Urgensi Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN)
Komaidi Notonegoro
Wakil Direktur Reforminer Institute
MEDIA INDONESIA :27 April 2012

Matangkan Persiapan Pembatasan BBM Bersubsidi

KOMPAS.com,13 April 2012

JAKARTA –Pemerintah diminta mempersiapkan secara matang rencana pembatasan pemakaian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi baik landasan hukum maupun operasionalisasinya. Tujuannya, agar rencana tersebut bisa terealisasi dan tidak dimentahkan lagi.

Demikian disampaikan pengamat energi Pri Agung

Subsidi Listrik & Perencanaan Energi Primer Pembangkit
Komaidi Notonegoro,
Wakil Direktur ReforMiner Institute
Koran Sindo, Senin, 26 Maret 2012

RETORIKA KETAHANAN ENERGI
PRI AGUNG RAKHMANTO,
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Majalah Tempo

Setelah gencar mewacanakan pembatasan bahan bakar minyak, pemerintah akhirnya memilih kebijakan menaikkan harga. Rencananya, per 1 April, harga BBM bersubsidi-bensin Premium dan solar-dinaikkan Rp 1.500 menjadi Rp 6.000 per liter. Kalangan yang menolak rencana ini umumnya kembali mempermasalahkan dan menuding buruk serta karut-marutnya pengelolaan energi nasional (oleh pemerintah) sebagai penyebab dari keharusan menaikkan hargaBBM.

Argumentasi sederhananya, antara lain, jika pemerintah becus mengelola dan mengurus sektor energi nasional dengan beraneka sumber energi di dalamnya, kenaikan harga BBM tak perlu dilakukan. Jika ketahanan energi nasional kukuh, meskipun harga minyak mentah dunia bergejolak tinggi, kenaikan harga BBM mestinya dapat dihindari

Argumentasi tersebut memang beralasan. Ketahanan energi nasional kita memang sangat rapuh. Elite negeri ini, khususnya yang memiliki otoritas untuk mengurus negara di bidang energi, umumnya sangat fasih ketika berbicara tentang ketahanan energi nasional. Energi sangat sering dikatakan sebagai tulang punggung dan sekaligus pilar ketahanan (ekonomi) nasional, cabang produksi yang strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak sehingga harus dikuasai negara, dan masih banyak jargon lainnya. Semuanya menekankan betapa pentingnya energi bagi kelangsungan hidup dan kemajuan negeri ini. Namun, dalam praktek, kita tak pernah benar-benar menjalankannya secara sungguh-sungguh.

STOK PENYIMPANAN MINYAK

Tengoklah sumber energi utama yang selalu menjadi rebutan negara-negara di dunia, minyak. Kita sebagai salah satu negara penghasil-meskipun saat ini sudah merupakan nett oil importer-tak memiliki stok penyimpanan minyak mentah sendiri untuk mengantisipasi keadaan darurat. Semua negara yang benar-benar memikirkan ketahanan energi nasionalnya dapat dipastikan memiliki stok penyimpanan minyak mentah-strategic petroleum reserves (SPR)-untuk berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan gangguan pasokan minyak mentah.

Amerika Serikat sudah memiliki SPRsejak 1975 dan saat ini kapasitasnya mencapai 727 juta barel atau setara dengan 34 hari tingkat konsumsi minyak mentahnya yang rata-rata 21 juta barel per hari. Jepang, negara yang tidak memiliki sumber daya minyak, juga memiliki stok serupa dengan kapasitas 583 juta barel. Cina, sebagai negara adidaya baru, juga telah memulai membangun SPR dengan kapasitas direncanakan 685juta barel.

Negara Eropa Barat yang tergabung dalam International Energy Agency (lEA) menetapkan standar kapasitas SPR untuk negara-negara anggotanya 90 hari dari impor minyak mentah bersih mereka. Jadi, jika terjadi gangguan pasokan akibat krisis politik di TimurTengah, misalnya, negara-negara tersebut relatifmemiliki cukup ruang dan waktu untuk dapat bertindak mengatasi kondisi darurat.

Dalam hal BBM, kondisi kita pun tak jauh berbeda. Kita mengklaim memiliki stok BBM nasional hingga 22-25 hari-barangkali angka itu memang benar-tapi bisa jadi itu hanya untuk wilayah Jawa-Bali, bukan seluruh wilayah Inponesia. Kita memiliki kilang dengan kapasitas terpasang 1,05 juta barel per hari dengan kemampuan menghasilkan BBM sekitar 700 ribu barel per hari. Sepuluh tahun yang lalu kebutuhan BBM nasional sudah mencapai I juta baret per hari, dan itu artinya kita sudah mengimpor sekitar 300 ribu barel per hari.

Saat ini kebutuhan BBM nasional sudah mencapai 1,2 juta barel per hari dan tak ada penambahan kapasitas kilang dalam sepuluh tahun terakhir, sehingga impor BBM kita menjadi sekitar 500 ribu barel per hari. Sering dikatakan akan ada kerja sama pembangunan kilang baru, tapi hingga kini tak ada satu pun yang terbangun. Ada yang mengatakan kegagalan pembangunan kilang ini memang disengaja oleh pihak yang sering disebut “mafia minyak” yang menikmati manfaat ekonomi dari aktivitas ekspor impor minyak mentah dan BBM. Yang sudah pasti, pemerintah tidak mengalokasikan anggaran di APBN untuk membangun kilang, juga tidak memfasilitasi investor dengan memberikan insentif fiskal dan kemudahan birokrasi. Akibatnya, hingga kini upaya membangun kilang BBM selalu saja menemui kegagalan.

PRODUKSI DAN CADANGAN MINYAK

Di sisi hulu eksplorasi dan produksi migas, Undang-Undang Migas 22/2001 yang nyata-nyata sebagian pasalnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena dipandang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 pun hingga kini masih terus dipertahankan pemerintah, seolah tak ada masalah apa pun. Padahal, Undang-Undang Migas 22/2001 ini telah secara sistematis mengerdilkan peran dan posisi perusahaan migas milik negara, Pertamina, sejajar dengan kontraktor-kontraktor migas yang lain.

Dengan tata kelembagaan dan posisi Pertamina yang sekarang, Undang-Undang Migas ini secara de facto juga telah menyerahkan penguasaan aset negara yang paling berharga dalam hal migas, yaitu cadangan yang ada di perut bumi, langsung kepada kontraktor-kontraktor migas yang utamanya adalah asing.

Dalam hal pengusahaan, Undang-Undang Migas juga mengubah pola pengusahaan migas nasional dari Business to Business (B to B antara Pertamina dengan kontraktor) menjadi Government to Business (G to B antara BP Migas dengan kontraktor). Pola G to B ini membuat pengusahaan migas menjadi lebih birokratis, terlalu banyak aturan yang kaku, dan memengaruhi aspek perpajakan pada sistem kontrak bagi hasil.

Kontraktor yang sebelumnya hanya membayar pajak pada tahapan produksi, kini sudah harus membayar beragam pajak, bea masuk, pungutan dan retribusi lainnya pada masa eksplorasi yang belum tentu membuahkan hasil, sehingga membuat iklim investasi eksplorasi tidak kondusif. Di sisi lain, pemerintah tak bersedia melakukan atau mengalokasikan anggaran investasi eksplorasi sendiri.

Selama satu dekade terakhir, rata-rata porsi investasi eksplorasi terhadap total investasi hulu hanya sekitar 8%, lebih kecil dibandingkan porsi biaya yang dikeluarkan untuk hal-hal yang sifatnya administratif yang rata-ratanya berkisar 12%. Sekitar 60% atau fokus investasi hanya untuk memelihara produksi lapangan yang ada saja. Ditambah dengan faktor penghambat yang lain seperti halnya masalah pembebasan lahan, hasilnya dapat ditebak; tingkat produksi dan cadangan minyak terus menurun.

