Investor Daily:30 September 2014
JAKARTA – Target lifting minyak 900 ribu barel per hari (bph) dan gas 1,24 juta barel setara minyak per hari pada 2015 sulit dicapai selama status Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) tidak jelas. Upaya mendongkrak lifting minyak dan gas membutuhkan kepastian hukum dan hal itu sangat terkaitdengan status SKK Migas.Untuk memberikan kepastian hukum, presiden baru diharapkan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) tentang status baru SKK Migas atau merevisi UU Minyak dan Gas (Migas) yang isinya memberikan kewenangan memadai kepada institusi baru itu untuk bisa menjalankan tugasnya, di antaranya meningkatkan produksi.
Status SKK Migas boleh lembaga independen yang berada di bawah presiden, boleh BUMN baru, atau di bawah Pertarnina. Bentuk manakah yang dipilih harus bisa mendukung fungsi lembaga itu sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap kegiatan produksi migas.
Namun, lembaga terse but sebaiknya berupa entitas bisnis murni, bukan regulator atau pengawas yang menjadi kepanjangan tangan pemerintah seperti sekarang. Jika tetap menjadi regulator atau pengawas, lembaga tersebut akan kembali dibubarkan Mahkamah Konstitusi (MK), kendati diberi payung hukum yang lebih kuat.
Hal ituterungkap dalam wawancara Investor Daily dengan Pelaksana Tugas Kepala SKK Migas johanes Widjonarko, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Priagung Rakhmanto, analis Energi Bower Group Asia Rangga DianFadillah, dan anggota Komisi VII D PR RI Fraksi Golkar Bobby Rizaldi. Mereka dihubungi secara terpisah di Jakarta, Senin (29/9).
SKK Migas dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 9/2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Semula, SKK Migas bernama Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SK Migas) yang dibentuk melalui Perpres No 95/2012 tentang Pengalihan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Pembentukan SKK Migas merupakan tindaklanjut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 13 November 2012. MK membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) karena lembagaitu dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum yang mengikat.
BP Migas sendiri dibentuk pada 16 Juli 2002 melalui UU No 22/2001 tentang Migas dan PP No 42/2002 tentang BP Migas. Sebelum dibubarkan, BP Migas berstatus sebagai pembina dan pengawas kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dalam menjalankan kegiatan eksplorasi, eksploitasi, dan pemasaran migas. Saat itu, BP Migas menggantikan fungsi pengawasan dan pembinaan KKKS yang dilakukan Pertamina.
Dalam putusannya, MK menyatakan, setelah BP Migas dibubarkan, fungsi dan tugas BP Migas dilaksanakan pemerintah lewat Kementerian ESDM, sampai berlakunya undang-undang baru. Hingga kini, UU baru itu belum dibuat. Berarti, selaku wakil pemerintah (Kementerian ESDM), SKK Migas hanya punya ‘cantolan’ ke Perpres 9/2013.
Status SKK yang masih ‘menggantung’ membuat para investor khawatir. Jika hanya erlandaskan perpres, SKK Migas bisa dibubarkan setiap saat, sehingga kontrak-kontrak yang sudah berjalan maupun yang akan dibuat bisa diputus kapan saja. Artinya, keputusan SKK Migas tidak memiliki ketetapan hukum yang tetap dan mengikat. Di sisi lain, SKK Migas juga tak bisa leluasa membuat kebijakan karena takut terjerat masalah hukum.
Krisis Migas
Baik Johanes Widjonarko, Pri Agung Rakhmanto, Rangga Dian Fadillah, maupun Bobby Rizaldi sependapat bahwa krisis energi sudah di depan mata. Sejak 2004, Indonesia sudah menjadi importir sejati minyak (net oil importer). Cadangan gas juga terus menipis. Jika tidak ada keberhasilan mendapatkan cadangan gas baru, mulai 2020 Indonesia mengalami krisis gas. Konsumsi gas akan lebih besar dibanding produksi seperti kondisi neraca minyak saat ini.
Tahun ini, subsidi energi mencapai Rp 350,3 triliun atau melebihi penerimaan negara dari migas sekitar Rp 211,67 triliun. Tahun depan, subsidi energi dianggarkan Rp 344,7 triliun, sedangkan penerimaan negara dari migas sulit mencapat target Rp 312,97 triliun.
