Saturday, November 23, 2024
HomeReforminer di Media2014Serius Konversi ke Gas

Serius Konversi ke Gas

Pemerintah Belum Selesaikan Cetak Biru Pengalihan BBM
Kompas; 30 Agustus 2014

JAKARTA, KOMPAS Upaya konversi bahan bakar minyak ke bahan bakar gas diharapkan tidak lagi sekadar program lintas kementerian seperti saat ini. Program ini harus menjadi program nasional yang diketuai presiden atau wakil presiden sehingga upaya konversi bisa segera terealisasi.

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekonomi Pertambangan dan Energi (ReforMiner Institute) Pri Agung Rakhmanto, di Jakarta, Jumat (29/8), menegaskan, menjadikan konversi BBM ke BBG sebagai program nasional merupakan upaya mempercepat proses konversi yang selama ini tersendat.

Selama ini, proses konversi seperti jalan di tempat atau bahkan tidak berjalan sama sekali. Kalaupun ada perkembangan, sangat lambat. Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah ke depan karena Indonesia sudah sangat tertinggal dalam bidang konversi gas jika dibandingkan negara-negara lain, kata Pri.

Salah satu yang menghambat proses konversi, lanjut Pri, adalah peliknya koordinasi antarlembaga atau kementerian yang terkait. Sebab, kultur birokrasi selalu mengalami masalah pada jalur koordinasi dan komunikasi di antara sesama lembaga.

Pri mencontohkan, konversi minyak tanah ke elpiji dapat dilakukan secara cepat saat menjadi program nasional. Meski mendapat banyak hambatan, koordinasi langsung dari pemimpin membuat semua tantangan dapat diatasi.

Konversi BBM ke gas, khususnya di sektor transportasi, telah lama digaungkan pemerintah. Namun, hal ini tidak banyak mengalami perubahan berarti dari tahun ke tahun. Di satu sisi, pengeluaran negara untuk subsidi BBM terus meningkat. Bahkan, dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2015, subsidi mencapai Rp 291 triliun.Nilai ini naik dari tahun 2014 yang mencapai Rp 246 triliun.

Cetak biru belum siap

Padahal, dalam proyeksi ideal, setiap tahunnya 100.000 kendaraan ditargetkan untuk diversifikasi ke gas. Jumlah tersebut diambil dari jumlah kendaraan yang saat ini mencapai 12,9 juta dengan angka penghematan Rp 2,3 triliun. Jumlah stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) juga ditargetkan bertambah hingga 400 buah dalam lima tahun.

Namun, semua yang diprogramkan tidak ada yang berjalan. Bahkan, cetak biru konversi gas belum selesai sampai kini. Padahal, setidaknya hal itu bisa menjadi warisan pemerintahan saat ini untuk digunakan pemerintahan baru, kata Pri.

Terkait cetak biru konversi gas, Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Kelembagaan dan Perencanaan Strategis IGN Wiratmaja Puja menuturkan, penyusunan sedang tahap finalisasi dan diharapkan bisa segera rampung. Cetak biru konversi yang diproyeksikan hingga tahun 2030 memetakan daerah penghasil gas, permintaan gas, serta pengaturan infrastruktur dan harga.

Kami menyusun setiap lini secara detail dan rinci. Kami berusaha agar mampu menyelesaikan sebelum pemerintahan berakhir, kata Wiratmaja.

Wiratmaja mengakui, masalah koordinasi memang menjadi salah satu penghambat efektifnya program konversi selama ini. Selain itu, perlu ada terobosan dalam pengurusan perizinan dan lahan.

Sebab, selama ini pembangunan SPBG sering terkendala izin baik dari pemerintah daerah maupun lembaga terkait. Oleh karena itu, koordinasi perlu ditingkatkan, baik antarlembaga maupun pemerintah daerah.

Kepala Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan Gandjar Mustika mendesak pemerintah segera menerapkan kebijakan yang tegas terkait permasalahan BBM bersubsidi yang belakangan ini menjadi polemik. Situasi yang berlarut akan membuat pasar keuangan dalam periode ketidakpastian.

Menurut Gandjar, ketidakpastian harga BBM bersubsidi bisa berdampak terhadap ekspektasi inflasi berkepanjangan. Sebab, isu ini tidak disikapi secara jelas sehingga akan membuat bisnis tidak produktif.

Oleh karena itu, ketidakpastian ini perlu segera disikapi. Sebab, dengan adanya keputusan kenaikan harga BBM, misalnya, inflasi yang akan berpengaruh pada sektor keuangan lebih mudah dikalkulasi sehingga besaran tingkat bunga mudah dikendalikan, kata Gandjar di Jakarta, Jumat.

Menurut Gandjar, kenaikan harga BBM bersubsidi tentu akan memberikan ruang fiskal yang lebih kepada pemerintah baru. Hal tersebut membuat ruang gerak fiskal pemerintah baru semakin melebar. Hal ini akan berdampak luas terhadap sektor keuangan.

Dengan bertambahnya ruang fiskal, pemerintah mampu membiayai sektor lain yang sedikit banyak berhubungan dengan industri keuangan. Pembangunan di sektor lain akan membuat ekspansi kredit lebih luas dan modal menjadi semakin kuat. Hal-hal seperti ini akan menguatkan sektor keuangan, ujarnya.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments