Wednesday, December 4, 2024
HomeReforminer di Media2024Kinerja Industri Masih Keok Meski Harga Gas Domestik RI Murah, Tanya Mengapa?

Kinerja Industri Masih Keok Meski Harga Gas Domestik RI Murah, Tanya Mengapa?

Bisnis.com; 16 Mei 2024

Bisnis.com, JAKARTA — Harga gas domestik nasional disebut masih lebih rendah dibandingkan negara-negara Asean. Namun, harga tersebut belum menjadi stimulus menekan beban ongkos produksi industri, apalagi mendongkrak kinerjanya. Berdasarkan publikasi International Gas Union (IGU) 2023 harga gas domestik Malaysia sebesar US$11 per MMbtu, Thailand berkisar US$10-11 per MMbtu dan Vietnam berkisar US$6-7 per MMbtu.

Sedangkan, harga gas domestik rata-rata di Asia sebesar US$9,16 per MMBtu. Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan porsi beban energi bisa mencapai 70% bagi industri padat energi, seperti bahan baku petrokimia dan pupuk. Tak sedikit juga industri yang memakan 20-30% energi dalam produksi. “Studi dari reforminer lakukan harga gas indonesia dibandingkan beberapa negara Asean relatif paling murah sejauh ini. Di Indonesia harga gas format nya fixed, secara average kita berada di level yang murah,” ujar Komaidi kepada Bisnis belum lama ini.

Menurut dia, optimalisasi harga gas yang rendah ini harus seimbang dengan skema kebijakan gas dari pemerintah untuk industri hulu, midstream, dan hilir agar manfaat nya dapat mendorong pertumbuhan dan investasi. Kendati demikian, jika dibandingkan dengan negara-negara di Asean, dia menilai masih ada kesenjangan. Sementara, pemerintah semestinya berdiri di berbagai kepentingan seluruh industri sehingga tidak menyebabkan segmen tertentu hilang atau tidak tumbuh.

“Saya kira kalau negara lain balance, artinya memperhatikan semua kepentingan jadi industri hulu, midstream, hilir nya juga diperhatikan, industri pengguna nya juga diperhatikan,” ujarnya.

Misalnya, program harga gas bumi tertentu (HGBT) untuk 7 subsektor industri yang dipatok US$6 per MMBtu. Kebijakan ini dapat dikatakan efektif jika kinerja industri penerima meningkat signifikan.

Jika dilihat dari segi utilisasi produksi pada industri tersebut, tak sedikit yang mengalami penurunan utilitas, seperti industri keramik di level 69%, industri petrokimia dan industri kaca 90%, hingga industri sarung tangan karet 30%.

Secara keseluruhan sektoral, pertumbuhan industri pengolahan nonmigas mengalami perlambatan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) industri tersebut utmbuh 4,49% yoy pada kuartal IV/2023 atau lebih rendah dibandingkan kuartal IV/2022 sebesar 5,01% yoy.

Meskipun, dia tak memungkiri, program harga gas murah tersebut dapat dikatakan efektif ketika penerimaan negara yang berkurang dapat terkompensasi dengan penerimaan dari pembayaran dari pajak industri pengguna. “Indikator utamanya adalah kinerja industri penerima harga gas murah tadi meninkgat signifikan, cost revenue nya juga, penerimaan pajak nya atau pembayaran pajaknya meningkat,” tuturnya.

Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, dari tujuh sektor industri penerima HGBT, industri pupuk, petrokimia, baja, keramik, kaca, oleokimia, serta sarung tangan karet mampu meningkatkan penerimaan pajak yang diperoleh senilai Rp27,81 triliun. Multiplier effect dari pemberian HGBT juga mendorong investasi baru sebesar Rp31,06 triliun, serta penurunan subsidi pupuk sebesar Rp13,33 triliun akibat penurunan Harga Pokok Penjualan (HPP) produksi.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments