minggu (28/2/2010).

“Karena asumsinya kan penerimaan negara akan lebih besar, maka di belanjanya pun, misalnya belanja kementerian, akan menyesuaikan lebih besar juga karena belanja besar juga diyakini pemerintah akan lebih mendorong pertumbuhan ekonomi,” ujar dia.

Padahal, lanjut Pri Agung, dalam kondisi dimana pemerintah tidak siap dengan program yang bagus maka hal itu tidak akan terjadi dan justru akan jadi pemborosan saja.

Ia menyatakan jika pemerintah tidak ingin harga bahan bakar minyak (BBM) naik tahun ini, sebaiknya tidak dengan memasang asumsi ICP yang tinggi. Pemerintah disarankan untuk mengalokasikan cadangan Fiskal sebesar Rp 6-8 triliun.

“Lebih baik alokasikan cadangan fiskal saja, katakanlah Rp 6-8 triliun supaya APBN bisa tahan sampai harga minyak US$ 85 per barel,” jelasnya.

Pri Agung mengakui, harga minyak tahun ini memang cenderung lebih tinggi dibandingkan tahun lalu. Namun Ia memperkirakan harga minyak dunia akan tetap stabil di kisaran US$ 70-80 per barel karena secara fundamental tidak akan ada kekurangan pasokan.

“ICP US$ 77 per barel itu sedikit terlalu tinggi sepertinya. Dengan mematok ICP US$ 75 per barel menurut saya sudah cukup karena itu berarti rata-rata harga minyak dunianya sekitar US$ 80 per barel,” paparnya.

Untuk diketahui, pemerintah memang berencana untuk mengubah asumsi ICP dari US$ 65 per barel menjadi US$ 77 per barel serta menambah subsidi BBM sebesar Rp 20 triliun dalam usulan APBN-P 2010. Hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi kenaikan harga minyak dunia.

Sementara itu, Mantan Gubernur OPEC Maizar Rahman memperkirakan harga minyak dunia tahun ini masih berkisar antara US$ 70-90 per barel dengan rata-rata US$ 75-80 per barel. Batas bawah US$ 70 per barel dikarenakan minyak non-konvensional seperti biofuel dan minyak dari pasir minyak di Kanada jumlahnya sudah cukup besar dalam suplai minyak dunia sedangkan ini hanya bisa berproduksi pada harga di atas tersebut.

“Bila harga di atas US$ 90 per barel, ini akan mendorong berkurangnya permintaan atau konsumsi sehingga harga akan tertekan lagi,” kata dia.

Ia menambahkan kenaikan harga saat ini masih dipicu faktor fundamental, yaitu pelemahan dollar karena Euro menguat dan adanya indikasi pemulihan ekonomi USA yang lebih baik. Secara fundamental suplai dan masih melimpah, bahkan di kwartal II akan lebih melimpah karena permintaan biasanya turun 1-2 juta barel per hari sehingga harga biasanya tidak naik pada kuartal tersebut.

Proyek Kilang LNG Senoro Perlu Diperjelas

Investor Daily, 22 Februari 2010

Pemerintah harus segera memutuskan kelanjutan proyek pembangunan kilag gas alam cair (fique fled natural gas/LNG) Donggi-Senoro di Desa Uso, Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah (Sulteng). Belum finalnya keputusan pemerintah terkait proyek tersebut bisa menjadi preseden buruk bagi iklim investasi migas di Tanah Air. Semestinya, pemerintah bisa secepatnya memutuskan nasib proyek tersebut. Sebagai kategori proyek lama, seharusnya pemerintah bisa mengambil keputusan secara strategis dan taktis. Hal itu diutarakan anggota Komisi VII Dito Ganinduto dan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto secara terpisah kepada Investor Daily Jakarta, Minggu (21/2).

Dito mengatakan, pemerintah harus segera memutuskan proyek Donggi-Senoro secara realistis dengan memperhatikan kebutuhan dalam negeri dan kepentingan investor (pemodal). Namun, pengembangan harus memperhatikan berbagai aspek, mulai dari sisi pasokan domestk hingga pihak yang akan membiayai proyek tersebut. Pengembangan gas memang berbeda dengan minyak bumi. Ketika gas akan dikembangkan, investor sudah harus meneken perjanjian jual-beli gas terlebih dahulu dengan pembeli. Tapi perbedaan tersebut bukan alasan untuk terlalu lama mengambil sebuah keputusan, ujarnya.

Pri Agung berpendapat, jangan karena alasan populis, pemerintah terkesan lama mengambil keputusan soal kelanjutan proyek Donggi-Senoro. Keputusan lanjut atau tidak juga harus disertai dengan alasan yang masuk akal. Begitu pula terkait alokasi gas apakah untuk domestik atau ekspor. Lambannya pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah sebagai hal yang tidak masuk akal, karena, pemerintah telah mengetahui kondisi proyek tersebut dari awal, jelasnya.

Terhambat Lahan Sementara itu, DPRD Sulteng mendesak Pemprov Sulteng dan Pemkab Banggai untuk membantu percepatan pembangunan kilang LNG Senoro yang kini terhambat masalah pembebasan lahan. Ketua Komisi III Bidang Pembangunan DPRD Sulteng Nawawi S Kilat mengatakan, salah satu upaya untuk mendorong percepatan proyek tersebut adalah koordinasi intensif baik antara pemprov dan pemkab, maupun dengan investornya, yaitu PT Donggi Senoro LNG (DSL).

Kami sangat menyayangkan jika pembangunan kilang LNG tersebut terhambat hanya karena kurangnya keterlibatan pemerintah daerah, padahal investasi pertambangan gas butuh anggaran yang tidak sedikit, ujar Nawawi seperti dikutip Antara di Palu, Sabtu (20/2).

Wakil Gubernur Sulteng Ahmad Yahya berjanji, pihaknya akan membantu menyelesaikan pembebasan lahan pembangunan kilang. Dari 350 hektare lahan yang dibebaskan, masih terdapat 3% lagi yang belum dilepaskan oleh pemiliknya. Menurut Nawawi, proyek LNG Senoro dinilai akan menghasilkan efek berganda (multiplier effect) tidak saja untuk kepentingan regional akan tetapi juga secara nasional. Proyek LNG Senoro saat ini tinggal terhambat pada pengembangan sektor hilir karena sektor hulu sudah siap sejak JOB Pertamina-Medco E&P Tomon Sulawesi selaku pemegang konsesi lahan telah melakukan eksplorasi. Saat ini sudah tendapat lima blok sumur yang siap disalun kan ke kilang.

Sebelumnya diberitakan, pemerintah Indonesia hingga kini belum memutuskan kelanjutan proyek Donggi-Senoro. Saat ini, nasib kelanjutan proyek tersebut masih berada di tangan Wakil Presiden (Wapres) Boediono. Proyek Donggi-Senoro digarap oleh konsorsium PT Donggi Senoro LNG (DSL) yang sahanmya dimiliki Mitsubishi Corp 51%, Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) 29%, dan PT Medco LNG Indonesia 20%. DSL akan memanfaatkan gas dari Lapangan Matindok (Donggi) sebesar 20 juta standar kaki kubik per hari (million metric standard cubic feet per day/mmscfd) milik PT Pertamina Hulu Energi dan Lapangan Senoro sebesar 50 mmscfd milik JOB Pertamina-Medco E&PTomori Sulawesi untuk diolah menjadi LNG. Proyek Donggi Senoro mulai dari hulu (upstream) hingga hilir (down stream) membutuhkan investasi sebesar USS 3,7 milyar Ini terdiri atas US$ 1,7 milyar untuk hulu dan US$2 miliar di hilir. Japan Bank for International Cooperation (JBIC) disebut-sebut berniat mendanai proyek kilang Senoro jika gas diekspor ke Jepang.

Hingga berita ini diturunkan, Investor Daly tidak bisa memperoleh konfirmasi dari Dirjen Migas Kementenian ESDM Evita Herawati Legowo, juru bicara PT Pertamina Basuki Trikora Putra, maupun Vice President LNG Business Pertamina Hari Karyuliarto. Telepon genggam ketiganya tidak diangkat ketika dihubungi.

Pajak Masuk Biaya Operasi KKKS

Bisnis Indonesia, 19 Februari 2010

Penetapan biaya pajak tidak langsung, termasuk pajak daerah dan retribusi daerah ke dalam biaya operasi KKKS yang bisa dimasukkan ke dalam cost recovery diyakini dapat menghapus masalah yang selama ini dihadapi kontraktor.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan rancangan peraturan pemerintah tentang cost recovery bisa memberikan keuntungan bagi kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Kendati begitu, ada beberapa hal baru dalam RPP itu yang masih perlu diperdebatkan.

“Selama ini KKKS selalu dibuat pusing mengatasi masalah pajak tidak langsung dan retribusi daerah karena menjadi tanggungan KKKS. Dengan dimasukkan ke dalam biaya operasi, itu sepenuhnya bisa di cost recovery. Ini justru praktik yang benar dan sebenarnya sudah berlaku sebelum BP Migas ada,” jelasnya kemarin.

Cost recovery merupakan komponen biaya yang dapat dikembalikan kepada KKKS. Saat ini cost recovery terdiri atas pertama, non-capital cost, pengeluaran eskplorasi dan pengembangan, pengeluaran produksi, dan pengeluaran administrasi. Kedua, capital cost, yaitu depresiasi atas investasi aset KKKS. Ketiga, unrecovered cost, yaitu pengembalian atas biaya operasi tahun-tahun sebelumnya yang belum dapat diperoleh kembali.

Sebenarnya, lanjut Pri Agung, RPP Cost Recovery tersebut tidak perlu ada apabila sistem pengelolaan migas dalam skala lebih besar sudah benar penataannya. Sayangnya, munculnya BP Migas yang bukan entitas bisnis menjadikan seluruh urusan yang dahulunya mudah menjadi rumit. “Pemerintah dulu tinggal menarik pajak dari Pertamina dan KKKS tinggal menerima hasil berdasarkan kontrak bagi hasil yang ditetapkan dalam kontrak dengan Pertamina. Karena BP Migas yang menggantikan peran Pertamina bukan entitas bisnis, pemerintah tidak bisa menarik pajak dari BP Migas dan urusan fiskal KKKS langsung berhubungan dengan pemerintah,” katanya.

Dia mencontohkan kerumitan yang terjadi dalam hal bea masuk impor barang yang harus dibayar dulu setelah itu di-reimburse. “Itu rumit urusannya sampai ada pengaturan baru berupa peraturan menteri keuangan yang harus diperbaruhi setiap tahun.”

Minat investasi

Di sisi lain, lanjut Pri Agung, beberapa hal yang baru memang bisa mengurangi minat investasi. Beberapa hal itu meliputi masalah penetapan auditor fiskal dan teknis independen, penggunaan bank nasional sebagai penyedia jasa cash management, pengenaan pajak final terhadap proses farm in farm out dan uplift, pembatasan cost recovery, serta penetapan negative list cost recovery. “Memang ada dualisme dalam RPP Cost Recovery ini. Ada yang membantu investor, khususnya terkait dengan fiskal tetapi juga ada yang terkesan men-discourage. Namun, harus disadari pula hal yang membuat gamang investor adalah mengenai hukum apa yang mesti mereka pegang, kontrak atau RPP atau permen ESDM tentang cost recovery,” jelasnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani kemarin meyakinkan investor RPP Cost Recovery tidak untuk mengganggu iklim investasi. Menurut dia, RPP Cost Recovery tersebut dimaksudkan untuk menumbuhkan investasi di sektor minyak dan gas bumi. Selama ini, RPP Cost Recovery yang pembahasannya berlarut-larut menjadi isu yang terus menggelinding di antara pemangku kepentingan industri migas. Bahkan, Kementerian ESDM yang bertanggung jawab secara teknis terhadap industri migas sempat menjadikan polemik mengenai cost recovery tersebut sebagai penyebab dari ciutnya minat investor migas masuk ke Indonenesia, seperti yang terjadi pada tender dan penawaran langsung wilayah kerja migas periode 2008-2009.

Kepala BP Migas R. Priyono menolak berkomentar mengenai spirit RPP Cost Recovery yang diungkapkan Menteri Keuangan tersebut. ” No comment lah…” Sementara itu, Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Evita Herawati Legowo mengatakan RPP Cost Recovery memang untuk memberikan kepastian hukum bagi investor. Akan tetapi, dia tidak menjelaskan ketika ditanya apakah secara substansi RPP Cost Recovery tersebut bisa menumbuhkan minat investasi di sektor migas Indonesia. “Maksud Bu Menteri Keuangan untuk memberikan kepastian hukum,” tegasnya. (rudi.ariffianto@bisnis.co.id)

Produksi Blok Cepu Dipertanyakan

Republika, 8 Februari 2010

Peran Exxon Mobil sebagai operator Blok Cepu kembali disorot. Perusahaan multinasional asal Amerika Serikat yang menggarap Blok Cepu dengan menggunakan bendera Mobil Cepu Limited (MCL) dinilai belum memberikan kesejahteraan apa pun bagi warga di sekitar ladang minyak itu.

Bahkan, target produksi minyak yang diberikan kepada MCL juga tidak terpenuhi. ”Belum ada yang yang bisa kami nikmati,” kata Bupati Blora, Yudhi Sancoyo, berkeluh kesah kepada Wakil Presiden Boediono saat Temu Wicara dengan Muspida Jateng di Semarang, akhir pekan lalu.

Yudhi mempertanyakan produksi minyak di Blok Cepu yang tak kunjung mampu memenuhi target. Sesuai dengan joint operation agreement (JOA), MCL mestinya sudah menghasilkan minyak sebanyak 20 ribu barel per hari pada Desember 2009. Tapi, sebutnya, MCL baru sanggup memproduksi minyak sebesar 17 ribu barel per hari. ”Kami belum dapat bagi hasil,” keluhnya lagi.

Karena itu, Yudhi meminta Wapres turun tangan menyelesaikan produksi Blok Cepu yang masih seret. Tanpa campur tangan pemerintah, dia khawatir, produksi minyak yang sangat diharapkan masyarakat dan pemda Blora ini tetap tersendat. ”Produksi sudah telat setahun, tapi tidak ada perhatian serius,” katanya.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto, memahami keluhan yang dilontarkan Bupati Blora. Semakin lambat produksi minyak yang dilakukan di Blok Cepu, sambungnya, maka itu akan memperpanjang penantian rakyat untuk bisa menikmati hasil dari blok tersebut. ”Semakin lama produksi penuh tercapai, ya semakin lama juga daerah itu bisa ikut menikmati hasilnya,” jelasnya.

Pri Agung pesimistis MCL mampu menggenjot produksi minyak dalam tempo singkat. Dia bahkan tak terlalu heran melihat telatnya produksi blok ini. ”Memang sulit berharap karena memang sudah terlambat dari awal,” sesalnya.

Karena masih di masa awal produksi, pengamat migas ini mengatakan, bagi hasil yang diberikan ke pemda setempat memang masih sangat kecil. Dengan begitu, rakyat pun belum bisa menikmati hasilnya secara langsung. Kondisi ini akan terjadi selama tiga sampai empat tahun dari awal produksi. Sebagian besar bagi hasil akan habis digunakan untuk menutup biaya recovery .

Sementara, Kepala BP Migas, R Priyono, menyatakan pihaknya terus berupaya agar pemda segera mendapatkan bagi hasil. ”Kita sedang terus mengurus kenapa bagi hasil migas Blok Cepu kok belum didapat oleh Pemda,” katanya dalam pesan singkatnya kepada Republika .

Namun, Priyono membantah jika MCL tidak mampu memproduksi minyak sesuai target. Menurutnya, MCL sudah mampu memenuhinya. ”MCL sebetulnya mampu memproduksi sesuai target, tapi offtaker -nya (hilir) yang tidak bisa menyerap produksi MCL,” kilahnya.

Karena itu, Priyono kini sedang berkoordinasi dengan Ditjen Migas Kementerian ESDM untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dia tak bisa menuntaskannya seorang diri. ”Karena, Ditjen Migas yang mengurus hulu dan hilir,” jelasnya.

Anggota Komisi VII DPR RI, Satya W Yudha, menilai permasalahan di Blok Cepu ini harus dilihat secara komprehensif. ”Mulai dari hulu yaitu bagaimana Exxon menaikkan target produksinya dan hilir yaitu bagaimana kesiapan kilang sesuai kapasitas yang dijanjikan,” ujarnya.

Pada rapat dengar rendapat beberapa hari lalu, Satya mengatakan, BP Migas melaporkan permasalahannya terjadi karena PT TWU belum mampu menyerap minyak produksi MCL sesuai kapasitas yang dijanjikan. Sehingga, MCL tidak bisa menaikkan produksinya.

Adapun bagi hasil yang belum dirasakan oleh daerah ini bisa diusulkan agar diberikan pola pinjam hasil yaitu kontraktor(Pertamina, Exxon) memberikan hasil keuntungan profit split setelah dikurangi utang-utang, pajak, capital cost yang biasanya baru dinikmati setelah tahun ke tujuh untuk diberikan di depan dengan pola pinjam sehingga pihak daerah bia menikmati di awal-awal produksi.

Pemerintah Pilih DMO, Bukan Pengenaan Pajak Ekspor

Kompas, 6 Februari 2010

Jakarta, Kompas – Pemerintah menilai, pajak yang tinggi bagi ekspor batu bara bukan pilihan. Pemerintah lebih memilih mengoptimalkan kewajiban kontraktor memasok dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Batu bara yang wajib dipasarkan di dalam negeri (domestic market obligation/DMO) sebesar 30 persen dari total produksi nasional.

Apakah kita harus menerapkan pajak ekspor batu bara Itu belum jadi keputusan saat ini. Yang penting kebijakan DMO. Jika nanti DMO tidak terpenuhi, baru kami pikirkan mekanisme lain, kata Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa di Jakarta, Jumat (5/2).

Hatta berpendapat, jika semua kontraktor mematuhi ketentuan DMO, tak perlu ada kekhawatiran bahwa pasokan batu bara untuk dalam negeri kurang. Namun, lanjut Hatta, seandainya DMO tidak dilaksanakan maksimal, pemerintah bisa menggunakan jatah dari bagi hasil batu bara sebesar 13 persen dari total produksi.

Jatah ini biasanya dikelola kontraktor batu bara dan disetorkan kepada pemerintah dalam bentuk dana tunai. Jika diperlukan, pemerintah bisa menggunakan jatah itu tanpa harus dikonversi ke uang, tetapi diberikan dalam bentuk batu bara, ujar Hatta. Tahun 2009 pemerintah menargetkan produksi batu bara nasional sebesar 250 juta ton. Dengan demikian, apabila DMO sebesar 30 persen, sekitar 75 juta ton batu bara per tahun yang wajib dipasarkan di dalam negeri, selebihnya bisa diekspor. Sementara bagian pemerintah pusat 13 persen dari produksi, yakni 32,5 juta ton per tahun. Bagian pemerintah ini yang, menurut Hatta, bisa untuk tambahan pasokan dalam negeri.

Pendekatan bisnis Sebelumnya, Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek meminta pemerintah pusat dan Badan Anggaran DPR mempertimbangkan pengenaan pungutan yang tinggi atas setiap batu bara yang diekspor. Awang menjelaskan, dari 95 persen batu bara dari Kaltim yang diekspor, hanya 5 persen untuk dalam negeri. Adapun yang kembali ke Kaltim hanya 1 persen. Akibatnya, Kaltim menderita kelangkaan pasokan listrik karena pembangkit listrik yang ada kekurangan bahan bakar batu bara.

Direktur Eksekutif Institute Reforminer (Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi) Priagung Rahmanto sepakat bahwa kebijakan yang paling tepat diterapkan adalah DMO yang menggunakan pendekatan bisnis. Artinya, pemerintah membeli batu bara DMO dengan harga pasar sehingga tidak memberatkan produsen. Pengenaan pajak ekspor yang terlalu tinggi akan menimbulkan disinsentif bagi produsen untuk berproduksi. Pajak ekspor menjadi makin tidak tepat jika pasar domestik tengah memasuki kondisi penurunan, lanjutnya. (OIN)

Target Produksi Naik; Manajemen Perminyakan Nasional Dinilai Gagal

Kompas, 5 Februari 2010

Target produksi minyak mentah siap jual atau lifting tahun 2014 sebanyak 1,01 juta barrel per hari. Ini lebih tinggi daripada realisasi lifting 2009 yang hanya 960.000 barrel per hari. Penetapan target itu tanpa memasukkan sumber minyak baru. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana mengungkapkan hal itu di Jakarta, Kamis (4/2), dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR.

Menanggapi target lifting tersebut, pada kesempatan terpisah, pengamat pertambangan Kurtubi menyatakan, hal itu mencerminkan kegagalan manajemen perminyakan nasional dan pesimisme yang merugikan negara. Peluang berproduksi di atas 1,4 juta barrel per hari sebenarnya masih terbuka lebar.

Menurut Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Bappenas Umiyatun Hayati Triastuti, target lifting 2014 ditetapkan berdasarkan data yang dihimpun dari setiap kontraktor. Ini memang belum memperhitungkan eksplorasi atau eksploitasi baru. Sebab, eksplorasi baru butuh waktu cukup lama, ujarnya.

