Saturday, November 23, 2024
HomeReforminer di Media2014RI Mampu Jadi Lumbung Energi

RI Mampu Jadi Lumbung Energi

Investor Daily; 07 Agustus 2014

JAKARTA Dominasi penggunaan BBM –yang tak mampu digeser selama sepuluh tahun terakhir– menjerumuskan Indonesia ke jurang krisis energi. Listrik PLN yang byarpet, pemadaman listrik bergilir, dan ketergantungan pada subsidi BBM merupakan dampak dari kesalahan struktural di bidang pengelolaan energi. Dengan cadangan gas, batubara, dan terutama panas bumi yang besar, serta bahan baku biofuel yang besar, Indonesia mestinya mampu menjadi lumbung energi dunia.

Selama ini, Indonesia lebih memilih kebijakan ekspor gas dan batubara ketimbang digunakan sendiri untuk keperluan pembangkit listrik dan transportasi di dalam negeri. Potensi geothermal atau panas bumi pun disia-siakan. Jika tiga sumber energi ini dikelola dengan baik untuk kebutuhan domestik, Indonesia bukan saja tidak kekurangan energi, melainkan mampu menjual energi dengan harga murah, bahkan menjadi eksportir.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Agung Rahmanto sangat meyakini, Indonesia mampu memenuhi energi nasional dengan beragam potensi yang tersedia. Namun, masalahnya, selama ini belum ada kebijakan pemerintah yang jelas, tegas, dan konsisten untuk pengembangan energi terbarukan, kata dia kepada Investor Daily di Jakarta, Rabu (6/8).

Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar. Potensi energi panas bumi sebanyak 29.000 megawatt (MW), energi tenaga air mencapai 75.000 MW, biomassa 45.000 MW, dan biodiesel untuk 10 juta hektare lahan yang akan menghasilkan 40 juta kiloliter biodiesel setiap tahun.

Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional menetapkan bahwa pada 2020, peranan energi terbarukan diharapkan meningkat minimal jadi 17%. Itu meliputi biofuel minimal 5%, panas bumi 5%, energi baru terbarukan (biomassa, air, tenaga surya, tenaga angin, dan nuklir) 5%, serta coal bed metane sebesar 2%.

Selama ini, kata Pri Agung, pemerintah terkesan berkeinginan mengembangkan semua potensi energi yang ada, namun hasilnya masih sangat memprihatinkan dan bahkan programnya hilang begitu saja.

Ke depan, lanjutnya, pemerintah harus mampu membuat prioritas utama dalam pengembangan energi. Dengan fokus pada pengembangan sumber energi tertentu, niscaya Indonesia tidak akan kekurangan energi pada masa mendatang.

Selain membuat prioritas energi, Pri Agung mengingatkan agar membuat kebijakan perlu mengubah paradigma bahwa energi sesungguhnya adalah penggerak ekonomi (economic mover), bukan sekedar sumber penerimaan negara atau sebagaisektor yang harus di subsidi negara. Dengan menempatkan energi sebagai economic mover, besarya biaya untuk investasi sumber energi terbarukan tidak perlu terlalu dipermasalahkan, kata Pri Agung.

Kebijakan lain yang harus segera dilakukan pemerintah adalah menaikan harga BBM apabila ingin mengembangkan energi terbarukan. Bila pemerintah tidak menaikkan harga BBM dan tetap menyubsidi, niscaya pengembangan energi terbarukan hanya impian belaka, tegasnya.

Anggota Komisi VII DPR Dewi Aryani mengatakan, penanganan energi di Indonesia tidak sulit karena potensi SDA energi terbarukan bervariasi dan penyebarannya cukup baik di beberapa wilayah.

Sayangnya, pemerintah tidak membukapasar atau potensi konsumsimenggunakan sumber alternatif selainenergi fosil. Contohnya minyak sawit(CPO) yang produksinya mencapai30 juta ton mestinya dialihkan untuk pemenuhan energi alternatif.

Menurut dia, agar struktur energymenjadi lebih sehat, maka ketergantunganterhadap BBM mutlak harusdipangkas, diversifikasi dijalankansecara konsisten, dan energi alternativebisa dikembangkan sehinggaIndonesia menjadi lumbung energi dunia.

Agar energi alternativeberkembang,perlu diberi insentif, termasuk soalharga. “Semua tidak akan berjalanselama pemerintah tidak punya goodwill,”kata Dewi.

Senada dengan Dewi, Direktur EksekutifIndonesian Resources Studies(lress) Marwan Batubara menuturkan,potensi energi di Indonesia tidakbakal membawa manfaat apabila pemerintahhanya memandang energysebagai komoditas. Rencana kerjajangka panjang pemerintah soal energi hanya apik di atas kertas namunrealisasinya melenceng.

Dia mencontohkan, pemanfaatanbatubara untuk listrik akan ditingkitkan,tapi kenyataannya eksporbatubara terus meningkat. Padahal,harga komoditas tersebut menurun.”Mungkin 10 tahun akan datang Indonesiaharus impor batubara. Jadiperlu pengendalian batubara danmengutamakan bagi pemanfaatandalam negeri,” ujarnya.

Minimalisasi BBM

Dihubungi terpisah, Direktur JenderalKetenagalistrikan KementerianEnergi dan Sumber Daya Mineral(ESDM) Jarman menegaskan, pemerintahberkomitmen mengurangi ketergantunganterhadap BBM. Pemenuhanenergi lebih mengoptimalkanpemanfaatan bauran energi sepertitertuang dalam Rancangan UsahaPenyediaan Tenaga listrik (RUPTL)2013-2022.

Pada 2022, pembangkit listrik mayoritasbakal menggunakan energi batubara dengan porsi 66%, dari saatini 51,6%.Pembangkit dari gas turunmenjadi 16%, lebih rendah dari saatini sebesar 23,6 %. Panas bumi ditingkatkanmenjadi 11% dari saat ini4,4%. “Untuk pembangkit yang menggunakanBBM kami tekan menjadi1,7%, dari level sekarang 12,5%,” kataJarman.

Jarman menuturkan, pengembanganPembangkit Listrik Tenaga Uap(PLTU) dilakukan di sekitar lokasipertambangan atau disebut denganPLTU Mulut Tambang. Rencananyaakan dibangun 7. 785 MW PLTU muluttam bang di Sumatera.

Kepala Divisi BBM dan Gas PLNSuryadi Mardjoeki, ke depan, pembangkitdengan bahan bakar minyakakan diminimalisasi. PLN agresif mengurangiketergantungan terhadapBBM. Pada 2017, konsumsi BBMuntuk kelistrikan ditargetkan tinggal1 juta kiloliter (KL) saja. Tahun 2011,pemakaian BBM untuk pembangkitsebesar 11,2 juta KL. Tahun 2013turun jadi 7,4 juta KL dan tahun iniditargetkan 6,4 juta KL.

Caranya, lanjut dia, dengan memperbesarserapan gas di pembangkitlistrik. PLN menargetkan serapan gasbisa mencapai angka tertinggi sebesar448 tera british thermal unit (TBTU)pada 2017. Namun, Suryadi optimistisbisa mencapai angka tersebut padatahun depan.

Analis Bower Group Asia RanggaD Fadillah mengatakan, ketergantunganBBM utamanya pada sektortransportasi memang sulit dihindarikarena sampai sekarang belum adabahan bakar lain yang seefektif danseefisien minyak. Konversi ke bahanbakar gas (BBG) sulit pun diterapkankarena keterbatasanjangkauan suplaiBBG dan banyaknya infrastrukturyang diperlukan.

Pemerintah, lanjut dia, seharusnyamendesain bagaimana agar konsumsiBBM yang cukup tinggi pada sectortransportasi ini tidak membebanikeuangan negara. “Jalan satu-satunyasecara perlahan mencabut subsidi,”kata dia.

Pencabutan subsidi diperlukan gunamenghilangkan perilaku masyarakatyang boros energy. Menurut dia, hargamurah memberi sinyal yang salahsehingga masyarakat mengira energi itu gampang dicari dan biaya produksinyamurah. “Padahal pemerintahberdarah-darah menanggung subsidi,”ujar Rangga.

Pencabutan subsidi BBM juga akanmemudahkan program konversi keBBG. Jika BBM dijual pada hargapasar, banyak masyarakat yang akanberalih ke BBG karena jauh lebihmurah. Di sisi lain, pemerintah jugaharus berkomitmen terus menambahjumlah SPBG.

Untuk sektor kelistrikan, Ranggaberpendapat, Indonesia sudah beradapada jalur yang benar. Program percepatan10 ribu MW tahap pertama dahkedua yang didominasi pembangkitnondiesel, sehingga ketergantunganpada minyak terus berkurang.

“Sekarang masalahnya, masih banyakdaerah remote yang pakai diesel.Ini yang perlu dipikirkan alternatifnya,”tutur dia.

Jaminan Pasokan

Suryadi menegaskan, konsumsiBBM pada pembangkit listrik tidakbisa dihilangkan sama sekali. BBMmasih dibutuhkan untuk menghidupkanpembangkit batubara.

