Saturday, November 23, 2024
HomeReforminer di Media2014Butuh Konsensus Naikkan Harga BBM

Butuh Konsensus Naikkan Harga BBM

Kompas, 17 April 2014

Pemerintah baru mendatang perlu mempertimbangkan langkah-langkah pengurangan beban subsidi yang kian besar, terutama subsidi bahan bakar minyak. Untuk penyelesaian subsidi BBM secara tuntas, butuh konsensus politik. Tanpa itu, usaha menyelesaikan persoalan yang menguras anggaran pembangunan tersebut hanya akan lebih banyak menjadi kegaduhan politik dari pada solusi konkret.

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekonomi Pertambangan dan Energi (ReforMiner Institute) Pri Agung Rakhmanto, di Jakarta, Rabu (16/4), menyatakan, semua elemen bangsa mengetahui persoalan anggaran, subsidi BBM yang amat besar. Namun, selama ini tidak pernah ada solusi gradual untuk menyelesaikan hal tersebut secara tuntas.

Selama lima tahun terakhir, subsidi energi terus membengkak di bandingkan dengan pagu anggaran. Kisaranya mencapai 20-25 persen dari total belanja pemerintah pusat. Dan, yang terbesar adalah subsidi BBM.

Pada anggaran subsidi energi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2014, misalnya, anggaranya adalah Rp 282 triliun atau 22,56 persen dari total belanja pemerintah pusat. Subsidi BBM mencapai Rp 210 triliun dan subsidi listrik Rp 71,4 triliun.

sebaiknya ada konsensus politik antara pemerintah dan DPR yang diaktualisasikan dalam APBN untuk mengurangi subsidi BBM secara bertahap. Motodologi bisa disikluskan, tetapi yang paling penting konsensus politik harus termanifestasikan dalam anggaran dan semua harus menyepakatinya. Publik pun harus tahu, kata Pri Agung.

Pengurangan subsidi BBM, menurut dia, kecil kemungkinan akan dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meski sebenarnya kesempatanya ada. Oleh karena itu, ia berharap presiden terpilih periode 2014-2019 berani dan mau mengambil tanggung jawab tersebut.

Pri Agung mengingatkan, subsidi BBM tahun ini besar kemungkinan membengkak, sebagaimana terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini pembengkakan akan di sebabkan oleh volume konsumsi yang bakal di atas kuota dan realisasi produksi minyak siap jual yang meleset di bawah target.

Dalam lima tahun kedepan, persoalan ini harus selesai. Artinya, tidak ada lagi BBM bersubsidi. Namun, hal ini harus diikuti dengan program-program pemerintah yang langsung menstimulus pembangunan, kata Pri Agung.

Secara terpisah, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unifersitas Brawijaya, Malang, Ahmad Erani Yustika sepakat bahwa besarnya anggaran subsidi adalah suatu persoalan mendasar dalam APBN. Namun, pemerintah sendiri tidak pernah mengerjakan agenda penyelesaian atas persoalan energi secara komprehensif.

Hal yang di lakukan pemerintah selama ini, kata Erani, sebatas menaikkan harga BBM bersubsidi. Pasalnya, itu adalah cara paling gampang. Sementara agenda konversi energi tak pernah serius dijalankan. Contohnya adalah konversi BBM ke gas.

Pemerintah, menurut Erani, juga tak berusaha maksimal menambah ruang fiskal dengan menggenjot pajak. Terbukti potensi pajak tak tergali masih besar.

Pemerintah boleh terus mengerek agar subsidi BBM dikurangi. Dan, kita mungkin bisa terima itu, Namun, kita juga tidak boleh membiarkan pemerintah membuang terusmenerus kesempatan mendapatkan pendapatan yang lebih besar, kata Erani.

Sebagaimana versi Direktorat Jendral Pajak, Erani melanjutkan, terdapat potensi pajak tak tergali yang diperkirakan mencapai Rp 300 triliun per tahun. Adapun potensi pajak belum tergali dari eksploitasi sumber daya alam bisa Rp 200 triliun per tahun.

Naikkan harga BBM

Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, A Tony Prasetiantono menyatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memiliki momentum untuk menaikan harga BBM bersubsidi. Yang terpenting adalah kenaikannya tidak memberatkan masyarakat.

Saya rekomendasikan kenaikan Rp 1.000 atau maksimal Rp 1.500 per liter. Meski tidak besar, yang penting kenaikan tersebut menunjukkan kesan bahwa pemerintah memiliki visi yang jelas terhadap kebijakan fiskal, kata Tony.

Besarnya subsidi energi yang mendekati Rp 300 triliun, menurut Tony, sudah tidak masuk akal dibandingkan dengan belanja infrastruktur. APBN menjadi tidak sehat dan tidak punya visi.

Mengenai dampak inflasi yang timbul karena kenaikan harga BBM, ekonom Standart Chartered Bank Indonesia, Eric Sugandi, Mengemukakan, dibandingkan dengan negara-negara lain, inflasi yang terjadi di Indonesia tidak terlalu buruk.

Inflasi di Indonesia lebih disebabkan oleh beberapa hal. Geopolitical risks dan kestabilan politik dalam negeri juga mempengaruhi. Terbukti awal tahun ini membaik, katanya.

Tahun lalu, inflasi Indonesia buruk, yakni 8,4 persen. Target inflasi pada tahun 2014 dalam APBN adalah 5,5 persen.

 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments