(Republika.co.id:Rabu, 13 Juli 2016)
Pertamina berhasil membukukan surplus produksi solar per Mei 2016. Dari total produksi kilang 60 ribu barel per hari, Pertamina mampu menghasilkan solar 50 ribu barel per hari. Dengan begitu, terjadi surplus produksi solar 10 ribu barel per hari.
Keberhasilan Pertamina mencapai swasembada solar dinilai tidak hanya mengurangi beban anggaran negara yang selama ini dikeluarkan untuk impor BBM tersebut, tetapi juga berpotensi memberikan tambahan devisa negara melalui ekspor solar. “Namun, surplus solar umumnya hanya temporer, masih ada potensi kebutuhan kita akan meningkat lagi,” ujar Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, di Jakarta, Selasa (12/7).
Menurut Komaidi, pencapaian Pertamina yang berhasil membukukan surplus produksi solar harus dipuji. Selama ini, konsumen utama solar adalah sektor industri dan transportasi.
Dengan berkembangnya infrastruktur gas, baik untuk industri maupun transportasi, permintaan solar memang berpotensi turun. Namun, daerah-daerah yang belum terjangkau jaringan gas akan tetap menggunakan solar mengingat distribusi solar lebih fleksibel.
Komaidi mengatakan, campur tangan pemerintah tentu harus memberikan jaminan bahwa solar yang sudah diproduksi bisa diserap, baik pasar dalam negeri maupun diekspor. Bahkan, jika perlu, bisa dibeli pemerintah untuk menjadi cadangan bahan bakar minyak (BBM) nasional mengingat harga sedang murah.
“Pilihannya bisa dijadikan stok atau diekspor. Jika diekspor, hampir semua negara di Asia potensial. Cina, Korea Selatan, Jepang, dan India merupakan daftar negara yang dapat menjadi prioritas,” ungkap dia.
Pada saat yang sama, anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Hanura, Inas Nasrullah Zubair, meminta Pertamina harus mengoptimalkan penyaluran solar dalam negeri dengan melakukan ekspor. Pertamina bisa menginstruksikan PT Patra Niaga, anak usaha perseroan, untuk memasarkan produksi solar yang surplus.
“Pemerintah juga harus mendukung dengan menerbitkan regulasi pembatasan impor swasta dan mewajibkan untuk menyerap produk kilang Pertamina,” katanya menegaskan.
PT Pertamina (Persero) mencatat swasembada solar menyusul pengoperasian Residual Fluid Catalytic Cracker (RFCC) Cilacap di Jawa Tengah dan Kilang Trans Pacific Petroleum Indotama (TPPI) di Tuban, Jawa Timur, pada Mei lalu.
Seiring pengoperasian RFCC Cilacap dan Kilang TPPI, Pertamina sudah tidak mengimpor solar. Bahkan, pada 2023, akan terjadi swasembada semua jenis BBM karena produksi kilang mencapai dua juta barel per hari.
Direktur Pengolahan Pertamina Rahmad Hardadi mengungkapkan, pengoperasian Residual Fluid Catalytic Cracker Cilacap dan Kilang TPPI memberikan kontribusi terbesar dengan nilai 131 juta dolar AS per bulan. Nilai tambah tersebut bersumber dari pengurangan impor Premium sekitar 30 sampai 42 persen dan pengurangan impor diesel sebanyak 44 persen.
Nilai tambah signifikan juga bersumber dari tidak adanya lagi impor HOMC dari semula sekitar 400 ribu barel per bulan. Rahmad menjelaskan, nilai tambah dari penghilangan impor HOMC tersebut mencapai sekitar 15 juta dolar AS per bulan. Di sisi lain, Pertamina telah menghentikan ekspor LSWR dan Naphta untuk diolah menjadi produk bernilai lebih tinggi di kilang dalam negeri, termasuk di antaranya memproduksi HOMC, solar, dan propylene.
Sebelumnya, lanjut Rahmad, kelebihan naphta diekspor dengan nilai yang rendah, yaitu MOPS – 6 dolar AS per barel dengan volume ekspor mencapai 400 hingga 500 ribu barel per bulan. “Begitu kami hentikan ekspor dan kami proses di dalam negeri, harga naphta langsung melonjak menjadi MOPS + 3,3 dolar AS per barel sehingga seolah-olah kami mendapatkan nilai tambah sebesar 9,3 dolar AS per barel dari naphta saja,” kata Rahmad Hardadi