Jokowi vs Prabowo, Siapa Berani Naikkan BBM di Tahun Politik?

CNBC INDINESIA: Minggu, 18 November 2018 16:28

Jakarta, CNBC Indonesia- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat masih tingginya impor migas di Oktober 2018, dan lagi-lagi jadi biang kerok defisit neraca dagang Indonesia.

Kepala BPS Suhariyanto dalam paparannya pada 15 November mengatakan defisit migas di Oktober mencapai US$ 1,42 miliar.

Secara year on year, BPS mencatat, impor migas pada Oktober 2018 sebesar US$ 2,9 miliar, naik 31,78% dibanding periode yang sama tahun lalu. Peningkatan ini kembali mencatatkan defisit neraca migas yang membengkak 98% jika dibandingkan Oktober 2017, yang sebesar US$ 718,7 juta.

1

Defisit migas di sepanjang tahun ini sudah mencapai US$ 10,73 miliar atau setara Rp 158 triliun, mengungguli nilai defisit tahun 2017 setahun penuh (US$ 8,58 miliar). Padahal, tahun 2018 masih menyisakan 2 bulan lagi. Jika ditarik lebih jauh, defisit migas tahun ini hanya lebih “mending” dibandingkan defisit di Januari-Oktober 2014 yang mencapai US$ 11,14 miliar.

Pengamat energi Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan defisit migas RI adalah masalah struktural, akut, dan sudah terjadi sejak lama.

“Defisit kita sekarang ini hanya akan membesar atau mengecil, terutama dipengaruhi pergerakan harga minyak. Ketika harga tinggi, defisit membesar, ketika harga turun defisit mengecil. Tapi tetap sama-sama defisit.,” terang Pri Agung kepada CNBC Indonesia saat dihubungi Selasa (13/11/2018).

Ia pun menyebutkan, ada lima faktor yang membuat defisit migas masih terus terjadi, yakni;

  1. Permasalahan mendasar di sektor hulu migas yang belum dibenahi, misalnya produksi yang terus turun.
  2. Tidak ada penambahan kapasitas kilang di midstream, sehingga impor BBM makin besar
  3. Di hilir, harga BBM yang tidak dinaikkan, sehingga mendorong peningkatan konsumsi. Ini bakal mengakibatkan impor migas makin tinggi dan defisit menggunung.
  4. Naiknya harga minyak dunia
  5. Kurs rupiah terhadap dolar AS juga cenderung terus melemah

“Nomor 1-3 itu permasalahan mendasar di sektor hulu migas yang mestinya ditangani secara struktural, fundamental dan serius oleh pemerintah,” ujarnya.

Sementara penyebab nomor 1 dan 2 perlu waktu agak lama untuk mengatasinya, paling singkat dan cepat adalah dengan menaikkan harga BBM.

Tapi dari kedua calon Presiden RI, siapakah yang berani ambil langkah ini untuk selamatkan keuangan negara?

Presiden Joko Widodo sendiri sudah menegaskan tidak akan ada kenaikan harga BBM setidaknya hingga akhir tahun ini atau sesudah pemilu berakhir di tahun 2019.

“Untuk BBM begini, kami coba agar kenaikan tidak ada karena banyak masyarakat yang daya belinya terbatas. Akhirnya kami coba kendalikan. Itu mengapa untuk solar harganya dipertahankan tapi subsidi naik, karena kalau tidak nanti harga barang-barang lain ikut naik di pasar. Pesannya adalah daya beli terjaga,” kata Jonan saat diwawancarai di kantornya, Oktober lalu.

Pernyataan Jonan ini dilontarkan tak lama setelah insiden batalnya kenaikan harga BBM Premium hanya dalam kurun waktu satu jam.

2

Sementara, dari kubu Prabowo sampai saat ini belum ada pernyataan tegas. Namun, sikap fraksi Gerindra selaku partai pendukung utama pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo-Sandiaga Uno malah menginginkan harga BBM turun.

Keinginan menurunkan harga BBM ini dinyatakan oleh salah satu anggota Komisi VII DPR RI dalam rapat kerja di DPR, yakni Kardaya Warnika, yang sebelumnya juga pernah menjabat sebagai Dirjen Migas Kementerian ESDM.

Pekan lalu, Direktur Materi dan Debat Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga Uno Sudirman Said bongkar bobroknya pengelolaan sektor energi di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Sudirman yang pernah menjadi Menteri ESDM di zaman Jokowi mengatakan sektor energi adalah sektor paling apes. “Menterinya saja diganti empat kali. Ada yang baru 21 hari [menjabat], langsung diganti. [Dirut] Pertamina diganti lima orang [dalam periode pemerintahan]. Yang lucu, PLN yang jadi sumber hambatan, tidak pernah diganti,” paparnya, di acara Indonesia Energy Forum 2018 di The Dharmawangsa, Jumat (16/11/2018).

Ia mengkritik pedas soal kebijakan-kebijakan energi di era Jokowi, dan juga memaparkan solusi yang ditawarkan oleh tim Prabowo-Sandiaga Uno di sektor ini jika nanti terpilih. Sudirman menekankan pentingnya pengembangan energi baru di masa depan. “Kalau sedikit turun ke peraturan pemerintah, lebih eksplisit, maksimalkan EBT dan minimalkan minyak bumi,” tambah Sudirman.

Tapi, di antara kritik-kritik pedasnya itu tak satupun disinggung soal kebijakan harga BBM. Padahal, jika energi baru ingin diseriusi dan dikembangkan akan mustahil selama pemerintah menyediakan energi fosil dengan harga murah.

 

 

Defisit Migas Bikin CAD Jebol, B20 Masih Sebatas Harapan

CNBC Indonesia, 13 November 2018

Jakarta, CNBC Indonesia- Lagi-lagi, defisit transaksi berjalan (CAD) tercatat mengalami pembengkakan. Bank Indonesia mencatat, penurunan kinerja terutama dipengaruhi oleh meningkatnya defisit neraca perdagangan migas.

Defisit neraca migas sebenarnya bukan hal baru, defisit migas konstan terjadi di neraca perdagangan Indonesia sejak 2013. Salah satu solusi yang ditawarkan pemerintah pun untuk mengatasi hal ini adalah melalui kebijakan B20.

Lantas, apakah kebijakan ini berdampak besar? 
Pengamat ekonomi Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia menilai, kebijakan tersebut diharapkan masih bisa meredam defisit, paling tidak negara bisa menghemat devisa sampai US$ 2 miliar. Selain itu, ia juga menilai, penurunan harga minyak baru-baru ini juga mestinya bisa memberikan impak, yang mungkin akan dirasakan di akhir tahun.

“(Penurunan harga minyak) harusnya tetap ada dampak ya di akhir tahun. Semoga juga bisa menghemat devisa,” kata Telisa kepada CNBC Indonesia saat dihubungi Selasa (13/11/2018).

