Anggaran untuk Infrastruktur Energi Terbarukan Masih Minim

Kompas.id; 13 Februari 2024

JAKARTA, KOMPAS — Hingga 2023, energi terbarukan belum terakselerasi optimal sehingga target 23 persen pada 2025 kian sukar dikejar karena menyisakan kurang dari dua tahun. Salah satu faktor lambatnya pengembangan energi terbarukan ialah masih minimnya dukungan APBN untuk pengembangan energi bersih tersebut. Perlu ada intervensi lebih jauh dari pemerintah.

Pengamat energi sekaligus dosen Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Pri Agung Rakhmanto, yang dihubungi di Jakarta, Selasa (13/2/2024), mengatakan, hal itu dapat dilihat dari postur anggaran Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tahun 2024 yang totalnya sebesar Rp 6,8 triliun. Dari angka itu, pembangunan infrastruktur dan sumber daya alam (SDA) hanya Rp 2,33 triliun atau 34,45 persen.

Dalam pos pembangunan infrastruktur dan SDA itu, porsi untuk pengembangan energi terbarukan secara langsung pun terbilang minim. Dukungan untuk infrastruktur energi terbarukan, yakni 11 unit pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terpadu sekitar Rp 99 miliar, 5 unit pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) sekitar Rp 56 miliar, dan perencanaan sebesar Rp 31,98 miliar.

Dengan model komposisi anggaran itu, kata Pri Agung, wajar jika target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2025 kemungkinan besar tidak tercapai. ”Kalaupun direvisi menjadi 17-19 persen (pada 2025) pun tak ada jaminan juga akan dicapai karena capaian pelaksanaannya langsung ada di kendali pemerintah, melalui porsi anggaran dan investasi yang relatif kecil,” kata Pri Agung.

adahal, realisasi target bauran energi terbarukan lebih ditentukan pada bekerja atau tidaknya mekanisme pasar, dalam hal ini jadi atau tidaknya investasi oleh para pelaku usaha. Di sisi lain, program Just Energy Transition Partnership (JETP) lebih banyak pada skema pendanaan pinjaman konsesi (concessional loan). Dengan skema itu, keleluasaan untuk akselerasi energi terbarukan pun terbatas.

Ia menambahkan, dalam hal keekonomian, energi terbarukan masih relatif lebih mahal dibandingkan energi fosil. Di sisi konsumsi atau permintaan (demand), Indonesia dihadapkan pada masalah terbatasnya daya beli masyarakat sehingga masih kerap dijumpai harga energi yang diatur (regulated price). Dengan pendekatan sama, pengembangan energi terbarukan bakal terus berjalan lambat.

Komitmen serius, imbuh Pri Agung, mesti ditunjukkan pemerintah. ”Perlu ada wujud konkretnya dalam bentuk intervensi langsung untuk membuat mekanisme pasar energi terbarukan bisa bekerja. Salah satunya, harus ada anggaran untuk mengeksekusi secara langsung. Bisa juga berupa alokasi anggaran subsidi atau kompensasi kepada badan usaha atau BUMN yang menjalankan penugasan,” ucapnya.

Penciptaan pasar

Bagaimanapun, lanjutnya, anggaran dari pemerintah dibutuhkan untuk percepatan pengembangan energi terbarukan, terutama untuk menciptakan pasar dan ekosistemnya berjalan. Akan sulit jika hanya mengandalkan inisiatif pelaku usaha. Sebab, hal tersebut selalu dinamis sesuai perhitungan dan pertimbangan keekonomian mereka.

Keterbatasan APBN, lanjut Pri Agung, tidak bisa selalu dijadikan alasan. Pasalnya, setiap tahun di sektor energi ada alokasi subsidi dan kompensasi harga energi yang mencapai ratusan triliun rupiah. ”Dan kita tahu itu tidak tepat sasaran. Di sisi lain, kita lihat skala anggaran yang diperlukan untuk membangun infrastruktur gas, pipa Cirebon-Semarang, misalnya. Kan (total), tidak sampai Rp 10 triliun (sehingga sedianya juga bisa diarahkan untuk energi terbarukan),” tuturnya.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, realisasi energi terbarukan dalam bauran energi primer hingga akhir 2023 baru 13,1 persen atau meningkat 0,8 persen dari tahun sebelumnya. Padahal, ada target realisasi 23 persen pada 2025. Adapun Dewan Energi Nasional (DEN) merencanakan penurunan target dalam draf rancangan peraturan presiden pembaruan Kebijakan Energi Nasional (KEN), menjadi 17-19 persen pada 2025 karena asumsi pertumbuhan ekonomi KEN tak tercapai.

Sementara itu, porsi energi terbarukan dan bahan bakar nabati (BBN) dalam bauran ketenagalistrikan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) hingga akhir 2023 sebesar 13,15 persen atau menurun dari 2022 yang 14,12 persen. Itu tak terlepas dari masih dominannya pembangkit listrik berbahan bakar batubara yang mencapai 67,66 persen atau meningkat dari tahun sebelumnya yang 67,21 persen.

Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM menargetkan investasi sektor EBTKE sebesar 2,617 miliar dollar AS pada 2024 atau meningkat signifikan dari realisasi 2023 yang 1,484 miliar dollar AS. Upaya strategis, antara lain, dengan mendukung fasilitasi dan diskusi peningkatan investasi serta kerja sama dengan mitra asing, guna memfasilitasi pendanaan dan peningkatan bankability proyek-proyek EBTKE.

Sekretaris Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Sahid Junaidi, Selasa, membenarkan bahwa pada 2024 anggaran pada sektor EBTKE diperuntukkan pada PLTS terpadu, baik pembangunan baru serta revitalisasi pembangkit existing. Selain itu, PLTMH dan PLTM (pembangkit listrik minihidro) yang direncanakan dalam tahun jamak.

Menurut Sahid, anggaran infrastruktur EBTKE lebih pada penciptaan ekosistem dan diprioritaskan pada daerah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T). “Secara dampak ke bauran tidak besar. Untuk bauran lebih ditopang oleh green RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik) yang direncanakan PLN. EBTKE bersama Dtjen Ketenagalistrikan memfasilitasi serta mengawal pencapaiannya,” ucapnya.

Sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif menyebut pengembangan energi terbarukan relatif masih sesuai rencana. Aejumlah kendala yang ada terus diidentifikasi agar bisa diatasi pada tahun-tahun mendatang.

”Isunya sekarang keterbatasan (pengembangan) karena kita punya infrastruktur enggak? Ini yang harus kita perbaiki. Kami sudah mengidentifikasi bottleneck (hambatan) ada di mana. (Di antaranya) kita tidak punya infrastruktur (jaringan transmisi kelistrikan yang mendukung energi terbarukan), lalu perlunya percepatan pertumbuhan konsumsi listrik,” kata Arifin, di Jakarta, Jumat (2/2/2024).

Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menambahkan bahwa Indonesia memiliki peluang dan potensi besar dalam pengembangan energi terbarukan. Hal tersebut memerlukan diskusi dan pembicaraan lebih untuk mencapai target pengurangan emisi.

”Maka dari itu, penyusunan strategi dan pemetaan energi di seluruh wilayah Indonesia menjadi sangat penting untuk memaksimalkan pembangunan akses kelistrikan. Selain itu, solusi terhadap isu perubahan iklim juga memerlukan kerja sama berbagai pihak, yakni pemerintah, swasta, dan inisiatif-inisiatif lainnya,” kata Dadan melalui siaran pers.

Pengamat Kritisi Minimnya Intervensi Langsung Pemerintah untuk Transisi Energi

Kontan.co.id; 13 Februari 2024

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Founder & Advisor ReforMiner Institute (Research Institute for Mining and Energy Economics), Pri Agung Rakhmanto menjelaskan, transisi energi semestinya dijadikan momentum untuk dapat menjadikan pengelolaan energi nasional secara lebih mandiri.

Namun, setelah mencermati arah kebijakan pengelolaan energi nasional dalam menjalankan transisi energi serta mendorong pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT), tampaknya target-target yang dibidik akan sulit terwujud.

Pri menyoroti, Pemerintah Indonesia cenderung mengambil posisi minim di dalam melakukan investasi dan intervensi secara langsung. Di saat yang sama, pemerintah juga terlalu mengandalkan inisiasi dari pelaku usaha/investor dan atau pihak lain yang memiliki dana.

“Komposisi anggaran pemerintah, dalam hal ini salah satunya anggaran di Kementerian ESDM mencerminkan hal itu,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Selasa (13/2).

Sebagai gambaran, di 2024 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendapatkan alokasi anggaran sebesar Rp 6,80 triliun di mana sebagian anggaran digunakan untuk pembangunan infrastruktur bagi masyarakat.

Porsi anggaran untuk pembangunan infrastruktur dan Sumber Daya Alam (SDA) terbilang kecil yakni Rp 2,33 triliun atau 34,45% total anggaran. Dari jumlah itu, porsi untuk mendorong pengembangan EBT secara langsung pun dapat dikatakan sangat minim, perinciannya PLTS Rp 99,54 miliar (4,27%), PLTMH Rp 54,46 miliar (2,46%), dan perencanaan Rp 31,98 miliar.

Di tahun ini, anggaran tersebut paling besar dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur gas yakni pipa gas bumi CISEM Tahap II Batang-Cirebon-KHT Rp 973,70 miliar atau 41,74% dari total anggaran.

“Dengan model komposisi anggaran yang semacam itu, wajar jika kemudian target bauran EBET 23% pada tahun 2025 kemungkinan besar tidak akan tercapai,” ujarnya.

Jika pun target bauran EBT akan direvisi menjadi 17% – 19%, Pri menyatakan, tidak ada jaminan bahwa angka itu dapat dicapai.

Pasalnya, pelaksanaan pengembangan EBT ini secara langsung berada di dalam kendali pemerintah sendiri – melalui porsi anggaran dan investasi/intervensi langsung yang relatif kecil.

Pencapaian angka target bauran EBT akan lebih ditentukan pada bekerja atau tidaknya mekanisme pasar, dalam hal ini adalah ada atau tidaknya investasi yang direalisasikan oleh para pelaku usaha.

Di sisi lain, pendanaan transisi energi yang mengandalkan pinjaman konsesi, dinilai Pri akan membatasi gerak Indonesia mengoptimalkan sumber daya energi sesuai dengan kebutuhan nasional atau berdasarkan potensi sumber energi yang dimiliki.

Seperti diketahui, salah satu katalis transisi energi yang diharapkan ialah skema Just Energy Transition Partnership (JETP) yang akan memobilisasi dana US$ 21 miliar atau lebih dari Rp 300 triliun.

“Berdasarkan informasi yang dihimpun, sebagian besar pendanaan JETP akan dilakukan melalui mekanisme pinjaman konsesi. Dalam skema ini persyaratan dan ketentuan penggunaan mengacu pada objektif pemberi pinjaman atau dari mana dana tersebut tersedia,” ujarnya.

Pri menegaskan, sebetulnya pemerintah telah memiliki prinsip pengelolaan kebijakan nasional yang bagus, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional.

Hanya saja dalam pelaksanaannya perlu konsisten dan tidak mengikuti tren atau tema yang mengemuka seiring kepentingan dan waktu saja.

Pemerintah Perlu Fasilitasi Model Bisnis yang Diharapkan Investor untuk Eksekusi CCS

Kontan.co.id; 05 Februari 2024

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pengamat migas menyatakan persoalan mendasar pelaksanaan bisnis penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture Storage/CCS) ialah pada praktik dan kesediaan investasi pelaku usaha.
Founder dan Advisor ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto menjelaskan, sudah jelas bahwa bisnis CCS memiliki potensi bisnis yang besar bagi Indonesia. Namun ada persoalan mendasar yang harus dicermati oleh pemerintah, yakni soal praktiknya.

“Kita ini relatif hanya akan bergantung pada kesediaan investasi dari para pelaku usaha. Di dalam konteks ini, para pelaku selalu akan membandingkannya dengan potensi CCS yang ada di tempat lain/di luar negeri,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Minggu (4/2).

Lantas layak atau tidaknya bagi investor mengembangkan CCS di Indonesia, tergantung pada banyak variabel. Di mana kurang lebih sama seperti faktor yang mempengaruhi minat pelaku bisnis hulu migas global yakni prioritas dan strategi portofolio investasi.

Saat ini Indonesia telah memiliki aturan CCS dan CCUS melalui dua kebijakan yakni Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan CCS/CCUS di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dan Peraturan Presiden (Pepres) No 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon.

Pri secara umum menyambut baik dua kebijakan ini. Menurutnya kadang peraturan dibuat untuk menyertai kesepakatan bisnis yang sudah didapatkan.

Seperti diketahui saat ini terdapat sekitar 15 proyek CCS/CCUS yang semuanya masih dalam tahap studi dan persiapan di mana sebagian ditargetkan untuk mulai beroperasi sebelum 2030.

Proyek-proyek ini dilaksanakan oleh berbagai perusahaan hulu migas di mana sebagian besar dilaksanakan oleh Pertamina dan melibatkan kolaborasi dengan berbagai pihak baik nasional maupun internasional.

Untuk ke depannya, Pri menyoroti pentingnya langkah pro-aktif pemerintah untuk mengkonkretkan potensi CCS maupun CCUS yang ada menjadi kesepakatan bisnis yang dapat dikerjakan.

Pertimbangkan Risiko dan Investasi CCS yang Besar

“Sebenarnya pemerintah kita bukan dalam posisi sebagai pihak yang melakukan investasi sendiri, sebaiknya mengambil posisi memfasilitasi model atau skema bisnis apa yang diinginkan investor,” jelasnya.

Kalaupun perlu ada upaya lebih perihal teknis pelaksanaan CCS, pemerintah dapat melakukan studi kelayakan lebih detail dalam aspek teknis dan keekonomian proyek. Hasilnya bisa digunakan sebagai basis dalam menawarkan kerjasama proyek kepada investor.

“Tetapi hal itu kan perlu anggaran, perlu investasi awal yang saya ragukan kita tidak mengalokasikan budget untuk program itu,” imbuhnya.

Sinergi Jadi Kunci Bangun Iklim Investasi Hulu Migas yang Menarik

Media Indonesia; 31 Januari 2024

Jakarta: Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto menilai perlu ada sinergi yang baik antar kementerian/lembaga dan stakeholder untuk menciptakan iklim investasi di sektor hulu minyak dan gas (migas) Indonesia menarik di mata investor.

Menurutnya, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) tidak bisa bekerja sendiri untuk meningkatkan daya saing investasi hulu migas di Tanah Air.

“Misalnya, soal membuat kontrak bagi hasil migas yang lebih menarik, itu bukan dari SKK Migas, tapi ada peran Kementerian ESDM. Sinergi yang baik dibutuhkan supaya iklim investasi hulu migas Indonesia menarik,” ungkap Agung saat dihubungi Media Indonesia, Rabu, 31 Januari 2024.

Ia menuturkan masalah proyek hulu migas terjadi pada proyek gas alam cair (LNG) Abadi Blok Masela, Maluku. Adanya perubahan skema pengembangan Blok Masela dari offshore (di laut lepas) menjadi onshore (di daratan) akibat instruksi Presiden Jokowi, menghambat pergerakan proyek tersebut selama beberapa tahun.

“Dengan perubahan dari offshore ke onshore, mengubah komposisi investasi dan investor akhirnya cabut. Jadi, persoalan di hulu migas banyak di luar jangkauan SKK Migas,” terang pengamat energi itu.

Agung menegaskan untuk meningkatkan iklim investasi hulu migas perlu dihilangkan izin usaha yang berbelit-belit dan adanya kepastian hukum yakni terkait revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas).

“Perizinan usaha harus sederhana dan secara keekonomian harus menguntungkan. Supaya investasi lebih kompetitif agar pemain besar masuk ke sini,” ucap dia.

Pemanfaatan gas jadi jembatan menuju energi bersih

Dihubungi terpisah, pengamat ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menilai SKK Migas bisa fokus terhadap pelaksanaan proyek-proyek gas di Tanah Air. Pemanfaatan gas dianggap sebagai jembatan menuju energi bersih di Indonesia.

“Karena investasi minyak selama beberapa tahun terakhir sudah menurun. Potensi gas kita kan masih besar, berbeda dengan potensi cadangan minyak kita yang terus menurun,” terang dia.

Fahmy menyebut potensi gas besar itu dapat ditemukan di Blok Masela. Tercatat kapasitas produksi kilang LNG di Lapangan Abadi Masela mencapai 9,5 juta ton per tahun/million ton per annual (mtpa) dan 150 juta kaki kubik (mmscfd) dalam bentuk gas pipa, serta produksi kumulatif kondensat sebesar 255,28 juta barel (million stock tank barrels/MMSTB).

“Potensi gas yang sebesar itu jangan sampai diabaikan oleh SKK Migas untuk ketahanan energi kita,” jelas Fahmy.

Sebelumnya, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengaku pihaknya tengah menjaring calon pembeli LNG dari Blok Masela. “Kita dorong ini pembelinya karena ke depan gas memiliki potensi yang cemerlang, termasuk di Blok Masela. Urusan partner (Inpex, Pertamina dan Petronas) kan sudah selesai,” ujar Dwi.

SKK Migas mengklaim banyak pembeli mengantre mendapatkan gas LNG dari Blok Masela. Calon pembeli itu dari perusahaan dalam negeri maupun luar negeri. SKK Migas masih tengah membahas atas penjualan dan pembelian gas LNG, termasuk soal kesepakatan harga. Blok Masela ditargetkan siap operasi pada akhir 2029, sehingga bisa mulai produksi pada 2030.

Dwi menuturkan proyek pengembangan Blok Masela telah mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Menteri ESDM Arifin Tasrif telah menyetujui revisi 2 rencana pengembangan lapangan yang pertama (POD I) Blok Masela pada 28 November 2023. Termasuk dalam revisi 2 POD I ini adalah kegiatan penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage/CCS) ke dalam ruang lingkup proyek itu.

Menanti Terobosan Kebijakan Pengembangan Panas Bumi Nasional

Kompas.id; 18 Januari 2024

Penulis:
Komaidi Notonegoro,
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute; Pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti

Pemilihan presiden mendatang punya hubungan istimewa dengan pemanfaatan energi baru dan energi terbarukan.

Ini terkait posisi Indonesia yang belum lama ini memegang presidensi G20 dan pelaksana KTT G20 dengan fokus pada pembahasan transisi energi dan pengembangan energi baru dan energi terbarukan (EBET).

Terkait kebijakan transisi energi, Indonesia telah menetapkan target untuk mencapai net zero emission (NZE) pada 2060. Pencapaian target NZE itu melibatkan sejumlah sektor, termasuk sektor energi.

Pemerintah telah menetapkan peta jalan pencapaian NZE pada sektor energi. Target pada peta jalan itu, antara lain, menurunkan emisi sebesar 231,2 juta ton CO2e pada 2025, 388 juta ton CO2e pada 2035, dan 1.043,80 juta ton CO2e pada 2050.

Panas bumi memiliki peran penting dan merupakan EBET potensial untuk membantu merealisasikan target NZE sektor energi. Hal itu karena, pertama, Indonesia memiliki sumber daya panas bumi sangat besar (sekitar 24 GW), terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Kedua, panas bumi merupakan satu-satunya EBET yang tidak tergantung cuaca dan satu-satunya yang dapat menjadi base load dalam sistem kelistrikan.

Indonesia memiliki sumber daya panas bumi sangat besar (sekitar 24 GW), terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat.

Berdasarkan hasil perhitungan, jika seluruh potensi panas bumi di Indonesia dapat dimanfaatkan, terdapat potensi penurunan gas rumah kaca (GRK) sekitar 182,32 juta ton CO2e atau setara dengan 78,85 persen target penurunan GRK sektor energi pada 2025.

Jika dibandingkan jenis EBET lainnya, energi panas bumi tercatat memiliki sejumlah keunggulan. Di antaranya, tidak tergantung pada kondisi cuaca; menghasilkan energi yang lebih besar untuk periode produksi yang sama; tidak memerlukan lahan yang luas dalam proses produksinya.

Selain itu, panas bumi juga memiliki capacity factor yang lebih besar; menjadi prioritas untuk kepentingan domestik karena tidak dapat diekspor; bebas dari risiko kenaikan harga energi primer terutama energi fosil. Biaya operasi pembangkitan energi panas bumi pun relatif paling murah.

Kendala keekonomian
Meski punya sejumlah keunggulan, pengembangan dan pengusahaan panas bumi di Indonesia masih terkendala masalah keekonomian proyek.

Saat ini, harga jual tenaga listrik dari energi panas bumi dilaporkan lebih tinggi dibandingkan harga jual tenaga listrik dari jenis EBET lain. Harga jual tenaga listrik panas bumi juga lebih tinggi dibandingkan biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik nasional.

Berdasarkan reviu, tingkat keekonomian proyek panas bumi di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan rata-rata proyek panas bumi global. Rata-rata keekonomian proyek panas bumi global sudah di bawah 10 sen dollar AS/kWh. Sementara rata-rata nilai keekonomian (harga jual) listrik panas bumi di Indonesia untuk kontrak baru dilaporkan pada kisaran 10 sen dollar AS sampai dengan 13 sen dollar AS/kWh.

Beberapa studi juga menyebutkan, saat ini tingkat keekonomian proyek listrik panas bumi global telah kompetitif jika dibandingkan pembangkit listrik berbasis fosil. Itu terlihat dari indikator levelized cost of electricity (LCOE) pembangkit listrik panas bumi global yang telah berada di kisaran 0,071 dollar AS/kWh. Sementara rata-rata nilai LCOE pembangkit berbasis listrik fosil di kisaran 0,15 dollar AS/kWh.

“Perbaikan keekonomian proyek panas bumi global di antaranya karena optimalisasi value creation pada pengusahaan panas bumi.”

Perbaikan keekonomian proyek panas bumi global di antaranya karena optimalisasi value creation pada pengusahaan panas bumi. Ini seperti dilakukan di Selandia Baru melalui proyek Halcyon, proyek Meager Creek Development Corporation (British Columbia), dan proyek Oguni-Machi di Jepang yang mengembangkan hidrogen hijau sebagai secondary product dari industri panas bumi.

Sejumlah studi melaporkan optimalisasi value creation pada pengusahaan panas bumi global dilakukan melalui sejumlah instrumen. Instrumen ini antara lain pemanfaatan teknologi mutakhir (drilling, well enhancement, power plant, operations), perbaikan rantai suplai, dan komersialisasi secondary product (pemanfaatan langsung, produksi hidrogen hijau, produksi metanol hijau, dan ekstraksi silika).

Secondary product dari industri panas bumi disebut memiliki nilai ekonomi dan dapat dikomersialkan seperti metanol hijau yang dapat digunakan sebagai bahan bakar dan bahan baku kimia. Ekstraksi silika dimanfaatkan untuk industri baja dan industri kimia. Adapun hidrogen hijau dapat dimanfaatkan untuk sektor transportasi dan pembangkit listrik.

Khusus untuk hidrogen, misalnya, kebutuhan Indonesia saat ini berada di kisaran 1,75 juta ton per tahun, dengan alokasi 88 persen untuk urea, 4 persen untuk amonia, dan 2 persen untuk kilang minyak.

Pengusahaan panas bumi di Indonesia sampai saat ini relatif belum kompetitif. Ini disebabkan oleh kendala pada pengembangan. Padahal, dalam jangka panjang, biaya operasi listrik panas bumi tercatat sebagai salah satu yang termurah.

Data menunjukkan, rata-rata beban usaha pembangkitan listrik panas bumi pada 2022 sebesar Rp 118,74/kWh atau hanya 8,12 persen dari rata-rata beban usaha pembangkitan semua jenis pembangkit yang dilaporkan Rp 1.460,59/kWh.

Berdasarkan reviu, keekonomian proyek panas bumi relatif belum kompetitif, antara lain karena, pertama, sulitnya terjadi kesepakatan harga jual-beli antara pengembang panas bumi dan PLN sebagai pembeli tunggal. Kedua, kebijakan existing mengharuskan harga listrik EBET bersaing dengan pembangkit fosil.

Ketiga, jumlah lembaga keuangan yang bersedia memberikan pinjaman pada fase eksplorasi masih terbatas. Keempat, izin sering bermasalah karena wilayah kerja berada di hutan konservasi. Kelima, risiko investasi tinggi karena kepastian potensi cadangan dan kualitas uap belum jelas. Keenam, masih ada izin-izin yang harus dipenuhi meskipun izin usaha pertambangan (IUP) pengusahaan panas bumi telah terbit.

Mencermati potensi yang sangat besar dan peran pentingnya dalam pencapaian target NZE, signifikansi energi panas bumi tidak terbantahkan lagi.

Oleh karena itu, ide dan gagasan terobosan kebijakan untuk pengembangan, pengusahaan, dan pemanfaatan energi panas bumi nasional dapat menjadi indikator keberpihakan calon presiden dan calon wakil presiden terhadap pengembangan EBET dan transisi energi di Indonesia.

Sektor Migas yang Luput dalam Diskusi dan Perdebatan Pilpres 2024

Kompas; 27 Januari 2024

JAKARTA, KOMPAS — Sektor minyak dan gas bumi, sebagai bagian dari sumber daya energi, luput dari perbincangan dan gagasan para pasangan calon dalam Pemilhan Presiden 2024, termasuk dalam sesi debat. Isu transisi energi dinilai memang lebih seksi secara politik. Namun, pendalaman isu tentang ketersediaan energi terjangkau dan proses peralihan dari energi fosil masihlah minim.

Energi menjadi salah satu tema dalam debat keempat Pilpres 2024 yang diikuti para calon wakil presiden dari ketiga paslon, Minggu (21/1/2024). Energi hijau atau energi terbarukan lebih banyak mencuat dalam debat tersebut. Namun, itu tak menyentuh substansi permasalahan dan solusinya. Cawapres nomor urut 1, Muhaimin Iskandar, sempat menyebutkan akan melanjutkan subsidi bahan bakar minyak (BBM), tetapi tak mengulas persoalan yang ada di dalamnya.

Sebelumnya, pada debat ketiga Pilpres 2024 yang diikuti para calon presiden, capres nomor urut 3, Ganjar Pranowo, sempat menyebut perlunya eksploitasi wilayah kerja migas Natuna D Alpha di Laut China Selatan. Itu dalam konteks penguasaan sejumlah aspek baik dari sisi geopolitik maupun pertahanan, sumber daya, sekaligus serapan tenaga kerja. Namun, belum terbahas bagaimana strategi mewujudkan itu.

Praktisi sekaligus pemerhati migas Hadi Ismoyo, dihubungi dari Jakarta, Sabtu (27/1/2024), mengatakan, secara politik, transisi energi memang menarik atau seksi dalam debat atau adu gagasan pilpres. Namun, kondisi atau kenyataan di lapangan pun perlu dilihat. Perlu ada peralihan secara terencana, terstruktur, dan bertahap agar transisi energi berjalan mulus.

”Pengembangan transisi energi mesti berdasarkan kearifan lokal kita. Jadi, tak hanya karena internasional mengatakan go green lalu kita copy paste tanpa melihat kemampuan kita. Indonesia banyak memproduksi gas bumi (lebih rendah emisi dari jenis energi fosil lainnya). Maka, hingga 2060, kita manfaatkan sebesar-besarnya gas untuk membangun perekonomian kita,” ujar Hadi.

Gas bumi juga menunjukkan catatan positif pada 2023, termasuk ditemukannya dua sumber gas besar, yakni Geng North di laut lepas Kalimantan Timur dan sumur Layaran di South Andaman, di lepas pantai Sumatera bagian utara. Untuk itu, kata Hadi, yang diperlukan kini ialah pembangunan infrastruktur yang masif agar gas bumi termanfaatkan, terutama untuk kebutuhan domestik.

Lebih jauh, Hadi berharap gagasan-gagasan terkait energi bisa lebih muncul dalam Pilpres 2024. ”Seperti dalam neraca APBN kita, subsidi energi masih besar, ratusan triliun rupiah. Bagaimana solusinya? Sementara produksi (minyak bumi) turun terus dan eksplorasi belum bisa seperti dulu. Kalau tidak dalam debat, maka di lain kesempatan perlu dijabarkan seperti apa ide dalam mencari solusi terintegrasi terkait ketahanan energi di Indonesia,” jelasnya.

Tetap berperan
Dosen Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, berpendapat, sulit untuk berharap para paslon di Pilpres 2024 memberikan perhatian lebih pada isu-isu energi, khususnya sektor migas. Dari yang sejauh ini berjalan ada kecenderungan ketiga paslon sama-sama normatif. Kalaupun ada, isu energi terbarukan dipandang lebih menarik secara politis.

Menurut Pri Agung, mayoritas publik, termasuk para paslon di Pilpres 2024, kurang utuh dalam memahami tema transisi energi. ”Sehingga mengganggap seolah-olah nanti migas tidak lagi penting. Padahal, di tingkat global dan negara-negara maju, migas tetap akan terus berperan dalam 20-40 persen porsi bauran energi mereka ke depan, tahun 2050-an,” kata Pri Agung.

Baca juga: Debat Cawapres Belum Tawarkan Banyak Gagasan Transisi Energi

Energi terbarukan dan energi rendah karbon lain akan terus meningkat dan berperan penting ke depan. Namun, menurut Pri Agung, migas tetap merupakan komponen pnting sekaligus jembatan dalam transisi energi. Apabila itu terabaikan, migas bisa mengarah pada sunset. Padahal, di tingkat global, di tengah kampanye dan tren transisi energi, industri dan investasi migas tetap tumbuh positif.

Sementara khusus terkait adu gagasan seperti debat capres/cawapres, Pri Agung sebenarnya mafhum jika level presiden atau wakil presiden tak masuk jauh ke subsektornya. Namun, aspek-aspek fundamentalnya mesti diperhatikan lebih, yaitu ketahanan energi, ketersediaan dan keterjangkauan akses, serta keberlanjutan atau ramah lingkungan.

Apabila aspek-aspek itu sudah tersentuh, barulah masuk ke subsektor dengan mendasarkan pada pengelolaan sumber daya energi yang dimiliki Indonesia. ”Bukan semata mengikuti tren tema yang mengemuka di global saja. Sebab, dalam praktiknya, setiap negara mengedepankan kepentingan dan obyektif nasionalnya masing-masing,” jelas Pri Agung.

Khusus sektor migas, gas bumi diharapkan berkembang, terlebih dengan adanya dua temuan sumber gas besar pada 2023. Pri Agung menuturkan, cadangan gas bumi Indonesia termasuk yang terbesar di Asia Pacifik. Monetisasi pun mesti dipastikan. Belajar dari yang pernah terjadi, jangan sampai blok dengan cadangan terbukti telah dipastikan, tetapi belum beroperasi karena persoalan bisnis investasinya tak berjalan.

Keekonomian Proyek Masih Jadi Tantangan Pembangkit Panas Bumi

Kontan.co.id; 22 Januari 2023

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) masih menghadapi tantangan keekonomian proyek.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menjelaskan, sampai saat ini tantangan yang melingkupi industri panas bumi masih berfokus pada keekonomian proyek yang berkaitan juga dengan harga jual listrik yang dihasilkan.

“Jangka waktu (pengembangan) cukup panjang sementara pembelinya masih tunggal yaitu PLN. Jadi kalau PLN tidak mau membeli (listrik) dengan argumentasi lebih mahal dibandingkan yang rata-rata mereka beli ya gak akan salah, selama ini itu yang terjadi,” terang Komaidi, Senin (22/1).

Komaidi menjelaskan, persoalan lain merupakan turunan dari aspek keekonomian proyek seperti perizinan, investasi pada daerah terpencil hingga konflik penggunaan lahan.

Di sisi lain, PLN sempat menyampaikan rencana mendorong kerjasama dalam membangun 9 Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) dengan total kapasitas diperkirakan mencapai 260 megawatt (MW).

Adapun 9 lokasi geothermal yang akan segera dikembangkan PLN, yakni Tulehu di Maluku Tengah, Atadei di Nusa Tenggara Timur, Songa Wayaua di Halmahera Selatan, Tangkuban Perahu di Jawa Barat, Ungaran di Jawa Tengah, Kepahiang di Bengkulu, Oka Ile Ange di NTT, Gunung Sirung di NTT, Danau Ranau di Sumatra Selatan dan Lampung Barat.

Komaidi menilai langkah ini perlu didorong untuk meningkatkan pengembangan panas bumi.

“Ini terobosan yang bagus untuk meminimalkan risiko investasi dan mendorong pengembangan panas bumi lebih baik lagi,” pungkas Komaidi.

Merujuk data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pengembangan pembangkit panas bumi hingga 2023 mencapai 2.417,7 MW atau bertambah 57,4 MW dari tahun 2022 yang sebesar 2.360,3 MW. Pada tahun 2024 ini, pemerintah menargetkan kapasitas terpasang PLTP mencapai 2.472,7 MW.

Problem Dasar dan Gagasan soal Energi Tidak Terulas

Kompas; 22 Januari 2024

JAKARTA, KOMPAS — Kalangan pengamat kecewa isu energi tidak diulas secara mendalam oleh tiga calon wakil presiden dalam debat keempat kandidat Pemilihan Presiden 2024 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu (21/1/2024) malam. Di tengah keterbatasan waktu, kesempatan yang ada tak dimanfaatkan optimal untuk menyentuh substansi masalah. Bahkan, isu-isu energi yang populis juga terlewatkan.

Dalam debat itu, energi menjadi salah satu tema di samping pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam, lingkungan hidup, pangan, agraria, masyarakat adat, dan desa. Lantaran harus berbagi dengan isu-isu lain, perihal energi hanya beberapa kali disebut, tetapi problem nyata di masyarakat tak terulas. Begitu juga solusi konkret apa yang hendak ditawarkan oleh para cawapres.

Cawapres nomor urut 1, Muhaimin Iskandar, beberapa kali menyinggung energi terbarukan yang perlu digenjot, bukan targetnya diturunkan. Menurut dia, pemerintah tak serius dalam upaya memacu transisi energi.

Berdasarkan Kebijakan Energi Nasional (KEN), sejatinya target energi terbarukan dalam bauran energi primer ialah 23 persen pada 2025 (saat ini baru 13,1 persen). Namun, Dewan Energi Nasional tengah menyiapkan pembaruan KEN, yang salah satu isinya berupa penurunan target energi terbarukan menjadi 17-19 persen pada 2025. Itu atas dasar tak tercapainya asumsi pertumbuhan ekonomi 7-8 persen dalam KEN.

Cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, menyinggung bahan bakar nabati (BBN) atau biofuel dalam transisi energi, termasuk mandatory biodiesel (campuran minyak sawit mentah/CPO dengan solar), yang sudah sampai 35 persen (B35). Selain menekan impor, Gibran menyebut hal itu akan terus meningkatkan produksi sawit serta menjaga kelestarian lingkungan.

Gibran juga menyebut proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung di Waduk Cirata, Jawa Barat, hasil kerja sama dengan Masdar dari Uni Emirat Arab. Proyek itu disebutnya memanfaatkan insentif berupa tax holiday dan tax allowance di tengah kebutuhan investasi energi terbarukan yang mahal. Ia juga mengatakan bauran (energi terbarukan) listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) perlu ditingkatkan.

Sementara itu, cawapres nomor urut 3, Mahfud MD, menuturkan, waktu lima tahun tidak cukup karena target emisi nol bersih (NZE) ialah pada 2060 sehingga masih panjang. Ia justru menyoroti pengelolaan berkelanjutan yang saat ini belum dilakukan. Mahfud juga menekankan keterbukaan atau transparansi terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan energi.

Problem dasar terlewat
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, Senin (22/1/2024), mengatakan, dengan keterbatasan waktu dan banyaknya tema, serta latar belakang cawapres yang berbeda, isu energi tak terangkat optimal dalam debat. Pesan besar terkait energi pun cenderung melompat langsung ke transisi energi.

Menurut dia, betul bahwa transisi energi sedang berjalan dan menjadi tren di tingkat global. ”Namun, saya menyayangkan problem-problem dasar di sektor energi terlewatkan dan seolah-olah sudah siap langsung ke transisi. Misalkan tentang neraca elpiji, harga gas bumi tertentu, dan pembelian elpiji pakai KTP. Memang Pak Muhaimin sempat menyinggung subsidi BBM di penutup, tapi elpiji tidak,” katanya.

Ia menambahkan,gimik lebih dominan dalam debat antarcawapres pada Minggu (21/1/2024) malam itu ketimbang memunculkan gagasan-gagasan. Berkisar 60-70 persen bobot lebih pada keperluan untuk meraih suara. Padahal, gagasan yang baik dari paslon yang kalah nantinya juga dapat diadopsi oleh paslon yang terpilih dalam Pemilihan Umum 2024.

Direktur Eksekutif Energy Watch Daymas Arangga juga menilai ada keterbatasan waktu serta terlalu luasnya topik yang dibahas. Namun, itu seharusnya dapat dimanfaatkan untuk menghubungkan satu topik dengan yang lain, misalnya berkaitan dengan kerangka pembangunan berkelanjutan.

”Penghubungan pengelolaan sumber daya alam, pangan, energi, masyarakat adat, dan desa sebenarnya bisa membuat debat lebih menarik. Namun, semalam, dari pertanyaan satu ke pertanyaan lain seperti terputus. Tak dibahas apa masalahnya, tantangannya, dan mau diselesaikan dengan progam apa saja. Tak menyentuh solusi, tetapi permukaan-permukaan saja. Mengecewakan,” ujar Daymas.

Bahkan, lanjut Daymas, kebijakan-kebijakan populis juga tak dimanfaatkan untuk meraup suara. ”Misalnya, bagaimana kebijakan subsidi, tarif listrik, dan elpiji 3 kg. Juga bagaimana transisi energi di tengah kondisi kelebihan pasokan PLN saat ini. Hal-hal seperti itu, serta yang dekat dan lebih banyak relevansinya dengan masyarakat, yang semestinya dibahas,” katanya.

Peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep), Akmaluddin Rachim, menilai, para cawapres seharusnya menggali lebih jauh mengenai isu-isu terkait energi terbarukan juga bencana ekologis. Bagaimana mewujudkan satu regulasi yang bisa menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada. Gagasan-gagasan konkret dari ketiga cawapres juga minim.

Ia mencontohkan, seharusnya muncul bagaimana strategi para paslon untuk mencapai target emisi nol bersih (NZE) pada 2060 selain menyebutkan program-program yang sedang berjalan. ”Juga bagaimana dalam prosesnya untuk tidak meninggalkan masyarakat terdampak. Energi terbarukan disinggung sebagai potensi, tetapi bagaimana implementasinya?” ujar Akmaluddin.

Sementara mengenai isu pertambangan dan hilirisasi mineral, ujar Akmaluddin, sebenarnya muncul sejumlah persoalaan seperti jumlah tambang ilegal serta hilirisasi yang ugal-ugalan dengan melibatkan banyak tenaga kerja asing. Juga dorongan keterbukaan informasi dalam tata keloa. Namun, tawaran solusi konkretnya masih amat minim.

Masih Potensial, Pengembangan Panas Bumi Perlu Penetrasi

Investor.id; 16 Januari 2024

JAKARTA, investor.id – Indonesia merupakan negara dengan cadangan panas bumi terbesar di dunia. Namun hingga kini pengembangannya masih belum maksimal karena berbagai faktor. Karena itu, perlu ada penetrasi untuk akselerasi kemampuan Indonesia dalam implementasi panas bumi.

Berdasarkan proyeksi bauran energi dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) penggunaan panas bumi adalah sebesar 5%. Saat ini, dari potensi yang mencapai 24 ribu MW, baru termanfaatkan sebanyak 3 ribu MW.

“Bisa dibayangkan panas bumi yang banyak belum dikembangkan itu nantinya harus berkontribusi 5% di tahun 2060 dalam bauran energi secara keseluruhan. Maka ini akan jadi pekerjaan rumah agar panas bumi bisa terpenuhi,” jelas Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya W Yudha dalam webinar bertema “Strategi Penciptaan Nilai Panas Bumi sebagai Langkah Mendukung Net Zero Emission 2060” yang digelar Reforminer Institute, Senin (15/1/2024).

Satya menuturkan ada beberapa langkah untuk mempercepat monetisasi potensi panas bumi pertama adalah harga panas bumi harus disesuaikan dengan keekonomian proyek. Tarif yang meluncur sesuai dengan keekonomian proyek (feed in tariff berdasarkan lokasi jaringan), terjangkau dari segi harga rata-rata bauran energi. tidak membandingkan harga satu jenisenergi dengan jenis energi lain yang tidak apple to apple.

Selain itu, lanjut dia, perizinan harus ada keselarasan peraturan di tingkat yang lebih tinggi (Peraturan Presiden Percepatan Pembangunan Panas Bumi terkait izin AMDAL, izin kehutanan (IPPKH/IPJLPB), dan perizinan sumber daya alam.

Menurut Satya, sebaiknya terdapat penggantian biaya infrastruktur sebagai kompensasi atas kewajiban perpajakan khususnya yang bersifat sosial, risiko eksplorasi ditanggung pemerintah (risk mitigation), internalisasi biaya lingkungan (carbon tax). Perpajakan yang dikenakan adalah hanya menanggung pajak badan (20%) dan menerapkan tax holiday serta insentif pajak lainnya.

Selain itu, perlu adanya jaminan keuntungan ekonomi yang wajar terkait dengan alokasi risiko, yaitu pembagian risiko antara PLN sebagai off taker (menjadi tarif kompetitif) dan pengembang yang mempunyai risiko (menjadi tarif menarik), memastikan perlindungan tingkat IRR sesuai dengan usulan berdasarkan perhitungan feed in tariff.

“Agar pengeboran lebih efisien, diusulkan untuk membentuk konsorsium/koperasi rig khusus panas bumi. Serta untuk meningkatkan nilai keekonomian, diharapkan efisiensi biaya dan insentif (a.l. tax Allowance) untuk optimalisasi tarif diharapkan lebih kompetitif,” jelas Satya.

Jufli Hadi, mengatakan masalah yang dihadapi oleh pengembangan panas bumi di tanah air tidak berubah dan berkutat pada masalah yang itu saja. Berbagai upaya yang sudah ditempuh belum bisa memberikan hasil yang optimal. “Masalah komersialisasi dan kepastian. Kebijakan harus pas untuk kurangi risiko panas bumi,” ujar Jufli.

Untuk itu API kini memiliki pendekatan baru sehingga bisa meminimalkan berbagai kendala tersebut utamanya adalah kolaborasi yang wajib dilakukan antara badan usaha serta stakeholders lain seperti pemerintah. Selanjutnya adalah business model yang perlu diperbarui kemudian, penggunaan teknologi sehingga mampu mempercepat Commercial of Date (CoD) proyek panas bumi serta ada pengembangan secondary product seperti hidrogen.

Selama ini, lanjut Jufli, isunya adalah Affordability. Banyak insentif yang dibahas, tapi bukan baru, ini sudah ada dari dulu. API mengambil sudut pandang ada kebijakan transisi, teknologi, secondary product, harus didorong, business model update harus terjadi teknologi apa yang bisa lebih cepat, yang bisa secondary product. “Kolaborasi dengan pemerintah PLN bicara mana insentif paling perlu. Pemerintah serius tapi harus duduk bersama,” jelas Jufli.

Komaidi Notonegoro mengatakan hingga saat ini industri panas bumi adalah satu-satunya industri energi baru terbarukan yang memberikan kontribusi secara langsung terhadap PNBP dalam APBN. Sejak 2010 hingga 2022, penerimaan negara dari panas bumi terus meningkat. Jika pada 2010 PNP panas bumi baru Rp343 miliar, meningkat jadi Rp882 miliar pada 2015 dan pada 2018 bahkan menembus Rp2,28 triliun. Pada 2019 dan 2020 hingga 2021 fluktuasi, naik lagi PNBP dari panas bumi pada 2022 menjadi Rp2,8 triliun.

“Dibandingkan EBT lain, panas bumi banyak keunggulan. Selain tidak bergantung cuaca, menghasilkan energi yang lebih besar untuk periode produksi yang sama serta memiliki capacity factor yang lebih besar,” katanya.

Di sisi lain, lanjut Komaidi, biaya operasi PLTP tercatat sebagai salah satu yang termurah. Rata-rata biaya operasi pebangkit listrik nasional pada 201 sebesar Rp1.391,08 per Kwh sedangakn rata-rata operasi PLTP pada tahun yangs ama Rp107,15/KWH atau 7,70% dari rata-rata biaya operasi pembangkit listrik nasional.

Komaidi menjelaskan pengembangan industri panas bumi di Indonesia dihadapkan sejumlah kendala, antara lain sulit terjadinya kesepakatan harga jual-beli antara pengembang panas bumi dan PLN. Selain itu, kebijakan eksisting mengharuskan harga listrik EBT bersaing dengan pembangkit fosil. Jumlah Lembaga keuangan yang bersedia memberikan pinjaman pada fase eksplorasi pun masih terbatas, selain perizinan jadi masalah karen wilayah kerja berada di hutan konservasi. “Dibandingkan Amerika Serikat dan Filipina kita kurang atraktif, terutama dalam pemberian stimulus fiscal kepada pengembang panas bumi,” katanya.

Edy Soeparno mengatakan, panas bumi adalah salah satu EBET yang potensial dan memiliki peran penting/strategis dalam mendukung transisi dan ketahanan energi masa depan. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, terlihat peran strategis panas bumi, dimana penambahan kapasitas pembangkit listrik dari panas bumi masuk “tiga besar” dengan proyeksi penambahan sebanyak 3.355 MW.

Dalam RUEN 2025 dan berdasarkan target bauran EBET sebesar 23% di tahun 2025, pengembangan PLTP memiliki porsi sekitar 7% dari total target atau setara dengan 7,2 GW. Dengan target capaian kapasitas terpasang PLTP tahun 2023 sebesar 2,37 GW tersebut, diperlukan upaya pengembangan proyek PLTP sebesar 4,8 GW untuk mencapai target 7,2 GW di tahun 2025. “Artinya progress pengembangan PLTP masih sangat lambat, padahal PLTP diharapkan menjadi salah satu backbone kelistrikan masa depan yang berasal dari sumber energi bersih,” ujar Eddy.

Upaya penciptaan nilai panas bumi di Indonesia dapat dilakukan melalui penyiapan skema insentif atau pengaturan tarif yang mempertimbangkan keekonomian proyek PLTP. Edy mencontohkan nilai keekonomian proyek panas bumi global di bawah 10 sen US$ per kWh), sedangkan di Indonesia di kisaran 10 – 13 sen US$ per kWh.