Friday, December 27, 2024

RETORIKA KETAHANAN ENERGI

PRI AGUNG RAKHMANTO,
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Majalah Tempo

Setelah gencar mewacanakan pembatasan bahan bakar minyak, pemerintah akhirnya memilih kebijakan menaikkan harga. Rencananya, per 1 April, harga BBM bersubsidi-bensin Premium dan solar-dinaikkan Rp 1.500 menjadi Rp 6.000 per liter. Kalangan yang menolak rencana ini umumnya kembali mempermasalahkan dan menuding buruk serta karut-marutnya pengelolaan energi nasional (oleh pemerintah) sebagai penyebab dari keharusan menaikkan hargaBBM.

Argumentasi sederhananya, antara lain, jika pemerintah becus mengelola dan mengurus sektor energi nasional dengan beraneka sumber energi di dalamnya, kenaikan harga BBM tak perlu dilakukan. Jika ketahanan energi nasional kukuh, meskipun harga minyak mentah dunia bergejolak tinggi, kenaikan harga BBM mestinya dapat dihindari

Argumentasi tersebut memang beralasan. Ketahanan energi nasional kita memang sangat rapuh. Elite negeri ini, khususnya yang memiliki otoritas untuk mengurus negara di bidang energi, umumnya sangat fasih ketika berbicara tentang ketahanan energi nasional. Energi sangat sering dikatakan sebagai tulang punggung dan sekaligus pilar ketahanan (ekonomi) nasional, cabang produksi yang strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak sehingga harus dikuasai negara, dan masih banyak jargon lainnya. Semuanya menekankan betapa pentingnya energi bagi kelangsungan hidup dan kemajuan negeri ini. Namun, dalam praktek, kita tak pernah benar-benar menjalankannya secara sungguh-sungguh.

STOK PENYIMPANAN MINYAK

Tengoklah sumber energi utama yang selalu menjadi rebutan negara-negara di dunia, minyak. Kita sebagai salah satu negara penghasil-meskipun saat ini sudah merupakan nett oil importer-tak memiliki stok penyimpanan minyak mentah sendiri untuk mengantisipasi keadaan darurat. Semua negara yang benar-benar memikirkan ketahanan energi nasionalnya dapat dipastikan memiliki stok penyimpanan minyak mentah-strategic petroleum reserves (SPR)-untuk berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan gangguan pasokan minyak mentah.

Amerika Serikat sudah memiliki SPRsejak 1975 dan saat ini kapasitasnya mencapai 727 juta barel atau setara dengan 34 hari tingkat konsumsi minyak mentahnya yang rata-rata 21 juta barel per hari. Jepang, negara yang tidak memiliki sumber daya minyak, juga memiliki stok serupa dengan kapasitas 583 juta barel. Cina, sebagai negara adidaya baru, juga telah memulai membangun SPR dengan kapasitas direncanakan 685juta barel.

Negara Eropa Barat yang tergabung dalam International Energy Agency (lEA) menetapkan standar kapasitas SPR untuk negara-negara anggotanya 90 hari dari impor minyak mentah bersih mereka. Jadi, jika terjadi gangguan pasokan akibat krisis politik di TimurTengah, misalnya, negara-negara tersebut relatifmemiliki cukup ruang dan waktu untuk dapat bertindak mengatasi kondisi darurat.

Dalam hal BBM, kondisi kita pun tak jauh berbeda. Kita mengklaim memiliki stok BBM nasional hingga 22-25 hari-barangkali angka itu memang benar-tapi bisa jadi itu hanya untuk wilayah Jawa-Bali, bukan seluruh wilayah Inponesia. Kita memiliki kilang dengan kapasitas terpasang 1,05 juta barel per hari dengan kemampuan menghasilkan BBM sekitar 700 ribu barel per hari. Sepuluh tahun yang lalu kebutuhan BBM nasional sudah mencapai I juta baret per hari, dan itu artinya kita sudah mengimpor sekitar 300 ribu barel per hari.

Saat ini kebutuhan BBM nasional sudah mencapai 1,2 juta barel per hari dan tak ada penambahan kapasitas kilang dalam sepuluh tahun terakhir, sehingga impor BBM kita menjadi sekitar 500 ribu barel per hari. Sering dikatakan akan ada kerja sama pembangunan kilang baru, tapi hingga kini tak ada satu pun yang terbangun. Ada yang mengatakan kegagalan pembangunan kilang ini memang disengaja oleh pihak yang sering disebut “mafia minyak” yang menikmati manfaat ekonomi dari aktivitas ekspor impor minyak mentah dan BBM. Yang sudah pasti, pemerintah tidak mengalokasikan anggaran di APBN untuk membangun kilang, juga tidak memfasilitasi investor dengan memberikan insentif fiskal dan kemudahan birokrasi. Akibatnya, hingga kini upaya membangun kilang BBM selalu saja menemui kegagalan.