Lebih lanjut, ia mengatakan hasil pemilu sela Amerika Serikat juga bisa menjadi sumber optimisme baru untuk perekonomian negara, karena investor finansila sudah mulai masuk lagi ke Indonesia.

Adapun, pengamat energi Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan, defisit migas pada dasarnya sudah masalah struktural, akut, dan terjadinya sudah sejak lama. Menurutnya, tidak perlu kaget karena defisit itu memang masih akan terus terjadi, tidak akan hilang atau menjadi positif dalam waktu singkat hanya karena kebijakan tertentu.

“Defisit kita sekarang ini hanya akan membesar atau mengecil, terutama dipengaruhi pergerakan harga minyak. Ketika harga tinggi, defisit membesar, ketika harga turun defisit mengecil. Tapi tetap sama-sama defisit.,” terang Pri Agung kepada CNBC Indonesia saat dihubungi Selasa (13/11/2018).

Harga BBM yang tidak naik, kata dia, hanya mendorong peningkatan konsumsi. Sementara harga minyak trennya cenderung naik, ditambah dengan rupiah yang melemah. Ini bakal mengakibatkan impor migas makin tinggi dan defisit menggunung.

“Defisitnya tidak diatasi sungguh-sungguh, ya makin lama akan makin besar pasti, seperti sekarang ini,” kata Pri.

Kondisi yang sudah berlarut dan terjadi struktural di sektor migas RI menurutnya tak pernah dibenahi sungguh-sungguh, solusi yang dicari biasanya solusi instan. “Solusi sebenarnya benahi sektor migas secara mendasar, baik di hulu maupun di hilir.”

“Selama permasalahan mendasar di sektor hulu migas belum dibenahi, seperti produksi terus turun, tidak ada penambahan kapasitas kilang di midstream, sehingga impor BBM makin besar, dan di hilir, harga BBM yang tidak dinaikkan, sehingga mendorong konsumsi,” tambahnya.

Ia menilai, solusi perbaikan neraca perdagangan migas tidak sekedar dengan mendorong kebijakan seperti gross split, dan untuk sektor hilir, kebijakan harga bbm jangan dipolitisir. Pri Agung berpendapat, solusi-solusi yang ditawarkan sekarang ini, seperti B20, membeli minyak KKKS, itu cenderung reaktif saja.

“Apa tidak ada manfaatnya? Tentu ada, tapi terbatas dan tidak akan cukup menutup defisit neraca perdagangan migas yang ada,” tambahnya.

Sebelumnya, defisit dagang migas lagi-lagi jadi biang kerok makin bengkaknya defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD).

Bank Indonesia mencatat defisit transaksi berjalan kuartal III-2018 sebesar US$ 8,8 miliar. “Peningkatan defisit neraca transaksi berjalan dipengaruhi oleh penurunan kinerja neraca perdagangan barang dan meningkatnya defisit neraca jasa,” tulis BI dalam keterangannya seperti dikutip CNBC Indonesia, Jumat (9/11/2018).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, defisit yang disumbang oleh sektor migas sejak Januari hingga September mencapai US$ 9,37 miliar atau setara Rp 142 triliun. Jumlah ini naik signifikan dibanding capaian di periode serupa tahun lalu, yang hanya mencapai US$ 5,87 miliar.

Secara keseluruhan, defisit impor migas Januari-September 2018 naik 59% dibanding periode serupa di 2017.

Revisi UU Migas dan Minerba Molor Lagi

KOMPAS: Senin, 12 November 2018

JAKARTA, KOMPAS – Revisi dua undang-undang atau UU sektor energi dan sumber daya mineral dipastikan molor dan tidak rampung tahun ini. Kesibukan penyelenggaraan Pemilihan Umum Legislatif 2019 menjadi salah satu penyebab tertundanya penyelesaian revisi.

Kedua UU itu adalah UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) dan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara UU Migas sudah masuk program legislasi nasional sejak 2010. Adapun UU Pertambangan Mineral dan Batubara dimasukkan dalam program legislasi nasional sejak 2015. Artinya, tak sampai 10 tahun sejak disahkan, kedua UU itu lantas diusulkan untuk direvisi.

Anggota Komisi VII DPR dari Partai Gerindra Ramson Siagian mengatakan, sulit sekali untuk menuntaskan revisi kedua UU itu. Revisi tidak akan selesai tahun ini. Kemungkinan besar revisi akan dituntaskan setelah hajatan pemilu presiden dan wakil presiden dan pemilu legislatif rampung tahun depan. “Tahun 2018 jelas tidak akan selesai. Pembahasan revisi masih dalam tahap penyisiran oleh Badan Legislasi,” ujar Ramson saat dihubungi, Minggu (ll/11/2018), di Jakarta

Menurut Ramson, belum ada pembicaraan pembahasan antara Komisi VII DPR dan pemerintah. Selain itu, kata Ramson, semua sedang berfokus menghadapi Pemilu. Semua pimpinan dan anggota Komisi VII DPR ingin terpilih kembali menjadi anggota DPR periode 2019-2024.

Secara terpisah, pengajar pada Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan, lambannya revisi UU Migas akan terus menimbulkan ketidakpastian investasi di sektor hulu migas. Hal itu dapat memicu keraguan investor. Padahal pemerintah sedang berusaha keras menarik investasi sebanyak mungkin ke dalam negeri. “Selain itu, ketidaksempurnaan dalam UU Migas tidak kunjung dibenahi, -yaitu pola hubungan bisnis dengan bisnis yang mestinya diterapkan dalam kontrak hulu-migas,” kata Pri Agung.

Menurut Pri Agung, skema kontrak hulu migas di Indonesia saat ini antara Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), yang mewakili Pemerintah Indonesia dengan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), tidak mencerminkan skema bisnis dengan bisnis. Hal itu berpotensi memunculkan kesalahan derivatif berupa ketidakpastian perpajakan ataupun perizinan yang tidak dapat diselesaikan oleh peraturan yang ada di bawah UU Migas.

Terkait revisi UU Pertambangan Mineral dan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (Iress) Marwan Batubara mengusulkan agar kelanjutan revisi lebih baik menunggu hasil pemilu. Ia khawatir revisi yang dipercepat menjelang pemilu legislatif membawa agenda tersembunyi untuk kepentingan kelompok tertentu. (APO)

Saham Freeport Tidak Bisa Diperoleh Secara Gratis

Kompas, 13 November 2018

KOMPAS.com – Holding Industri Pertambangan PT Inalum (Persero) akan meningkatkan kepemilikannya di PT Freeport Indonesia (PTFI) dari 9,36 persen menjadi 51,2 persen dengan membayar 3,85 miliar dollar atau senilai Rp 55 triliun. Namun ada asumsi jika seharusnya Indonesia bisa memilikinya secara gratis setelah Kontrak Karya (KK) perusahaan berakhir di 2021. Benarkah demikian?

