Merunut Kebijakan Harga Gas Industri yang Dianggap Rugikan Negara

Katadata.co.id; 18 Januari 2022

Kebijakan harga gas industri US$ 6 per MMBtu dinilai merugikan negara tak sebanding dengan efek pengganda yang dihasilkan pada industri yang menikmatinya.

Sejumlah pihak menilai kebijakan harga gas industri US$ 6 per MMBtu (metric million British thermal unit) perlu ditinjau ulang. Sebab, selain membuat pendapatan negara turun, kebijakan ini juga berpotensi mengganggu investasi di hulu gas.

“Jika minat investasi turun tidak hanya penerimaan gas yang berkurang tapi dalam jangka panjang bisa tidak ada lagi penerimaan negara dari hulu gas karena tidak ada yang mau memproduksikan lagi,” ujar Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro kepada Katadata.co.id, Selasa (18/1).

Sebelumnya SKK Migas mengungkapkan penerimaan negara dari sektor migas turun US$ 1,2 miliar pada 2021, salah satunya imbas kebijakan tersebut. Deputi Keuangan dan Monetisasi SKK Migas Arief S. Handoko mengatakan potensi penurunan penerimaan negara akibat kebijakan harga gas industri tahun ini akan lebih besar. Pasalnya ada usulan untuk menambah industri-industri baru yang dapat menikmati harga gas khusus.

“Ada usulan dari Kementerian Perindustrian terkait tambahan sektor industri,” ujar Arief dalam Konferensi Pers secara virtual, Senin (17/1).

Kemenperin mengusulkan sektor industri yang menerima harga gas khusus ditambah menjadi 13 industri dari 7 saat ini. Usulan ini masih dibahas bersama dengan Kemenko Marves, Kementerian Investasi, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). “Kemungkinan yang disetujui 10 industri, tetapi masih belum final,” kata dia.

Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira menilai rencana pemerintah untuk memperluas insentif harga gas industri perlu mendapat perbaikan dan masukan dari berbagai pihak.

Ia menilai kebijakan insentif gas yang berdasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Gas Bumi dinilai kurang tepat sasaran dan berisiko merugikan keuangan Negara dalam jangka panjang.

“Bisa dibayangkan kerugian negara cukup besar. Pendapatan negara dari hulu migas sepanjang 2020 hanya US$ 460 juta. Jumlah itu jauh dibawah proyeksi awal ketika kebijakan harga gas US$ 6 itu diberlakukan pada Juni 2020 yakni US$ 1,39 miliar. Artinya ada potential loss bagian negara pada saat harga gas sedang tinggi,” kata Bhima.

Penyaluran gas dengan harga khusus ke industri menimbulkan beberapa permasalahan seperti formulasi penetapan harga gas khusus dan kriteria penerimanya.

Penyaluran insentif harga gas khusus seharusnya sama dengan penyaluran subsidi gas pada umumnya. Menurut dia perlunya kejelasan soal formulasi harga, kriteria penerima dan mekanisme pengawasan merupakan hal yang melekat dalam kebijakan gas khusus.

“Tetapi dalam prakteknya, masalah transparansi dan evaluasinya sangat minim sehingga kurang tepat apabila insentif gas langsung diperluas ke sektor usaha lainnya,” katanya.

Sehingga skema penetapan harga gas khusus menimbulkan banyak pertanyaan. Formulasi penurunan harga gas ke titik tertentu idealnya bukan sekedar membandingkan bahwa negara lain khususnya di ASEAN memiliki harga gas yang lebih murah. Perbandingan tersebut tidak bersifat apple to apple.

Sebenarnya terdapat salah satu indikator yang dapat digunakan sebagai acuan dalam formulasi harga gas. Salah satunya yaitu natural gas rent yang menggambarkan selisih antara nilai pasar gas bumi suatu negara dan seluruh biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkannya dibandingkan dengan produk domestik bruto.

Selama periode tahun 2010-2019, natural gas rent Indonesia hanya dua kali menembus angka 1% dan masih lebih rendah dari rata-rata historis Thailand dan Malaysia.

Perkembangan kebijakan harga gas untuk industri juga perlu dipertimbangkan kembali karena harga gas di pasar internasional naik cukup signifikan dalam 1 tahun terakhir.

Bhima menilai berkah kenaikan harga gas karena naiknya permintaan secara global berisiko tidak optimal dirasakan oleh pemerintah maupun BUMN, hal ini karena selisih harga jual gas yang terlalu rendah dibanding harga gas yang seharusnya berlaku di pasar.

Sementara, setelah satu setengah tahun implementasi kebijakan penurunan harga gas, serapan konsumsi gas oleh industri dirasa belum optimal.

Terdapat beberapa industri yang dianggap kurang dapat memanfaatkan insentif tersebut dengan baik. Efektivitas dari harga gas khusus industri dinilai masih rendah. “Beberapa industri yang diberikan subsidi harga gas khusus tidak memiliki kinerja yang cukup positif.

Kapasitas industri relatif rendah, bahkan tidak mampu bersaing dengan produk impor meski telah diberikan harga gas khusus. Oleh karena itu wacana perluasan penerima subsidi gas untuk industri sangat prematur,” kata Bhima.

Studi yang dilakukan CELIOS menyarankan pemerintah untuk melakukan perubahan mekanisme harga gas khusus berdasarkan perkembangan harga gas internasional serta mempertimbangkan kemampuan keuangan negara, dan efektivitasnya bagi industri manufaktur.

Poin masukan yang berikutnya, formulasi harga gas industri sebaiknya dikaji ulang secara komprehensif melibatkan para ahli yang independen sehingga penetapan harga gas khusus bisa terhindar dari bias kepentingan politik dan konflik kepentingan.

Formulasi harga gas industri juga disarankan untuk dibuka kepada publik sehingga terjadi pengawasan yang lebih ketat. Dalam kajian yang berjudul Kebijakan Nasional Gas yang Berkelanjutan Bhima menyebut bahwa pemerintah diminta jangan terlalu sering memberikan diskresi kebijakan di sektor migas.

Frekuensi diskresi yang sering dilakukan pengambil kebijakan terkait dengan harga gas memberikan ketidakpastian yang tinggi baik bagi pemain migas, BUMN, maupun pengguna gas dalam hal ini adalah investor dan pelaku usaha.

Dia pun menyarankan supaya model kebijakan yang sifatnya diskresi mulai dihindari, dan lebih mendorong perbaikan tata kelola kebijakan yang berkelanjutan. Isi kajian juga merekomendasikan kepada BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) agar melakukan audit investigasi secara menyeluruh terhadap risiko kerugian negara terkait insentif harga gas industri yang tidak tepat sasaran. Hasil audit tersebut diperlukan sebagai dasar penindakan apabila terjadi penyimpangan dalam kebijakan maupun praktik harga gas khusus industri.

Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan sudah memperingatkan akan potensi penurunan penerimaan negara jauh-jauh hari, terutama saat kebijakan ini dikeluarkan. Dia menilai efek pengganda dari industri yang mendapatkan fasilitas tidak akan sebesar berkurangnya penerimaan negara untuk kebijakan itu. Belum lagi kebijakan ini menggerus keuangan PGN juga tergerus pendapatannya karena kebijakan ini. Sehingga menyebabkan mereka tidak bisa berinvestasi secara maksimal dalam mengembangkan jaringan pipa distribusi dan transmisi.

“Padahal infrastruktur adalah alat utama dalam penjualan gas . Oleh karena itu, saya kira perlu adanya evaluasi terhadap kebijakan ini,” ujarnya. Mamit pun mendesak supaya industri yang memang tidak mampu dalam mengoptimalkan kegiatan produksi mereka sebagai pengganti berkurangnya penerimaan negara lebih baik dicabut saja. Jangan justru di tambah lagi perusahaan penerima harga gas khusus.

Pemerintah Belum Mau Naikkan Harga LPG 3 Kg

Bisnis.com; 19 Januari 2022

Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah masih belum mau menyesuaikan harga liquefied petroleum gas (LPG) bersubsidi tabung 3 kilogram, meski harga kontrak gas tersebut masih tinggi di pasar global.

Direktur Pembinaan Usaha Hilir Migas Soerjaningsih mengatakan, harga patokan untuk LPG 3 kilogram (kg) masih belum ada perubahan sampai dengan saat ini. Meski demikian, pihaknya mengakui bahwa contract price (CP) Aramco untuk LPG masih berada level yang tinggi.

“Kemungkinan harga LPG 3 kg, pemerintah belum ada rencana menaikkan harganya, meskipun CP Aramco saat ini meningkat,” ujarnya dalam konferensi pers, Rabu (19/1/2022). Adapun, harga LPG 3 kg saat ini masih mengacu kepada Keputusan Menteri ESDM Nomor 253.K/12/MEM/2020 mengenai Harga Patokan LPG Tabung 3 Kg.

Harga patokan LPG 3 kg ditetapkan berdasarkan harga indeks pasar LPG 3 kg (HIP LPG tabung 3 kg) yang berlaku pada bulan yang bersangkutan ditambah dengan biaya distribusi (termasuk penanganan) dan margin. Harga patokan LPG 3 kg ditetapkan dengan formula 103,85 persen HIP LPG Tabung 3 Kg ditambah dengan US$50,11 per metrik ton ditambah Rp1.879,00 per kg.

Berdasarkan data infopangan.jakarta.go.id, harga eceran tertinggi (HET) LPG 3 kg di DKI Jakarta per Rabu (19/1/2022) berada pada kisaran Rp20.842 per tabung, dengan harga tertinggi di Pasar Grogol sebesar Rp22.000 per tabung.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menuturkan bahwa naiknya harga kontrak LPG akan berdampak kepada naiknya nilai keekonomian dari LPG 3 kg yang disubsidi pemerintah. Pasalnya, sebagian besar LPG di Indonesia merupakan produk impor.

“Jika LPG bersubsidi tidak disesuaikan, pasti beban subsidi naik,” jelasnya.

Komaidi mengatakan, pemerintah tidak memiliki banyak pilihan untuk mengatasi kondisi itu. Langkah efisiensi pun dinilai tidak cukup untuk menjadi solusi bagi pemerintah.

Untuk itu, Komaidi berpendapat bahwa pemerintah hanya memiliki dua solusi, yakni menaikkan harga eceran tertinggi (HET) LPG 3 kg atau menambah anggaran subsidi.

“Tergantung kemauan dan kesepakatan politik, yang sudah-sudah pemerintah tidak akan mengambil risiko,” imbuhnya.

 

Erick Thohir: RI Tak Lagi Pakai Batu Bara untuk Kelistrikan Tahun 2060

Katadata.co.id; 15 Januari 2022

Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan Indonesia pada 2060 tak lagi menggunakan batu bara untuk pembangkit listrik. Jadi, dia saat ini mendorong proyek gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) untuk meningkatkan ketahanan energi nasional.

“Kita akan memproduksi listrik dari energi baru terbarukan seperti matahari, tenaga panas bumi, air, angin. Mumpung batu baranya masih bisa dipakai, maka kita lakukan gasifikasi untuk gas,” kata Erick saat menyampaikan pidato kunci di Universitas Muhammadiyah Malang, Sabtu (15/1).

Indonesia yang kaya akan batu bara harus bisa mengolahnya atau digasifikasi menjadi DME. Jaddi gasifikasi batu bara bisa menggantikan LPG yang harganya saat ini mengalami kenaikan.

Tapi, gasifikasi batu bara tidak bisa egera dilakukan. Indonesia membutuhkan waktu, investasi, hingga teknologinya yang belum ada. Namun proses tersebut harus dimulai dari sekarang.

Sebelumnya Erick mengatakan proyek gasifikasi batu bara dapat memangkas impor LPG sekaligus meningkatkan perekonomian nasional.

Gasifikasi batu bara memiliki nilai tambah langsung pada perekonomian nasional secara makro. Akan menghemat neraca perdagangan, mengurangi ketergantungan terhadap impor LPG, dan menghemat cadangan devisa.

Pertamina telah menandatangani amendemen kerja sama dalam proyek gasifikasi batu bara (DME Coal) pada Mei 2021. Perjanjian ini sekaligus menjadi Processing Service Agreement (PSA) atas gasifikasi batu bara yang menjadi salah satu program pemerintah untuk meningkatkan ketahanan energi nasional.

