Kebijakan Harga Gas Domestik RI, Belajar dari Sejumlah Negara ASEAN

CNBCIndonesia; 06 Mei 2024
Penulis: Pri Agung Rakhmanto; Founder & Advisor ReforMiner Institute, pengajar FTKE Universitas Trisakti

Kebijakan harga gas domestik telah cukup lama menjadi polemik dan perhatian publik di sektor energi. Salah satu penyebabnya, karena di satu sisi bagi para pelaku usaha di bidang penyediaan gas bumi, khususnya di hulu dan midstream, level harga gas domestik seringkali dinilai kurang menarik dari sudut pandang investasi.
Di sisi lain lain, namun demikian, meskipun mengklaim tetap berupaya menjaga keseimbangan ekonomi dan iklim investasi, pemerintah merasa tetap (masih) perlu mengatur harga gas domestik guna memastikan level harga dapat terjangkau oleh para penggunanya di dalam negeri, khususnya pengguna di sektor industri.

Secara umum, sejauh ini penetapan harga gas domestik oleh pemerintah pada prinsipnya menggunakan dua pendekatan dasar. Pertama harga gas ditetapkan dengan mendasarkan perhitungan dan pertimbangannya pada dinamika faktor pembentuknya.

Pemerintah secara berkala menetapkan besaran faktor pembentuk harga gas seperti keekonomian lapangan, indeksasi harga minyak dan gas bumi dalam negeri dan internasional, nilai tambah, kemampuan daya beli dan harga relatifnya terhadap harga energi substitusi. Pendekatan ini lebih banyak digunakan dalam menentukan harga jual gas untuk ekspor dan harga jual gas untuk sektor industri secara umum.

Kedua, harga gas ditetapkan berdasarkan prinsip harga tetap (fixed price) di tingkat pengguna akhir. Harga gas ini berlaku untuk sektor rumah tangga, pembangkit listrik dan tujuh industri tertentu, yang kemudian dikenal sebagai Harga Gas Bumi untuk Industri Tertentu (HGBT). Harga gas untuk rumah tangga ditetapkan sebesar US$ 4,72 per MMBTU, sementara harga gas untuk listrik dan tujuh industri tertentu ditetapkan sebesar US$ 6 per MMBTU.

Kebijakan dan Harga di Sejumlah Negara
Pilihan kebijakan harga di sejumlah negara lain, di kawasan ASEAN misalnya, pada dasarnya dapat menjadi referensi bagi pemerintah di dalam terus menyempurnakan kebijakan harga gas domestik yang ada. Malaysia telah lama melakukan reformasi kebijakan harga gas untuk menjaga daya tarik investasi dan meningkatkan efisiensi industri gasnya.

Hal itu dilakukan dengan menerapkan pendekatan mekanisme pasar dan subsidi proporsional tertarget di dalam penetapan harga gasnya. Pendekatan mekanisme pasar dilakukan dengan menetapkan Malaysia Reference Price (MRP) yang dievaluasi setiap tiga bulan.

MRP mengacu pada harga rata-rata tertimbang (Weighted Average Price/WAP) gas alam cair (LNG) secara free-on-board (FOB Basis) yang diekspor ke luar Malaysia. Selain itu, pemerintah Malaysia juga memberikan wewenang kepada Petronas Gas untuk menentukan harga jual kepada pengguna akhir sesuai dengan harga keekonomian.

Di dalam upaya menjaga daya beli, pemerintah Malaysia tercatat meregulasi tarif transportasi untuk industri kecil dan memberikan subsidi gas pipa untuk sektor ketenagalistrikan. Kebijakan penetapan tarif transportasi untuk industri kecil berlaku hingga 2022 sementara subsidi gas pipa untuk sektor ketenagalistrikan masih berlaku hingga saat ini.

Seperti halnya Malaysia, Thailand dan Vietnam juga menggunakan mekanisme pasar sebagai pendekatan utama dalam menetapkan harga gas domestiknya. Pasar gas domestik di Thailand saat ini relatif bersifat kompetitif dengan kombinasi sejumlah kebijakan untuk menjaga daya saing di tingkat pengguna akhir.

Di sektor hulu, harga gas domestik ditetapkan dengan mempertimbangkan rata-rata harga keekonomian gas dari berbagai sumber pasokan. Sementara di sektor midstream, PTT sebagai pemegang izin usaha transportasi dan niaga diberikan kewenangan untuk menegosiasikan harga secara langsung dengan pelanggannya.

Pemerintah melalui Energy Policy and Planning Office (EPPO) hanya mengatur tentang batasan margin dan tarif transmisi. Sementara besaran tarif distribusi ditentukan oleh kesepakatan badan usaha berdasarkan mekanisme business-to-business (B to B.)

Penetapan margin usaha gas di Thailand ditetapkan bervariasi dan bergantung pada tingkat risiko yang harus ditanggung badan usaha dan jangka waktu kontrak. Sementara tarif jaringan transmisi tercatat ditetapkan seragam untuk seluruh pelanggan gas, namun dengan tetap didasarkan atas pertimbangan margin pengembalian usaha yang layak.

Data Asia-Pacific Economic Cooperation menyebutkan, tingkat pengembalian investasi yang dipandang layak dan kompetitif adalah sekitar 18% untuk jaringan pipa lama dan 12% untuk pipa baru. Pemerintah Thailand juga menetapkan sejumlah langkah strategis untuk menjaga keekonomian proyek, di antaranya dengan mengintegrasikan jaringan transmisi sebagai bagian dari keekonomian proyek hulu.

Selain itu, sentralisasi industri pengguna gas di wilayah tertentu seperti di sekitar wilayah Gulf of Thailand juga dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas bisnis. Implementasi penetapan harga gas di Thailand namun juga tidak selalu dilakukan melalui pendekatan mekanisme pasar.

Dalam kondisi tertentu, pemerintah Thailand tercatat juga menugaskan badan usaha untuk mempertahankan harga pada level tertentu, dengan memberikan kompensasi langsung kepada badan usaha.

Dibandingkan dua negara lainnya, Vietnam adalah negara yang relatif paling mendasarkan mekanisme pasar sebagai basis dalam menentukan harga gas domestiknya. Harga dalam rantai bisnis gas bumi di Vietnam ditetapkan melalui kesepakatan business-to-business dengan PetroVietnam Gas sebagai pemegang izin transportasi dan niaga di Vietnam.

Harga kepala sumur ditetapkan berdasarkan tingkat keekonomian pengembangan lapangan dan kesepakatan bisnis antara kontraktor dan PetroVietnam Gas. Keekonomian dan kesepakatan tingkat harga gas di kepala sumur didasarkan pada formula dan dinamika pergerakan harga minyak dan gas internasional.

Mekanisme serupa juga berlaku di dalam penetapan harga di tingkat konsumen akhir. Harga jual gas dinegosiasikan antara PetroVietnam dan setiap pengguna akhir. Dalam situasi tertentu, konsumen juga dapat langsung bernegosiasi dan menandatangani kontrak jual beli gas dengan produsen gas.

Berbagai mekanisme penetapan harga gas di atas tercatat cukup efektif efektif dalam menjaga level harga gas domestik di tiga negara tersebut pada level moderat. Publikasi International Gas Union (IGU, 2022) menyebutkan, di tingkat pengguna akhir harga gas di Malaysia berada pada kisaran US$ 6,6 hingga US$ 8,35 per MMBTU.

Sementara itu, level harga gas di Thailand berada pada kisaran US$ 7,01 sampai US$ 8,35 per MMBTU, dan Vietnam ada pada kisaran US$ 6,39 per MMBTU. Rentang harga gas tersebut dapat dikatakan relatif moderat dan masih cukup kompetitif mengingat variasi rentang harga gas di tingkat pengguna akhir untuk wilayah Asia tercatat cukup beragam dengan rentang yang lebar, yaitu berkisar antara US$ 6 per MMBTU hingga US$ 34 per MMBTU.

Kondisi yang sama juga tercermin di sektor midstream. Biaya transportasi gas di Malaysia tercatat berkisar antara US$ 1,44 hingga US$ 3,19 per MMBTU, di Thailand berkisar antara US$ 2,04 hingga US$ 3,37 per MMBTU, dan di Vietnam berada pada kisaran US$ 1,39 per MMBTU. Merujuk pada publikas yang sama, rentang biaya transportasi dan distribusi gas di beberapa negara Asia sendiri juga tercatat relatif lebar, yaitu berkisar antara US$ 0,5 hingga US$ 26 per MMBTU.

Lessons Learned
Dari gambaran kondisi di atas, beberapa hal menarik untuk disimak dan mungkin dapat dijadikan pembelajaran bagi kita. Pertama, level harga gas dan biaya transportasinya bervariasi dan bahkan dapat berada pada rentang yang sangat lebar.

Hal ini secara implisit menegaskan bahwa pendekatan penyeragaman harga gas dan biaya transportasinya pada suatu angka absolut dan rigid bukanlah merupakan sebuah pilihan yang cukup rasional secara ekonomi, pun dari berbagai sudut pandang.

Basis utama pendekatan di dalam kebijakan dan penentuan harga gas dan biaya transportasi gas di setiap negara pada dasarnya adalah rasionalitas dan kelayakan tingkat keekonomian di setiap mata rantainya, dan bukan sekadar menitikberatkan hanya pada salah satu objektif tertentu di pengguna akhir.

Kedua, berkenaan dengan hal itu, dinamika dan pergerakan faktor-faktor yang membentuk dan mempengaruhi tingkat keekonomian pengadaan gas di setiap mata rantainya, seperti halnya harga minyak dan gas internasional, sumber pasokan gas, inflasi biaya transportasi gas, diakomodir di dalam komponen harga yang dapat bergerak naik turun pada batas tertentu dan di dalam penerapannya menjadi subjek untuk evaluasi secara berkala.

Pengaturan harga yang dilakukan tidak berupa penetapan batasan harga nominal secara absolut, dan tetap, tetapi lebih pada pengaturan rentang kisaran untuk mengakomodir perubahan faktor dan variabel ekonomi pembentuknya yang juga dinamis terhadap waktu.

Ketiga, dalam kaitan dengan upaya pencapaian objektif tertentu dari pemerintah, intervensi di dalam bentuk pengaturan harga secara langsung cenderung dihindari dan dimininalkan. Subsidi, kompensasi, atau insentif kepada subjek pengguna gas diberikan secara langsung dan tertarget, sehingga level harga di setiap mata rantai penyediaan gas domestik tetap berada pada tingkatan yang memberi sinyal kelayakan ekonomi dan sinyal kepastian pengembalian investasi yang menarik.

Kiranya tidak ada salahnya jika kita mengadopsi beberapa hal di atas untuk memperbaiki satu-dua kebijakan terkait harga gas domestik kita, HGBT atau pengaturan toll fee pipa misalnya, yang mungkin saat ini belum cukup optimal.

Dinamika Harga Minyak dan Pilihan Kebijakan Harga Energi Domestik

CNBCIndonesia; 30 April 2024

Penulis: Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute & Dosen Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti

Konflik Iran-Israel meningkatkan ketidakpastian pada kondisi pasar minyak global. Hal itu karena eskalasi konflik berpotensi dapat melibatkan negara-negara produsen utama minyak dunia seperti Rusia dan Amerika Serikat yang dapat memengaruhi kondisi keseimbangan supply-demand pasar minyak global.

Selama periode konflik, harga minyak dunia tercatat bergerak dengan rentang fluktuasi yang cukup tinggi. Harga minyak jenis BRENT dilaporkan meningkat signifikan dari US$ 84,52 per barel (15 Maret 2024) menjadi US$ 92,01 per barel (12 April 2024).

Sejumlah lembaga internasional salah satunya US Energy Information Administration (EIA) memproyeksikan harga minyak berpotensi terus meningkat sampai dengan akhir tahun 2024. Pada skenario moderat harga minyak pada semester kedua 2024 diproyeksikan akan berada pada level US$ 90 per barel.

Harga Minyak, APBN dan Kebijakan Harga Energi Domestik
Karena telah menjadi net importir, posisi Indonesia dalam pasar minyak global adalah sebagai price taker atau tidak memiliki kekuatan untuk memengaruhi harga. Kondisi neraca minyak Indonesia juga telah memposisikan bahwa setiap kenaikan harga minyak dunia akan lebih banyak memberikan tambahan beban dibandingkan windfall yang dapat diterima oleh APBN.

Berdasarkan simulasi pemerintah untuk postur APBN 2024, diketahui bahwa setiap kenaikan harga minyak atau ICP sebesar US$ 1 per barel akan meningkatkan defisit APBN sebesar Rp 6,5 triliun. Defisit tersebut salah satunya disebabkan karena adanya peningkatan kebutuhan anggaran subsidi dan kompensasi BBM.

Pada APBN 2024, asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) ditetapkan sebesar US$ 82 per barel. Dengan asumsi ICP tersebut subsidi dan kompensasi energi untuk tahun anggaran 2024 ditetapkan sekitar Rp 329,9 triliun atau meningkat dari realisasi tahun anggaran 2023 yang dilaporkan sebesar Rp 269,6 triliun.

Peningkatan anggaran subsidi dan kompensasi energi tahun 2024 di antaranya karena meningkatnya volume subsidi minyak solar sekitar 11% dari tahun sebelumnya; subsidi listrik meningkat sekitar 9,1% dan alokasi kompensasi BBM untuk setiap liternya juga tercatat meningkat sekitar 9,02%.

Simulasi pemerintah menunjukkan bahwa jika ICP mencapai US$ 100 per barel, kebutuhan untuk anggaran subsidi dan kompensasi BBM berpotensi meningkat dari Rp 160,91 triliun menjadi Rp 249,86 triliun. Kebutuhan anggaran subsidi dan kompensasi BBM akan meningkat menjadi sekitar Rp 287,24 triliun jika ICP mencapai US$ 110 per barel.

Selain berpengaruh terhadap kebutuhan anggaran untuk subsidi dan kompensasi BBM, peningkatan ICP menjadi US$ 100 per barel juga disebut akan meningkatkan kebutuhan alokasi anggaran subsidi LPG sebesar 27,6% yaitu dari Rp 83,27 triliun menjadi Rp 106,28 triliun. Kebutuhan anggaran subsidi LPG diproyeksikan akan meningkat menjadi Rp 166,97 jika ICP mencapai level US$ 110 per barel.

Dengan demikian, jika ICP meningkat menjadi US$ 100 per barel maka total kebutuhan anggaran subsidi dan kompensasi BBM dan subsidi LPG adalah sekitar Rp 356,14 triliun. Total kebutuhan anggaran akan meningkat menjadi sekitar Rp 454,21 triliun jika harga ICP meningkat hingga menjadi US$ 110 per barel.

Simulasi pemerintah terkait harga minyak tersebut pada dasarnya bukan hal baru, pada tahun anggaran 2022, ketika harga minyak meningkat pemerintah juga tercatat meningkatkan anggaran subsidi dan kompensasi energi.

Pada saat itu, ketika harga minyak dunia berada pada kisaran US$ 90 per barel yang telah melampaui asumsi ICP pada APBN 2022 yang ditetapkan sebesar US$ 63 per barel, pemerintah meningkatkan alokasi anggaran subsidi dan kompensasi energi dari Rp 152,5 triliun menjadi Rp 551,2 triliun.

Pilihan Kebijakan
Berdasarkan asumsi makro-energi pada APBN 2024, terdapat indikasi bahwa jika segala sesuatunya berjalan normal pada dasarnya pemerintah tampak berupaya untuk tidak melakukan penyesuaian harga energi di tahun anggaran 2024. Hal tersebut tercermin dari volume solar subsidi yang ditingkatkan, penambahan alokasi untuk anggaran subsidi listrik, dan meningkatnya alokasi anggaran kompensasi BBM untuk setiap liternya.

Dari perspektif makro ekonomi dan kepentingan stabilitas sosial-politik, pilihan kebijakan yang dituangkan pada APBN 2024 pada dasarnya cukup logis dan berdasar. Dari aspek makro ekonomi, harga energi yang terjangkau daya beli memiliki peran penting dalam mendukung dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Hal itu karena sebagian besar atau sekitar 55 % produk domestik bruto (PDB) Indonesia dikontribusikan dari aktivitas konsumsi rumah tangga. Sementara harga energi masih memiliki pengaruh yang signifikan terhadap aktivitas konsumsi masyarakat Indonesia.

Dari perspektif stabilitas sosial-politik, pilihan untuk tidak menaikkan harga energi juga dapat dipahami mengingat tahun anggaran 2024 merupakan tahun transisi pemerintahan. Pada periode transisi, stabilitas dalam banyak hal termasuk stabilitas dalam harga energi pada dasarnya memang diperlukan. Hal itu juga mengingat bahwa tidak jarang kebijakan penyesuaian harga energi yang dilakukan seringkali memperoleh respons negatif dari masyarakat.

Berdasarkan sejumlah pertimbangan tersebut, pilihan kebijakan untuk tidak menyesuaikan (menaikkan) harga energi dapat dipahami. Akan tetapi, mengingat Indonesia telah menjadi net importir minyak, pilihan kebijakan tersebut memerlukan biaya yang cukup besar.

Untuk aspek fiskal atau pengeluaran APBN saja misalnya, jika harga minyak mencapai US$ 110 per barel, pilihan kebijakan untuk tidak menyesuaikan harga BBM dan LPG memerlukan dukungan alokasi anggaran sekitar Rp 454,21 triliun. Padahal kebutuhan daya dukung anggaran tersebut belum termasuk alokasi anggaran untuk subsidi dan kompensasi untuk tenaga listrik.