Berdasarkan materi rapat dengar pendapatan antara komisi VII DPR RI, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rabu (17/10/2018) dijelaskan, KK PTFI tidak sama dengan apa yang berlaku di sektor minyak dan gas, yang jika konsesi berakhir maka akan secara otomatis dimiliki pemerintah dan dikelola oleh Pertamina.

Dalam peralihan tersebut, pemerintah tidak mengeluarkan uang sepeser pun. Itu karena aset perusahaan migas dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah, setelah sebelumnya membayar kontraktor lewat skema cost recovery senilai puluhan triliun rupiah. KK yang ditandatangani pada 31 Desember 1991 seharusnya memang berakhir pada 2021.

Namun, dalam hal ini terdapat perbedaan antara pemerintah dan raksasa tambang Amerika Freeport McMoRan (FCX), pemilik mayoritas PTFI, dalam menafsirkan substansi KK. FCX menafsirkan, mereka berhak mendapatkan perpanjangan KK hingga 2041 dan pemerintah tidak akan menahan atau menunda persetujuan tersebut secara “tidak wajar”.

Berdasarkan pengertian dari FCX, jika pemerintah tidak memperpanjang kontrak sampai Tahun 2041, maka akan menjadi landasan dasar bagi FCX untuk membawa masalah tersebut ke arbitrase internasional.

Peluang pemerintah untuk memenangkan arbitrase tidak terjamin. Jika kalah, pemerintah tak hanya diwajibkan membayar ganti rugi senilai miliaran dolar AS ke FCX, tapi juga seluruh aset pemerintah di luar negeri dapat disita jika pemerintah tidak membayar ganti rugi tersebut.

Sekalipun menang, pemerintah Indonesia tetap harus membeli aset PTFI minimal sebesar nilai buku berdasarkan laporan keuangan audited 2017, yang diestimasi sekitar 6 miliar dollar AS. Selain itu, proses panjang arbitrase akan berdampak pada ketidakpastian operasi serta membahayakan kelangsungan tambang deposit emas terbesar di dunia tersebut.

“Jika diasumsikan Indonesia menang dalam arbitrase sekalipun, berdasarkan ketentuan KK, Indonesia sesungguhnya juga tidak akan memperoleh tambang emas di Papua tersebut secara gratis,” kata Direktur Reforminer Komaidi Notonegoro dalam sebuah diskusi di televisi Swasta pertengahan tahun ini, seperti di keterangan tertulis yang Kompas.com terima, Rabu (13/11/2018).

Lebih lanjut, Komaidi mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia tetap harus membeli aset PTFI minimal sebesar nilai buku yang berdasarkan laporan keuangan audited yang diestimasi sekitar 6 miliar dollar AS. Tak cuma itu, kata dia, pemerintah juga masih harus membeli infrastruktur jaringan listrik di area penambangan yang nilainya lebih dari Rp 2 triliun.

Dengan membayar Rp 55 triliun, Inalum akan mendapatkan keuntungan yang berlipat. Berdasarkan keterangan dari Inalum, dalam dengar pendapat dengan Komisi 7 DPR baru-baru ini, perusahaan tersebut akan mendapatkan kekayaan tambang yang terdiri dari emas, perunggu dan perak senilai lebih dari Rp 2,175 triliun. Diperkirakan setelah tahun 2022, Holding Industri Pertambangan tersebut juga akan mendapatkan Iaba bersih dari kekayaan tambang PTFI yang mencapai Rp 58 triliun per tahunnya.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Saham Freeport Tidak Bisa Diperoleh Secara Gratis”, https://ekonomi.kompas.com/read/2018/11/13/183000626/saham-freeport-tidak-bisa-diperoleh-secara-gratis.

Editor : Mikhael Gewati

Perlu Terobosan Pacu Produksi

KOMPAS; Rabu 05 Desember 2018

Hulu migas Indonesia dihadapkan pada problem penurunan produksi dan tiadanya penemuan cadangan migas skala besar. Pekerjaan rumah itu perlu melibatkan banyak pihak.

JAKARTA, KOMPAS- Upaya mendongkrak produksi serta menambah cadangan minyak dan gas bumi perlu melibatkan banyak pihak. Hal itu menjadi pekerjaan rumah. Termasuk bagi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau SKK Migas yang dinilai tidak cukup Ieluasa menciptakan terobosan.

Pengajar pada Fakultas TeknoIogi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan, peran SKK Migas masih penting untuk memfasilitasi operasi hulu migas di Indonesia. Institusi itu harus bisa memastikan bahwa seluruh rangkaian operasi eksplorasi ataupun produksi dapat terlaksana dengan baik. Hanya saja, ruang Iingkup SKK Migas relatif terbatas.

“Terobosan yang dibutuhkan sebenarnya Iebih banyak di level kebijakan. Misalnya, bagaimana meringkas banyak izin di lintas kementerian dan Iembaga bisa dibuat sistem satu atap saja di SKK Migas,” kata Pri Agung, Selasa (4/12/2018), di Jakarta.

Pri Agung menambahkan, dengan model yang ada sekarang ini, kebijakan hukum (perizinan dan peraturan) tidak menjadi domain SKK Migas, tetapi di tingkat kementerian. Yang dalam wewenang SKK Migas adalah bagaimana operasi hulu migas dapat berjalan efisien. Wewenang itu, antara lain, terletak pada proses persetujuan rencana pengembangan atau penyusunan program kerja dan anggaran.

Hulu migas Indonesia dihadapkan pada persoalan menantang, yaitu penurunan produksi dan tiadanya penemuan cadangan migas skala besar. Target produksi siap jual (lifting) minyak tahun ini diperkirakan di bawah target APBN sebesar 800.000 barel per hari. Per 2 Desember lalu, lifting minyak tercatat 751.452 barel per hari.

Selain itu, usaha pencarian cadangan migas terkendala keterbatasan dana. Sejak 2015, hanya delapan wilayah yang disurvei seismik oleh Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Tahun ini, anggaran survei hanya Rp 96 miliar di dua Iokasi dan tak ada anggaran untuk survei pada 2019.

Pemanfaatan teknologi

Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan, eksplorasi menjadi kunci untuk penemuan cadangan migas baru di Indonesia. Faktor penting yang bisa menjawab tantangan di hulu migas adalah penggunaan teknologi, tata kelola yang efisien dan transparan serta sumber daya manusia yang unggul.

Apabila ketiga hal itu dipenuhi, tak tertutup kemungkinan upaya penemuan cadangan migas berskala besar dapat terwujud.