Erick menyambut baik kerja sama ini. Ia menilai gasifikasi batu bara merupakan salah satu wujud meningkatkan perekonomian nasional secara umum. Selain memaksimalkan potensi yang dimiliki, proyek ini juga akan menghilangkan ketergantungan terhadap proyek impor.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro menyarankan agar pemerintah fokus menggenjot pembangunan jaringan gas dan menunda proyek gasifikasi batu bara berkarbon rendah menjadi dimethyl eter atau DME jika ingin mengurangi impor LPG.

Jika penggunaan gas rumah tangga semakin masif, konsumsi LPG pun dipastikan berkurang. Sebab infrastruktur jargas dapat digunakan pada kompor yang menggunakan LPG

“Kalau LPG berkurang, impor berkurang. Tahapannya harus konsisten. Program jargas lebih dulu dari DME. Kembangkan dulu, kalau kurang nanti baru DME,” katanya kepada Katadata.co.id beberapa waktu lalu.

Sebaliknya, infrastruktur di LPG tak sepenuhnya dapat diterapkan pada proyek DME. “Tabungnya perlu spek baru dan regulatornya perlu spek baru,” ujarnya.

Momentum Pengembangan Industri Panas Bumi Nasional

Dunia-Energi.com; 16 Januari 2022

SAAT ini merupakan salah satu momentum terbaik untuk mengembangkan industri panas bumi nasional secara masif. Dalam perspektif global, terpilihnya Indonesia sebagai Presidensi G20 dapat berpotensi mendorong pengembangan industri panas bumi Indonesia. Sementara secara nasional, hadirnya Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang lebih hijau, juga menjadi momentum yang baik untuk mengembangkan industri panas bumi.

Sebagai Presidensi G20, Indonesia berkomitmen mengambil peran penting dalam pengembangan energi hijau. Dalam sejumlah kesempatan Presiden Jokowi mengisyaratkan agar komitmen tersebut tidak sebatas hanya tertuang dalam dokumen, tetapi ditindaklanjuti dengan kebijakan dan tindakan yang konkret. Indonesia perlu menyusun roadmap pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) dan skema pembiayaannya secara konkret.

Di antara komitmen negara-negara G20 adalah melaksanakan aksi perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan sesuai dengan Paris Agreement dan Agenda 2030. Anggota G20 berkomitmen mendorong agar kegiatan sektor-sektor ekonomi menjadi bebas emisi karbon. Dalam hal ini sektor energi menjadi prioritas utama untuk menuju ekonomi bebas emisi.

Peran Penting Panas Bumi

Industri panas bumi memiliki peran penting dan strategis untuk dapat mengakomodasi komitmen pemerintah. Untuk dapat merealisasikan komitmen pengembangan EBT, dapat dikatakan panas bumi merupakan salah satu yang perlu menjadi prioritas. Dari aspek skala, panas bumi merupakan EBT yang sangat potensial menjadi instrumen mencapai target pembangunan rendah karbon.

Indonesia memiliki potensi panas bumi sekitar 25 GW yang mana akan menurunkan emisi yang signifikan jika potensi tersebut dimanfaatkan secara maksimal. Keunggulan lainnya, Indonesia telah memiliki pengalaman dan sejarah panjang dalam pengembangan industri dan listrik panas bumi. Indonesia tercatat telah memproduksikan listrik panas bumi sejak tahun 1978.

Jika dibandingkan jenis EBT yang lain, panas bumi memiliki sejumlah keunggulan. Utamanya, panas bumi tidak memiliki masalah intermintensi sebagaimana permasalahan pada jenis EBT yang lain. Dalam pengembangannya, jenis EBT seperti tenaga surya, tenaga angin, dan tenaga air menghadapai masalah intermitensi. Kemampuan memproduksikan listrik dari jenis EBT tersebut dipengaruhi oleh cuaca dan kondisi lingkungan.

Saat ini panas bumi tercatat sebagai satu-satunya jenis EBT yang dapat menjadi baseload dalam sistem kelistrikan. Sejumlah studi bahkan menyebutkan kemampuan listrik panas bumi dalam menjadi baseload bahkan lebih baik dibandingkan beberapa jenis pembangkit listrik yang menggunakan energi fosil.

Dari aspek harga, biaya penyediaan listrik panas bumi juga relatif kompetitif. Statistik PLN 2020 menunjukkan bahwa biaya pembangkitan panas bumi atau PLTP bahkan lebih murah dibandingkan biaya pembangkitan listrik berbahan bakar fosil seperti PLTD, PLTG, dan PLTGU. Pada tahun 2020, rata-rata biaya operasi PLTP adalah Rp 1.107,89/kWh. Sementara rata-rata biaya operasi PLTD, PLTG, dan PLTGU pada periode yang sama masing-masing Rp 4.746,32/kWh, Rp 1.611,79/kWh, dan Rp 1.322,23/kWh.

Biaya penyediaan listrik panas bumi semakin terlihat kompetitif ketika dibandingkan dengan listrik dari tenaga surya (PLTS). Statistik PLN 2020 menyebutkan bahwa biaya operasi PLTS pada tahun 2020 sebesar Rp 11.817,73/kWh atau sekitar 10,66 kali lebih mahal dari biaya operasi PLTP. Dokumen tersebut juga menunjukkan seluruh komponen biaya operasi seperti biaya pemeliharaan, penyusutan aktiva, biaya pegawai, dan biaya bunga dari PLTP lebih rendah dibandingkan PLTS.

Meskipun memiliki sejumlah keunggulan, sampai saat ini pengembangan panas bumi Indonesia relatif belum signifikan. Porsi cadangan terbukti panas bumi dilaporkan baru sekitar 12 % dari total potensi yang dimiliki Indonesia. Sementara, total kapasitas terpasang listrik panas bumi baru sekitar 8 % terhadap total sumber daya panas bumi yang dimiliki Indonesia.

Data menunjukkan bahwa selama 30 tahun terakhir rata-rata penambahan kapasitas terpasang listrik panas bumi di Indonesia hanya sekitar 57 MW untuk setiap tahunnya. Kondisi dalam 10 tahun terakhir relatif lebih baik yang dilaporkan sekitar 100,56 MW untuk setiap tahunnya. Jika target RUPTL 2021-2030 dapat direalisasikan, dalam kurun 10 tahun ke depan, rata-rata penambahan kapasitas terpasang listrik panas bumi menjadi sekitar 335 MW untuk setiap tahunnya.

Pengembangan industri panas bumi Indonesia yang relatif lambat karena terdapat sejumlah kendala yang dihadapi. Waktu pengusahaan panas bumi yang relatif panjang menjadi salah satu kendala. Rata-rata tahapan pada kegiatan eksplorasi panas bumi saja memerlukan waktu antara 5-7 tahun. Sementara untuk Indonesia, tahapan tersebut rata-rata memerlukan waktu antara 7-10 tahun. Artinya, sampai dengan pengusahaan panas bumi dapat memproduksikan listrik paling tidak memerlukan waktu lebih dari 10 tahun.

Tahapan yang panjang tersebut kemungkinan menjadi salah satu penyebab mengapa dibandingkan jenis EBT yang lain panas bumi tidak menjadi pilihan untuk segera dikembangkan. Karena periode pengusahaannya relatif panjang, pengembangan dan pengusahaan panas bumi seringkali tidak dapat menjadi instrumen untuk mencapai target pengembangan EBT pada jangka pendek dan menengah.

Sebagai contoh, untuk mencapai target EBT dalam bauran energi nasional sebesar 23 % pada 2030 mendatang misalnya, panas bumi kemungkinan relatif tidak akan menjadi pilihan jika dibandingkan PLTS yang notabene memiliki periode pengembangan dan pengusahaan yang relatif lebih cepat.

Kebutuhan investasi awal yang cukup besar juga menjadi kendala pengembangan dan pengusahaan panas bumi relatif belum secepat jenis EBT yang lain. Data dan informasi yang ada menunjukkan porsi biaya eksplorasi mencapai sekitar 24 % terhadap total kebutuhan investasi untuk memproduksikan listrik dari panas bumi. Sementara sampai saat ini jumlah lembaga keuangan yang bersedia memberikan pinjaman pada tahapan eksplorasi masih relatif terbatas.

Regulasi yang mengunci harga listrik EBT tidak diperbolehkan lebih tinggi dari rata-rata BPP listrik di wilayah setempat merupakan kendala utama dalam pengembangan panas bumi. Ketentuan tersebut juga menjadi penyebab mengapa relatif sulit terjadi kesepakatan jual-beli listrik panas bumi antara pengembang panas bumi dengan PLN sebagai pembeli tunggal.

Mencermati permasalahan tersebut, untuk mengembangkan dan mengusahakan panas bumi secara masif memerlukan intervensi pemerintah. Penerapan kebijakan feed in tarrif yang disertai dengan dukungan kebijakan fiskal yang mencukupi adalah salah satu opsi kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah dalam upaya mengembangkan panas bumi nasional. (*)

Komaidi Notonegoro: 450 Juta Ton Batubara Berkontribusi Terhadap Penerimaan Devisa

RuangEnergi, 10 Januari 2022

Jakarta,ruangenergi.com-Direktur Eksekutif ReforMiner Institut Komaidi Notonegoro mencatat bahwa selama ini produksi batubara Indonesia sekitar 600 juta ton.

Penggunaan 450 juta ton ekspor dan 150 juta ton domestik.Rinciannya; 100 juta ton PLN + 50 juta ton industri lain.

“Ini tujuannya (pelarangan ekspor batubara) bagus sebenarnya.Yang tampak dari luar Presiden berupaya menjaga pemenuhan kebutuhan dalam negeri.Namun perlu hati-hati dalam mengambil kebijakannya saya kira.Kalau dipukul rata justru berpotensi mengganggu ekonomi kita .Selama ini produksi batubara kita sekitar 600 juta ton. Penggunaan 450 juta ton ekspor dan 150 juta ton domestik (100 juta ton PLN + 50 juta ton industri lain). Nah yang 450 juta ton ini berkontribusi terhadap penerimaan devisa yang signifikan.Dampak lain ada pajak dan PNBP dari 450 juta ton tersebut.Nah jika itu tidak ada, bisa dibayangkan apa saja yang akan hilang,” kata Komaidi dalam pesan singkatnya kepada ruangenergi.com beberapa waktu lalu.

Dalam catatan ruangenergi.com, mengacu pada paparan Dirjen Ketenagalistrikan Rida Mulyana pada 26 Januari 2021, disebutkan bahwa:

Kebutuhan batubara PT PLN diperkirakan meningkat dari 113 juta ton pada tahun 2021 menjadi 167 juta ton pada tahun 2030. Pemegang PKP2B, IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi harus mengutamakan kebutuhan batubara untuk kepentingan dalam negeri. Pejualan batubara ke luar negeri (ekspor) dapat dilakukan apabila kebutuhan dalam negeri telah terpenuhi.

Kewajiban DMO batubara pemegang PKP2B, IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi sebesar 25% dari rencana produksi yang telah disetujui. Ditjen Minerba berkoordinasi dengan PT PLN secara berkala.

Pemenuhan Kebutuhan Batubara Untuk Kelistrikan Umum

1. PT PLN menyampaikan kebutuhan batubara tahun 2021 sebesar 113 juta ton ke Ditjen Minerba.
2. Ditjen Minerba menetapkan volume kebutuhan batubara dalam negeri tahun 2021 sesuai hasil koordinasi dengan pengguna akhir dalam negeri, antara lain PT PLN.
3. Ditjen Minerba menentukan persentase minimal DMO batubara pemegang PKP2B, IUPK, dan IUP tahun 2021 sebesar 25% dar rencana produksi.
4. Pemegang PKP2B, IUPK, IUP menyampaikan laporan pelaksanaan DMO setiap bulan
5. PT PLN menyampaikan laporan penerimaan batubara dari tiap pemasok kepada Ditjen Minerba secara bulanan.

6. Ditjen Minerba melakukan pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban DMO pemegang PKP2B, IUPK, dan IUP.
7. Sanksi bagi pemegang PKP2B, IUPK, dan IUP yang tidak memenuhi DMO.
8. Ditjen Minerba berkoordinasi dengan PT PLN secara berkala: a). Indentifikasi perusahaan PKP2B/IUPK/IUP yang dapat memenuhi kebutuhan batubara PLTU PLN Grup  dan IPP. b). Mewajibkan perusahaan PKP2B/IUPK/IUP untuk memenuhi kebutuhan batubara PLTU PLN Grup dan IPP sebelum melakukan penjualan ke luar negeri.