PRODUKSI DAN CADANGAN MINYAK

Di sisi hulu eksplorasi dan produksi migas, Undang-Undang Migas 22/2001 yang nyata-nyata sebagian pasalnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena dipandang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 pun hingga kini masih terus dipertahankan pemerintah, seolah tak ada masalah apa pun. Padahal, Undang-Undang Migas 22/2001 ini telah secara sistematis mengerdilkan peran dan posisi perusahaan migas milik negara, Pertamina, sejajar dengan kontraktor-kontraktor migas yang lain.

Dengan tata kelembagaan dan posisi Pertamina yang sekarang, Undang-Undang Migas ini secara de facto juga telah menyerahkan penguasaan aset negara yang paling berharga dalam hal migas, yaitu cadangan yang ada di perut bumi, langsung kepada kontraktor-kontraktor migas yang utamanya adalah asing.

Dalam hal pengusahaan, Undang-Undang Migas juga mengubah pola pengusahaan migas nasional dari Business to Business (B to B antara Pertamina dengan kontraktor) menjadi Government to Business (G to B antara BP Migas dengan kontraktor). Pola G to B ini membuat pengusahaan migas menjadi lebih birokratis, terlalu banyak aturan yang kaku, dan memengaruhi aspek perpajakan pada sistem kontrak bagi hasil.

Kontraktor yang sebelumnya hanya membayar pajak pada tahapan produksi, kini sudah harus membayar beragam pajak, bea masuk, pungutan dan retribusi lainnya pada masa eksplorasi yang belum tentu membuahkan hasil, sehingga membuat iklim investasi eksplorasi tidak kondusif. Di sisi lain, pemerintah tak bersedia melakukan atau mengalokasikan anggaran investasi eksplorasi sendiri.

Selama satu dekade terakhir, rata-rata porsi investasi eksplorasi terhadap total investasi hulu hanya sekitar 8%, lebih kecil dibandingkan porsi biaya yang dikeluarkan untuk hal-hal yang sifatnya administratif yang rata-ratanya berkisar 12%. Sekitar 60% atau fokus investasi hanya untuk memelihara produksi lapangan yang ada saja. Ditambah dengan faktor penghambat yang lain seperti halnya masalah pembebasan lahan, hasilnya dapat ditebak; tingkat produksi dan cadangan minyak terus menurun.

Cadangan terbukti minyak saat ini hanya 3,7 miliar barel saja. Tingkat produksi pun hampir tak pernah dapat mencapai target APBN dan sekarang hanya di kisaran 890 – 910 ribu barel per hari saja. Dengan kondisi dan pengelolaan yang terus dipertahankan semacam ini, jangan harap kita bisa kembali masuk menjadi anggota OPEC. Mencapai angka produksi 1 juta barel per hari saja dapat dikatakan mission impossible. Dengan tingkat produksi yang ada dan tanpa penemuan cadangan baru, cadangan terbukti minyak yang ada bahkan akan habis dalam waktu kurang dari 12 tahun ke depan.

Bagaimana dengan pengelolaan sumber energi yang lain? Terlalu panjang untuk dikupas semuanya di sini. Namun, dari angka-angka makro di APBN, sesungguhnya telah cukup tergambar betapa ketahanan energi nasional saat ini memang rapuh. Besaran subsidi listrik yang diusulkan pemerintah dalam Rancangan APBN Perubahan 2012 melonjak dua kali lipat lebih dari Rp. 44,96 triliun menjadi Rp. 93,05 triliun. Apa pasal? Permasalahan kronis.

Pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) milik PLN tidak mendapatkan pasokan gas dalam jumlah cukup sehingga terpaksa harus dioperasikan dengan BBM yang biaya operasinya 4 kali lipat lebih. Jika kebutuhan bahan bakar PLN yang notabene adalah satu-satunya perusahaan listrik milik negara saja tidak bisa dijamin pemenuhannya, masih layakkah kita mengklaim sebagai negara yang memikirkan ketahanan energi?

Selama ini pemerintah juga telah banyak mengeluarkan aturan dan perangkat kebijakan yang ditujukan pada tiga pilar utama kebijakan energi nasional, yaitu intensifikasi, diversifikasi, dan konservasi. Pemerintah juga memiliki banyak proyek di bidang pengembangan energi baru dan terbarukan seperti bahan-bakar nabati, bahan bakar gas, ataupun pemasangan pembangkit listrik tenaga surya dan tenaga angin. Tapi, mungkin justru di situ letak permasalahannya, kita terlalu banyak mengeluarkan aturan, dokumen kebijakan dan proyek, tetapi miskin konsistensi program, implementasi, dan kerja nyata. Dan pada tataran yang lebih strategis, kita sesungguhnya memang belum menjalankan politik kedaulatan dan kemandirian energi dengan sungguh-sungguh. Ketahanan energi baru sebatas retorika.

 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments