Produksi Batubara Bisa 500 Tahun Lagi, Indonesia Bisa Terapkan Clean Coal Process

Kontan.co.id; 15 Maret 2024

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Cadangan batu bara nasional yang mencapai 35 miliar ton dan sumber daya sebesar 134 miliar ton diperkirakan bisa digunakan hingga 500 tahun ke depan jika digunakan sendiri dengan cara yang benar. Bahkan jika sebagian diantaranya diekspor, batu bara nasional bisa dimanfaatkan hingga 200 tahun mendatang.

Rachmat Makkasau, Ketua Umum Indonesia Mining Association (IMA), mengatakan Indonesia dianugerahi cadangan dan sumberdaya batu bara yang masih bisa dimanfaatkan untuk 200-500 tahun mendatang.

“Untuk itu kita harus mencari cara ‘Clean Coal Process’, sambil tetap menerapkan EBT. Kalau Clean Coal Process dilakukan dan emisi bisa ditekan, bahkan ditiadakan maka tidak ada masalah kan?” ujar Rachmat saat Seminar Energy for Prosperity : The Economic Growth Impacts of Coal Mining, Kamis (14/3).

Rachmat mengatakan sampai saat ini batu bara merupakan energi paling murah dibandingkan yang lain. Apalagi berbagai cara sudah dilakukan industri batu bara untuk mengurangi emisi

Dia pun membayangkan suatu saat target sampai 2060, industri mulai pasang CCUS, penangkapan sulfur karbon, NOX dan lain-lain.“Kita membayangkan yang terjadi dengan Indonesia kalau 50 tahun lalu semua PLTU di Indonesia tidak ada emisinya, semua yang keluar dari PLTU, karbon ditangkap sulfur NOX ditangkap ada apa dengan batu bara, mungkin tidak ada masalah,” ungkap Rachmat.

Irwandy Arif, Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara, mengatakan kekayaan mineral dan batu bara nasional mencapai US$4 triliun yang duapertiganya berasal dari batu bara.“Jadi peranan batu bara itu sebenarnya besar kepada penghasilan yang kita dapat,” kata dia.

Menurut Irwandy, industri batu bara memang dibayangi transisi energi, sehingga banyak yang berpikiran peran batu bara akan mengalami penurunan. Padahal, hampir seluruh pembangkit listrik di Jawa berasal dari energi batu bara.

Seiring kehadiran EBT, maka keberlangsungan batu bara dipertanyakan. Kalau skenario biasa sampai 2060 produksi batu bara masih mencapai 720 juta ton. Hal ini tergantung pada perkembangan dari EBT.

Irwandy mengatakan saat ini pemerintah melalui DEN sudah menurunkan target 2025 sebesar tadinya 23% sekarang menjadi 17% karena realisasinya baru sekitar 13%.

“Jadi ini adalah business as usual. Kemudian ada skenario berikutnya NZE, ternyata produksi batu bara 2060 masih 327 juta ton. Jadi seberapa lama batu bara ini dalam buku saya mengatakan kurang lebih 40 tahun masih hidup,” katanya.

Irwandy mengatakan tantangan batu bara adalah bagaimana mengurangi emisi CO2. Intinya menjaga lingkungan dengan strategi optimasi penggunaan batu bara dan mencegah emisi CO2 maka munculah konsep carbon pricing trading, reklamasi dan sebagainya.

“Batu bara harus menerapkan Clean Coal Tchology. Sudah ada 13 PLTU menerapkan teknologi USC dan IGCC. Ini hal positif karena teknologinya mahal sekali,” kata Irwandy.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, mengatakan ada peran penting batu bara sejarah peradaban dunia revolusi Inggris dan Amerika Serikat. Ada temuan menarik Eropa dan US kalah dagang dengan Cina dan India dalam 15 tahun terakhir. Kalau dilihat lebih dalam lagi bauran energi kedua negara ini batu bara india 70% dan China 60-65%.

“Artinya, jangan-jangan transisi energi ini tidak pure soal lingkungan, tapi ada geopolitik. Eropa tidak memiliki cadangan batu bara,” kata Komaidi.

Menurut Komaidi, batu bara memiliki keterkaitan dengan 76 sektor pendukung dari sekitar 186 sektor pendukung di Indonesia. Hal ini ada keterkaitan kebelakang dan ke depan dalam konteks industri batu bara.

“Kalau ada investasi 1 akan menghasilkan 5,45 satuan. Artinya, kalau ada Rp1 triliun, maka nilai tambah ekonomi itu sebesar Rp5,35 triliun itu kisarannya di situ,” katanya.
Komaidi juga mengungkapkan poin penting batu bara terhadap listrik. Jika melihat biaya pembangkitan per KWh dari angka-angka yang ada batu bara termurah, bahkan di dalam kelompok fosil.

“Sebagian besar produksi listrik kita saat ini di batu bara sekitar 66,98% dari batu bara. Coba diganti PLTU dengan PLTS, akan naik tarifnya 30-an persen. Bahkan dalam realisasinya, kalau backup system dihitung, lebih tinggi lagi biayanya,” katanya.

Komaidi mengatakan perlu bijaksana dalam melihat batu bara. Batu bara memang paling kotor dari semua fosil, tapi yang mengubah tatanan ekonomi dunia teknologi, yang akan ubah tantangan transisi energi dunia juga teknologi. Jika suatu hari ada teknoologi penurunan emisi, masalah batu bara sudah selesai.

“Kita ikut transisi energi, tapi pilihan cara, kita enggak harus didikte negara-negara Eropa. Kita negara kepulauan, banyak argumentasi kenapa kita tidak memaksakan diri tapi tetap harus ikut arus global,” kata Komaidi.

Produksi Minyak Mengalami Penurunan Tiap Tahun, Ini Penyebabnya

Kontan; 13 Maret 2024

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat realisasi lifting minyak sebesar 605,5 ribu BOPD pada tahun lalu.

Jumlah tersebut turun dari realisasi 2022 sebesar 612,3 ribu BOPD dan juga masih di bawah target APBN 2023 sebesar 660 ribu BOPD dan work program and budget (WP&B) 621 ribu BOPD.

Kepala SKK Migas, Dwi Soetjipto mengatakan, SKK Migas akan berupaya mencapai produksi lifting minyak pada 2024 supaya tidak kurang dari 600 ribu BOPD di tengah tantangan pada awal tahun menghadapi bencana alam banjir.