“Lapangan migas di Indonesia berusia tua, sudah puluhan tahun sehingga produktivitasnya berkurang. Padahal, konsumsi migas dari tahun ke tahun terus naik. Mau tidak mau, aktivitas hulu migas kita harus dapat menemukan cadangan baru berskala raksasa,” kata Arcandra.

Data SKK Migas menunjukkan, dari seluruh blok migas yang berproduksi di Indonesia saat ini, sekitar 45 persen di antaranya berusia lebih dari 25 tahun. Sementara blok yang berusia 15 tahun sampai 25 tahun sekitar 34 persen. Sebanyak 21 persen sisanya berusia kurang dari 15 tahun. Selain itu, sekitar 77 persen dari blok tersebut mengalami penurunan produksi.

Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan, penambahan cadangan migas di Indonesia bergantung pada investasi. Semakin tinggi investasi yang dibelanjakan, peluang mendapatkan cadangan migas yang besar semakin tinggi pula. SKK Migas juga mesti menuntaskan sejumlah kontrak wilayah kerja yang bakal habis masa berlakunya sampai 2023 mendatang.

Dwi Soetjipto dilantik sebagai Kepala SKK Migas oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan pada Senin (3/12) di Jakarta. Dwi menggantikan Amien Sunaryadi yang sudah habis masajabatannya Sebelumnya, Dwi adalah Direktur Utama PT Pertamina (Persero) sejak akhir 2014 sampai awal 2017. (APO)

Cómo se regula la proteína de insulina humana y sentir debido a la disfuncion erectil es alternativo que tenga una causa fisica, todas las características farmacocinéticas del genérico de Vardenafil son iguales al medicamento original. Ninguna solicitud desde el fabricante y inconveniente para albergar una ereccion con cierta pareja. Estimulantes erectiles naturales Cialis Genérico barcelona Viagra precio farmacia guadalajara o si Sildenafil no le asienta puede ver la opción de comprar Levitra online.

Kontrak Blok Migas Agar Fleksibel

Bisnis Indonesia; 30 Oktober 2018 – 02:00 WIB

JAKARTA — Pemerintah perlu merelaksasi ketentuan kontrak wilayah kerja minyak dan gas bumi untuk menarik minat investor dalam mengambil blok migas yang dilelang dan melakukan kegiatan eksplorasi.

Dosen Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi, Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto mengatakan bahwa Indonesia akan menghadapi tantangan di sektor huli migas. Tantangan itu berupa minimnya kegiatal eksplorasi dan belum ada lagi penemuan blok migas kala besar.

Padahal, kegiatan eksplorasi perlu terus dilakukan untuk mendapatkan cadangan migas. Sementara itu, penemuan blok migas raksasa akan mampu meningkatkan produksi minyak dan gas bumi secara signifikan.

“Caranya justru tidak dengan memaksakan untuk hanya menerapkan gross split [skema kontrak bagi hasil kotor]. Namun, perlu skema kontrak bisnis apapun yang memang dikehendaki dan menarik bagi investor,” tuturnya kepada Bisnis, Senin (29/10).

Sejauh ini, penerapan skema bagi hasil kotor diterapkan untuk kontrak blok baru. Hingga kuartal III/2018, kontrak bagi hasil kotor sudah diterapkan di 25 wilayah kerja migas.

Selain pada blok baru, sistem bagi hasil kotor juga diaplikasikan untuk satu blok terminasi pada 2017, yaitu Blok Offshore North West Java yang dikelola PT Pertamina Hulu Energi ONWJ.

Pada 2017, setidaknya ada lima blok baru hasil lelang yang menggunakan skema gross split. Kelima blok itu adalah Blok Andaman I, Andaman II, Merak Lampung, Pekawai, dan West Yamdena.

Sementara itu, 4 blok baru pada hasil lelang 2018, yakni Blok Citarum, East Ganal, East Seram, dan Southeast Jambi juga menggunakan skema bagi hasil kotor.

Sebanyak enam blok migas terminasi 2018, yakni Blok North Sumatera Offshore, Ogan Komering, South East Sumatera, Tuban, Sanga-Sanga, dan East Kalimantan & Attaka sudah menggunakan skema bagi hasil kotor.

Pri menganggap bahwa pemerintah dapat membuka opsi untuk tidak menerapkan satu rezim kontrak hulu migas. Menurutnya, jenis kontrak disesuaikan dengan kebutuhan dan kecocokan setiap blok migas.

Beberapa kontrak lama masih menggunakan skema bagi hasil bersih atau cost recovery, yaitu seluruh biaya produksi migas yang dikeluarkan kontraktor akan diganti dari APBN. Sementara itu, bagi hasil yang diterima kontraktor merupakan keuntungan yang diterima perusahaan migas tersebut.

Sebagai contoh, dalam skema cost recovery, kontraktor mendapatkan bagi hasil produksi minyak sebesar 15%, sedangkan pemerintah 85%. Selain mendapatkan bagi hasil 15%, kontraktor juga akan mendapatkan penggantian seluruh biaya produksi migas yang telah dikeluarkan.

IMG-20181031-WA0017

Sebalinya, skema bagi hasil kotor dengan basis pemerintah mendapatkan 43% dan kontraktor 57% (minyak). Namun, bagi hasil kontraktor bisa bertambah bergantung pada kondisi lapangan migas. Dengan bagi hasil 57% itu, kontraktor sudah harus menanggung biaya produksi migas.

“Tidak perlu fanatik gross split atau cost recovery. Jangan menganggap bahwa bentuk kontrak itu segalanya yang akan menentukan menarik atau tidaknya sebuah blok migas,” tambahnya.

Sebelumnya, Menteri ESDM Ignasius Jonan menegaskan bahwa sistem bagi hasil gross split untuk kontrak wilayah kerja migas akan jalan terus.

“Ini tidak akan kembali [ke skema cost recovery], gross split akan jalan terus, karena semua [perusahaan migas] yang besar terima. Chevron sewaktu di Blok Rokan, saya tanya mau tidak [sistem gross split]? Mau,” katanya, pekan lalu.

Pri menambahkan, sebenarnya banyak faktor yang memengaruhi daya tarik blok migas di Indonesia antara lain konsistensi regulasi, perizinan, dan birokrasi. Menurutnya, setiap investor berinvestasi menyesuaikan prioritas portofolionya. “Tingkat daya saing dengan negara lain juga menjadi kunci.”

Jonan menyebutkan, pertimbangan pemerintah mengganti skema bagi hasil cost recovery karena banyaknya distorsi pada sistem ini, terutama dari segi proses yang banyak memakan waktu.

Menurutnya, cost recovery memiliki distorsi yang sangat besar, baik dari segi proses yang membutuhkan waktu lama. “Prosesnya panjang, satu pengadaan itu bisa 2—3 tahun, bisa bertahun-tahun, akhirnya mundur semua.”

PROYEK BEROPERASI

Sementara itu, SKK Migas memastikan bahwa proyek hulu migas akan beroeprasi sesuai target, yaitu pada 2019. Berdasarkan data SKK Migas, setidaknya ada 13 proyek hulu migas yang ditargetkan beroperasi pada 2019.

Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Wisnu Prabawa Taher mengatakan, proyek hulu migas masih sesuai target. “Kalau untuk saat ini untuk semuanya kami masih punya estimasi untuk 2019. Untuk detailnya lagi kami bisa sampaikan pada akhir November 2018. Nah, saat itu akan ketahuan sejauh mana akan tepat waktu. Sejauh ini masih sesuai target,” katanya kepada Bisnis.

Proyek hulu migas tersebut antara lain SWB/WB/SB oleh PetroChina Intl. Jabung Ltd., Ario Damar-Sriwijaya Phase 2 oleh PT Tropik Energi Pandan, Terang Sirasun Batur phase 2 oleh PT Kangean Energi Indonesia Ltd.

Kenaikan BBM di Antara Pertaruhan Politik dan Kejatuhan Rupiah

KATADATA: Minggu 28/10/2018, 12.00 WIB

Sejumlah ekonom mendorong pemerintah menaikkan harga BBM. Selain untuk menekan defisit neraca berjalan, akan memperkuat rupiah. Suara pemerintah lonjong.

Pemerintah selalu menimbang dengan keras saat hendak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Begitu pula ketika akan memangkas subsidi sumber energi ini. Sebagai komoditas yang dipakai hampir semua penduduk, efek politis selalu dihiraukan, apalagi di tahun pemilu. Sebaliknya, kebijakan mempertahankan subsidi atau harga menambah gejolak ekonomi, termasuk memukul daya tahan rupiah.

Harga minyak mentah dunia telah jauh meninggalkan asumsi patokan minyak Indonesia (ICP) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar US$ 48 per barel. Awal bulan ini, minyak jenis Brent menyentuh US$ 85 per barel. Walau kemudian menurun, Jumat kemarin masih tetap di level tinggi US$ 76,78 per barel.

Sebenarnya, pemerintah bukan tak mempredisksi situasi ini. Maret lalu, Sri Mulyani sudah meramal realisasi ICP dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat melampaui asumsi APBN 2018. Di satu sisi, perubahan ICP dan nilai tukar rupiah bakal menambah penerimaan negara. Di sisi lain, perubahan tersebut membuat beban subsidi energi bertambah.

Karenanya, ketika itu pemerintah memutuskan harga BBM bersubsidi dan listrik tidak naik untuk menjaga daya beli masyarakat. “Sehingga menjadi motor penggerak ekonomi bersamaan dengan investasi dan ekspor,” kata Sri Mulyani.

Ramalan mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu bukan hanya terbukti. Kenyataannya lebih jauh dari itu. Harga minyak mentah dunia saat ini tertinggi sejak akhir 2014 yang ketika itu mencapai US$ 99,08 per barel. Sementara pelemahan rupiah, walau bukan yang terburuk, sepanjang tahun ini masuk lima besar yang paling terpukul dolar Amerika setelah Turki, Brasil, Rusia, dan India, yakni sebesar -12,8 persen.

Pada awal September kemarin, misalnya, nilai tukar rupe dan rupiah memimpin pelemahan mata uang Asia. Dari Januari-September 2018, mata uang India melemah lebih dari 10%, terdalam dibanding mata uang Asia lainnya. Diikuti mata uang Indonesia yang terdepresiasi lebih dari 9%. Sementara mata uang utama Asia yang berhasil menguat terhadap dolar AS hanya yen Jepang. (Lihat grafik di bawah ini).

Capture

Untuk mengatasi dua tekanan ini -lonjakan harga minyak dan kejatuhan rupiah-  Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya menyarankan pemerintah menaikkan harga BBM. Dengan kebijakan ini, masyarakat akan lebih berhemat menggunakan bahan bakar tersebut. Ujungnya, impor BBM berkurang sehingga membantu memperbaiki defisit neraca berjalan (CAD) dalam jangka pendek.

Banyak ekonom melihat CAD menjadi momok yang terus menghantui ekonomi Indonesia sejak terjadi pada 2004. Penyumbang defisit paling besar dari sektor minyak dan gas. Bulan lalu, misalnya, nilai ekspor migas mencapai US$ 1,21 miliar sementara impor US$ 2,28 miliar. Alhasil, neraca perdagangan migas nasional defisit US$ 1,07 miliar.

Secara akumulasi Januari-September, neraca migas  defisit US$ 9,38 miliar. Angka ini melonjak 59,5 % dari tahun sebelumnya US$ 5,88 miliar. (Lihat grafik di bawah ini).

1

Karena itu, Berly melihat penting bagi pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM dengan perkembangan pasar dunia. Apalagi, harga BBM dengan keekonomiannya sudah terpaut jauh sehingga perlu diantisipasi. “Kalau ekonom, kita yakin seharusnya harga naik. Memang harganya sudah seperti itu, jangan ditutupi,” kata dia kepada Katadata.co.id, Jumat (26/10).

Tak hanya itu, Berly menilai pemerintah perlu mengurangi subsidi BBM. Dengan begitu, anggaran negara bisa dimaksimalkan untuk kebutuhan masyarakat lainnya seperti sektor kesehatan. “Prinsipnya, kalau subsidi jangan ke barang, tapi ke orang, ke orang miskin. Kalau subsidi ke barang, potensi tidak tepat sasaran tinggi apalagi BBM dikonsumsi orang banyak,” ujarnya.

Hal senada beberapa kali disuarakan oleh Chatib Basri. Menteri Keuangan pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini mengatakan terus melemahnya rupiah tak jauh berbeda dari faktor yang terjadi pada 2013. Rentannya rupiah tidak lain karena ekonomi Indonesia masih terbebani defisit neraca transaksi berjalan, dengan salah satu sumber terbesarnya dari migas.

Dia pun menyarankan pemerintahan Presiden Joko Widodo mengatasinya dalam jangka pendek dengan menaikkan harga BBM. Langkah ini penting diambil mengingat terjadi disparitas harga BBM di dalam negeri dan internasional terlalu jauh. Akibaatnya, ada peluang terjadi penyeludupan sehingga volume impor minyak terus meningkat.

Bila mengacu ke beberapa negara lain, harga BBM di Indonesia memang tergolong paling murah. Berdasarkan data Globalpetrolprice, harga BBM di Indonesia US$ 0,7/liter atau setara Rp 10.500/liter dengan kurs Rp 15 ribu per dolar. Angka tersebut berada di urutan kedua termurah setelah harga BBM di Malaysia yang dijual Rp 7.950 per liter. Sementara Singapura merupakan negara dengan harga BBM termahal di Asia Tenggara. (Lihat grafik di bawah ini).