Cadangan terbukti minyak saat ini hanya 3,7 miliar barel saja. Tingkat produksi pun hampir tak pernah dapat mencapai target APBN dan sekarang hanya di kisaran 890 – 910 ribu barel per hari saja. Dengan kondisi dan pengelolaan yang terus dipertahankan semacam ini, jangan harap kita bisa kembali masuk menjadi anggota OPEC. Mencapai angka produksi 1 juta barel per hari saja dapat dikatakan mission impossible. Dengan tingkat produksi yang ada dan tanpa penemuan cadangan baru, cadangan terbukti minyak yang ada bahkan akan habis dalam waktu kurang dari 12 tahun ke depan.

Bagaimana dengan pengelolaan sumber energi yang lain? Terlalu panjang untuk dikupas semuanya di sini. Namun, dari angka-angka makro di APBN, sesungguhnya telah cukup tergambar betapa ketahanan energi nasional saat ini memang rapuh. Besaran subsidi listrik yang diusulkan pemerintah dalam Rancangan APBN Perubahan 2012 melonjak dua kali lipat lebih dari Rp. 44,96 triliun menjadi Rp. 93,05 triliun. Apa pasal? Permasalahan kronis.

Pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) milik PLN tidak mendapatkan pasokan gas dalam jumlah cukup sehingga terpaksa harus dioperasikan dengan BBM yang biaya operasinya 4 kali lipat lebih. Jika kebutuhan bahan bakar PLN yang notabene adalah satu-satunya perusahaan listrik milik negara saja tidak bisa dijamin pemenuhannya, masih layakkah kita mengklaim sebagai negara yang memikirkan ketahanan energi?

Selama ini pemerintah juga telah banyak mengeluarkan aturan dan perangkat kebijakan yang ditujukan pada tiga pilar utama kebijakan energi nasional, yaitu intensifikasi, diversifikasi, dan konservasi. Pemerintah juga memiliki banyak proyek di bidang pengembangan energi baru dan terbarukan seperti bahan-bakar nabati, bahan bakar gas, ataupun pemasangan pembangkit listrik tenaga surya dan tenaga angin. Tapi, mungkin justru di situ letak permasalahannya, kita terlalu banyak mengeluarkan aturan, dokumen kebijakan dan proyek, tetapi miskin konsistensi program, implementasi, dan kerja nyata. Dan pada tataran yang lebih strategis, kita sesungguhnya memang belum menjalankan politik kedaulatan dan kemandirian energi dengan sungguh-sungguh. Ketahanan energi baru sebatas retorika.

 

Memahami Pergerakan Harga Minyak Dunia
Faiz Noufal,
Peneliti ReforMiner Institute
Indonesia Finance Today, Monday, 26-03-2012

Penaikan harga BBM & realokasi anggaran
Pri Agung Rakhmanto
Pendiri & Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Bisnis Indonesia, Senin, 26 Maret 2012

Antisipasi Dampak Penaikan Harga BBM
Komaidi Notonegoro,
Wakil Direktur ReforMiner Institute
Media Indonesia, Senin, 05 Maret 2012

Pemerintah Perlu Pilih Naikkan Harga BBM Atau Listrik

Indonesia Finance Today, 28 Februari 2012

JAKARTA (IFT) – Sejumlah kalangan meminta pemerintah memprioritaskan salah satu dari rencana kenaikan harga apakah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi atau menaikkan tarif dasar listrik tahun ini, sehingga dua kebijakan tersebut tidak diterapkan bersamaan dalam satu tahun. Bila pemerintah langsung menerapkan dua kebijakantersebut sekaligus tahun ini, inflasi diperkirakan lebih besar dibandingkan hanya salah satu kebijakan yang diterapkan, yakni berada di kisaran 1,5% sampai lebih dari 2%.

Pri Agung Rakhmanto, Direktur Reforminer Institute, mengatakan bila pemerintah hanya menerapkan kenaikan harga BBM bersubsidi, inflasi diperkirakan hanya sekitar 1%-1,6% dengan asumsi kenaikan harga sebesar Rp 1.000-Rp 1.500 per liter dari saat ini Rp 4.500 per liter. Menurut Pri, kenaikan harga BBM bersubsidi sebaiknya menjadi lebih diprioritaskan untuk diterapkan ketimbang kenaikan tarif dasar listrik.

Subsidi BBM saat ini cenderung tidak tepat sasaran, ketimbang subsidi listrik yang sudah jelas golongan penggunanya dan lebih tepat sasaran. Kenaikan harga BBM akan memberikan dampak penghematan lebih besar dan signifikan dibandingkan kenaikan tarif dasar listrik, ujar Pri, Senin.

Berdasarkan kajian ReforMiner, dengan kenaikan harga BBM Rp 1.000 per liter, potensi penghematan anggaran sebesar Rp 38,3 triliun. Bila kenaikan harga sebesar Rp 1.500 per liter, potensi penghematan Rp 57 triliun.

Sementara dampak kenaikan tarif dasar listrik menurut Pri tidak terlalu signifikan, yakni hanya hemat Rp 5,7 triliun bila kenaikan tarif listrik sebesar 5%. Bila tarif dasar listrik naik 10% hanya hemat Rp 11,4 triliun, dan bila naik 15%, penghematan sebesar Rp 17,1 triliun.

Efisiensi di sektor kelistrikan ini bisa dioptimalkan melalui pembenahan di sektor mikro kelistrikan, seperti bauran energi primer untuk pembangkit. Kalau bauran energi ini ditingkatkan, penghematan bisa mencapai Rp 37,42 triliun, sehingga biaya pokok produksi listrik juga lebih rendah daripada sekarang, ujar dia.

Tulus Abadi, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), meminta pemerintah tidak menerapkan dua kebijakan itu secara bersamaan, kecuali pemerintah mampu menentukan besarannya secara proporsional. Kami setuju bila harga BBM terlebih dahulu naik dibandingkan tarif dasar listrik. Kalau tarif dasar listrik naik tahun depan ya tidak masalah. Namun kebijakan ini harus melewati proses komunikasi dan partisipasi publik dan pemerintah pun harus bisa mengendalikan efek dominonya, ujar dia.

Salah satu efek domino yang akan memberatkan masyarakat menurut Tulus adalah biaya transportasi, karena biaya transportasi menurutnya mencapai 12%-14% dari pendapatan. Kalau harga BBM naik, Organisasi Angkutan Darat (Organda) akan menaikkan tarif minimal sekitar 35%, sehingga beban transportasi masyarakat akan semakin meningkat.

Butuh Waktu

Raja Sapta Oktohari, Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, menyatakan pengusaha meminta waktu kepada pemerintah bila kenaikan harga BBM bersubsidi diberlakukan. Oengusaha perlu mengkaji dan menghitung dampak kenaikan harga BBM ini terhadap biaya produksi dan harga produk.

Kami sejak awal dukung penyesuaian harga BBM, tapi butuh waktu untuk penyesuaian, tidak bisa serta merta langsung naik. Harus ada variabel-variabel yang berubah, kalau ada penyesuaian harga ini, tuturnya.

Himpunan Pengusaha Mudah juga menurut Raja meminta agar pemerintah memberikan kepastian cetak biru dan jaminan kebijakan energi jangka panjang, sehingga industri yakin pemerintah akan konsisten dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan. Dia beralasan, harga BBM maupun tarif dasar listrik termasuk komponen yang akan memengaruhi daya saing industri nasional, apalagi saat ini masuk ke dalam era perdagangan bebas, sehingga dikhawatirkan daya saing industri nasional akan melemah. Kami meminta agar pemerintah memprioritaskan kenaikan BBM ketimbang tarif dasar listrik, ujarnya.

BBM dan Ketahanan Energi
PRI AGUNG RAKHMANTO,
Dosen Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute
KOMPAS 27 Februari 2012

Konsistensi Kebijakan Sektor Hulu Migas
Komaidi Notonegoro
Wakil Direktur ReforMiner Institute
KORAN SINDO : 27 Februari 2012