Dwi membeberkan sejumlah kendala yang dihadapi oleh SKK Migas, antara lain kondisi cuaca yang ekstrem, safety stand down yang terjadi di seluruh wilayah Pertamina selama empat bulan yang mengakibatkan berkurangnya produksi sekitar 3.000 BOPD, pengeboran yang tidak mencapai target, ketersediaan rig, finansial, minimalnya integasi infrastruktur gas, hingga tumpang tindih dengan kawasan hutan konservasi.

“Kita menghadapi problementry rate yang berkurang 5.400 barel per hari, ada proyek-proyek yang delay menyebabkan berkurangnya 6.100 barel, dan beberapa peralatan yang stop planned maupun unplanned berkurang 7,4 ribu,” kata Dwi dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VII DPR, Rabu (13/3).

Praktisi Sektor Hulu Migas, Tumbur Parlindungan menilai produksi minyak turun setiap tahunnya disebabkan beberapa faktor yang mempengaruhi. Pertama, kurangnya aktivitas eksplorasi terutama dalam kurun 15 tahun terakhir, sehingga belum ditemukan lapangan-lapangan baru yang signifikan produksinya.

“Kedua, laju penurunan produksi dari lapangan yang ada juga cukup besar (di atas 2% per tahun), namun pada saat ini mulai banyak dilakukan penanganan penurunan produksi dengan teknologi,” ungkap Tumbur kepada KONTAN, Rabu (13/3).

Ketiga, lanjut Tumbur, ?fluktuasi harga komoditas juga mengakibatkan banyak penundaan dalam investasi terutama di sektor hulu migas. Selain itu, contract sanctity juga menjadi salah satu domain yang akibatnya banyak investor di sektor hulu melakukan “wait and see” dalam berinvestasi di Indonesia.

Terakhir, competitiveness upstream Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain yang mempunyai resources juga merupakan salah satu kendala dalam menarik investor.

Senada, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan, masalah utama target produksi minyak yang tidak tercapai lantaran lapangan eksisting sudah berumur tua secara pola atau tren berada pada kondisi yang terus turun.

“Fosil kan memang sudah menjadi hukum alam pasti kemampuan produksinya akan turun,” kata Komaidi kepada KONTAN, Rabu (13/3).

Biasanya, kata Komaidi, untuk mengkompensasi hal itu harus dilakukan penemuan baru atau mengganti lapangan atau sumur-sumur yang baru yang sudah turun produksinya, seperti yang dilakukan negara-negara lain.

Ia menuturkan, untuk menemukan cadangan baru harus dilakukan kegiatan eksplorasi, tanpa adanya kegiatan eksplorasi kemungkinan kecil sekali untuk bisa menemukan cadangan.

“Ibarat di pertanian, eksplorasi ini seumpamanya menanam, kalau tidak menanam ya tidak akan pernah panen,” tutur Komaidi.

Menurut Komaidi, masalah utamanya saat ini adalah sistem pengusaha migas di Indonesia memakai sistem kontrak, di mana ketika pada tahap eksplorasi ketika belum menemukan cadangan migas, 100% risikonya melekat pada KKKS.

Selain itu, di tambah dengan kondisi geologi yang berbeda dengan masa lalu yang cadangannya lebih banyak di darat, saat ini cadangannya lebih banyak di laut dalam sehingga risiko masalahnya makin tinggi.

“Ini kombinasi masalah kenapa kegiatan eksplorasi tidak masif dan cadangan yang ditemukan juga tidak signifikan. Lebih besar penurunan produksinya daripada cadangan-cadangan baru,” ujar Komaidi.

Ia menambahkan, pelaku migas sebetulnya sudah memberikan masukan dan mengeluhkan ke pemerintah, namun belum dijalankan dengan baik. Menurutnya, pengusaha migas ini perlu kolaborasi.

“Modalnya gede, teknologinya canggih. Harus berkolabarasi baik di modal, teknologi, dan tenaga ahlinya,” pungkas Komaidi.

Pengembangan Kilang untuk Ketahanan Energi dan Hilirisasi Migas

CNBCIndonesia; 13 Maret 2024

Konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) nasional terus mengalami tren peningkatan setiap tahunnya. Dalam satu dekade terakhir, konsumsi BBM nasional tercatat meningkat dari kisaran 1,1 juta barel per hari menjadi 1,5 juta barel per hari.

Pertumbuhan konsumsi BBM nasional tersebut turut berdampak pada peningkatan impor BBM nasional. Berdasarkan data Kementerian BUMN, impor BBM nasional meningkat dari 140,5 juta barel pada tahun 2018 menjadi 145,2 juta barel pada tahun 2022. Selama periode tersebut porsi impor BBM di dalam memenuhi kebutuhan BBM nasional juga tercatat cukup besar, yaitu mencapai 31,8%.

Penambahan kapasitas kilang nasional yang tidak sebanding dengan peningkatan konsumsi BBM menjadi salah satu faktor penyebab meningkatnya impor BBM beberapa tahun terakhir. Data Kementerian ESDM menyebutkan, sejak tahun 1984 hingga tahun 2022, kapasitas kilang nasional hanya bertambah sekitar 361,6 ribu barel per hari (kbpd). Sementara pada periode yang sama, konsumsi minyak nasional telah meningkat hingga sekitar 1.295 kbpd.

Kebijakan Pengembangan Kilang Nasional
Berdasarkan pencermatan, langkah pemerintah di dalam mengidentifikasi dan menyelesaikan permasalahan terkait impor BBM nasional dapat dikatakan telah cukup jelas. Di tingkat kebijakan makro, pemerintah telah menetapkan kebijakan revitalisasi dan pengembangan kapasitas kilang nasional yang dilakukan melalui proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) dan Grass Root Refinery (GRR).

Melalui proyek tersebut pemerintah menargetkan peningkatan kapasitas kilang nasional dari 1,151 juta barel per hari pada tahun 2022 menjadi 1,425 juta barel per hari pada tahun 2028.

Sejumlah kilang nasional tercatat terlibat dalam proyek RDMP di antaranya adalah kilang Balongan dengan target peningkatan kapasitas sebesar 25 kbpd dari kapasitas 125 kbpd menjadi 150 kbpd. Selanjutnya kilang Balikpapan dengan target peningkatan kapasitas dari 260 kbpd menjadi 360 kbpd yang dijadwalkan selesai pada tahun 2024. Selain itu, proyek RDMP juga akan mencakup kilang Cilacap, Plaju, dan Dumai yang dijadwalkan untuk selesai pada tahun 2026.