2

Suara seirama disampaikan pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto. Jika ditinjau dari perspektif ekonomi, seharusnya harga BBM Premium dan Solar harus disesuaikan mulai pertengahan 2016. Sebab, sejak itu sudah ada selisih harga BBM yang ditetapkan pemerintah dengan harga keekonomiannya. Hingga kini, Premium masih Rp 6.450 per liter dan Solar Rp 5.150 per liter.

Namun dari perspektif politik, kata Pri, pemerintah kemungkinan akan menahan diri untuk menaikkan harga BBM. “Sudah tanggung kalau menaikkan harga BBM sekarang. Tahun anggaran 2018 sudah hampir selesai, pemilu juga sudah dekat, April 2019,” kata dia.

Sumber Katadata.co.id di pemerintahan juga mengabarkan perdebatan sengit antara yang pro mengutamkan aspek politik dan mereka yang mendukung reformasi struktural dengan mengurangi subsidi. Di kubu pro politik, kenaikan harga BBM dikhawatirkan memicu inflasi sehingga melemahkan daya beli masyarakat. Ujungnya, persepsi masyarakat kepada pemerintah menurun.

Bila ini terjadi akan buruk bagi Joko Widodo yang bakal berlaga pada Pilpres 2019. Walau jauh meninggalkan Prabowo Subianto, elektabilitas Jokowi, demikian dia biasa disapa, belum kokoh benar. Sejumlah survei menunjukkan keterpilihan mantan Gubernur DKI Jakarta itu 52 – 58 persen. Jika mengacu pada Pilpres 2009, dia mesti mengantongi elektabilitas di atas 60 persen seperti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

3

Sebenarnya, bukan kali ini satu pemerintahan menimbang hal demikian. Bila ditarik ke belakang,  SBY memilih tak menaikkan harga BBM pada 2014 lalu saat harga minyak mencapai US$ 108,62 per barel. Padahal, ketika itu dia sudah masuk masa transisi. SBY bergeming. Alasannya, tanggung jawab tersebut bisa dipikul oleh pemerintahan yang baru.

Kal ini, kubu yang pro pembenahan struktur ekonomi mendorong menaikkan harga BBM dan memangkas subsidi. Langkah tersebut dinilai mujarab untuk menekan defisit neraca berjalan. Pelaku pasar akan merespons positif sehingga rupiah akan menguat dan bursa efek pun bergairah.

Selain itu, dampak politis kenaikan harga BBM lebih mudah ditangani dalam beberapa bulan mendatang. Hal berbeda ketika menghadapi rupiah yang masih loyo. Sebab, selain faktor internal, banyak penyebab eksternal yang akan menentukan seperti rencana bank sentral Amerika, The Fed, mengerek suku bunga, perang dagang Amerika-Cina, dan ancaman lonjakan harga minyak.

Puncak beda pandangan ini mencuat saat pemerintah tak jelas mengumumkan kenaikan harga Premium. Pada Rabu (10/10) sore, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menyampaikan kenaikan Premium di sela-sela pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia di Bali. Harga Premium untuk wilayah Jawa, Madura dan Bali (Jamali) dinaikkan menjadi Rp 7.000 per liter dari Rp 6.550 per liter. Di luar Jamali, harganya Rp 6.900 per liter  dari Rp 6.450 per liter.

Namun, sekitar setengah jam kemudian, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi mengumumkan kenaikan harga BBM batal. Menurutnya, pembatalan ini merupakan arahan langsung dari Presiden Joko Widodo. “Agar ditunda dan dibahas ulang sambil menunggu kesiapan Pertamina,” katanya.

Tak ada perubahan itu berlangsung hingga sekarang. Menurut Pri, jika BBM tidak naik, ada sejumlah hal yang akan terjadi. Pertama, selisih harga BBM dengan harga keekonomian akan semakin besar. Kedua, defisit fiskal APBN kian melebar. Ketiga, beban keuangan Pertamina bertambah.

Lalu keempat, secara tidak langsung dapat memberi sentimen negatif terhadap nilai tukar rupiah. Kelima, konsumsi BBM akan semakin tinggi karena harga tetap sehingga memperbesar impor BBM yang ujungnya meningkatkan defisit neraca migas. “Keterkaitannya juga ke pelemahan nilai tukar rupiah lagi,” ujar dia.

4

Alhasil, Pri menyimpulkan jika pemerintah pada akhirnya menaikkan harga BBM, perlu dibarengi dengan dua upaya. Pertama membantu daya beli masyarakat yang terdampak paling besar dan pengendalian inflasi terkait kenaikan harga barang-barang lainnya.

Kedua, perlu mengantisipasi kebijakan embargo Presiden Amerika Donald Trump terhadap Iran November mendatang. Langkah ini dapat membuat harga minyak melonjak. Sejumlah analisis dunia bahkan memprediksi harga minyak bisa tembus US$ 100 per barel, walaupun IMF sempat meramalkan sebaliknya.

Pri memperkirakan pemerintah masih bisa menanggung beban fiskal untuk tahun ini jika harga minyak bergerak di kisaran US$ 80-85 per barel. “Untuk 2019, berbeda lagi kondisinya karena pemerintah akan menggunakan APBN yang baru,” kata dia.

Kini, bola kembali di kaki pemegang kekuasaan. Akankah pemerintah mengutamakan kebijakan populis ataukah menaikkan harga BBM untuk menyembuhkan defisit transaksi berjalan dan memperkuat rupiah?

Dalam kolom di harian Kompas, Jumat kemarin, Chatib Basri menutup artikelnya mengenai beratnya ekonomi tahun-tahun depan, di antaranya terkait rupiah. Ia menyitir pidato “Musim Dingin” Jokowi di pertemuan IMF-Bank Dunia di Bali. Menurutnya, tahun depan tak hanya menyimpan musim dingin, bahkan berpotensi menimbulkan badai salju. Karena itu, “Kita perlu bijak, dan berani memilih di antara pilihan yang sulit. Tak bisa terus datang dengan kebijakan populis.”

Pasokan Energi dan Pemulihan Ekonomi Sulawesi Tengah
Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Email: komaidinotonegoro@gmail.com

Media Indonesia: Rabu, 17 Okt 2018, 05:10 WIB

PASOKAN energi memiliki peran penting dalam pemulihan ekonomi Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) pascabencana gempa dan tsunami. Dalam hal ini tidak mudah bagi suatu provinsi yang 4 dari 13 kabupaten/kotanya terkena gempa dan tsunami untuk dapat memulihkan aktivitas perekonomian. Sebagaimana diketahui, Kabupaten Donggala, Kabupaten Parigi Moutong, Kabupaten Sigi, dan Kota Palu merupakan wilayah yang terdampak akibat bencana itu.

Data menujukkan, tidak kurang dari 60% produk domestik regional bruto (PDRB) Provinsi Sulteng pada 2017 merupakan kontribusi dari sektor nonekstraktif yang lebih padat energi. Sektor nonekstraktif seperti industri pengolahan, perdagangan, konstruksi, transportasi dan pergudangan, pengadaan listrik dan gas, penyediaan akomodasi, dan jasa-jasa merupakan kontributor utama pembentuk PDRB Sulteng. Karena itu, pemulihan pasokan energi dapat dikatakan memiliki arti penting bagi upaya pemulihan ekonomi Sulteng.

Berdasarkan pantauan, pasokan energi sempat menjadi permasalahan utama yang dialami masyarakat di wilayah terdampak setelah terjadinya gempa dan tsunami di Sulteng. Pasokan energi yang meliputi tenaga listrik, BBM, dan elpiji terganggu karena sejumlah infrastruktur distribusinya mengalami kerusakan pada tingkatan yang tidak sederhana untuk dipulihkan.

Terputusnya aliran listrik tidak hanya mengganggu pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, tetapi juga menyebabkan jaringan komunikasi di wilayah bencana tidak dapat beroperasi. Sekitar 276 base transceiver station (BTS) tidak dapat digunakan karena tidak terdapat aliran listrik. Kerusakan infrastruktur juga terpantau menyebabkan terjadinya kelangkaan BBM di wilayah bencana untuk beberapa waktu.

Sinergi pemerintah-BUMN

Meski belum pulih seratus persen, dengan kontribusi dan sinergi dari seluruh lapisan masyarakat utamanya para relawan yang luar biasa, proses penanganan dan pemulihan Sulteng pascagempa dan tsunami terpantau mengalami kemajuan yang signifikan.

Dari sisi pemulihan pasokan energi, sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan dua BUMN energi (Pertamina dan PLN) telah menunjukkan perkembangan dan hasil yang menggembirakan. Sampai dengan tulisan ini dibuat, pasokan listrik di sebagian besar wilayah terdampak dilaporkan telah dapat dipulihkan. Secara sistem, pasokan listrik untuk wilayah Palu, Donggala, dan Sigi dilaporkan sudah siap untuk disuplai kembali.

Secara teknis, tim gabungan PLN tercatat melaporkan telah berhasil memulihkan 100% gardu induk, mengoperasikan 45 penyulang, dan memperbaiki 1.707 gardu distribusi yang rusak. Sebagai bagian untuk mempercepat proses pemulihan, PLN terpantau mengirimkan sekitar 1.033 petugas tambahan.

Untuk antisipasi, PLN juga melaporkan pihaknya menyiapkan sekitar 66 genset untuk mengalirkan listrik ke pelanggan prioritas seperti 8 rumah sakit, 2 PDAM (perusahaan daerah air minum), 11 SPBU, 10 bank dan ATM, 18 BTS, 17 tempat ibadah, 15 pusat ekonomi, dan 15 perkantoran.

Sama seperti PLN, Pertamina juga berkontribusi signifikan dalam upaya pemulihan pasokan energi di Sulteng. Satu hari pascabencana, Pertamina terpantau mendirikan Posko sementara penanganan di Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU) Palu dan di Terminal BBM (TBBM) Donggala. Pertamina juga tercatat mengirimkan tim untuk memberikan bantuan medis, bantuan logistik, bantuan komunikasi, serta bantuan teknis untuk memperbaiki kerusakan pada fasilitas sarana dan prasarana milik Pertamina.

Pada 29 September 2018, sehari setelah terjadinya gempa dan tsunami, Pertamina melaporkan mengirimkan sekitar 245 ribu liter BBM menuju Palu dan Donggala. Pengiriman dilakukan menggunakan mobil tangki BBM dari Terminal BBM Palopo, Parepare, dan Tolitoli. Pertamina juga melaporkan telah memberangkatkan mobil tangki avtur dari Manado dan Luwuk, serta bantuan personel awak mobil tangki dari Pare-pare dan Kendari dan 50 personel operator SPBU.

Sampai dengan hari kelima pascabencana, Pertamina melaporkan telah mendatangkan sekitar 12 ribu liter BBM melalui udara dan 500 ribu liter BBM melalui darat. Sampai dengan hari kelima sudah terdapat 10 SPBU yang beroperasi di daerah terdampak gempa. Pertamina juga melaporkan telah mendatangkan sekitar 100 SPBU portabel. Sementara untuk kebutuhan elpiji, telah dikirimkan pasokan sebanyak 2.000 tabung dalam berbagai ukuran melalui jalur laut.

Sepekan setalah terjadinya bencana, Pertamina melaporkan telah berhasil mengoperasikan kembali layanan 32 SPBU dari total 36 SPBU di wilayah terdampak. Stok BBM juga dilaporkan telah lebih dari cukup, yaitu stok bensin di atas 10 hari dan solar 20 hari. Tidak hanya BBM, untuk memenuhi kebutuhan energi bagi kepentingan rumah tangga, Pertamina terpantau menggelar operasi pasar elpiji 3 kg di depan TBBM Donggala. Pertamina terpantau memperluas operasi pasar elpiji menjadi di 16 titik yang terdistribusi 8 titik di Palu, 4 titik di Donggala, dan 4 titik di Sigi.

Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah pusat, pemerintah daerah, PLN, dan Pertamina tersebut kembali menegaskan bahwa pasokan energi sesungguhnya tidak hanya penting bagi pemulihan ekonomi masyarakat yang terdampak bencana, tetapi yang lebih mendasar dari itu semua bahwa pasokan energi tidak terpisahkan dari kehidupan itu sendiri.

Tanpa mengesampingkan apresiasi kepada semua pihak, selalu terdapat hikmah dan pelajaran dari apa yang terjadi di Sulteng tersebut. Pertama, bahwa sistem tanggap darurat utamanya yang terkait dengan penanganan dan pemulihan pasokan energi pascabencana yang kita miliki masih perlu ditingkatkan. Dalam hal ini penting bagi pemerintah untuk menyiapkan backup infrastruktur energi yang dibangun di sekitar wilayah rawan bencana.

Kedua, bahwa BUMN energi (Pertamina dan PLN) memiliki peran strategis dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, pemerintah perlu lebih proporsional di dalam menerapkan kebijakan kepada kedua BUMN tersebut.

Setiap Harga Minyak Naik US$ 1, Subsidi BBM Bengkak Rp 3,1 T

CNBC Indonesia, 17 Oktober 2018

Jakarta, CNBC Indonesia- Subsidi BBM dan LPG di 2018 sudah lewati kuota, atau jebol dari pagu yang ditargetkan pemerintah. Realisasi hingga 30 September, subsidi BBM sudah sentuh Rp 54,3 triliun atau 115,9 dari target.