Pada 2014, target lifting minyak mentah direvisi turun dari 870 ribu bph menjadi 818 ribu bph. Kemungkinan besar, liftingminyak yang bias dicapai tahun ini sekitar 807 ribu bph. Adapun lifting gas tahun ini dan tahun depan masing-masing ditargetkan 1,22 juta dan 1,24 juta barel setara minyak perhari.
Menurut Rangga Dian Fadillah, dengan menaikkan target lifting minyak ke angka 900 ribu bph, realisasinya akan semakin sulit. “Apalagi para investor migas saat ini kurang merasakan adanya kepastian hukum akibat status SKK Migas yang menggantung,” ujar analis Energi Bower Group Asia itu.
Bobby Rizaldi menambahkan, tanpa penemuan sumur baru, minyak dan gas yang diambil akan lebih besar dari yang ditemukan. Reserve replacement ratio (RR1) hanya 60%. Artinya, setiap satu barel minyak dan gas yang disedot,hanya 0,6 barel gas dan minyak baru yang ditemukan.
“Jika kondisi ini terus berlangsung, cepat atau lambat, minyak dan gas di bumi Nusantara bakal habis,” tutur anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Golkar tersebut.
Perlu Perppu
Menurut Pelaksana Tugas Kepala SKK Migas Johanes Widjonarko, industri migas merupakan jenis industri dengan investasi jangka panjang, sehingga membutuhkan kepastian hukum. “Salah satunya terkait status SKK Migas,” kata dia.
Widjonarko menjelaskan, kepastian hukum diperlukan setelah pembubaran BP Migas oleh MK, terutama aturan yang memperhatikan pertimbangan MK dalam amar putusannya. Dengan begitu, pada masa mendatang tidak ada lagi interprestasi yang berbeda tentang lembaga tersebut.
“Kepastian hukum dalam jangka pendek adalah dengan menerbitkan perppu. Ini penting untuk member kepastian kepada semua pihak,” tandas dia.
Widjonarko menjelaskan, jika kelembagaan SKK Migas diubah, perubahannya harus dibarengi mitigasi agar berjalan lancar. Itu juga untuk menghindari perubahan mendadak (hard landing) seperti yang terjadi saat BP Migas dibubarkan MK Saat itu, kegiatan industri migas sempat berhenti.
“Adanya perubahan pasti ada pengaruhnya, sehingga perlu dimitigasi agar perubahan itu soft landing. Ini penting untuk kesinambungan operasi agar tidak terganggu,” ujar dia.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Priagung Rakhmanto mengemukakan, demi memberikan kepastian hukum kepada investor, pemerintahan baru sebaiknya mengajukan undang-undang ke parlemen atau setidaknya membuat perppu untuk memperkuat SKK Migas. Namun, dalam waktu bersamaan, SKK Migas juga harus dirombak.
“SKK Migas sebaiknya diganti menjadi entitas bisnis murni, bukan regulator atau pengawas yang menjadi kepanjangan tangan pemerintah seperti sekarang,” papar dia. Jika tetap menjadi regulator atau pengawas, menurut Priagung, lembaga tersebut berpotensi kembali dibubarkan MK, sekalipun diberi payung hukum. “Kalau tetap menjadi badan pemerintah, percuma saja,” ucap dia.
Lembaga baru pengganti SKK Migas, kata Priagung, idealnya berbentuk badan usaha milik Negara (BUMN) yang menjadi mitra kerja KKKS. “Lembaga baru ini tidak akan overlapping dengan Pertamina. Toh, negara-negara lain yang industri migasnya sudah maju pun punya banyak BUMN migas,” tegas dia.
Rangga Dian Fadillah mengungkapkan, status SKK Migas yang masih sementara dan hanya berlandaskan perpres telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor. Apalagi kemudian muncul isu pembubaran lembaga tersebut.
Itu sebabnya, menurut dia, Indonesian Petroleum Association (IPA) yang menaungi produsen migas di Indonesia terus menyuarakan agar kontrak mereka tetap berlaku meski SKK Migas dibubarkan atau diganti lembaga lain. Pemerintah dan DPR harus segera menanggapi seruan tersebut dengan memperjelas status SKK Migas melalui revisi UU Migas.
“Entah mengembalikan fungsi SKK Migas ke Pertamina atau BUMN baru yang katanya akan dibentuk untuk menjadi wakil pemerintah dalam meneken kontrak, apapun bentuknya, itu jelas lebih baik daripada SKK Migas yang statusnya interim,” papar dia.
Bobby Rizaldi juga menekankan pentingnya lembaga permanen ini. Menurut dia, banyak keputusan operasional KKKS yang bersifat jangka panjang sehingga perlu adanya lembaga regulator yang permanen.
“Kalau sekarang, bukan hanya SKK Migas yang temporer, kepalanya saja masih pelaksana tugas di mana kewenangannya tidak seperti pejabat definitif,” tandas dia.
Bobby menuturkan, dibubarkan atau dipertahankan, fungsi SKK Migas harus tetap ada, baik dikembalikan sebagai badan koordinasi kontraktor asing (BKKA), badan pembinaan dan pengusahaan kontraktor asing (BPPKA), maupun BP Migas. Soalnya, di hampir seluruh negara, sektor hulu migas dibagi menjadi tiga, yakni kebijakan, regulator, dan pelaku pasar. SKK Migas memegang fungsi sebagai regulator.
Dia menambahkan, soal masih sebagai BPPKA dan BKKA, fungsi regulator dan pelaku pasar dijadikan satu karena Pertamina belum menjadi BUMN seperti sekarang. Namun, dengan kondisi sekarang, format ini sulit diterapkan karena berarti harus mengubah Pertamina menjadi perusahaan non-BUMN. “Itu karena UU BUMN tidak mengenal dwi fungsi sebagai regulator dan pelaku usaha komersial,” ucap dia.
Format ke depan, menurut Bobby, pelaksana fungsi regulator tetap harus dipegang eksekutif atau pemerintah, tetapi diawasi dewan pengawas atau wali amanat yang dipilih dari unsur masyarakat atas persetujuan DPR. “Dengap begitu,check and balance bisa dilakukan, tidak executive heavy seperti format SKK Migas sekarang,” papar dia.
Lebih Kompleks
Bobby Rizaldi mengungkapkan, produksi migas nasional tidak akan langsung membaik begitu status lembaga regulator yang dipegang SKK Migas diperjelas atau diperkuat. “Peningkatan produksi migas harus melihat lebih banyak dimensi yang harus diselesaikan,” ujar dia.
Yang paling Sederhana, Kata Bobby, adalah Mempercepat Proses Birokrasi untuk perizinan, baik di pusat maupun daerah. “Hambatan ini saja sudah membuat proyek terlambat bertahun- tahun, seperti pada Blok Cepu. Selain itu, dibutuhkan rezim fiskal yang fleksibel dan bersahabat untuk investasi sehingga bisa ditemuka sumber-sumber migas baru,” tanda dia.
Perwakilan Indonesia Petroleum A sociation (IP A) sekaligus Vice Presiden Human Relation Total E&P Indonesia Arividia Noviyanto pernah memprediksi kebutuhan investasi migas akan naik tiga kali lipat untuk mengejar kebutuhan energi nasional. Untuk bisa terus berinvestasi, kontraktor meminta kepastian dari pemerintah.
Dia menuturkan, investasi migas biasanya merupakan investasi jangka panjang. Untuk bisa menghasilkan migas, butuh setidaknya 10 tahun sejak memulai investasi di masa eksplorasi. Belum lagi jika proyek termasuk cukup sulit dikembangkan. “Karenanya IPA berharap kesucian kontrak dijaga dan iklim investasi yang pasti,” kata dia.
Menurut dia, kontraktor saat ini justru menghadapi beberapa ketidakpastian aturan, seperti adanya peraturan pemerintah mengenai asas cabotage dan biaya investasi yang bisa dikembalikan (cost recovery). Kemudian keputusan MK yang menghapus pasal-pasal mengenai BP Migas dalam UU No 22/2001 tentang migas. “UU Migas harus diamandemen,” ujar dia.
Selain kepastian aturan, kata Arividia, kontraktor migas butuh proses perizinan, persetujuan, dan regulasi lingkungan yang jelas serta transparan. Hal lain yang juga dibutuhkan kontraktor adalah harga gas yang menarik dan kepastian perpanjangan kontrak yang akan habis.
Dalam paparan kinerjanya, SKK Migas menyebutkan realisasi produksi minyak nasional sepanjang semester 1-2014 baru mencapai 788 ribu hph. Realisasi produksi tersebut masih berada di bawah target produksi minyak dalam APBN-P 2014 sebanyak 818 ribu bph. Sejumluh kendala yang menyebabkan produksi minyak tidak mencapai target antara lain keterlambatan produksi maksimal (full scale) Lapangan Banyu Urip, Blok Cepu, kelolaan Pertamina Selama Periode Januari-Maret lalu.ÂÂ