Sementara itu, pembangunan kilang yang ditetapkan di dalam proyek GRR adalah pembangunan kilang baru di Tuban yang dijadwalkan beroperasi pada tahun 2028. Proyek GRR Tuban direncanakan memiliki kapasitas kilang mencapai 300 kbpd. Kilang Tuban juga ditargetkan dapat menghasilkan produk petrokimia sebesar 4.701 KTPA atau setara dengan 30% kebutuhan produk petrokimia nasional saat ini.

Rencana makro pengembangan kilang di atas dilaporkan tidak hanya akan dapat mengendalikan impor BBM nasional, dalam perhitungan pemerintah proyek RDMP dan GRR di atas juga akan memberikan multiplier effect bagi perekonomian nasional.

Untuk pelaksanaan proyek GRR Tuban misalnya, proyek tersebut berpotensi memberikan tambahan terhadap investasi nasional sebesar US$13,5 miliar atau setara Rp 205,05 triliun. Proyek tersebut juga diproyeksi dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 20.000 orang pada saat konstruksi dan 2.500 pada saat mulai beroperasi.

Selain efek jangka pendek, penyelesaian proyek RDMP dan GRR juga memiliki peran strategis dalam mendukung upaya pemerintah dalam memperluas kegiatan hilirisasi di sektor migas untuk jangka panjang. Berdasarkan data Kementerian Investasi/BKPM, pemerintah telah menetapkan rencana perluasan program hilirisasi migas yang akan dilaksanakan dari tahun 2025 hingga 2040.

Program ini memiliki target total investasi sebesar Rp1.053 triliun, dengan alokasi dana sebesar Rp 314,71 triliun untuk hilirisasi minyak bumi dan Rp 771,70 triliun untuk hilirisasi gas bumi.

Program hilirisasi migas tersebut berpotensi memberikan dampak positif terhadap kinerja sektor moneter Indonesia dan stabilitas nilai tukar rupiah. Pelaksanaan hilirisasi migas diproyeksikan akan menghemat penggunaan devisa impor sekitar 73,30 miliar USD atau setara dengan Rp 1.134 triliun.

Tantangan Pengembangan Kilang Nasional
Implementasi penyelesaian sejumlah proyek RDMP dan GRR di atas memerlukan iklim investasi yang kondusif. Hal ini penting untuk memastikan bahwa badan usaha yang terlibat dalam revitalisasi dan pengembangan kilang dapat memenuhi komitmen yang telah disepakati.

Berbagai studi diantaranya dari US Energy Information Administration menyebutkan bahwa industri kilang merupakan industri padat modal dengan sistem pengoperasian yang kompleks. Keputusan pengembangan industri kilang juga dipengaruhi oleh sejumlah faktor berkaitan dengan aspek lingkungan, ketersediaan lahan, kepastian pasar dan volatilitas harga minyak sebagai bahan baku utama.

Di tingkat global, struktur biaya pembangunan kilang minyak umumnya dipengaruhi oleh kegiatan konstruksi dan infrastruktur serta transportasi dan logistik yang berkontribusi lebih dari 60% dari total investasi pembangunan kilang. Sementara 30% lainnya diantaranya mencakup aspek penyediaan lahan, keamanan, dan persyaratan lingkungan.

Praktik yang umum terjadi di beberapa negara adalah pemerintah memberikan perlakuan khusus untuk mendukung perkembangan industri kilang di negaranya. Dalam rangka mengkompensasi margin keuntungan yang relatif kecil, pemerintah sering memberikan insentif investasi dan insentif perpajakan agar industri kilang dapat tetap kompetitif dalam konteks ekonomi yang lebih luas.

Dalam beberapa kasus, untuk kepentingan yang lebih luas seperti menjaga keamanan energi dan penciptaan cadangan minyak strategis (strategic petroleum reserve), pemerintah dari sejumlah negara seringkali mengambil peran sebagai pelaksana langsung dalam pembangunan kilang.

Setelah pembangunan, pengelolaan kilang-kilang ini dapat dilakukan oleh pemerintah secara langsung atau melalui pihak lain, baik itu BUMN atau swasta, yang mewakili kepentingan pemerintah dari negara yang bersangkutan.

Keterlibatan Pemerintah
Belajar dari konsep bisnis pengembangan kilang yang berlaku di tingkat global, dapat disimpulkan bahwa intervensi pemerintah pemerintah memainkan peran penting dalam kesuksesan pengembangan kilang di suatu negara.

Dalam konteks pengembangan kapasitas kilang nasional dan dalam upaya mempercepat penyelesaian target proyek RDMP dan GRR di atas, pemerintah pada dasarnya memiliki beberapa opsi yang dapat dipertimbangkan. Pertama, pemerintah dapat mengambil sikap progresif dengan memberikan dukungan pembangunan, menggunakan dana yang dialokasikan dari pengurangan anggaran subsidi BBM.

Kedua, pemerintah dapat mengambil sikap moderat dengan memberikan penjaminan, insentif fiskal, dan non-fiskal kepada investor yang tengah menjajaki kerja sama dengan Pertamina. Intervensi pemerintah dalam hal ini menjadi faktor yang memungkinkan pelaksanaan pengembangan proyek kilang nasional dapat berjalan dan terealisasi dengan baik.

Ini Aneka Manfaat Hilirisasi Migas untuk Ekonomi Indonesia

Kompas.com; 13 Maret 2024

JAKARTA, KOMPAS.com – Hilirisasi minyak dan gas (migas) dinilai memiliki manfaat ekonomi bagi Indonesia. Hilirisasi migas, salah satunya dengan pembangunan kilang migas. Hal itu disampaikan oleh Komaidi Notonegoro, Executive Director at ReforMiner Institute, melalui keterangannya, Rabu (13/3/2024).

Menurut dia, hilirisasi migas di Indonesia sudah dimulai sejak 1890, yakni saat pertama kali kilang minyak dibangun di Wonokromo Surabaya. Oleh sebab itu, hilirisasi migas tak bisa lepas dari keberadaan kilang migas. Menurut Komaidi, salah satu manfaat hilirisasi migas dan keberadaan industri kilang migas bagi Indonesia adalah mampu menjadi katalis pertumbuhan ekonomi karena pemerintah dapat memberlakukan kebijakan harga BBM murah (bersubsidi).

Kemudian, industri kilang migas berperan penting ke perekonomian Indonesia sebab berdasarkan data, industri kilang migas memiliki keterkaitan dengan sekitar 93 sektor ekonomi pendukung sebagai pemasok input dan dengan 183 sektor ekonomi pengguna yang menggunakan hasil produksi dari industri kilang. “Peran penting industri kilang juga terlihat dari alokasi hasil produksi. Sekitar 67,25 persen output industri kilang dialokasikan sebagai input atau bahan baku untuk sekitar 183 sektor ekonomi penggunanya,” kata Komaidi melalui keterangannya. “Sementara sekitar 32,75 persen output industri kilang dialokasikan untuk memenuhi permintaan akhir atau konsumsi yang tidak terkait dengan proses produksi,” lanjutnya.

Pentingnya industri kilang migas

Menurut Komaidi, Berdasarkan analisis model Input-Output (IO), industri kilang memiliki total nilai multiplier effect ekonomi dari keterkaitan dengan sektor pendukung dan penggunanya sebesar 9,1604. Artinya, jika terdapat tambahan investasi sebesar Rp 1 triliun pada industri kilang, total manfaat ekonomi yang berpotensi dapat tercipta dalam seluruh struktur perekonomian Indonesia adalah sekitar Rp 9,16 triliun.

Selanjutnya, masih berdasar analisis model IO, maka ditemukan bahwa industri kilang migas memiliki keterkaitan dengan sebagian besar pembentukan produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Sektor pendukung industri kilang tercatat terkait dengan sekitar 67,48 persen pembentukan PDB, sedangkan sektor pengguna industri kilang terkait dengan sekitar 99,71 persen pembentukan PDB Indonesia.

Hilirisasi migas 2025-2050

Komaidi mengatakan, berdasarkan data dan informasi, pelaksanaan hilirisasi migas yang akan dilaksanakan untuk tahun 2025-2040 ditargetkan akan mendatangkan total investasi sekitar Rp 1.053 triliun. Terdistribusi atas Rp 314,71 triliun untuk hilirisasi minyak bumi dan Rp 771,70 triliun untuk hilirisasi gas bumi.

Hilirisasi migas yang akan dilaksanakan pada 2025-2040 diproyeksikan berpotensi memberikan dampak positif terhadap kinerja sektor moneter Indonesia dan stabilitas nilai tukar rupiah. Pelaksanaan hilirisasi migas diproyeksikan akan menghemat penggunaan devisa impor sekitar 73,30 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 1.134 triliun.

Manfaat hilirisasi dan kilang migas

Selanjutnya, Komaidi mengatakan bahwa hilirisasi dan prospek bisnis industri kilang migas diproyeksikan masih akan cukup baik dan besar. Hal itu terkait dengan kondisi bahwa saat ini sekitar 70 persen kebutuhan petrokimia dan 32 persen kebutuhan BBM Indonesia, masih harus dipenuhi dari impor.

Hilirisasi migas, lanjut Komaidi, juga berpotensi memberikan manfaat positif terhadap kinerja keuangan Pertamina dan keuangan negara. Berdasarkan data, pendapatan segmen kilang dan petrokimia Pertamina pada tahun 2022 dilaporkan sekitar Rp 572 triliun. Kontribusi segmen kilang dan petrokimia Pertamina terhadap penerimaan negara melalui pembayaran pajak (PPh 22 Impor, PPN & PPnBM, Bea dan Cukai, dan Pajak Daerah) pada tahun 2022 dilaporkan sebesar Rp 49,72 triliun.

Terkait dengan manfaat ekonomi hilirisasi dan keberadaan industri kilang migas yang cukup besar tersebut, Komaidi menilai, penting untuk dirumuskan dukungan kebijakan yang optimal untuk pengembangan industri kilang di Indonesia. Kebijakan pengembangan kilang pada negaranegara lain seperti melalui memberikan insentif investasi dan perpajakan, bahkan pemerintah dari sejumlah negara tercatat berperan sebagai pelaksana langsung dalam pembangunan kilang, kiranya dapat dipertimbangkan untuk diadopsi.

Pengamat Pri Agung Rakhmanto: Pemanfaatan HGBT masih Perlu Dievaluasi

MediaIndonesia; 10 Maret 2024

FOUNDER & Advisor ReforMiner Institute (Research Institute for Mining and Energy Economics) Pri Agung Rakhmanto mengatakan pemanfaatan kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yang saat ini belum optimal masih perlu dievalasi secara menyeluruh.

“Memang sangat perlu dievaluasi secara menyeluruh biaya-manfaatnya dari apa yang sudah berjalan selama ini. Penerimaan negara sudah jelas berkurang, sementara dari sisi tambahan pajak dan efek multiplier ekonomi lainnya yang diharapkan sepertinya belum jelas,” kata Pri Agung saat dihubungi pada Minggu (10/3).Dari sisi peningkatan daya saing industri, lanjut dia, juga mesti dilihat secara lebih komprehensif karena harga gas bukan penentu satu-satunyanya daya saing industri.

Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa faktor yang mempengaruhi daya saing industri tidak tunggal, namun beragam dan tidak sama juga untuk tiap jenis industrinya. Adapun empat di antara faktor yang mempengaruhi daya saing industri menurutnya adalah faktor permintaan, faktor sumberdaya, strategi industri dan keterkaitan dengan industri pendukung didalam mata rantai industri tersebut.

“Harga gas, hanya salah satu bagian didalam faktor sumberdaya, dan lebih khususnya didalam aspek biaya. Porsi biaya dari gas dalam struktur biaya untuk tiap industri juga bervariasi. Industri oleokimia kurang lebih di kisaran dibawah 5%, industri sarung tangan bisa 7-15%. Industri kaca bisa 15-20%, dan bagi industri yang bahan bakunya utamanya adalah gas, seperti pupuk misalnya bisa lebih besar,” ujarnya.”Tapi sekali lagi, itu hanya salah satu bagian, yaitu porsi biaya, dari salah satu faktor yang mempengaruhi daya saing suatu industri, yaitu di dalam faktor sumberdaya,” sambung dia.Ia menyebut apabila pemerintah bermaksud memberi dorongan untuk sektor industri, maka alternatif kebijakan sebagai pengganti kebijakan HGBT sebenarnya adalah dengan secara langsung memberikan insentif pajak (direct fiscal incentives) kepada industri-industri yang ditarget tersebut.

“Lebih direct dan pengukuran biaya manfaatnya menjadi lebih jelas. Kebijakan ini tidak menimbulkan distorsi ekonomi dlm pengelolaan di sektor energi, iklim investasi di sektor energi baik hulu, midstream, maupun downstream tidak terganggu karena harga didasarkan atas prinsip kelayakan keekonomian, bukan diatur-atur dan diseragamkan,” pungkasnya. (Z-3)

Harga Gas Murah, Bukan Pendorong Utama Daya Saing Industri!

CNBCIndonesia; 4 Maret 2024

Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah cukup jor-joran menyalurkan sejumlah insentif kepada sektor industri di dalam negeri. Salah satunya, memberlakukan kebijakan ‘harga gas murah’ melalui Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) sebesar US$ 6 per MMBTU.
Tercatat, ada tujuh sektor industri penikmat HGBT, antara lain industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, hingga sarung tangan karet.

Niat dari kebijakan HGBT ini diharapkan bisa menciptakan dampak berganda (multiplier effect) kepada industri, baik dari sisi tenaga kerja, serta dapat meningkatkan perusahaan untuk melakukan ekspansi.

Di satu sisi, pemerintah memastikan penyesuaian harga gas ini tidak akan mengurangi jatah bagi hasil Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di sektor hulu minyak dan gas bumi (migas). Sebab, pemerintah menanggung selisih harga dengan mengurangi jatah keuntungan penjualan gas negara.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai, tujuan pemerintah memberikan harga gas murah untuk industri sejatinya cukup bagus. Tapi, pemerintah juga perlu memperhatikan keberlangsungan industri lainnya.

“Kalau ini kan seolah-olah yang industri gas ini dikeluarkan dari kelompok industri. Padahal mereka juga industri. Jadi, beratnya lebih ke industri pengguna gasnya,” kata Komaidi kepada CNBC Indonesia, Kamis (29/2/2024).

Berdasarkan kajian dari ReforMiner Institute, biaya dan manfaat dari implementasi kebijakan HGBT relatif belum sesuai dengan perkiraan awal. Secara kumulatif, kehilangan penerimaan negara dari implementasi kebijakan HGBT selama 2020-2022 mencapai sekitar Rp 39,19 triliun.

Sementara, penghematan atau kompensasi penerimaan negara dari implementasi kebijakan HGBT pada masing-masing tahun anggaran dilaporkan masih jauh di bawah nilai kehilangan pendapatan negara dari adanya kebijakan tersebut.

Daya Saing Tak Ditentukan Harga Gas

Komaidi membeberkan, daya saing industri pada dasarnya tidak hanya ditentukan oleh faktor tunggal seperti harga gas. Biaya produksi dan daya saing industri pengguna gas juga ditentukan oleh 14 faktor lainnya.

“Daya saing industri itu faktornya ada sekitar 10-15 faktor. Nah salah satunya baru harga gas. Jadi artinya, harga gas itu komponen penentu daya saing tetapi bukan satu-satunya, ada 14 faktor yang lain,” ujarnya.

Sementara itu, porsi biaya penyediaan gas dalam struktur biaya produksi industri penerima HGBT bisa dikatakan bukan lah hal dominan. Misalnya saja, porsi biaya penyediaan gas dalam struktur biaya produksi untuk industri oleokimia adalah “hanya” sekitar 3,3%.

Kemudian, untuk industri sarung tangan dilaporkan berkisar 7%-14%, lalu porsi biaya penyediaan gas untuk industri kaca sekitar 16%.

Ia menilai, kebijakan HGBT berpotensi menjadi beban dan kontraproduktif terhadap perekonomian negara dalam jangka panjang. Pasalnya, biaya fiskal dan ekonomi yang diperlukan untuk mempertahankan implementasi kebijakan HGBT cukup besar.

Menurut dia, kebijakan HGBT dapat menjadi penyebab utama industri hulu, tengah atau midstream, hingga hilir migas di dalam negeri tidak berkembang. Hal ini lantas berpotensi memicu terjadinya ketergantungan terhadap impor energi yang semakin membesar.

Di samping itu, implementasi kebijakan HGBT dalam jangka panjang juga dapat membuat pengembangan infrastruktur gas menjadi stagnan. Oleh sebab itu, Komaidi berharap agar harga gas tidak terus diintervensi.

“Kalau harganya terus dintervensi kemudian minat investornya tidak kunjung membaik, yang dikhawatirkan nanti seperti minyak, artinya industri minyaknya kan turun terus menerus. Dulu kita bisa produksi 1,6 juta barel per hari (bph), sekarang tinggal 600 ribu bph. Artinya sudah lost 1 juta bph dari awal masa kejayaan produksi,” kata Komaidi.

Tak Terserap 100%

Terpisah, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengungkapkan, alokasi gas bumi dari tujuh sektor industri penerima HGBT hingga kini masih belum terserap sepenuhnya.

Deputi Keuangan dan Komersialisasi SKK Migas Kurnia Chairi mengatakan, serapan gas bumi dari sektor industri penerima HGBT sejatinya sudah mulai membaik pada tahun lalu. Meski demikian, realisasinya belum mencapai 100% dari alokasi yang ditetapkan pemerintah.

“Penyerapan 7 industri kami lihat secara umum sudah membaik di 2023, realisasinya di atas 90%. Kenapa tidak terserap 100%, ini sedang kita lakukan evaluasi, dan memang faktornya cukup banyak,” kata dia.

Kurnia menjelaskan, setidaknya ada beberapa faktor yang membuat penyerapan gas penerima HGBT belum sepenuhnya. Pertama, faktor dari sisi hulu itu sendiri, di mana rencana-rencana produksi mengalami kendala operasional.

“Mengakibatkan ada alokasi yang sudah direncanakan dalam Kepmen (Keputusan Menteri), jadi ada sedikit fluktuasi kadang meningkat dan mungkin ada penurunan,” ujarnya.

Kedua, dari sisi midstream dan downstream, di mana terdapat beberapa industri yang belum mampu menyerap gas karena adanya kendala operasional atau karena adanya penghentian sementara untuk perawatan atau turn around. “Mungkin sedang shutdown sementara atau dapat alternatif energi, kami sedang lakukan pendalaman,” kata dia.

Pendapatan Negara Anjlok

SKK Migas bahkan mencatat, pemberian HGBT kepada 7 industri berdampak pada berkurangnya penerimaan negara. Potensi penurunan penerimaan negara dari harga gas US$ 6 per MMBTU untuk tujuh sektor industri pada 2023 diperkirakan mencapai lebih dari US$ 1 miliar atau sekitar Rp 15,68 triliun (asumsi kurs Rp 15.680 per US$).