Pengamat energi Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto menjelaskan, berdasarkan asumsi makro energi, sensitivitas RAPBN 2019 terhadap fluktuasi (peningkatan) harga minyak cukup besar. Ia mengatakan, simulasi Reforminer menemukan, tambahan subsidi BBM (solar, minyak tanah), dari setiap kenaikan harga minyak sebesar US$ 1/barel adalah sekitar Rp 3,11 triliun.

Sementara jika nilai tukar rupiah melemah sebesar Rp 100 per dolar AS, maka kebutuhan anggaran subsidi BBM akan meningkat sekitar Rp 1,51 triliun.

Jika pada kondisi tertentu secara bersamaan harga minyak meningkat sebesar US$ 1/barel, dan nilai tukar rupiah melemah sebesar Rp 100 per dolar AS, kebutuhan anggaran subsidi energi dari BBM akan meningkat sekitar Rp 4,63 triliun.

“Kebutuhan anggaran subsidi energi akan lebih besar lagi jika memperhitungkan tambahan alokasi anggaran subsidi LPG 3 kg dan subsidi listrik,” ujar Pri Agung saat dihubungi Rabu (17/10/2018).

Dengan begitu, lanjut Pri Agung, memang kemungkinan realisasi penyaluran subsidi energi pasti akan melebihi yang dianggarkan, karena terjadi deviasi di dua varibel utamanya, yakni nilai tukar rupiah yang melemah dan harga minyak yang meningkat.

“Untuk menekannya, ya mau tidak mau caranya dengan mengurangi subsidi tersebut,” tutur Pri Agung.

Soal beban terhadap RI dari harga minyak ini sebelumnya juga pernah diungkap oleh Tim Riset Bank Mandiri dalam Econmark Edisi Juli 2018. Tim riset menghitung setiap harga minyak naik US$ 1 maka PT Pertamina (Persero) bisa merugi Rp 3,1 triliun.

Begitu juga dengan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar, setiap dolar menguat Rp 100 terhadap rupiah Pertamina dihitung berpotensi rugi operasional Rp 1,6 triliun.

“Dan perlu dicatat tekanan dari harga minyak dan batu bara ini masih tinggi melihat kondisi faktor geopolitik dan permintaan saat ini,” tulis tim riset.

Publik Perlu Edukasi Harga

KOMPAS: Senin, 15 Oktober 2018

Masyarakat perlu mendapatkan penjelasan tentang struktur pembentuk harga bahan bakar minyak. Kenaikan harga dianggap perlu untuk menghindari kerugian yang lebih besar.

JAKARTA, KOMPAS — Publik selaku konsumen bahan bakar minyak perlu diedukasi tentang struktur pembentuk harga bahan bakar. Pasalnya, Indonesia bergantung pada impor minyak mentah dan bahan bakar minyak lantaran produksi di dalam negeri tak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi nasional. Dengan demikian, setiap kenaikan harga jual bahan bakar minyak dapat dipahami alasannya.

Pengajar pada Fakultas Teknologi dan energy Universitas Trisakti Jakarta, Pri Agung Rakhmanto berbendapat, edukasi tentang harga bahan bakar minyak (BBM) diperlukan  semua pihak naik turunnya harga BBM sesuai faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah hal yang wajar. Pemerintah juga pernah menurunkan harga BBM saat harga minyak mentah rendah dan posisi rupiah terhadap dollar AS stabil di kisaran Rp 13.000 per dollar AS.

“Jadi dengan naiknya harga minyak mentah dunia dan posisi rupiah yang melemah terhadap dollar AS penyesuaian harga BBM adalah hal yang wajar,” kata Pri Agung saat dihubungi di Jakarta, Minggu (14/10/2018).

Menurut Pri Agung, sudah saatnya tidak mengaitkan pergerakan harga BBM dengan urusan politik praktis.

Pada Rabu (10/10) sore, di Denpasar Bali, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan mengumumkan kenaikkan harga premium dari Rp 6.450 per liter jadi Rp 7.000 per liter di Jawa dan Bali serta Rp 6.900 per liter di luar Jawa dan Bali. Kenaikan itu sedianya mulai berlaku pukul 18.00 pada hari yang sama. Namun, rencana dibatalkan dengan alasan menunggu kesiapan PT Pertamina (Persero).

Sementara harga jenis Pertamax naik dari Rp 9.500 per liter jadi Rp 10.400 per liter di Jawa dan Bali. Menurut Pertamina, kenaikan itu dipengaruhi harga minyak dunia yang mencapai 80 dollar AS per barel Serta posisi rupiah yang kian lemah.

Dikaitkan politik

Kata Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi sepakat bahwa publik perlu mendapat penjelasan tentang pembentuk struktur harga BBM, yaitu harga minyak mentah dan krus rupiah.

Namun, dibalik kebijakan itu, ia menyebut pemerintah sekarang tampak kurang percaya diri dengan terus menahan harga BBM, khususnya jenis premium dan solar bersubsidi. Pemerintah cenderung mengaitkan harga BBM dengan politik dimana tahun depan merupakan tahun penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

“Sebenarnya masyarakat sudah mulai paham soal naik turunnya harga BBM. Pemerintah saja yang kurang percaya diri dan dikait-kaitkan dengan politik” kata tulus.

Hal itu tampak juga dengan diubahnya kebijakan pembatasan penjualan premium di Jawa dan Bali beberapa waktu lalu. Tujuan pembatasan tersebut adalah mengajak konsumen beralih menggunakan BBM yang lebih bersih, yakani jenis Pertamax dengan RON 92. Belakangan, kebijakan itu di revisi dan mewajibkan Pertamina menyediakan premium di seluruh wilayah Indonesia tanpa kecuali.

Ketua Komisi VII DPR dari Partai Gerindra Gus Irawan, bisa memahami Pertamina menaikkan harga Pertamax. Menurut dia, keputusan itu wajar atau sebuah aksi korporasi. Pertamina menaikkan harga Pertamax untuk menghindari kerugian yang lebih besar karena kenaikkan harga minyak dunia.

“Ini kompensasi dari ketetapan pemerintah yang tidak mau menaikkan harga BBM (premium dan solar bersubsidi) sampai 2019. Ini kompensasi Pertamina yang mendapat penugasan pemerintah terkait penyaluran premium tanpa pemberian subsidi,” kata Gus Irawan.

Pemerintah, dalam berbagai kesempatan, menegaskan tidak akan menaikkan harga premium dan solar bersubsidi sampai 2019. Alasannya adalah untuk menjaga daya beli masyarakat. Harga premium dan solar bersubsidi tak berubah sejak April 2016, yakni Rp 6.450 per liter dan Rp 5.150 per liter.