CNBCIndonesia; 10 November 2023
Penulis: Pri Agung Rakhmanto
Founder & Advisor ReforMiner Institute; pengajar ekonomi dan kebijakan energi FTKEnergi Universitas Trisakti.
Di dalam merespons gelombang transisi energi, salah satu garis utama kebijakan pemerintah adalah mencapai target Net Zero Emission (NZE)pada tahun 2060. Lima strategi pokoknya adalah melalui peningkatan pemanfaatan energi baru dan energi terbarukan (EBET), pengurangan energi fosil, penggunaan kendaraan listrik di sektor transportasi, peningkatan pemanfaatan listrik pada rumah tangga dan industri, dan melalui penerapan Carbon Capture and Storage (CCS).
Dalam hal peningkatan porsi EBET, dalam skenario NZE Dewan Energi Nasional (DEN), porsi EBET dalam bauran energi nasional ditargetkan mencapai 39% di tahun 2040 dan 66% pada tahun 2060.
Sumber energi panas bumi memiliki peluang yang besar untuk membantu mewujudkan upaya pemerintah mencapai target NZEpada tahun 2060. Karakteristik panas bumi sebagai sumber energi bersih-terbarukan dengan potensi sumberdaya dan cadangan yang cukup besar membuat energi panas bumi potensial untuk berkontribusi dan menjadi salah satu komponen penting dalam pencapaian target NZE transisi energi.
Jika seluruh potensi sumber daya panas bumi Indonesia yang mencapai 23,7 Gigawatt (GW) dapat dimanfaatkan, terdapat potensi penurunan gas rumah kaca (GRK) sekitar 182,31 Juta Ton CO2e atau setara dengan 58 % target penurunan emisi gas rumah kaca di sektor energi pada tahun 2030 yang ditetapkan sebesar 314 Juta Ton CO2e.
Listrik Panas Bumi
Pemanfaatan panas bumi di sektor kelistrikan tentu saja merupakan salah satu komponen transisi energi dan instrumen pencapaian NZE yang terpenting. Hingga tahun 2022, kapasitas listrik dari panas bumi terpasang mencapai 2,3 GW, atau kurang lebih 10% dari dari total sumberdaya panas bumi yang ada.
Total kapasitas terpasang pembangkit listrik panas bumi tersebut tercatat sebagai ketiga terbesar diantara pembangkit listrik EBET lainnya. Porsi kapasitas terpasang pembangkit panas bumi dibandingkan total kapasitas terpasang pembangkit EBET nasional adalah sekitar 18,70%.
Berdasarkan RUPTL 2021-2030, diproyeksikan total tambahan kapasitas pembangkit akan mencapai 40,575 Gigawatt (GW), dengan porsi pembangkit EBET diproyeksikan sebesar 20,923 GW atau 51,6% dan porsi pembangkit fosil sebesar 19,562 GW atau 48,4%. Penambahan pembangkit listrik dari panas bumi diproyeksikan mencapai 3,355 GW, atau kurang lebih mencapai 16% dari rencana penambahan pembangkit listrik dari sumber EBET.
Tentu tidak sederhana untuk dapat mencapai target penambahan kapasitas tersebut. Pengembangan energi panas bumi di sektor kelistrikan masih berkutat dengan sejumlah permasalahan pokok, seperti:
1. Listrik dari pembangkit panas bumi dihadapkan pada kondisi single buyer-market
2. Harga jual listrik panas bumi yang tidak dapat melampaui Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik nasional dan/atau BPP listrik di wilayah setempat
3. Tidak mudahnya mencapai titik temu harga jual-beli antara pengembang panas bumi dengan pembelinya
4. Harga listrik panas bumi yang masih dikompetisikan dengan listrik dari energi fosil
5. Daya dukung lembaga keuangan yang masih relatif terbatas, dan
6. Perizinan berusaha yang tidak selalu didapatkan oleh pengembang.
Value-Creation Industri Panas Bumi
Pengembangan industri panas bumi tidak terbatas pada pembangkitan energi listrik saja. Pemanfaatan langsung (direct use) dari energi panas bumi yang dihasilkan telah banyak berkembang untuk mendukung pembudidayaan di sektor pertanian, perkebunan dan peternakan.
Implementasi value-creation lainnya adalah dengan mengekstrak, mengolah dan memanfaatkan secondary product dari produksi panas bumi. Di antaranya yang sudah banyak dijalankan di berbagai negara seperti Jepang, Islandia, Italia, Polandia, AS dan Selandia Baru adalah ekstraksi silika, produksi green methanol dan green hydrogen.
Silika adalah bahan baku untuk berbagai industri kimia, green methanol dan green hydrogen dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi dan bahan bakar.
Di Indonesia, implementasi value creation pada industri panas bumi, oleh Pertamina Geothermal Energy (PGE) salah satunya, pada dasarnya telah berjalan di sejumlah wilayah. Uap dari lapangan panas bumi Lahendong dan Kamojang dimanfaatkan secara langsung untuk kegiatan perkebunan dan budidaya dengan target produksi 100 kg/hari.
Beberapa upaya lain yang tengah dilakukan PGE diantaranya adalah pilot project untuk green hydrogen di lapangan Lahendong, studi ekstraksi silika untuk mendapatkan penilaian pra-kelayakan potensi ekstraksi di Hululais dan pre-study green methanol untuk potensi perluasan jalur hidrogen hijau di proyek Ulubelu.
Penerapan value-creation pemanfaatan energi panas bumi pada skala yang sudah layak secara ekonomi dan komersial pada dasarnya nantinya tidak hanya akan membantu pencapaian target NZE. Lebih dari itu, secondary product dari panas bumi berpotensi memberikan dampak positif bagi perekonomian negara.
Produk yang dihasilkan dalam hal ini nantinya tidak hanya dapat dipasarkan untuk kebutuhan di dalam negeri tetapi juga untuk memenuhi permintaan global yang diproyeksi terus meningkat. Untuk hydrogen misalnya, berdasarkan informasi yang dihimpun, permintaan hydrogen global diproyeksi meningkat sekitar 4,3% selama kurun waktu 2020 – 2030.
Sementara berdasarkan publikasi Kementerian ESDM (2023), kebutuhan hydrogen di Indonesia saat ini berada pada kisaran 1,75 juta ton per tahun, dengan pemanfaatan didominasi untuk urea (88%), amonia (4%) dan kilang minyak (2%). Kebutuhan tersebut diproyeksi akan terus meningkat. Pada periode 2031 – 2041, kebutuhan hydrogen diproyeksi tidak hanya akan datang dari sektor industri tetapi juga dari sektor transportasi, sebagai bahan bakar.
Dengan demikian, selain untuk produksi listrik, penerapan value-creation pada industri panas bumi dengan perluasan jangkauan direct-use dan dengan mengoptimalkan secondary product sebagaimana dipaparkan di atas merupakan pilihan rasional yang harus didukung semua pihak.
Sejumlah kendala utama yang masih harus diatasi diantaranya adalah biaya produksi dan ekstraksi yang masih tinggi, kebutuhan infrastruktur transportasi dan penyimpanan, ketidakpastian pasar yang masih cukup tinggi, hingga masalah rantai pasokan yang kemudian mempengaruhi keekonomian dan kelangsungan proyek secara keseluruhan.
Terobosan dan kebijakan konkret memang sangat diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan pengembangan panas bumi di Indonesia, baik untuk sektor kelistrikan maupun di dalam konteks untuk dapat menerapkan value creation dalam pemanfaatan lainnya.
Dalam hal harga listrik panas bumi, salah satu terobosan yang mungkin dapat diterapkan adalah melalui pemberian subsidi khusus atau penugasan khusus kepada PLN dengan kompensasi agar dapat membeli listrik panas bumi sesuai dengan tingkat keekonomiannya.
Alternatif lainnya adalah pemerintah memberikan sejumlah insentif investasi dan insentif perpajakan agar keekonomian proyek panas bumi masuk dalam rentang harga beli listrik oleh PLN. Keterlibatan langsung pemerintah dalam tahapan kegiatan eksplorasi, juga dapat menjadi salah satu opsi kebijakan yang dapat dapat diambil untuk menurunkan risiko usaha pengembangan panas bumi yang ada.
Dalam hal untuk mempercepat dan memperluas implementasi value creation, diperlukan kolaborasi berbagai pihak untuk menciptakan ekosistem pengembangan dan pemanfaatan secondary product panas bumi yang secara kelayakan penerapan teknologi dan model bisnisnya feasible dan berkelanjutan.