“Tentu saja secara otomatis berkurang, kalau nilainya saat ini sedang kita coba evaluasi dan kalau saya mencatat mungkin jumlahnya di tahun 2023 ini bisa mencapai lebih dari US$ 1 miliar,” kata Kurnia dalam webinar Menelisik Kesiapan Pasokan Gas untuk Sektor Industri dan Pembangkit Listrik, Rabu (28/2/2024).

Kurnia mengatakan, potensi berkurangnya penerimaan negara atas adanya kebijakan HGBT tersebut masih sebatas angka sementara. Namun yang pasti, ia berharap penerimaan negara yang berkurang tersebut dapat dikompensasi dengan adanya peningkatan kinerja dan dampak berganda yang dirasakan oleh para industri penerima HGBT. “Ini sedang evaluasi untuk bisa nanti merumuskan kebijakan untuk melanjutkan HGBT ini ke depan,” ujarnya.

Ekonomi Energi I

Buku EKONOMI ENERGI I Membahas ilmu ekonomi energi berdasarkan pada teori ekonomi mikro yang mempelajari perilaku pelaku ekonomi; Ekonomi energi sebagai salah satu cabang ekonomi terapan seperti halnya ilmu ekonomi terapan lainnya juga bisa dilihat dari sisi mikro maupun makro; Buku ini juga dibuat untuk memperkaya literatur ekonomi energi di indonesia, dengan penekanan pada pemahaman dan penerapan dasar teori ekonomi, khususnya teori ekonomi mikro untuk menganalisis energi dan permasalahan ekonominya.

Penulis : Penulis: Pri Agung Rakhmanto;Dosen FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute

Penerbit : ReforMiner Institute-Maret 2017

Harga, Rp. 80.000,- belum termasuk biaya pengiriman

Jaringan Gas Rumah Tangga Perlu Intervensi Lebih dan Kemauan Politik

Kompas.com; 19 Februari 2024

JAKARTA, KOMPAS — Pengembangan jaringan gas perkotaan yang disiapkan sebagai salah satu alternatif pengganti elpiji sulit berkembang dan realisasinya jauh dari target. Pengamat menilai perlu intervensi lebih besar dalam jaringan gas, seperti alokasi besar dengan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN. Di sisi lain, juga perlu ada kemauan politik jika ketergantungan impor elpiji hendak direduksi dengan jaringan gas.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pemanfaatan gas bumi untuk jaringan gas pada 2023 hanya 16,14 miliar bristh thermal unit per hari (BBTUD) atau 0,43 persen dari total penyaluran gas bumi domestik yang 3.745 BBTUD. Penyaluran gas bumi masih didominasi industri, pupuk, kelistrikan, dan gas alam cair (LNG) domestik.

Adapun realisasi jaringan gas hingga akhir 2023 baru sekitar 900.000 sambungan rumah tangga atau jauh dari target 2,5 juta sambungan rumah tangga pada 2024. Bahkan, angka (2,5 juta) pun sudah diturunkan dari target sebelumnya, yakni 4 juta sambungan rumah tangga pada 2024.

Mengenai permintaan (demand) pada jaringan gas, Pri Agung menilai seharusnya tetap dapat dipilih segmen yang berbeda dengan elpiji. Ia juga berpandangan, kondisi ketergantungan pada elpiji di Indonesia selama ini salah satunya dipicu belum progresifnya infrastruktur gas, termasuk jaringan gas. Dengan kondisi tersebut, elpiji yang lebih mudah didapatkan, akhirnya menjadi pilihan masyarakat.

Kondisi itu mesti menjadi perhatian. ”Semestinya dilihat bahwa lebih dari dua pertiga (kebutuhan) elpiji kita dipenuhi dengan impor. Dengan jaringan gas yang meluas tentunya itu diharapkan berkurang. Jadi, jaringan gas memerlukan akselerasi dengan peran langsung dari pemerintah, bukan diserahkan ke mekanisme pasar yang mengandalkan pada minat badan usaha. Perlu ada political will,” katanya.

Selama ini, mayoritas jaringan gas yang sudah terbangun menggunakan dana APBN, sedangkan sisanya oleh PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN). Kini tengah diupayakan pengembangan jaringan gas dengan skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU).

Pri Agung menuturkan, obyektif, pertimbangan, dan kalkulasi keekonomian pemerintah serta badan usaha dalam pengembangan infrastruktur gas tidak selalu sama atau dapat berjalan beriringan. Hal itu yang membuat skema KPBU tak dapat selalu berjalan efektif. ”Diperlukan peran langsung pemerintah, seperti pemberian kompensasi atas penugasan tertentu, penjaminan proyek dan/atau insentif fiskal dan nonfiskal lainnya,” ujarnya.

Ia mencatat, berdasarkan data Kementerian ESDM, sejak 2020, alokasi infrastruktur gas berkurang seiring berkurangnya anggaran kementerian. Pada 2020, total anggaran Kementerian ESDM sebesar Rp 9,67 triliun dengan alokasi infrastruktur gas sebesar Rp 3,08 triliun (31,8 persen). Sementara pada 2024, total anggaran Rp 6,78 triliun dengan alokasi infrastruktur gas 0,97 triliun (14,36 persen).

Tiga skema

Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Migas Ditjen Migas Kementerian ESDM Laode Sulaeman menekankan bahwa jaringan gas akan tetap dikembangkan dengan tiga skema, yakni APBN, anggaran PGN (oleh badan usaha), dan KPBU. Adapun nilai APBN untuk pengembangan jaringan gas pada 2024 belum ada karena masuk usulan revisi.

Pengembangan jaringan gas berkolerasi dengan pembangunan transmisi gas ruas Cirebon-Semarang (Cisem), yang saat ini baru terbangun separuh, serta ruas Dumai-Sei Mangkei (Dusem) di Sumatera. Cisem ditargetkan sepenuhnya tuntas pada 2025, sedangkan Dumai-Sei Mangkei ditarget selesai 2027. Apabila kedua proyek dengan dana APBN itu rampung, Aceh-Jawa Timur tersambung pipa gas.

Nantinya, seiring pembangunan transmisi gas Cisem dan Dusem rampung, jaringan gas diyakini bisa lebih berkembang. ”Tentu jaringan gas akan ditumbuhkan di sekitar pipa-pipa transmisi yang sudah dibangun (Cisem dan Dusem),” ucap Laode

Sebelumnya, Dirjen Migas Kementerian ESDM Tutuka Ariadji menuturkan, dengan penyambungan transmisi pipa gas Aceh-Jatim diharapkan ada penambahan jaringan gas total 900.000 sambungan rumah tangga. ”Kami ingin mengurangi subsidi elpiji 3 kg. (Jaringan gas) ditargetkan mengurangi subsidi elpiji Rp 0,63 triliun per tahun,” katanya di Jakarta, Selasa (16/1/2024).

Kebijakan Pembangunan Infrastruktur Gas untuk Transisi Energi

Katadata.co.id; 19 Februari 2024

Kebijakan pemanfaatan gas sebagai jembatan transisi energi menjadi pilihan rasional dan dilakukan oleh negara–negara dengan kelompok ekonomi utama seperti Amerika Serikat, Jerman, Rusia, dan Tiongkok. Sampai dengan 2030, Amerika diproyeksikan masih akan mempertahankan porsi gas di dalam bauran energi primernya sebesar 31%.

Pada periode yang sama, porsi gas bumi di dalam bauran energi Rusia dan Jerman masing-masing diproyeksi masih sekitar 50% dan 12%. Tiongkok juga berencana meningkatkan porsi gas dalam bauran energinya dari sekitar 10% pada 2020 menjadi 15% pada 2030.

Transisi Energi dan Potensi Defisit Gas

Hal yang sama relevan dan berlaku untuk transisi energi Indonesia. Sampai dengan 2023 lalu, porsi gas bumi dalam bauran energi nasional mencapai 16,28%. Terjadi peningkatan sekitar 0,33% dari porsi tahun 2022 yang berada di kisaran 15,95%. Peningkatan porsi gas dalam bauran energi nasional tersebut diproyeksikan masih akan terus berlanjut dan meningkat hingga 2050 mendatang.

Sejalan dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang ada sekarang, pemerintah memang memproyeksikan porsi gas bumi dalam bauran energi primer Indonesia tahun 2050 menjadi sekitar 24% atau terbesar kedua setelah energi baru terbarukan. Pada periode 2010 – 2022, volume pemanfaatan gas untuk kepentingan domestik tercatat meningkat sekitar 9%. Di sektor industri, pupuk dan ketenagalistrikan tercatat sebagai kontributor utama dalam peningkatan konsumsi gas bumi domestik. Porsi konsumsi gas bumi untuk kedua sektor industri ini, pupuk dan ketenagalistrikan, pada 2022 tercatat masing-masing sekitar 31,7%, 11,31% dan 10,92% dari total produksi gas nasional. Selama periode 2010–2022 itu, telah terjadi pergeseran alokasi produksi gas untuk kebutuhan dalam negeri dari semula di 43,8% menjadi 67,3%.

Menilik dari sisi pasokan, dengan proyeksi kebutuhan gas domestik yang akan terus meningkat, tidak lama lagi Indonesia dapat mengalami defisit gas apabila hanya mengandalkan produksi yang ada saat ini.

Merujuk proyeksi neraca gas nasional, jika hanya mengandalkan produksi existing, Indonesia berpotensi mengalami defisit gas bumi sekitar 4,022 MMSCFD pada tahun 2030. Volume kebutuhan gas bumi berdasarkan Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) diproyeksikan lebih tinggi dari existing supply yaitu perkiraan gas bumi yang mampu dipasok dari lapangan migas dan infrastruktur gas yang saat ini ada.

Defisit neraca gas tersebut dapat diantisipasi atau diminimalkan apabila terdapat tambahan pasokan gas bumi dari project supply dan potential supply, yang dalam hal ini bergantung pada ketersediaan (penambahan) infrastruktur gas. Dengan kata lain, ketersediaan infrastruktur yang mampu menyalurkan gas bumi dari sumber pasokannya hingga termanfaatkan di titik-titik pengguna akhir, dengan jangkauan konektivitas dan kapasitas yang memadai, merupakan kunci untuk mengatasi potensi defisit gas tersebut.

Porsi Anggaran Infrastruktur Gas

Dalam garis kebijakan yang ada, disebutkan pengembangan infrastruktur gas akan dilakukan oleh pemerintah secara langsung melalui: APBN, program kerja dari BUMN, program Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU), dan/atau melalui investasi lain. Dalam konteks ini, porsi alokasi anggaran infrastruktur gas secara langsung melalui APBN, di Kementerian ESDM khususnya, memegang peranan penting dalam percepatan dan realisasi proyek infratruktur gas.

Data-data yang ada menunjukkan peran pemerintah secara langsung di dalam pengembangan infrastruktur gas melalui penganggaran di APBN lebih dapat menjamin terealisasinya penyediaan infrastruktur sesuai dengan perencanaan strategis dan target yang ditetapkan. Hal ini terutama dapat dilihat dari terselesaikannya proyek gas Cisem Fase I pada 2023 lalu, yang memang dianggarkan secara langsung dalam APBN 2022 dan 2023. Pada periode itu, pemerintah melalui Kementerian ESDM menganggarkan masing-masing sebesar Rp 1,08 triliun dan Rp 0,63 triliun atau kurang lebih sekitar 19,86% dan 9,2% saja dari total anggaran Kementerian ESDM yang ada.

Data realisasi perkembangan program jaringan gas kota (jargas) di atas juga menunjukkan, penurunan porsi keterlibatan langsung pemerintah melalui APBN di dalam pengembangan infrastruktur gas, dengan memperbesar porsi pengembangan melalui skema KPBU dan program kerja BUMN, menyebabkan terjadinya pergeseran (penurunan) target pengembangan jaringan gas kota yang sebelumnya telah ditetapkan.

Dalam hal ini, berdasarkan informasi yang dihimpun, pada Oktober 2023 lalu disebutkan bahwa target pengembangan jarigan gas kota yang semula adalah sebesar 4 juta Sambungan Rumah (SR) pada tahun 2024 direvisi menjadi 2,5 juta SR. Hingga Januari 2024 lalu, realisasi sambungan jaringan gas kota itu sendiri baru mencapai sekitar 900 ribu SR, atau di bawah target sebelumnya 1,2 juta SR.

Dari angka 900 ribu SR ini, sekitar 703,3 ribu SR (78,1%) dikembangkan dengan biaya APBN. Angka ini terutama dikontribusikan oleh anggaran langsung jaringan gas kota di APBN yang dilakukan hingga tahun 2022.

Apabila ditilik lebih lanjut, porsi alokasi anggaran langsung pemerintah untuk jargas selama periode 2020-2022 ditemukan mengalami tren penurunan, dari 31,8%, 17,6% dan 1,19%. Pada periode 2023–2024, tidak ditemukan lagi porsi anggaran langsung dari Kementerian ESDM untuk program jargas ini.

Pendekatan Kebijakan

Dari paparan di atas, terlihat bahwa peran pemerintah dalam pengembangan infrastruktur gas melalui pembiayaan/penganggaran langsung di APBN lebih efektif dalam merealisasikan dan mempercepat pengembangan infrastruktur gas sesuai garis kebijakan energi nasional. Pengembangan infrastrutur gas melalui mekanisme KPBU dan investasi lain (swasta) akan sangat bergantung pada objektivitas, pertimbangan dan kalkulasi keekonomian badan usaha yang belum tentu sejalan dengan objektif dan rencana strategis pengembangan infrastruktur gas nasional. Ketika terjadi perubahan objektif dari badan usaha, objektif dan rencana strategis pengembangan infrastrutur gas nasional yang sudah memiliki landasan dan semestinya menjadi pegangan dapat kemudian berubah atau bergeser.

Objektif, pertimbangan dan kalkulasi keekonomian pemerintah dan badan usaha di dalam pengembangan infrastruktur gas tidak selalu sama atau dapat berjalan beriringan. Ini yang membuat skema KPBU dan/atau skema investasi melalui mekanisme pasar biasa di dalam pengembangan infrastruktur gas tidak dapat selalu bekerja/berjalan secara efektif. Dalam pengembangan infrastruktur gas, untuk dapat membuat mekanisme KPBU dan pasar bekerja secara efektif, diperlukan peran langsung pemerintah untuk menjamin pengembalian investasi yang sejalan dengan objektif, pertimbangan dan kalkulasi badan usaha.

Peran langsung pemerintah dalam hal ini dapat berupa pemberian kompensasi atas penugasan tertentu, penjaminan proyek dan/atau insentif fiskal dan non-fiskal lainnya. Artinya, tetap diperlukan pengalokasian sumber daya atau anggaran langsung tertentu dari pemerintah melalui instrumen APBN. Khusus dalam hal KPBU dan penugasan kepada BUMN, pengalokasian anggaran, sistem dan mekanisme kerja sama dan kompensasinya perlu diatur secara jelas dan diimplementasikan secara konsisten agar tidak kontraproduktif dan menghambat kinerja BUMN secara keseluruhan.

Ekonom Wanti-wanti Skema KPBU Rentan Bikin Target Jargas Meleset

Bisnis.com; 18 Februari 2024

Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom energi sekaligus pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menilai pengerjaan jaringan gas (jargas) rumah tangga yang belakangan diserahkan sepenuhnya kepada skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) rentan meleset dari target.

Pri menilai pengembangan infrastruktur gas lewat KPBU dan investasi swasta lainnya bakal tergantung dari hitung-hitungan keekonomian perusahaan yang belum tentu sejalan dengan rencana strategis atau peta jalan pembangunan jargas nasional.

“Ketika terjadi perubahan objektif dari badan usaha, objektif dan rencana strategis pengembangan infrastrutur gas nasional yang sudah memiliki landasan dan semestinya menjadi pegangan dapat kemudian berubah atau bergeser,” kata Pri lewat keterangan tertulis, Minggu (18/2/2024).

Pri menggarisbawahi rencana dan kalkulasi keekonomian dari badan usaha dan pemerintah tidak selalu sama atau dapat berjalan beriringan. Hal itu, kata dia, membuat skema KPBU atau desain investasi korporasi lainnya dalam pengembangan infrastruktur gas tidak dapat dieksekusi secara efektif.

Menurut dia, untuk membuat mekanisme KPBU berjalan efektif diperlukan peran langsung pemerintah untuk menjamin pengembalian investasi dan kalkulasi badan usaha terkait. “Peran langsung pemerintah dalam hal ini dapat berupa pemberian kompensasi atas penugasan tertentu, penjaminan proyek atau insentif fiskal dan non-fiskal lainnya,” kata dia.

Di sisi lain, dia menambahkan, pembangunan infrastruktur gas belakangan menjadi krusial di tengah proyeksi defisit gas sekitar 4,022 MMscfd pada 2030 mendatang. Saat itu, volume kebutuhan gas bumi berdasarkan perjanjian jual beli gas (PJBG) diproyeksi lebih tinggi dari pasokan yang tersedia saat ini.

“Defisit neraca gas tersebut dapat diantisipasi atau diminimalkan jika terdapat tambahan pasokan gas bumi dari project supply dan potential supply, yang dalam hal ini bergantung pada penambahan infrastruktur gas,” kata dia. Pemerintah belakangan memutuskan untuk memangkas target pembangunan jargas dari semula dipatok 4 juta sambungan menjadi 2,5 juta sambungan rumah hingga akhir 2024 nanti.

Keputusan itu diambil dalam rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo atau Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (12/10/2023). Ratas itu turut dihadiri jajaran menteri koordinator dan teknis terkait.

Pemerintah juga memutuskan untuk memberikan insentif harga gas dari hulu dengan ketetapan maksimal US$4,72 per MMBtu bagi pengembang. Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana membuka lelang internasional untuk mengakselerasi pembangunan jargas yang telah lama melempem.

Sebelum keran investasi dibuka lebar, pemerintah lebih dahulu mematangkan muatan KPBU dalam revisi Perpres Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Gas Bumi Melalui Jaringan Transmisi dan/atau Distribusi Gas Bumi Untuk Rumah Tangga dan Pelanggan Kecil.

Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Tutuka Ariadji menuturkan, revisi beleid itu berkaitan dengan upaya untuk memasukan opsi kerja sama anyar KPBU ke dalam program pengadaan jaringan gas domestik mendatang. Lewat Perpres anyar ini, investasi swasta bakal dibuka selebar-lebarnya dengan tetap menyediakan penjaminan dari pemerintah. Seperti diketahui sebelumnya program jargas ini lebih banyak mengandalkan pendanaan langsung dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

“Kemungkinan besar tendernya akan dibuka internasional dari luar juga bisa dan kita juga bisa melakukan itu baru kita bisa lebih kencang lagi,” kata Tutuka kepada Bisnis dikutip Minggu (18/2/2024).

Hingga akhir tahun 2023, jargas rumah tangga yang sudah terpasang mencapai 900.000 sambungan rumah tangga (SR). Dari jumlah tersebut, sebagian besar didominasi pendanaan yang berasal dari APBN sebanyak 703.308 SR, dan sisanya dibangun melalui penugasan pemerintah kepada PGN.