Sebelumnya, Direktur Perencanaandan Afiliasi PLN Murtaqi Syamsuddinmengatakan, batubara dipilih karenaIndonesia memiliki cadangan besar,28 miliar ton. Bahan bakar primer jenisini juga cocok untuk membangkitkanlistrik dalam jumlah sangat besarhingga 2xl.000 MW. Pasalnya, PLNharus menambah kapasitas pembangkit listrik sebesar 59.500 MW dalam10 tahun ke depan untuk menutuppertumbuhan listrik yang mencapai8,4% per tahun.

Dengan semakin besarnya kebutuhangas dan batubara, PLN memintapemerintah menjamin pasokannya.Menurut Suryadi, pembangkit PLNharus diprioritaskan memperolehLNG. Selanjutnya, seluruh pipa gasseharusnya diterapkan menjadi openaccess sehingga ada fleksibilitas alirangas. “Sekarang ini gas susah dibawa kemana-mana karena tidak open access,”kata dia.

Menurut Direktur Batubara KementerianESDM Bambang Tjahjono Setiabudi, pihaknya sudah mengalokasikebutuhan batubara untuk dalamnegeri (Domestik Market Obligation/DMO) seperti PLN, pabrik semen,dan industri lainnya. Tahun ini DMOditetapkan sebesar 90 juta ton. Namun,dia menyebut alokasi tersebut tidakterserap sepenuhnya lantaran molornyapembangunan PLTU. “Selamatiga tahun belakangan serapan DMOtidak maksimal, stagnan di 67 juta ton.Padahal DMO itu 80% untuk PLN danIPP (Independent Power Producer),”ujarnya.

Bambang menegaskan, pemerintahjuga mengendalikan ekspor batubaramelalui rencana kerja anggaran danbelanja (RKAB) perusahaan. Sebagaicontoh, pelaku usaha meminta produksitahun ini 500 juta ton, namunhanya disetujui 421 juta ton.

Kepala Divisi Batubara PLN HelmiNajamuddin menuturkan, selama inipasokan pembangkit bisa terpenuhidengan adanya kebijakan DMO. Namun,dengan terus naiknya eksporbatubara, dia mengkhawatirkan kepastianpasokan di masa mendatang.Dia mendesak ekspor batubara dikendalikan.

Rangga Fadillah sependapat bahwapemerintah seharusnya mulaimengendalikan produksi dan eksporbatubara seiring semakin banyaknyaPLTU yang dibangun PLN. Apalagikebutuhan batubara PLN mencapai151juta ton pada 2022. “Kalau dieskporterus, justru jadi mesin pertumbuhanekonomi Tiongkok dan India. Kitadapat ampasnya saja,” papar Rangga.

Panas Bumi

Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) RiaMulyana menambahkan, pengembangan potensi panas bumi terkendlaUU No 27 Tahun 2003 tentang PanasBumi karena bertentangan denganUU Kehutanan. Sebab, 15 titik potensipanas bumi sebesar 6 ribu MWberadadi kawasan hutan lindung.

Guna mengatasi kendala tersebut pemerintah mengajukan perubahanUU Panas Bumi. Rencananya UU Panas Bumi hasil revisi bakal disahkanoleh DPR pada Agustus ini. “Revisi UUini mendorong percepatan pengembangan potensi panas bumi. Potensi yang ada di hutan konservasi punbisa dimanfaatkan,” ujarnya.

Menurut Rangga Fadillah, pemerintah seharusnya mulai menjadiklan panas bumi sebagai energiutama pada tahun-tahun mendatang;”Sayang, pengembangannya masihterganjal harga dan negosiasi yangalot dengan PLN,” tuturnya, Serayamenambahkan pemerintah perlu memberi insentif pengembangan panas bumi.

Sedangkan Marwan Batubara menilai, kendala pengembangan panas bumi bukan hanya di UU, tapi karena pemenang lelangnya adalah calo-calo ini tidak akan mengembangkan potensi panas bumi tapi kemudian menjual konsesi yang dimilikinya, ujarnya. (ys/es/hg)

Struktur Industri Gas Nasional

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia dihadapkan pada masalah krisis gas nasional. Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB), konsumen gas domestik terbesar, sering mengeluhkan minimnya pasokan. Kebutuhan gas PLN pada tahun 2011 sebesar 1.798 MMSCFD. Atas kebutuhan tersebut, PLN hanya mendapat komitmen pasokan sebesar 1.496 MMSCFD. Bahkan realisasi pasokan atas komitmen tersebut hanya sebesar 901 MMSCFD. Karena itu, pada tahun 2011 PLN mengalami defisit gas sebesar 896 MMSCFD. Sementara, dari total kebutuhan gas industri sekitar 2.767 MMSCFD juga hanya mendapatkan pasokan sekitar 1.000 MMSCFD. Pada tahun 2012, pasokan tersebut dipangkas lagi menjadi 500 MMSCFD

 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments