Bisnis Indonesia; 30 Oktober 2018 – 02:00 WIB
JAKARTA — Pemerintah perlu merelaksasi ketentuan kontrak wilayah kerja minyak dan gas bumi untuk menarik minat investor dalam mengambil blok migas yang dilelang dan melakukan kegiatan eksplorasi.
Dosen Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi, Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto mengatakan bahwa Indonesia akan menghadapi tantangan di sektor huli migas. Tantangan itu berupa minimnya kegiatal eksplorasi dan belum ada lagi penemuan blok migas kala besar.
Padahal, kegiatan eksplorasi perlu terus dilakukan untuk mendapatkan cadangan migas. Sementara itu, penemuan blok migas raksasa akan mampu meningkatkan produksi minyak dan gas bumi secara signifikan.
“Caranya justru tidak dengan memaksakan untuk hanya menerapkan gross split [skema kontrak bagi hasil kotor]. Namun, perlu skema kontrak bisnis apapun yang memang dikehendaki dan menarik bagi investor,†tuturnya kepada Bisnis, Senin (29/10).
Sejauh ini, penerapan skema bagi hasil kotor diterapkan untuk kontrak blok baru. Hingga kuartal III/2018, kontrak bagi hasil kotor sudah diterapkan di 25 wilayah kerja migas.
Selain pada blok baru, sistem bagi hasil kotor juga diaplikasikan untuk satu blok terminasi pada 2017, yaitu Blok Offshore North West Java yang dikelola PT Pertamina Hulu Energi ONWJ.
Pada 2017, setidaknya ada lima blok baru hasil lelang yang menggunakan skema gross split. Kelima blok itu adalah Blok Andaman I, Andaman II, Merak Lampung, Pekawai, dan West Yamdena.
Sementara itu, 4 blok baru pada hasil lelang 2018, yakni Blok Citarum, East Ganal, East Seram, dan Southeast Jambi juga menggunakan skema bagi hasil kotor.
Sebanyak enam blok migas terminasi 2018, yakni Blok North Sumatera Offshore, Ogan Komering, South East Sumatera, Tuban, Sanga-Sanga, dan East Kalimantan & Attaka sudah menggunakan skema bagi hasil kotor.
Pri menganggap bahwa pemerintah dapat membuka opsi untuk tidak menerapkan satu rezim kontrak hulu migas. Menurutnya, jenis kontrak disesuaikan dengan kebutuhan dan kecocokan setiap blok migas.
Beberapa kontrak lama masih menggunakan skema bagi hasil bersih atau cost recovery, yaitu seluruh biaya produksi migas yang dikeluarkan kontraktor akan diganti dari APBN. Sementara itu, bagi hasil yang diterima kontraktor merupakan keuntungan yang diterima perusahaan migas tersebut.
Sebagai contoh, dalam skema cost recovery, kontraktor mendapatkan bagi hasil produksi minyak sebesar 15%, sedangkan pemerintah 85%. Selain mendapatkan bagi hasil 15%, kontraktor juga akan mendapatkan penggantian seluruh biaya produksi migas yang telah dikeluarkan.
Sebalinya, skema bagi hasil kotor dengan basis pemerintah mendapatkan 43% dan kontraktor 57% (minyak). Namun, bagi hasil kontraktor bisa bertambah bergantung pada kondisi lapangan migas. Dengan bagi hasil 57% itu, kontraktor sudah harus menanggung biaya produksi migas.
“Tidak perlu fanatik gross split atau cost recovery. Jangan menganggap bahwa bentuk kontrak itu segalanya yang akan menentukan menarik atau tidaknya sebuah blok migas,†tambahnya.
Sebelumnya, Menteri ESDM Ignasius Jonan menegaskan bahwa sistem bagi hasil gross split untuk kontrak wilayah kerja migas akan jalan terus.
“Ini tidak akan kembali [ke skema cost recovery], gross split akan jalan terus, karena semua [perusahaan migas] yang besar terima. Chevron sewaktu di Blok Rokan, saya tanya mau tidak [sistem gross split]? Mau,” katanya, pekan lalu.
Pri menambahkan, sebenarnya banyak faktor yang memengaruhi daya tarik blok migas di Indonesia antara lain konsistensi regulasi, perizinan, dan birokrasi. Menurutnya, setiap investor berinvestasi menyesuaikan prioritas portofolionya. “Tingkat daya saing dengan negara lain juga menjadi kunci.â€
Jonan menyebutkan, pertimbangan pemerintah mengganti skema bagi hasil cost recovery karena banyaknya distorsi pada sistem ini, terutama dari segi proses yang banyak memakan waktu.
Menurutnya, cost recovery memiliki distorsi yang sangat besar, baik dari segi proses yang membutuhkan waktu lama. “Prosesnya panjang, satu pengadaan itu bisa 2—3 tahun, bisa bertahun-tahun, akhirnya mundur semua.â€
PROYEK BEROPERASI
Sementara itu, SKK Migas memastikan bahwa proyek hulu migas akan beroeprasi sesuai target, yaitu pada 2019. Berdasarkan data SKK Migas, setidaknya ada 13 proyek hulu migas yang ditargetkan beroperasi pada 2019.
Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Wisnu Prabawa Taher mengatakan, proyek hulu migas masih sesuai target. “Kalau untuk saat ini untuk semuanya kami masih punya estimasi untuk 2019. Untuk detailnya lagi kami bisa sampaikan pada akhir November 2018. Nah, saat itu akan ketahuan sejauh mana akan tepat waktu. Sejauh ini masih sesuai target,” katanya kepada Bisnis.
Proyek hulu migas tersebut antara lain SWB/WB/SB oleh PetroChina Intl. Jabung Ltd., Ario Damar-Sriwijaya Phase 2 oleh PT Tropik Energi Pandan, Terang Sirasun Batur phase 2 oleh PT Kangean Energi Indonesia Ltd.