Untuk meningkatkan produksi minyak, kata Direktur Utama PT Pertamina Karen Agustiawan, Pertamina akan menambah cadangan baru minyak dan gas bumi selain mengoptimalkan pemanfaatan blok migas yang dikelola sendiri oleh Pertamina maupun bersama mitra usaha. Kurtubi menegaskan, jika manajemen perminyakan nasional dibenahi dengan mengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, target 1,4 juta barrel per hari bisa tercapai sekarang. Dia menjelaskan, dalam 10 tahun terakhir, industri perminyakan nasional terpuruk karena salah kelola.

UU Migas menyebabkan investasi eksplorasi anjlok karena prosedur berbelit-belit akibat kehadiran BP Migas dan ada Pasal 31 yang mewajibkan kontraktor membayar pajak meski belum berproduksi, katanya. Tahun 2005, lanjut Kurtubi, produksi minyak 1,5 juta barrel per hari. Saat ini produksinya hanya 960.000 barrel per hari sehingga Indonesia harus keluar dari Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC).

Direktur Eksekutif Institute Reforminer (Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi) Priagung Rahmanto berpendapat, target 1,01 juta barrel per hari pada 2014 adalah target konservatif. Ini mencerminkan, andalan utama pemerintah adalah produksi Blok Cepu yang jika sesuai dengan jadwal mencapai puncak produksi pada 2014 sebesar 165.000 barrel per hari.

Sepertinya tidak ada upaya terobosan mempercepat produksi atau untuk menemukan cadangan baru. Jika Blok Cepu diserahkan ke Pertamina, saya kira target 1,01 juta barrel bisa dicapai sebelum 2014. Pertamina bisa mempercepat puncak produksi Blok Cepu pada 2012, ujarnya.

Karen meminta DPR dan para pemangku kepentingan mendukung usulan Pertamina menjadi operator di Blok Cepu. Selain itu juga memfasilitasi perundingan normalisasi perjanjian kerja sama operasi Pertamina dengan Mobil Cepu Limited, anak usaha ExxonMobil Indonesia, agar Pertamina tidak menjadi tamu di rumah sendiri. (OIN/EVY)

BPH Migas Mengontrol Pembelian BBM

Kompas, Sabtu, 23 Januari 2010

Tanjung Pinang, Kompas – Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi menerapkan sistem pengendalian atau pemantauan pembelian bahan bakar minyak jenis tertentu untuk transportasi darat pada stasiun pengisian bahan bakar. Uji coba sistem pengendalian itu dilakukan di Kota Tanjung Pinang, Kabupaten Bintan, dan Kota Batam, Kepulauan Riau. Hal itu diungkapkan Kepala BPH Migas Tubagus Haryono saat pencanangan sistem pemantauan jenis BBM tertentu untuk transportasi darat di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau (Kepri), Jumat (22/1). Hadir pada acara itu Gubernur Kepri Ismeth Abdullah dan Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Waryono Karno.

Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi Pri Agung Rakhmanto, sistem yang diterapkan itu tidak menyelesaikan masalah secara komprehensif. Hanya solusi jangka pendek dan sulit diterapkan secara nasional. Terkesan proyek yang dipaksakan untuk jalan di daerah. Akar masalah BBM itu kemiskinan, pemerintah semestinya menyiapkan program subsidi langsung ke masyarakat, ujar Pri Agung.

Tubagus mengatakan, dengan sistem itu, pembelian BBM bersubsidi, khususnya premium dan solar, di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) bisa dipantau. Jadi, kebutuhan riil BBM di masyarakat dapat diketahui. Penerapan sistem ini dilakukan dengan menggunakan sejenis kartu prabayar yang dilengkapi data kendaraan untuk membeli BBM. Menurut Waryono, penerapan sistem pengendalian pembelian BBM ini bagian dari upaya BPH Migas untuk mengawasi pendistribusian BBM bersubsidi agar tepat sasaran. Sistem pengendalian menggunakan kartu ini hanya diterapkan untuk transportasi darat. Jika uji coba di Tanjung Pinang dan Bintan berhasil, akan diterapkan ke provinsi lain, seperti Bangka Belitung. Sistem ini belum diterapkan di kota besar seperti Jakarta.

Pri Agung menilai, sistem ini hanya cocok untuk daerah tertutup dan tidak memiliki mobilitas tinggi. Jika dilakukan di wilayah Pulau Jawa dengan tingkat mobilitas penduduk tinggi, dituntut kesiapan infrastruktur di SPBU. (FER/EVY)