Komaidi Notonegoro: 450 Juta Ton Batubara Berkontribusi Terhadap Penerimaan Devisa

RuangEnergi, 10 Januari 2022

Jakarta,ruangenergi.com-Direktur Eksekutif ReforMiner Institut Komaidi Notonegoro mencatat bahwa selama ini produksi batubara Indonesia sekitar 600 juta ton.

Penggunaan 450 juta ton ekspor dan 150 juta ton domestik.Rinciannya; 100 juta ton PLN + 50 juta ton industri lain.

“Ini tujuannya (pelarangan ekspor batubara) bagus sebenarnya.Yang tampak dari luar Presiden berupaya menjaga pemenuhan kebutuhan dalam negeri.Namun perlu hati-hati dalam mengambil kebijakannya saya kira.Kalau dipukul rata justru berpotensi mengganggu ekonomi kita .Selama ini produksi batubara kita sekitar 600 juta ton. Penggunaan 450 juta ton ekspor dan 150 juta ton domestik (100 juta ton PLN + 50 juta ton industri lain). Nah yang 450 juta ton ini berkontribusi terhadap penerimaan devisa yang signifikan.Dampak lain ada pajak dan PNBP dari 450 juta ton tersebut.Nah jika itu tidak ada, bisa dibayangkan apa saja yang akan hilang,” kata Komaidi dalam pesan singkatnya kepada ruangenergi.com beberapa waktu lalu.

Dalam catatan ruangenergi.com, mengacu pada paparan Dirjen Ketenagalistrikan Rida Mulyana pada 26 Januari 2021, disebutkan bahwa:

Kebutuhan batubara PT PLN diperkirakan meningkat dari 113 juta ton pada tahun 2021 menjadi 167 juta ton pada tahun 2030. Pemegang PKP2B, IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi harus mengutamakan kebutuhan batubara untuk kepentingan dalam negeri. Pejualan batubara ke luar negeri (ekspor) dapat dilakukan apabila kebutuhan dalam negeri telah terpenuhi.

Kewajiban DMO batubara pemegang PKP2B, IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi sebesar 25% dari rencana produksi yang telah disetujui. Ditjen Minerba berkoordinasi dengan PT PLN secara berkala.

Pemenuhan Kebutuhan Batubara Untuk Kelistrikan Umum

1. PT PLN menyampaikan kebutuhan batubara tahun 2021 sebesar 113 juta ton ke Ditjen Minerba.
2. Ditjen Minerba menetapkan volume kebutuhan batubara dalam negeri tahun 2021 sesuai hasil koordinasi dengan pengguna akhir dalam negeri, antara lain PT PLN.
3. Ditjen Minerba menentukan persentase minimal DMO batubara pemegang PKP2B, IUPK, dan IUP tahun 2021 sebesar 25% dar rencana produksi.
4. Pemegang PKP2B, IUPK, IUP menyampaikan laporan pelaksanaan DMO setiap bulan
5. PT PLN menyampaikan laporan penerimaan batubara dari tiap pemasok kepada Ditjen Minerba secara bulanan.

6. Ditjen Minerba melakukan pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban DMO pemegang PKP2B, IUPK, dan IUP.
7. Sanksi bagi pemegang PKP2B, IUPK, dan IUP yang tidak memenuhi DMO.
8. Ditjen Minerba berkoordinasi dengan PT PLN secara berkala: a). Indentifikasi perusahaan PKP2B/IUPK/IUP yang dapat memenuhi kebutuhan batubara PLTU PLN Grup  dan IPP. b). Mewajibkan perusahaan PKP2B/IUPK/IUP untuk memenuhi kebutuhan batubara PLTU PLN Grup dan IPP sebelum melakukan penjualan ke luar negeri.

Buntut Krisis Batu Bara PLN: Biaya Produksi Listrik Bengkak!

CNBCIndonesia, 05 Januari 2022

Jakarta, CNBC Indonesia – Krisis pasokan batu bara yang dialami PT PLN (Persero) saat ini bisa berimbas pada membengkaknya Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik. Pasalnya, PLN pasti akan menggunakan sumber energi alternatif seperti gas dan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang notabene lebih mahal dibandingkan batu bara guna mencegah pemadaman listrik tidak terjadi.

Hal tersebut diungkapkan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro. Dia mengatakan, apapun sumber energi alternatif penggantinya, pasti akan meningkatkan BPP listrik PLN.

“Apapun penggantinya, BPP pasti naik karena batu bara saat ini yang termurah,” ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Rabu (05/01/2022).

Berdasarkan data Statistik PLN 2020, harga rata-rata batu bara pada 2020 sekitar Rp 917,18 per kilo gram (kg), gas alam Rp 101.650,07 per juta standar kaki kubik (MMSCF), dan BBM sebesar Rp 5.746,55 per liter.

Adapun biaya pembangkitan rata-rata untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara pada 2020 rata-rata sebesar Rp 636,55 per kilo Watt hour (kWh), jauh lebih murah dibandingkan pembangkit energi fosil lainnya.

Biaya pembangkitan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) pada 2020 sebesar Rp 1.611,79 per kWh, Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Rp 1.322,23 per kWh, dan tertinggi yakni pembangkit listrik yang masih menggunakan BBM atau Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dengan biaya mencapai Rp 4.746,32 per kWh.

Bahkan, untuk energi terbarukan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) juga masih di atas Rp 1.000 per kWh, tepatnya Rp 1.107,89 per kWh, masih di atas PLTU.

Adapun biaya pembangkitan yang masih lebih murah dari PLTU batu bara yakni Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dengan biaya pembangkitan rata-rata “hanya” Rp 438,57 per kWh.

Berdasarkan data tersebut terlihat, bila PLN menggantikan PLTU dengan pembangkit listrik lainnya karena keterbatasan pasokan batu bara, maka ini tentunya akan berdampak pada peningkatan biaya pembangkitan listrik perseroan.

Seperti diketahui, akibat kritisnya pasokan batu bara untuk pembangkit listrik PT PLN (Persero) dan juga pengembang listrik swasta (Independent Power Producer/ IPP), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengambil kebijakan untuk melakukan pelarangan ekspor batu bara periode 1 hingga 31 Januari 2022 bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau IUPK tahap kegiatan Operasi Produksi, dan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dan PKP2B.

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin mengatakan bahwa langkah ini harus diambil dan bersifat sementara guna menjaga keamanan dan stabilitas kelistrikan dan perekonomian nasional.

Kurangnya pasokan batu bara untuk pembangkit listrik pada akhir Desember 2021 dan Januari 2022 ini mengancam pasokan listrik bagi 10 juta pelanggan PLN, mulai dari masyarakat umum hingga industri di Jawa, Madura, Bali (Jamali), maupun non Jamali.

Hampir 20 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan total daya sekitar 10.850 Mega Watt (MW) terancam padam bila pasokan batu bara untuk pembangkit listrik tak kunjung dipasok oleh perusahaan batu bara.

Hindari Keputusan Politis, Ini Cara Jokowi Hapus BBM Premium?

CNBC Indonesia, 03 Januari 2021

Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden RIJokoWidodo (Jokowi) mengubah aturan terkait pendistribusian dan juga harga jual eceran Bahan Bakar Minyak (BBM). Hal ini tertuang dalam Peraturan Presiden RI Nomor 117 tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 191 tahun 2014 tentang Pendistribusian dan Juga Harga jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM)

Beleid yang diteken Jokowi pada 31 Desember 2021 ini, bertujuan untuk mendukung komitmen nasional dalam penurunan emisi karbon melalui upaya menurunkan emisi gas buang kendaraan bermotor . Serta, mengoptimalkan penyediaan dan pendistribusian BBM di seluruh wilayah Indonesia.

Sejatinya aturan ini tetap mempertahankan bensin RON 88 atau bensin jenis Premium sebagai bahan bakar hasil penugasan pemerintah. Yang terbaru, dalam aturan itu diselipkan pasal baru yakni Pasal 2B.

Yang mana Pasal 2B ayat 2 menyebutkan, bahwa Formula harga dasar, harga indeks pasar, dan harga jual eceran bahan bakar minyak jenis bensin RON 88 sebagai komponen bahan bakar minyak pembentuk jenis bensin RON 90 atau Pertalite sebagaimana dimaksud mengacu pada ketentuan jenis bensin RON 88 sebagai Jenis BBM Khusus Penugasan.

Itu artinya, ke depan sesuai ketentuannya, harga bensin Pertalite juga bisa menjadi penugasan pemerintah. Sehingga, harga bensin Pertalite itu bisa disetir oleh pemerintah dan diberikan kompensasi sebagai upaya keterjangkauan harga saat ini.

“Menteri dapat menetapkan perubahan jenis BBM Khusus Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) serta wilayah penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berdasarkan hasil rapat koordinasi yang dipimpin oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian,” terang isi beleid itu.

Pengamat Migas sekaligus Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro membaca, bahwa regulasi yang diterbitkan Jokowi menjadi tujuan agar Premium hilang secara alami. Aturan itu menjadi payung hukum jika nanti Pertalite ditetapkan sebagai BBM khusus penugasan dengan kompensasi atau subsidi yang akan diberikan.

Komaidi pun melihat, regulasi tersebut dapat menjadi pintu masuk untuk berbagai skenario kebijakan yang lebih fleksibel untuk pemerintah. “Regulasi tersebut salah satunya memiliki tujuan agar Premium hilang secara alami dan bertahap. Mungkin kata-kata menghapus ini yang berusaha dihilangkan karena kemungkinan ada risiko politik bagi Presiden/pemerintah,” terangnya kepada CNBC Indonesia, Senin (3/1/2022).

Direktur BBM Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), Patuan Alfon Simanjuntak menyampaikan, bahwa mengenai aturan itu dan berkenaan dengan pemberian kompensasi terkait dengan Pertalite akan diputuskan dalam Rapat Koordinasi (Rakor) di Menteri Perekonomian (Menko Perekonomian).

“Mengenai kompenassi itu nanti diputuskan setelah adanya Rakor dipimpin Menko Perekonomian. Dan Harga Jual Ecerannya (HJE) nanti akan ditetapkan dalam Kepmen,” terang dia kepada CNBC Indonesia, Senin (2/1/2022)