Kebijakan mempertahankan harga energi tidak hanya memberikan dampak terhadap APBN, tetapi juga keuangan BUMN pelaksana kebijakan seperti Pertamina dan PLN. Untuk Pertamina misalnya, sejauh ini peningkatan harga minyak tercatat mendorong rasio laba bersih terhadap pendapatan usaha perusahaan cenderung menurun. Kondisi tersebut karena struktur pendapatan Pertamina sangat dipengaruhi oleh konsistensi kebijakan niaga BBM yang ditetapkan pemerintah.

Selama 10 tahun terakhir sekitar 80% pendapatan Pertamina dikontribusikan dari penjualan dalam negeri. Sementara, sekitar 91% penjualan dalam negeri merupakan aktivitas yang terkait dengan kegiatan hilir yang terdistribusi atas 80 % dari penjualan BBM dan 11 % dari penjualan LPG, Petrokimia, Pelumas, dan produk lainnya. Struktur pendapatan tersebut menjawab mengapa keuangan Pertamina cukup sensitif terhadap pergerakan harga minyak.

Dari sisi penerimaan negara, kebijakan pemerintah untuk menjaga harga energi domestik juga memberikan konsekuensi terhadap potensi kehilangan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang lebih besar.

Simulasi pemerintah menunjukkan bahwa setiap kenaikan ICP sebesar US$ 1 per barel di dalam APBN 2024, akan meningkatkan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 1,8 triliun. Akan tetapi, jika pemerintah mempertahankan harga energi seperti contoh penerapan kebijakan HGBT, akan berpengaruh terhadap hilangnya potensi penerimaan PNBP tersebut.

Sebagai gambaran, jika merujuk data SKK Migas, selama periode 2021-2023, potensi nilai pendapatan negara yang hilang di sektor hulu migas dari pelaksanaan program HGBT disampaikan mencapai sekitar Rp 45,06 triliun atau rata-rata sekitar Rp 15,2 triliun per tahun.

Jika mengacu pada perhitungan sensitivitas harga minyak terhadap penerimaan negara tersebut, potensi kehilangan pendapatan negara dari penerapan kebijakan HGBT pada tahun anggaran 2024 dapat lebih besar lagi mengingat harga minyak yang terus meningkat.

Mencermati permasalahan dan perkembangan yang ada tersebut, mendistribusikan atau berbagi beban dapat menjadi pilihan kebijakan yang dapat dipertimbangkan. Risiko dari kenaikan harga minyak dunia sebagian perlu ditanggung oleh APBN, sebagian dibebankan kepada konsumen, dan sebagian dibebankan kepada BUMN pelaksana dengan tetap memperhatikan prinsip kegiatan usaha sebagaimana mestinya.

Kondisi yang sedang dihadapi memang tidak mudah, akan tetapi jika telah mempertimbangkan banyak aspek, kebijakan yang diberlakukan berpotensi memberikan manfaat yang lebih besar.

Batasan Pertalite dan LPG 3 Kg Bisa Picu Gesekan Sosial, Ini Solusinya

Kumparan.com; 22 April 2024

Pemerintah akan mempercepat implementasi batasan pembeli BBM Pertalite dan LPG 3 kg agar penyalurannya lebih tepat sasaran dan menekan beban subsidi energi.

Konsumen dan volume pembelian Pertalite akan dibatasi melalui revisi Peraturan Presiden (Perpres) No 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian Dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.
Pemerintah juga sudah mengajukan revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 104 Tahun 2007. Peraturan tersebut mengatur tentang konsumen yang berhak mendapatkan LPG 3 kg.

Sementara itu, pendaftaran KTP dan KK di Pangkalan atau Subpenyalur LPG 3 kg sudah dimulai 1 Januari 2024 dan akan ditutup 31 Mei 2024. Setelahnya, pembelian LPG 3 kg menggunakan KTP akan efektif dimulai.

Direktur Eksekutif Reforminer, Komaidi Notonegoro mengatakan, beberapa kebijakan tersebut masih berupa mekanisme subsidi kepada komoditas yang potensi kebocorannya masih tinggi.

Komaidi menegaskan, pihaknya tetap menyarankan agar reformasi subsidi dilakukan dengan mengubahnya menjadi subsidi langsung alias berbasis kepada penerima.

“Kalau (subsidi) ke barang dengan mekanisme seperti e-KTP, nanti siapa yang berhak dan tidak itu secara teknis saya kira agak sulit ya implementasi di lapangan,” ujarnya kepada kumparan, Senin (22/4).

Selain sulit diimplementasikan, dia juga memprediksi akan ada gesekan sosial yang muncul karena ada saja masyarakat yang merasa dirinya berhak, namun tidak termasuk dalam definisi miskin.

“Nanti akan muncul rakyat-rakyat yang katakanlah sebagian itu menilai tidak miskin, tapi kalau mereka menganggap tidak miskin kemudian memaksa untuk bisa mengakses itu juga sulit di lapangan,” jelas Komaidi.
“Artinya potensi terjadinya gesekan antar masyarakat juga ada, ketika pembatasan itu dilakukan melalui mekanisme subsidi ke barang atau produk,” tambahnya.

Komaidi menilai, kondisi akan berbeda jika subsidi langsung kepada penerima, misal berbentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk pembelian BBM dan LPG.

“Tapi kalau subsidinya langsung, sebetulnya sudah menyelesaikan semua problem karena nanti uangnya ditransfer ke mereka akan menggunakan untuk keperluan pembelian LPG atau Pertalite,” pungkasnya.

Sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif bakal membatasi pembelian BBM bersubsidi jenis Pertalite dan LPG 3 kg, menyusul masih panasnya konflik Iran vs Israel yang mengerek harga minyak mentah.

“Kalau ini tidak berkesudahan konflik harus ada langkah yang pas. Sebetulnya kan Perpres 191 itu memang untuk mengalokasikan kepada yang berhak subsidi, itu dulu yang perlu diterapkan,” ujar Arifin saat Halal bi Halal bersama media, Jumat (19/4).

Arifin memastikan penyelesaian revisi Perpres No 191 Tahun 2014 ini akan rampung setidaknya Juni 2024, sambil memantau perkembangan eskalasi konflik di Timur Tengah dan pelemahan kurs rupiah.

“Juni kita akan evaluasi sebelum itu, ya kita bahas dulu lihat perkembangannya. sebelum Juni harusnya ada bahasan kalau memang lihat perkembangan situasi makin tidak favorable,” tuturnya.

“Iya kan (LPG) sekalian sama itu saja, sama BBM. Tapi kan intinya kita harus prihatin dengan situasi seperti ini, eksternal kejadian di luar,” ujar Arifin.

Konflik Iran-Israel, Tantangan Konsistensi Kebijakan Harga Energi

Katadata.co.id; 23 April 2024

Penulis: Pri Agung Rakhmanto; Founder & Advisor ReforMiner Institute

Pergerakan harga minyak global sepanjang 2023 dapat dikatakan relatif stabil berdasarkan kondisi fundamental pasokan-permintaan yang relatif seimbang dan terkelolanya gangguan pasar dari konflik geopolitik yang terjadi di tingkat global. Sepanjang tahun 2023, rata-rata harga minyak berada dalam kisaran US$ 80–85 per barel, mencerminkan stabilitas pasar yang relatif terjaga keseimbangannya.

Memasuki 2024, harga minyak global dihadapkan pada situasi dan kondisi yang lebih kompleks, dipengaruhi oleh interaksi sejumlah faktor yang menciptakan tingkat ketidakpastian yang lebih besar.

Keseimbangan Pasar Minyak Global dan Konflik Iran-Israel

Secara umum, di atas kertas, berbagai lembaga dan organisasi internasional diantaranya The Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) dan Badan Energi Internasional (IEA) memproyeksikan keseimbangan pasokan-permintaan pasar minyak global untuk tahun 2024 secara fundamental akan cenderung seimbang, namun dalam kondisi ketat.

Rata-rata permintaan minyak global pada 2024 diproyeksikan akan berada pada level sekitar 102 hingga 104 juta barel per hari. Permintaan minyak dari wilayah Asia khususnya China dan India diperkirakan masih akan tetap tumbuh positif. Pada tahun 2024, permintaan minyak China diproyeksi akan tumbuh sekitar 0,5 juta barel per hari dan India sekitar 0,3 juta barel per hari.

Sebelumya, permintaan minyak China selama periode 2022/2023 tumbuh sekitar 1,1 juta barel per hari. Sementara dari sisi pasokan, produksi minyak global diperkirakan akan mencapai 102,9 juta barel per hari. Produksi non-OPEC+ diproyeksikan akan meningkat sebesar 1,6 juta barel/hari, sementara pasokan OPEC+ diperkirakan masih akan ditahan-dikelola pada level yang menyeimbangkan pasar secara moderat cenderung ketat.

Perkembangan terbaru saat ini di lapangan, yaitu eskalasi ketegangan geopolitik yang terus memanas dan telah memicu terjadinya perang “baru” di wilayah Timur Tengah, terutama yang melibatkan Iran dan Israel, berpotensi mengganggu keseimbangan pasokan-permintaan pasar minyak global secara fundamental untuk tahun 2024. Tidak hanya sebatas mempengaruhi faktor psikologis pasar, perang Iran-Israel berpotensi memiliki implikasi yang dapat mengganggu volume, keseimbangan, dan kelancaran pasokan dan permintaan minyak global secara fisik. Di sisi pasokan, Iran sebagai salah satu anggota utama dari Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC), berkontribusi sekitar 12% dari total produksi OPEC.

Konflik dan perang yang melibatkan Iran dapat menimbulkan tekanan terhadap OPEC, baik dalam hal kuota produksi minyak mentah maupun strategi lainnya terkait “pengkondisian” harga yang akan diambil. Perang antara Iran dan Israel berpotensi memicu terjadinya supply shock di pasar minyak global karena saat ini Iran tercatat mengekspor hingga 1,5 juta barel minyak mentah per hari, atau setara dengan 1,5% pasokan minyak global. Iran juga menguasai Selat Hormuz yang merupakan salah satu jalur perdagangan minyak paling penting di dunia.

Sekitar 21 juta barel per hari (bph), atau seperlima dari konsumsi harian dunia, diangkut keluar masuk melalui Selat Hormuz. Perang Iran-Israel dapat dengan mudah memicu terjadinya gangguan lalu lintas transportasi dan perdagangan minyak global yang melalui Selat Hormuz ini.

Di sisi permintaan, perang tentu saja berpotensi menyebabkan terjadinya perlambatan, kontraksi ekonomi, yang jika terus berlanjut juga dapat mengarah pada terjadinya resesi ekonomi global. Simulasi perhitungan Bloomberg Economics memproyeksikan perang terbuka Iran-Israel dapat menyebabkan terjadinya kontraksi Gross Domestic Product (GDP) ekonomi global hingga 1% dan peningkatan inflasi global hingga 1,2% pada tahun 2024.

Dengan adanya perang, keseimbangan pasar minyak global, baik di sisi pasokan maupun permintaan berpotensi terganggu secara fisik di lapangan. Namun, sampai sejauh mana gangguan keseimbangan pasokan-permintaan itu akan terjadi, dan sebesar apa kuantifikasinya, sangat sulit ditentukan karena eskalasi dan jangkauan skala perang yang terjadi juga tidak dapat dipastikan.

Kombinasi dari faktor ketidakpastian yang terjadi terkait perang ini dan kondisi pasar yang sebelumnya telah berada pada kondisi relatif seimbang namun ketat, cenderung akan mendorong pergerakan harga minyak pada tahun 2024 bergerak naik dan lebih fluktuatif, dengan rentang harga yang lebih tinggi dibandingkan tahun 2023.

Sepanjang tahun 2024, harga minyak global telah menunjukkan fluktuasi lebih lebar pada rentang yang lebih tinggi. Pada kuartal I 2024, harga minyak berada dalam kisaran US$ 80 hingga US$ 85 per barel, sementara memasuki kuartal II 2024, harga minyak tercatat telah berada pada kisaran US$ 90 per barel dan memiliki potensi untuk terus meningkat di sisa periode tahun 2024 ini.

Dampak Kenaikan Harga Minyak ke APBN

Sebagai negara net importer, kenaikan harga minyak global akan berdampak signifikan pada perekonomian nasional. Salah satunya, terutama adalah yang berkaitan dengan alokasi belanja negara untuk subsidi energi di APBN. Dalam APBN 2024, dengan asumsi Indonesia Crude Price (ICP) sebesar US$ 82 per barel, total subsidi dan kompensasi energi yang dialokasikan untuk tahun 2024 mencapai sekitar Rp 329,9 triliun.

Dengan adanya potensi kenaikan harga minyak, beban subsidi dan kompensasi energi yang harus dialokasikan untuk tahun 2024 dengan sendirinya berpotensi akan bertambah. Perubahan harga minyak mentah (ICP) memiliki sensitivitas yang signifikan terhadap pendapatan negara, belanja negara, dan defisit APBN.

Dari berbagai simulasi perhitungan yang dilakukan, salah satunya oleh pemerintah sendiri, menunjukkan bahwa untuk APBN 2024, dengan mengasumsikan bahwa faktor-faktor lain yang berpengaruh dianggap tidak berubah (ceteris paribus), setiap kenaikan ICP sebesar US$ 1 per barel akan meningkatkan pendapatan negara sebesar Rp 3,6 triliun. Namun disisi lain hal itu akan mendorong peningkatan belanja negara sebesar Rp 10,1 triliun. Hal ini menyebabkan defisit APBN meningkat sebesar Rp 6,5 triliun untuk setiap kenaikan ICP sebesar US$ 1 per barel, ceteris paribus.

Jika ICP mencapai US$ 100 per barel, kebutuhan untuk anggaran subsidi dan kompensasi BBM berpotensi membengkak hingga 53% dari yang semula ditetapkan, dan pembengkakan bisa melebihi 78% jika ICP mencapai US$ 110 per barel. Selain itu, level ICP jika mencapai 100 USD/barel juga akan memicu peningkatan alokasi anggaran subsidi LPG hingga sebesar 27,6%, dan dapat meningkat menjadi 40,5% jika ICP mencapai level 110 USD/barel.

Konsistensi Penerapan Harga Energi Sesuai Keekonomian

Pemerintah telah sangat berpengalaman dan tentu saja telah sangat memahami risiko di atas. Resep ekonomi yang secara normatif diperlukan untuk mengatasi permasalahan di atas juga telah sangat dimengerti. Penerapan kebijakan harga energi –terutama harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan LPG– sesuai dengan prinsip dan nilai keekonomiannya, adalah kebijakan yang secara normatif mestinya dilakukan pemerintah untuk menjaga dan mengelola tingkat subsidi dan kompensasi energi nasional dalam APBN 2024.

Dalam implementasinya, hal ini pada dasarnya dapat “disederhanakan”, salah satunya melalui penerapakan kebijakan penyesuaian harga energi terpilih yang dilakukan secara periodik. Kebijakan penetapan dan penyesuakan harga energi secara berkala terhadap jenis BBM non-subsidi pernah dilakukan diantaranya melalui Peraturan Menteri ESDM No 39 Tahun 2014 tentang Perhitungan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak dan aturan perubahannya.

Melalui aturan tersebut pemerintah melakukan evaluasi kebijakan harga BBM setiap tiga bulan. Hasil dari penerapan kebijakan ini terbukti cukup positif dalam mengendalikan subsidi energi, dengan nilai subsidi mengalami penurunan dari sekitar Rp 1.340 triliun pada periode 2010-2014 menjadi sekitar Rp 609,7 triliun pada periode 2015-2019. Di sisi lain yang masih terkait dengan pengelolaan kebijakan harga di sektor energi, upaya menjaga daya beli masyarakat dan mengendalikan laju inflasi melalui penerapan subsidi tertarget dan tertutup perlu terus dijalankan dan disempurnakan di tingkat implementasinya.

Penerapan secara konsisten kedua langkah ini tidak hanya akan mengarahkan kembali kebijakan harga energi nasional kepada prinsip keekonomian yang semestinya, tetapi juga akan bermanfaat menurunkan beban subsidi pemerintah dan memungkinkan pengalokasian anggaran yang lebih efisien untuk sektor-sektor kunci lainnya yang lebih produktif dalam APBN. Kenaikan harga minyak dan implikasinya terhadap perekonomian nasional, defisit APBN dan khususnya yang terkait pembengkakan subsidi energi di APBN bukan hal baru bagi pemerintah.

Tidak perlu resep dan ilmu baru lagi bagi pemerintah untuk mengatasi hal itu. Hanya perlu niat, kemauan dan komitmen politik yang kuat dari pemerintah untuk menerapkan secara konsisten apa yang dalam ilmu dasar ekonomi energi disebut sebagai harga energi sesuai prinsip keekonomiannya.

Artikel ini telah tayang di Katadata.co.id dengan judul “Pri Agung Rakhmanto : Konflik Iran-Israel, Tantangan Konsistensi Kebijakan Harga Energi Halaman 2” , https://katadata.co.id/indepth/opini/662773fae3dbb/konflik-iran-israel-tantangan-konsistensi-kebijakan-harga-energi?page=2
Penulis: Pri Agung Rakhmanto
Editor: Dini Pramita

Ketidakseimbangan Neraca Gas Bumi RI & Pengembangan Infrastruktur LNG

CNBCIndonesia, 16 April 2024
Penulis: Pri Agung Rakhmanto (Founder & Advisor ReforMiner Institute, Pengajar di Fakultras Teknik Perminyakan, Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti

Porsi pemanfaatan gas bumi untuk kebutuhan domestik disebutkan terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data Kementerian ESDM, porsi gas bumi untuk kebutuhan domestik pada tahun 2023 tercatat sebesar 68,2%, jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2012 yang saat itu berada pada kisaran 49,4%.

Meningkatnya porsi pemanfaatan gas bumi untuk kebutuhan domestik salah satunya terjadi karena adanya peningkatan permintaan volume kebutuhan gas di tingkat pengguna akhir. Namun, jika dicermati lebih jauh, salah satu faktor lain yang juga memengaruhi peningkatan porsi pemanfaatan gas untuk kebutuhan domestik adalah karena terjadinya penurunan produksi yang cukup signifikan di sisi hulu.

Merujuk data SKK Migas (2023), dalam kurun kurang lebih sepuluh tahun terakhir, volume kebutuhan gas bumi domestik tercatat meningkat rata-rata sekitar 0,6% per tahun. Sementara untuk periode yang sama, lifting gas bumi nasional secara rata-rata tercatat mengalami penurunan sekitar 2,35% per tahun.

Pada tahun 2023 realisasi lifting gas bumi nasional dilaporkan sebesar 960 ribu barel setara minyak per hari (mboepd), lebih rendah dibandingkan tahun 2012 yang tercatat sebesar 1.253 mboepd. Dalam jangka panjang, tren penurunan produksi gas yang terjadi ini berpotensi akan membuat Indonesia mengalami defisit gas.

Berdasarkan Neraca Gas Indonesia 2023-2032, jika hanya bergantung pada produksi gas dari lapangan yang saat ini beroperasi (existing supply), sejak tahun 2026 volume kebutuhan gas bumi domestik terkontrak (contracted demand) diproyeksi tidak lagi dapat dipenuhi.

Ketidakseimbangan Neraca Gas Domestik

Di tingkat kebijakan makro, tren penurunan produksi dan potensi defisit gas nasional pada dasarnya telah diidentifikasi oleh pemerintah dengan mengupayakan adanya tambahan produksi gas bumi dari sejumlah proyek yang ditargetkan akan mulai beroperasi di dalam waktu dekat.

Dalam skenario yang disusun Kementerian ESDM, jika dapat direalisasikan dengan baik, tambahan produksi gas bumi dari sejumlah lapangan gas seperti Gendalo, Gandang dan Gehem, Ubadari dan lapangan Abadi Masela diproyeksi tidak hanya akan membuat Indonesia dalam hal volume terhindar dari defisit tetapi juga berpotensi mengalami surplus gas hingga sepuluh tahun mendatang.

Namun, berbeda halnya dengan masalah kecukupan volume, keseimbangan antara pasokan dan pengguna gas bumi tidak selalu terjadi secara merata. Dalam regionalisasi yang ditetapkan di dalam Neraca Gas Indonesia yaitu region I (Aceh dan Sumatera Bagian Utara), region II (Sumatera Bagian Tengah dan Selatan, Kepri, dan Jawa Bagian Barat), region III & IV (Jawa Bagian Tengah dan Timur), region V (Kalimantan dan Bali), dan region VI (Papua, Sulawesi, dan Maluku), beberapa region tercatat membutuhkan pasokan gas dari wilayah lain.

Untuk region II misalnya, kebutuhan gas pada tahun 2030 diproyeksi sekitar 2.000 BBTUD, sementara jika hanya mengandalkan pasokan gas existing, besaran pasokan gas yang tersedia hanya berada pada kisaran 1.000 BBTUD. Bahkan jika dengan tambahan pasokan dari proyek-proyek yang direncanakan beroperasi di dalam waktu dekat, region II diproyeksi tetap akan mengalami defisit gas.

Kondisi serupa juga terjadi di region III dan IV (Jawa Tengah dan Jawa Timur). Dalam Neraca Gas Indonesia, volume kebutuhan gas bumi untuk wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, potensi kebutuhan gas untuk wilayah tersebut diperkirakan mencapai sekitar 1.000 BBTUD pada tahun 2030.

Berdasarkan proyeksi yang ada, pemenuhan kebutuhan gas bumi tersebut tidak dapat dilakukan hanya dengan mengandalkan produksi dari lapangan existing atau lapangan yang akan beroperasi dalam waktu dekat, tetapi juga memerlukan tambahan pasokan dari lapangan gas di region lain.

Dalam konteks ini, tiga region yaitu Region I (Aceh-Sumut), Region V (Kalimantan – Bali), dan Region VI (Sulawesi-Maluku-Papua) berpotensi memiliki surplus pasokan yang dapat dialokasikan untuk regional II, III dan IV. Potensi surplus pasokan gas dari ketiga wilayah tersebut diperkirakan dapat mencapai lebih dari 3.000 BBTUD.

Untuk dapat memanfaatkan potensi surplus pasokan tersebut ke region lain yang mengalami defisit, pendistribusian gas antar wilayah dalam bentuk LNG (Liquified Natural Gas) menjadi pilihan yang paling rasional untuk dilakukan.

Infrastruktur LNG dan Dukungan Kebijakannya

Terkait dengan ini, sejauh ini kebijakan yang pemerintah telah tetapkan di atas kertas pada dasarnya dapat dikatakan telah cukup sesuai dengan proyeksi neraca gas dan identifikasi permasalahan yang ada.

Untuk pemerataan infrastruktur misalnya, melalui Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional (RIJTDGBN) 2022-2031 pemerintah secara prinsip telah menetapkan bahwa pembangunan infrastruktur gas di wilayah Indonesia bagian Barat (Region I, II, dan III) akan difokuskan pada jaringan gas pipa, sementara di wilayah Indonesia bagian Timur (Region IV hingga Region VI), lebih diutamakan pembangunan infrastruktur dan fasilitas LNG seperti kilang, pengisian-penyimpanan, dan regasifikasi.

Untuk dapat berjalan di dalam implementasinya, namun demikian, kebijakan pengembangan infrastruktur gas, dan khususnya LNG, sebagaimana yang telah digariskan di atas, masih sangat memerlukan elaborasi dan formulasi strategi detil teknis operasionalnya yang lebih konkret.

Investasi untuk pengembangan infrastruktur LNG, sebagaimana investasi dalam pengembangan infrastruktur gas midstream lainnya, sangat dipengaruhi oleh sejauh mana peran dan keterlibatan pemerintah di dalam merealisasikannya.

Merujuk pada keberhasilan terselesaikannya proyek gas Cisem Fase I pada 2023 lalu dan realisasi perkembangan program jaringan gas kota (jargas) selama periode 2020 – 2022 yang mengalami pertumbuhan cukup positif, peran dan keterlibatan pemerintah melalui penganggaran secara langsung di APBN, terbukti telah lebih efektif dapat menjamin terealisasinya penyediaan infrastruktur sesuai dengan perencanaan strategis dan target yang ditetapkan.

Pengembangan infrastruktur gas melalui mekanisme Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU) dan investasi lain (swasta) akan sangat bergantung pada objektif, pertimbangan dan kalkulasi keekonomian badan usaha yang belum tentu sejalan dengan objektif dan rencana strategis pengembangan infrastruktur gas nasional.

Ketika terjadi perubahan objektif dari badan usaha, objektif dan rencana strategis pengembangan infrastruktur gas nasional yang sudah memiliki landasan dan semestinya menjadi pegangan dapat kemudian berubah atau bergeser.

Objektif, pertimbangan dan kalkulasi keekonomian pemerintah dan badan usaha di dalam pengembangan infrastruktur gas tidak selalu sama atau dapat berjalan beriringan. Ini yang membuat skema KPBU dan atau skema investasi melalui mekanisme pasar biasa di dalam pengembangan infrastruktur gas tidak dapat selalu bekerja atau berjalan secara efektif.

Dalam pengembangan infrastruktur gas, dan lebih khusus lagi infrastruktur LNG, untuk dapat membuat mekanisme KPBU dan pasar bekerja secara efektif, diperlukan peran langsung pemerintah untuk menjamin pengembalian investasi yang sejalan dengan objektif, pertimbangan dan kalkulasi badan usaha.

Peran langsung pemerintah dalam hal ini dapat berupa pemberian kompensasi atas penugasan tertentu, penjaminan proyek dan atau insentif fiskal dan non-fiskal lainnya. Dan itu artinya tetap memerlukan pengalokasian sumber daya atau anggaran langsung tertentu dari pemerintah melalui instrumen APBN.

Secara lebih khusus, pengembalian investasi di dalam bisnis infrastruktur LNG, sangat dipengaruhi oleh kejelasan terkait pasokan gas (cadangan, produksi, sumber) di sisi hulu dan kejelasan akan permintaan gas (volume, jangka waktu, distribusi) di sisi hilirnya.

Tingkat pengembalian investasi dalam rantai penyediaan LNG juga relatf lebih fluktuatif karena dipengaruhi fluktuasi pergerakan harga LNG yang bergantung pada harga gas (minyak), dan eskalasi atau inflasi terkait biaya pengiriman, regasifikasi, dan distribusinya.

Di sinilah peran dan intervensi pemerintah yang paling mendasar, dalam bentuk memberikan sinyal dan kejelasan tentang bagaimana arah dan keseimbangan pasar – pasokan-permintaan gas antar wilayah – tersebut akan dilakukan dan dioptimalkan, menjadi sangat relevan.

Dengan demikian, dukungan kebijakan baik dalam bentuk kejelasan, kepastian, konsistensi dan sinkronisasi atas implementasi kebijakan itu sendiri, maupun dukungan kebijakan dalam bentuk peran dan intervensi proporsional pemerintah melalui pengalokasian anggaran tertentu secara langsung di dalam APBN akan menjadi penentu bagaimana pengembangan infrastrutur LNG akan dapat berjalan dan permasalahan ketidakseimbangan neraca gas bumi domestik ke depan akan diselesaikan.

Harga Minyak Dunia Menuju Keseimbangan Baru

Kompas.id; 15 April 2024

JAKARTA, KOMPAS – Eskalasi konflik di Timur Tengah dengan adanya serangan udara oleh Iran ke Israel pada Minggu (14/4/2024) berpotensi mendongkrak harga minyak dunia. Jika eskalasi berlanjut, bukan tidak mungkin harga minyak dunia bisa tembus 100 dollar AS per barel.

Iran melakukan serangan udara selama beberapa jam terhadap Israel pada Sabtu (13/4/2024) tengah malam hingga Minggu (14/4/2024) pagi. Pemerintah Iran menyatakan, serangan itu merupakan balasan atas serangan Israel terhadap konsulat Iran di Damaskus pada 1 April.

Meski serangan Iran telah berhenti pada Minggu pagi, risiko eskalasi konflik sangat terbuka. Situasi memanas penuh ketidakpastian ini berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian global. Dampak langsung yang sudah terjadi adalah kenaikan harga minyak dunia yang biasanya akan diikuti kenaikan harga komoditas lainnya.

Baru sebatas kabar tentang potensi Iran menyerang Israel beredar pada Jumat (12/4/2024) saja, harga minyak dunia sudah melonjak. Mengutip data situs pencatat basis data ekonomi dan komoditas, Refinitiv, harga minyak Brent pada penutupan perdagangan Jumat (13/4/2024) mencapai 90,45 dollar AS per barel.

Ini merupakan harga minyak tertinggi sejak 20 Oktober 2023 atau sekitar enam bulan terakhir. Harga ini sudah melampaui asumsi Indonesia Crude Price (ICP) yang ditetapkan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 senilai 82 dollar AS per barel.

Tren naik

Administrasi Informasi Energi Amerika Serikat (AS) dalam prospek energi bulanan jangka pendeknya memperkirakan harga minyak mentah Brent rata-rata 88,55 dollar AS per barel tahun ini, naik dari perkiraan sebelumnya senilai 87 dollar AS per barel. Kenaikan ini mencerminkan ekspektasi kuatnya penarikan persediaan minyak global pada triwulan I-2024 dan risiko geopolitik yang sedang berlangsung.

Prospek ini dirilis per 9 April atau sebelum serangan udara Iran ke Israel. Artinya, bisa saja perkiraannya dalam prospek berikutnya akan direvisi naik lagi.

Mengutip CNBC, Presiden Rapidan Energy dan mantan pejabat energi senior di pemerintahan Bush, Bob McNally, menyatakan, harga minyak mentah jenis Brent bisa melonjak hingga 100 dollar AS per barel jika Iran langsung menyerang Israel. Jika eskalasi menyebabkan gangguan di Selat Hormuz, harga bisa melonjak hingga 120 dollar AS atau 130 dollar AS per barel.

Selat Hormuz terletak di antara Oman dan Iran, menghubungkan Teluk Persia dengan Teluk Oman dan Laut Arab. Mengutip Administrasi Informasi Energi Amerika Serikat, Selat Hormuz merupakan jalur perdagangan minyak terpenting di dunia karena banyaknya volume minyak yang didistribusikan melalui selat itu.

Pada 2018, distribusi minyak melalui Selat Hormuz rata-rata mencapai 21 juta barel per hari. Ini setara dengan sekitar 21 persen konsumsi minyak bumi global.

Fundamental

Pengajar di Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto,, Minggu (14/42024), menyatakan, dampak konflik Iran-Israel bersifat fundamental terhadap pasokan dan permintaan minyak dunia. Dengan demikian, elastisitasnya terhadap kenaikan harga minyak dunia lebih besar ketimbang perang Rusia-Ukraina dan Israel-Hamas.

Disebut berdampak fundamental sebab di satu sisi, Iran adalah salah satu anggota OPEC yang dominan. Posisi ini bisa menekan OPEC dalam bentuk kuota produksi minyak mentah dan kebijakan harga.

Di sisi lain, Israel merupakan sekutu AS yang merupakan produsen sekaligus konsumen minyak terbesar dunia. ”Jadi konflik Iran-Israel langsung berhubungan dengan fundamental suplai dan permintaan minyak dunia,” kata Pri.

Belum lagi variabel lainnya yang akan memengaruhi pembentukan harga minyak dunia, yakni China dan Rusia. China adalah salah satu konsumen minyak terbesar dunia. Sementara, Rusia adalah salah satu eksportir besar dunia.

”Kalau ini (Iran-Israel) terus bergulir perangnya, katakanlah durasinya panjang, kemungkinan harga minyak melampaui 100 dollar AS terbuka. Karena sebelum ini, harganya sudah bertahan relatif tinggi. Harga di kisaran 80 dollar AS selama ini termasuk tinggi dalam ukuran komoditas yang digempur isu transisi energi dan permintaan global yang masih lemah pasca Covid,” katanya.

Meskipun tidak khawatir pasokan akan sampai langka, berbagai negara akan mengantisipasi situasi geopolitik di Timur Tengah yang memanas dan serba tidak pasti. Oleh karena itu, Pri memperkirakan harga Brent rata-rata pada 2024 di atas harga rata-rata sepanjang 2023 yang senilai 83 dollar AS per barel.

Komplikasi kurs

Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Bidang Ekonomi Internasional, Fithra Faisal Hastiadi, mengatakan, ketegangan geopolitik antara Iran dan Israel dalam jangka pendek akan mendongkrak harga minyak dunia. Ketika pasokan terganggu, sementara permintaan tetap, maka sesuai hukum ekonomi, harga barang akan langsung terkerek naik.

Ia memperkirakan, harga minyak dunia akan segera menuju ke keseimbangan baru di atas 90 dollar AS per barel atau bahkan bisa terus naik menembus 100 dollar AS per barel. Sebelum terjadi ketegangan ini saja, harga minyak sedang dalam tren naik.

”Dampaknya ke Indonesia, mungkin saja dalam waktu dekat kita akan mengalami kenaikan harga bahan bakar minyak,” ujar Fithra, dihubungi Minggu (14/4/2024).

Kenaikan harga BBM, Fithra melanjutkan, juga akan memicu inflasi secara langsung. Transmisinya adalah melalui kenaikan harga konsumsi masyarakat.

Depresiasi nilai tukar rupiah yang terus terjadi menambah komplikasi tantangan bagi perekonomian Indonesia. Pada perdagangan pasar, nilai tukar rupiah sudah menembus Rp 16.000 per dollar AS. Akibat depresiasi rupiah, impor BBM bisa ikut meningkatkan inflasi dari komponen impor atau imported inflation.

Perlu gerak cepat

Selain mewaspadai dampak langsung kenaikan harga minyak, Fithra mengingatkan, Indonesia perlu mengantisipasi dampak kenaikan harga minyak ini terhadap perekonomian global. Hal ini bisa menular ke Indonesia dalam jangka menengah dan panjang.

”Saya kira pemerintah perlu bergerak cepat merespons efek rambatan ini ke dalam negeri. Begitu juga Bank Indonesia yang perlu melaksanakan tugasnya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah,” ujar Fithra.

Dihubungi terpisah, Minggu, Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sarman Simanjorang, mengatakan, setiap gejolak geopolitik tentu berdampak terhadap perekonomian global dan Indonesia.

Mengingat, Iran adalah salah satu produsen minyak yang strategis di dunia, maka seluruh pemangku kepentingan ekonomi dalam harus mewaspadai potensi kemungkinan kenaikan harga minyak ke depan.

Menurut Simanjorang, pemerintah perlu melihat lebih detail seberapa besar hubungan dagang dan investasi antara Indonesia dan Iran. Dengan demikian baru bisa diukur seberapa besar dampaknya yang mungkin akan dirasakan Indonesia.

“Meningkatnya ketegangan geopolitik perlu diantisipasi dengan tepat sehingga tidak sampai mengganggu perekonomian dalam negeri,” ujar Sarman.

Kebijakan HGBT Dinilai Dapat Hambat Pengembangan Infrastruktur Gas

Bisnis.com; 3 April 2024

Bisnis.com, JAKARTA — Kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) atau harga gas murah untuk industri dinilai dapat menghambat pengembangan infrastruktur transmisi dan distribusi gas. Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro berpendapat program harga gas murah itu justru membuat kemampuan finansial atau arus kas dari badan usaha usaha hilir gas terkontraksi untuk berinvestasi lebih masif pada infrastruktur midstream gas.

“Dampaknya ke pengembangan infrastruktur untuk transmisi dan distribusi yang dilakukan oleh PGN itu bisa terhambat,” kata Komaidi saat dihubungi, Selasa (2/4/2024).

Ihwal kontraksi arus kas itu, Komaidi mengatakan, saat ini rata-rata harga gas yang dibeli PGN dari kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) untuk pelanggan di wilayah barat telah lebih dari US$6 per juta metrik british thermal unit (MMBtu) di kepala sumur.

Sementara biaya angkut di titik serah pengguna gas atau plant gate sudah mencapai di rata-rata US$9 per MMBtu. Di sisi lain, pemerintah meminta PGN untuk menekan harga sampai di level US$6 per MMBtu.

“Jadi ada defisit yang cukup lebar dari korporasi, kalau itu dibayar tidak secara langsung nanti bermasalah dengan arus kas apalagi kalau tidak dibayar itu pasti jadi berat itu,” tuturnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) melaporkan potensi penerimaan bagian negara yang hilang dari kebijakan HGBT sepanjang 2023 mencapai lebih dari US$1 miliar atau minimal sekitar Rp15,67 triliun (asumsi kurs Rp15.667 per dolar AS).

Deputi Keuangan dan Komersialisasi SKK Migas Kurnia Chairi mengatakan, potensi hilangnya pendapatan negara itu masih hitung-hitungan awal dan perlu rekonsiliasi lanjutan. Hilangnya pendapatan negara yang cukup besar itu dibarengi dengan pengembalian sejumlah kontrak volume dan gas ke perjanjian jual beli gas (PJBG) awal sebelum beleid HGBT terbit pertama kali lewat Kepmen ESDM No.89/2020.

“Kalau saya mencatat mungkin jumlahnya di 2023 ini bisa mencapai lebih dari US$1 miliar ada potensi penurunan penerimaan negara atau penyesuaian penerimaan negara,” kata Kurnia saat webinar, Rabu (28/2/2024) Lewat beleid teranyar Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 91.K/MG.01/MEM/2023, HGBT tidak lagi dipatok US$6 per juta metrik british thermal unit (MMBtu). Sebagian industri saat ini mendapat penyusutan alokasi volume dan harga gas bisa di level tertinggi US$7 per MMBtu.

Secara berturut-turut, Kementerian ESDM telah mencatat pengurangan bagian negara dari program gas murah industri ini mencapai Rp29,39 triliun selama 2021 dan 2022. Bagian negara yang hilang itu turun rata-rata sebesar 46,81% selama dua periode program itu berjalan.

Kendati demikian, Kurnia menerangkan, serapan HGBT sepanjang 2023 telah naik ke level sekitar 96%. Artinya, ada peningkatan penerima insentif gas murah itu yang cukup signifikan dibandingkan penyaluran 2021 dan 2022.

Sepanjang 2021, jumlah penyerahan harian pasokan gas bumi untuk sektor industri sebesar 87,06% dari alokasi saat itu 1.241,01 BBtud, sementara penyaluran gas pada 2022 melorot ke level 81,38% dari alokasi volume sebesar 1.253,81 BBtud. “Ada juga faktor ketidakcukupan bagian negara atau meng-kept-whole-kan bagian kontraktor, kebijakan HGBT ini berjalan di tengah-tengah 2020-2021 sebenarnya sudah ada harga awal PJBG yang disepakati,” kata Kurnia.

Adapun, pemerintah mengurangi penerimaannya pada Wilayah Kerja (WK) Sebuku, Muara Bakau & WK Rapak, WK NSO dan WK Ketapang sepanjang 2021. Sementara pada 2022, pemerintah mengurangi penerimaannya untuk WK Tangguh dan WK Ketapang. Pengurangan penerimaan negara itu sebagai konsekuensi dari aturan kept whole contractor yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Pemerintah mesti memastikan tidak adanya pengurangan penerimaan kontraktor dari program HGBT.

Harga Gas Khusus Industri Belum Diputuskan, Gegara Ini..

Jakarta, CNBC Indonesia – Sejumlah Menteri pada hari ini dijadwalkan melakukan rapat koordinasi di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk membahas kelanjutan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) selepas 2024.

Namun demikian, belum ada keputusan lebih lanjut mengenai kelanjutan program harga gas murah untuk industri tertentu tersebut setelah 2024. Hal ini terjadi lantaran Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita berhalangan hadir.

Hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif selaku tuan rumah. Adapun dari pertemuan yang digelar sekitar pukul 10.00 WIB hingga 11.00 WIB tersebut hanya dihadiri oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto.

“Belum ada putusan soalnya gak ada Kemenperin,” kata dia di Gedung Kementerian ESDM, Jumat (22/3/2024).

Dengan absennya Menteri Perindustrian, Arifin berencana menjadwalkan ulang rapat yang membahas mengenai HGBT tersebut di lain kesempatan. Meski begitu, ia tak memerinci secara detail waktu dan tempatnya.

Sementara, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Taufiek Bawazier meminta adanya pertemuan kembali setelah Menteri Perindustrian berhalangan hadir. Pasalnya, ia tak mengetahui absenya Agus dalam rapat tersebut.

Ia pun berharap kebijakan HGBT dapat dilanjutkan kembali selepas 2024. Bahkan ia meminta agar kebijakan ini dapat diperluas kembali tidak hanya ditujukan untuk 7 sektor industri tertentu. “Harus lanjut HGBT. Ya harusnya diperluas tergantung Pak Menteri ESDM nanti,” ujarnya.

Sebagaimana diketahui, Kementerian ESDM telah memberlakukan kebijakan ‘harga gas murah’ melalui HGBT sebesar US$ 6 per MMBTU untuk tujuh sektor industri. Namun demikian, serapan gas bumi dari tujuh sektor industri rupanya belum optimal.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan biaya dan manfaat dari implementasi kebijakan HGBT sejatinya belum sesuai dengan perkiraan awal. Di samping itu, serapan gas bumi dari sektor industri penerima HGBT juga tidak sebesar dari rencana awal.

“Sementara ketika serapannya katakanlah tidak maksimal kan penjualannya tidak serta merta terus balik arah misalkan yang HGBT tadinya 100 yang terserap 80 yang 20 kan tidak kemudian sederhana dijual ke yg non HGBT,” ujar Komaidi kepada CNBC Indonesia, dikutip Senin (4/3/2024).

Berdasarkan kajian Reforminer Institute, secara kumulatif, kehilangan penerimaan negara dari implementasi kebijakan HGBT selama 2020-2022 mencapai sekitar Rp 39,19 triliun. Karena itu, ia pun meminta agar pemerintah dapat mengevaluasi kebijakan ini.

“Yang ingin saya sampaikan kepada pemerintah kalau memang hasilnya gak baik secara keseluruhan dari kacamata makro ekonomi sebaiknya ditinjau ulang kebijakannya kira-kira itu,” tambahnya.

Selain itu, Komaidi menilai, daya saing industri pada dasarnya tidak hanya ditentukan oleh faktor tunggal seperti harga gas. Biaya produksi dan daya saing industri pengguna gas juga ditentukan oleh 14 faktor lainnya. “Jadi artinya harga gas itu komponen penentu daya saing tetapi bukan satu-satunya, ada 14 faktor yang lain,” ungkapnya.

Produksi Batubara Bisa 500 Tahun Lagi, Indonesia Bisa Terapkan Clean Coal Process

Kontan.co.id; 15 Maret 2024

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Cadangan batu bara nasional yang mencapai 35 miliar ton dan sumber daya sebesar 134 miliar ton diperkirakan bisa digunakan hingga 500 tahun ke depan jika digunakan sendiri dengan cara yang benar. Bahkan jika sebagian diantaranya diekspor, batu bara nasional bisa dimanfaatkan hingga 200 tahun mendatang.

Rachmat Makkasau, Ketua Umum Indonesia Mining Association (IMA), mengatakan Indonesia dianugerahi cadangan dan sumberdaya batu bara yang masih bisa dimanfaatkan untuk 200-500 tahun mendatang.

“Untuk itu kita harus mencari cara ‘Clean Coal Process’, sambil tetap menerapkan EBT. Kalau Clean Coal Process dilakukan dan emisi bisa ditekan, bahkan ditiadakan maka tidak ada masalah kan?” ujar Rachmat saat Seminar Energy for Prosperity : The Economic Growth Impacts of Coal Mining, Kamis (14/3).

Rachmat mengatakan sampai saat ini batu bara merupakan energi paling murah dibandingkan yang lain. Apalagi berbagai cara sudah dilakukan industri batu bara untuk mengurangi emisi

Dia pun membayangkan suatu saat target sampai 2060, industri mulai pasang CCUS, penangkapan sulfur karbon, NOX dan lain-lain.“Kita membayangkan yang terjadi dengan Indonesia kalau 50 tahun lalu semua PLTU di Indonesia tidak ada emisinya, semua yang keluar dari PLTU, karbon ditangkap sulfur NOX ditangkap ada apa dengan batu bara, mungkin tidak ada masalah,” ungkap Rachmat.

Irwandy Arif, Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara, mengatakan kekayaan mineral dan batu bara nasional mencapai US$4 triliun yang duapertiganya berasal dari batu bara.“Jadi peranan batu bara itu sebenarnya besar kepada penghasilan yang kita dapat,” kata dia.

Menurut Irwandy, industri batu bara memang dibayangi transisi energi, sehingga banyak yang berpikiran peran batu bara akan mengalami penurunan. Padahal, hampir seluruh pembangkit listrik di Jawa berasal dari energi batu bara.

Seiring kehadiran EBT, maka keberlangsungan batu bara dipertanyakan. Kalau skenario biasa sampai 2060 produksi batu bara masih mencapai 720 juta ton. Hal ini tergantung pada perkembangan dari EBT.

Irwandy mengatakan saat ini pemerintah melalui DEN sudah menurunkan target 2025 sebesar tadinya 23% sekarang menjadi 17% karena realisasinya baru sekitar 13%.

“Jadi ini adalah business as usual. Kemudian ada skenario berikutnya NZE, ternyata produksi batu bara 2060 masih 327 juta ton. Jadi seberapa lama batu bara ini dalam buku saya mengatakan kurang lebih 40 tahun masih hidup,” katanya.

Irwandy mengatakan tantangan batu bara adalah bagaimana mengurangi emisi CO2. Intinya menjaga lingkungan dengan strategi optimasi penggunaan batu bara dan mencegah emisi CO2 maka munculah konsep carbon pricing trading, reklamasi dan sebagainya.

“Batu bara harus menerapkan Clean Coal Tchology. Sudah ada 13 PLTU menerapkan teknologi USC dan IGCC. Ini hal positif karena teknologinya mahal sekali,” kata Irwandy.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, mengatakan ada peran penting batu bara sejarah peradaban dunia revolusi Inggris dan Amerika Serikat. Ada temuan menarik Eropa dan US kalah dagang dengan Cina dan India dalam 15 tahun terakhir. Kalau dilihat lebih dalam lagi bauran energi kedua negara ini batu bara india 70% dan China 60-65%.

“Artinya, jangan-jangan transisi energi ini tidak pure soal lingkungan, tapi ada geopolitik. Eropa tidak memiliki cadangan batu bara,” kata Komaidi.

Menurut Komaidi, batu bara memiliki keterkaitan dengan 76 sektor pendukung dari sekitar 186 sektor pendukung di Indonesia. Hal ini ada keterkaitan kebelakang dan ke depan dalam konteks industri batu bara.

“Kalau ada investasi 1 akan menghasilkan 5,45 satuan. Artinya, kalau ada Rp1 triliun, maka nilai tambah ekonomi itu sebesar Rp5,35 triliun itu kisarannya di situ,” katanya.
Komaidi juga mengungkapkan poin penting batu bara terhadap listrik. Jika melihat biaya pembangkitan per KWh dari angka-angka yang ada batu bara termurah, bahkan di dalam kelompok fosil.

“Sebagian besar produksi listrik kita saat ini di batu bara sekitar 66,98% dari batu bara. Coba diganti PLTU dengan PLTS, akan naik tarifnya 30-an persen. Bahkan dalam realisasinya, kalau backup system dihitung, lebih tinggi lagi biayanya,” katanya.

Komaidi mengatakan perlu bijaksana dalam melihat batu bara. Batu bara memang paling kotor dari semua fosil, tapi yang mengubah tatanan ekonomi dunia teknologi, yang akan ubah tantangan transisi energi dunia juga teknologi. Jika suatu hari ada teknoologi penurunan emisi, masalah batu bara sudah selesai.

“Kita ikut transisi energi, tapi pilihan cara, kita enggak harus didikte negara-negara Eropa. Kita negara kepulauan, banyak argumentasi kenapa kita tidak memaksakan diri tapi tetap harus ikut arus global,” kata Komaidi.

Produksi Minyak Mengalami Penurunan Tiap Tahun, Ini Penyebabnya

Kontan; 13 Maret 2024

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat realisasi lifting minyak sebesar 605,5 ribu BOPD pada tahun lalu.

Jumlah tersebut turun dari realisasi 2022 sebesar 612,3 ribu BOPD dan juga masih di bawah target APBN 2023 sebesar 660 ribu BOPD dan work program and budget (WP&B) 621 ribu BOPD.

Kepala SKK Migas, Dwi Soetjipto mengatakan, SKK Migas akan berupaya mencapai produksi lifting minyak pada 2024 supaya tidak kurang dari 600 ribu BOPD di tengah tantangan pada awal tahun menghadapi bencana alam banjir.

Dwi membeberkan sejumlah kendala yang dihadapi oleh SKK Migas, antara lain kondisi cuaca yang ekstrem, safety stand down yang terjadi di seluruh wilayah Pertamina selama empat bulan yang mengakibatkan berkurangnya produksi sekitar 3.000 BOPD, pengeboran yang tidak mencapai target, ketersediaan rig, finansial, minimalnya integasi infrastruktur gas, hingga tumpang tindih dengan kawasan hutan konservasi.

“Kita menghadapi problementry rate yang berkurang 5.400 barel per hari, ada proyek-proyek yang delay menyebabkan berkurangnya 6.100 barel, dan beberapa peralatan yang stop planned maupun unplanned berkurang 7,4 ribu,” kata Dwi dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VII DPR, Rabu (13/3).

Praktisi Sektor Hulu Migas, Tumbur Parlindungan menilai produksi minyak turun setiap tahunnya disebabkan beberapa faktor yang mempengaruhi. Pertama, kurangnya aktivitas eksplorasi terutama dalam kurun 15 tahun terakhir, sehingga belum ditemukan lapangan-lapangan baru yang signifikan produksinya.

“Kedua, laju penurunan produksi dari lapangan yang ada juga cukup besar (di atas 2% per tahun), namun pada saat ini mulai banyak dilakukan penanganan penurunan produksi dengan teknologi,” ungkap Tumbur kepada KONTAN, Rabu (13/3).

Ketiga, lanjut Tumbur, ?fluktuasi harga komoditas juga mengakibatkan banyak penundaan dalam investasi terutama di sektor hulu migas. Selain itu, contract sanctity juga menjadi salah satu domain yang akibatnya banyak investor di sektor hulu melakukan “wait and see” dalam berinvestasi di Indonesia.

Terakhir, competitiveness upstream Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain yang mempunyai resources juga merupakan salah satu kendala dalam menarik investor.

Senada, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan, masalah utama target produksi minyak yang tidak tercapai lantaran lapangan eksisting sudah berumur tua secara pola atau tren berada pada kondisi yang terus turun.

“Fosil kan memang sudah menjadi hukum alam pasti kemampuan produksinya akan turun,” kata Komaidi kepada KONTAN, Rabu (13/3).

Biasanya, kata Komaidi, untuk mengkompensasi hal itu harus dilakukan penemuan baru atau mengganti lapangan atau sumur-sumur yang baru yang sudah turun produksinya, seperti yang dilakukan negara-negara lain.

Ia menuturkan, untuk menemukan cadangan baru harus dilakukan kegiatan eksplorasi, tanpa adanya kegiatan eksplorasi kemungkinan kecil sekali untuk bisa menemukan cadangan.

“Ibarat di pertanian, eksplorasi ini seumpamanya menanam, kalau tidak menanam ya tidak akan pernah panen,” tutur Komaidi.

Menurut Komaidi, masalah utamanya saat ini adalah sistem pengusaha migas di Indonesia memakai sistem kontrak, di mana ketika pada tahap eksplorasi ketika belum menemukan cadangan migas, 100% risikonya melekat pada KKKS.

Selain itu, di tambah dengan kondisi geologi yang berbeda dengan masa lalu yang cadangannya lebih banyak di darat, saat ini cadangannya lebih banyak di laut dalam sehingga risiko masalahnya makin tinggi.

“Ini kombinasi masalah kenapa kegiatan eksplorasi tidak masif dan cadangan yang ditemukan juga tidak signifikan. Lebih besar penurunan produksinya daripada cadangan-cadangan baru,” ujar Komaidi.

Ia menambahkan, pelaku migas sebetulnya sudah memberikan masukan dan mengeluhkan ke pemerintah, namun belum dijalankan dengan baik. Menurutnya, pengusaha migas ini perlu kolaborasi.

“Modalnya gede, teknologinya canggih. Harus berkolabarasi baik di modal, teknologi, dan tenaga ahlinya,” pungkas Komaidi.