Harga Minyak Melejit, Risiko Fiskal & Moneter Mengintai RI

CNBCIndonesia, 01 Maret 2022

Jakarta, CNBC Indonesia – Indonesia saat ini dibayangi oleh risiko fiskal dan moneter atas tingginya harga minyak mentah dunia. Yang dalam beberapa waktu ini sempat menyentuh level tertinggi atau US$ 100 per barel.

Risiko itu terjadi lantaran Indonesia adalah negara net importir minyak dan gas bumi (migas), yang menurut catatan SKK Migas,  Indonesia melakukan impor minyak sebanyak 500.000 barel.

Sebagai pengimpor minyak sekitar 500.000-an barel itu, sudah tentu tingginya harga minyak dunia itu akan mempengaruhi tingginya harga pembelian minyak mentah tersebut, yang berimbas pada harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di dalam negeri yang saat ini penggunaannya banyak memakai dana subsidi.

Pengamat Migas sekaligus Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro menyampaikan, tren kenaikan harga minyak mentah dunia tentunya perlu diwaspadai oleh pemerintah.

“Kita sebagai price taker yang relatif tidak banyak opsi kebijakan selain menerima harga internasional,” terang dia kepada CNBC Indonesia, Selasa (1/3/2022).

Yang terang, kata Komaidi, dengan tingginya harga minyak mentah dunia itu, ada risiko fiskal dan moneter yang perlu diantisipasi pemerintah, sehingga pemerintah tidak kaget dalam merespon tren tingginya harga minyak tersebut.

“Yang perlu diantisipasi adalah kebijakan Fiskal: kebutuhan anggaran subsidi berpotensi meningkat mengingat saat ini kebijakan subsidi energi masih dipertahankan. Moneter: kebutuhan devisa impor berpotensi meningkat dan menekan nilai tukar rupiah,” tandas Komaidi.

Pada hari ini, Selasa (1/3/2022), Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) juga menyoroti tren kenaikan harga minyak yang tinggi itu, dampak dari perang Rusia dan Ukraina.

Jokowi menyatakan bahwa sebelum perang antara Rusia dan Ukraina terjadi, harganya minyak dunia sudah mengalami kenaikan karena kelangkaan pasokan.

Nah, ditambah perang harganya naik lagi. “Sekarang harga per barrel sudah di atas US$ 100 per barel yang sebelumnya hanya US$ 50-60 per barel, semua negara yang namanya harga BBM naik semua, LPG naik semuanya, hati-hati dengan ini, hati2 dengan ini, kenaikan kenaikan kenaikan, karena semuanya bisa naik, ini yang terjadi,” terang Jokowi

Pada intinya, Jokowi meminta semua jajarannya berhati-hati dalam menaikan harga BBM maupun LPG, karena bisa berimbas pada kenaikan disektor lainnya. Seperti misalnya, kata Jokowi, kenaikan harga produsen pabrik yang bisa naik karena harga bahan bakunya naik.

“Beli bahan baku harga naik, beli BBM harganya naik, artinya apa? ongkos produksi naik, terus harga di pabriknya menjadi jauh lebih tinggi, terus dikirim ke pasar berarti harga konsumennya juga nanti akan naik, ini efek berantainya seperti ini. Supaya kita ngerti betapa ketidakpastian menimbulkan tantangan-tantangan yang tidak mudah,” tandas Jokowi.

Sebelumnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, akibat tren harga minyak dunia yang masih memanas, tercatat harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) juga ikut mendidih. Perkembangan sementara ICP bulan Februari 2022 per tanggal 24 tercatat sebesar US$ 95,45 per barel.

“Kalau harga minyak Brent, sudah lebih dari US$ 100 per barel. Sejak ICP naik di atas US$ 63 per barel (asumsi APBN 2022), kita terus monitor dan antisipasi dampaknya. Tidak hanya harga minyak, tapi harga LPG seperti CP Aramco,” ungkap Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM, Agung Pribadi.

Kenaikan harga minyak dunia turut mempengaruhi APBN. Yang mana, kata Agung, beban subsidi, khususnya subsidi BBM dan LPG meningkat dan bisa melebihi asumsi APBN 2022.

“Belum lagi biaya kompensasi BBM. Namun yang pasti, Pemerintah terus mengamankan pasokan BBM dan LPG,” ungkap Agung menambahkan

 

Proyek Strategis Migas Mundur, Target 1 Juta BOPD Tinggal Angan

Bisnis.com; 23 Februari 2021

Pemerintah Indonesia telah menetapkan target lifting minyak sebesar 1 juta barel per hari (BOPD) dan gas sebesar 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD) pada 2030. Tetapi implementasi sejumlah proyek migas diperkirakan mundur dari target.

Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah Indonesia telah menetapkan target lifting minyak sebesar 1 juta barel per hari (BOPD) dan gas sebesar 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD) pada 2030. Untuk mencapai target tersebut, saat ini Indonesia memiliki empat proyek raksasa migas, yaitu, Jambaran Tiung Biru di Jawa Tengah, Lapangan Abadi Blok Masela di Laut Arafuru, IDD (Indonesia Deepwater Development) di Cekungan Kutei Kalimantan Timur, dan Tangguh Train 3 di Papua. Meski demikian, proyek-proyek tersebut diperkirakan mundur daripada target yang ditentukan.

Ahli ekonomi energi dan perminyakan Universitas Trisakti serta pendiri Reforminer Pri Agung Rakhmanto mengungkapkan mundurnya pelaksanaan proyek-proyek strategis migas itu menyebabkan target lifting minyak 1 juta BOPD tidak dapat terpenuhi.

“Mundurnya pelaksanaan proyek-proyek strategis migas itu pasti berdampak pada tidak terpenuhinya target produksi migas sebanyak 12 MMSCFD dan minyak bumi 1 juta BOPD. Khususnya, jika proyek Tangguh train 3 dan Jambaran Tiung Biru yang mundur, akibat beberapa isu teknis di dalamnya,” ungkap Pri Agung kepada Bisnis, Selasa (22/02/2022).

Proyek Jambaran Tiung Biru memiliki produksi gas sebesar 190 MMSCFD. Proyek ini ditargetkan on stream pada akhir tahun 2021, namun karena ada beberapa kendala proyek yang dikelola oleh PT Pertamina (Persero) ini baru bisa berjalan pada kuartal II-2022.

Selain Jambaran Tiung Biru, proyek yang juga mengalami pergeseran operasional adalan proyek Liquifed Naturan Gas (LNG) Tangguh Train 3 yang dioperatori oleh British Petroleum (BP). proyek LNG Tangguh Train 3 ini memiliki kapasitas produksi gas alam mencapai 700 MMSCFD dan kondensat sebesar 3.999 BCPD dengan nilai investasi US$ 8,9 miliar. Tangguh Train 3 rencanya memulai produksi pada September 2021 dan bergeser di Desember 2022.

Akan tetapi, ia memperkirakan mundurnya pelaksanaan proyek Blok Masela dan IDD tidak berdampak signifikan pada pencapaian target tersebut. “Khusus untuk IID dan Blok Masela, angka produksinya masih berupa perkiraan saja, masih terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa mundurnya pelaksanaan kedua proyek ini berdampak pada pencapaian target lifting migas,” imbuhnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan juga mengatakan hal serupa. Menurutnya, mundurnya pelaksanaan proyek-proyek strategis tersebut berdampak pada ketercapaian target lifting migas. “Saya kira dengan mundurnya target empat proyek besar migas tersebut bisa berdampak terhadap target 1 juta BOPD dan 12 BSCFD di 2030. Hal ini karena proyek tersebut sangat signifikan terhadap jalannya kegiatan hulu migas,” terang Mamit kepada Bisnis, Selasa (22/02/2022). Namun Mamit optimis bahwa pelaksanaan proyek tersebut dapat berjalan sesuai target yang ditentukan.

“Hanya saja, saya kira SKK Migas akan berusaha untuk tetap berjalan sesuai dengan target. Mengingat ini merupakan amanat dari pemerintah untuk mengurangi impor migas kita. Mereka sudah punya progam untuk mencapai target tersebut,” pungkas Mamit.

Adapun program yang telah dibuat SKK Migas untuk mencapai target lifting tersebut mencakup infill drilling/step out pada lapangan existing, dan work over/well service. Selain itu, dilakukan juga akselerasi transformasi resources menjadi produksi, dengan mempercepat POD baru dan POD yang ter-pending.

Penambahan Split Migas untuk Pertamina Jadi Sinyal Indonesia Lebih Ramah Investor

Bisnis.com; 11 Februari 2022

Pemberian insentif dari pemerintah berupa penambahan bagian atau split untuk sejumlah wilayah kerja (WK) yang dikelola oleh PT Pertamina (Persero) dinilai menjadi salah satu acuan bahwa pemerintah lebih ramah kepada investor di sektor hulu minyak dan gas bumi.

Bisnis.com, JAKARTA – Pemberian insentif dari pemerintah berupa penambahan bagian atau split untuk sejumlah wilayah kerja (WK) yang dikelola oleh PT Pertamina (Persero) dinilai menjadi salah satu acuan bahwa pemerintah lebih ramah kepada investor di sektor hulu minyak dan gas bumi.

Pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan bahwa sebagian besar lapangan migas di Indonesia telah memasuki kategori lapangan tua. Untuk itu, diperlukan  insentif agar bisa mendorong aktivitas eksplorasi dan produksi. “Memberi sinyal bahwa iklim investasi hulu migas kita lebih investor friendly ke depannya,” ujarnya kepada Bisnis, Jumat (11/2/2022).

Menurutnya, tambahan split untuk PT Pertamina Hulu Kalimantan Timur (PHKT) dan PT Pertamina Hulu Sanga Sanga dapat memperbaiki keekonomian lapangan tersebut. Dengan tingkat keekonomian yang lebih baik, diharapkan akan mendorong belanja investasi.

Pri Agung menambahkan, membaiknya keekonomian lapangan migas juga dapat mendorong aktivitas eksplorasi dan produksi migas nasional. Harapannya, cadangan dan produksi migas dari lapangan yang telah tua juga ikut terdongkrak. “Meningkatnya investasi dan aktivitas juga akan memberikan tambahan multiplier effect yang lebih besar terhadap perekonomian secara keseluruhan, baik skala nasional, daerah, maupun di sekitar wilayah operasi,” jelasnya.

Sementara itu, Deputi Operasi  Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Julius Wiratno mengatakan, peningkatan program pengeboran sumur oleh PT Pertamina Hulu Mahakam dan PT Pertamina Hulu Sanga Sanga masih dalam tahap pembahasan oleh bidang perencanaan.

“Masih sedang dikerjakan, [insentif] pasti akan mendongkrak produksi, karena akan menambah program pemboran dan workover atau well services,” ujarnya.

Perlu Revisi UU Migas untuk Perbaiki Iklim Investasi dan Perbanyak Eksplorasi

Bisnis.com; 07 Februari 2022

Penyelesaian Revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (Migas) dinilai dapat memperbaiki iklim investasi Indonesia yang saat ini dirasa kurang menarik oleh investor.

Bisnis.com, JAKARTA – Penyelesaian Revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (Migas) dinilai dapat memperbaiki iklim investasi Indonesia yang saat ini dirasa kurang menarik oleh investor.

Pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan, revisi UU Migas sangat diperlukan untuk memperbaiki iklim investasi Indonesia. Pasalnya, hingga kini masih terdapat pungutan-pungutan yang memberatkan investor untuk melakukan kegiatan eksplorasi migas di Indonesia.

Dia menjelaskan, salah satu penyebab banyaknya pungutan tersebut adalah UU Migas Nomor 22/2001, khususnya terkait prinsip assume and discharge dalam hal pungutan dan pajak dan tidak lagi bisa diterapkan di sistem kontrak yang ada.

“Revisi UU Migas, sejak lama sudah disuarakan, tapi tidak kunjung dilakukan,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (6/2/2022).

Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal mengatakan, iklim investasi sektor hulu migas sejak 2001 telah mengalami banyakan perubahan, mulai dari berlakunya undang-undang baru, hingga kebijakan otonomi daerah.

Menurut dia, perubahan-perubahan itu turut meningkatkan risiko di industri hulu migas, di samping masih adanya kondisi insentif yang dikurangi oleh pemerintah, sehingga menambah ketidakpastian.

Kendati pemerintah telah mulai memperbaiki iklim investasi di sektor hulu migas, namun upaya yang dilakukan saat ini dinilai masih belum cukup.

“Iya, UU Migas baru, bila tepat bisa membangkitkan gairah industri ini dengan mengurangi ketidakpastian,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (6/2/2022).

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Maman Abdurrahman menyampaikan bahwa revisi UU Migas bisa terealisasi pada akhir 2022.

Pembahasan Revisi UU Migas diketahui masih belum tuntas hingga saat ini. Revisi UU Migas juga tercatat sempat masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas pada 2018, tetapi harus kandas dan terkesan terbengkalai hingga sekarang.

“Kenapa belum masuk prioritas, karena revisi UU Migas ini ada sedikit perbedaan dari UU lainnya, karena ini sempat di-judicial review di MK [Mahkamah Konstitusi]. Artinya, debatable mekanismenya apakah ini masih on atau off. Namun, kesepakatan politik kami di parlemen, kami akan memasukkan revisi UU Migas ke dalam UU kumulatif,” jelasnya.

SKK Migas Berencana Reaktivasi 725 Sumur Migas Idle, Begini Catatan Para Pengamat

Kontan.co.id; 04 Februari 2021

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Rencana reaktivasi 725 sumur migas idle oleh SKK Migas diharapkan tetap memperhatikan sejumlah aspek khususnya keekonomian.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengungkapkan, strategi ini memang dapat menjadi salah satu cara dalam mendorong produksi migas.

“Permasalahan utamanya justru akan terletak pada keekonomian proyeknya mas,” terang Komaidi kepada Kontan.co.id, Kamis (3/2).

Dia melanjutkan, dari sumur-sumur migas yang sudah tidak aktif atau idle bisa saja masih ada potensi migas yang bisa diperoleh. Kendati demikian, ketidakekonomisan proyek berpotensi menghambat upaya menggenjot produksi dari sumur-sumur idle ini.

Senada, Praktisi Hulu Migas Tumbur Parlindungan menilai dengan kondisi harga minyak saat ini maka langkah reaktivasi sumur dapat menjadi alternatif.

“Mudah-mudahan sumur yang direaktivasi tadi masih layak secara teknis untuk diproduksi dan masih punya potensi yang baik,” ujar Tumbur kepada Kontan, Kamis (3/2).

Tumbur melanjutkan, dalam upaya reaktivasi sumur maka dibutuhkan kolaborasi semua pihak terkait. Sejumlah poin yang patut jadi perhatian yakni dari sisi teknikal dan regulasi.

Adapun, dari sisi regulasi maka berkaitan dengan upaya pemerintah mendorong agar proyek dapat tetap terjaga keekonomiannya.

“Kalau tidak ekonomis tidak akan dikerjakan. Mungkin diberikan insentif untuk kondisi-kondisi sumur atau lapangan tertentu,” jelas Tumbur.

Asal tahu saja, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan, rencana aktivasi ulang 725 sumur ini bakal dilakukan pada tahun ini. Upaya ini pun diakui sebagai salah satu strategi dalam mengejar selisih produksi.

Dwi mengungkapkan, dengan pengeboran ini akan ada tambahan kebutuhan produksi minyak sebesar 49.000 barel per hari (bph) di tahun ini.

“Kami melihat ada komitmen 725 sumur untuk 2022. Kita harus bisa di atas 1.000 sumur untuk bisa mengisi gap,” kata Dwi dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VII, Rabu (2/2).

Adapun, dalam evaluasi yang dilakukan SKK Migas, terungkap masih banyak sumur milik PT Pertamina yang tidak dikembangkan.

Aktivasi ulang sumur-sumur ini direncanakan akan ditawarkan kepada KKKS atau BUMD lain yang berminat. Nantinya akan ada pembahasan untuk bagi hasil yang adil.

Sekedar informasi, untuk tahun ini hulu migas menargetkan produksi minyak mencapai 703.000 barrel oil per day (BOPD) dan gas sebesar 1.036 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD). Sementara itu, untuk lifting minyak ditargetkan mencapai 703.000 BOPD dan gas sebesar 5.800 MMSCFD.

Potensi EBT Tersebar dan Beragam Jadi Modal RI Hindari Krisis Energi

Katadata.co.id; 27 Januari 2022

Kementerian ESDM menyampaikan krisis energi yang melanda Eropa menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Pasalnya, negara ini memiliki potensi sumber energi baru terbarukan (EBT) yang tersebar dan beragam di beberapa wilayah.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana menjelaskan krisis energi di Eropa terjadi lantaran sumber EBT yang tidak terdiversifikasi. Sehingga ketika terdapat gangguan di pembangkit EBT, maka opsi untuk menghidupkan kembali PLTU batu bara menjadi hal yang tak bisa terhindarkan.

“Karena hanya mempunyai potensi EBT yang tidak bervariasi di kita, mengembangkan surya dan angin skala besar di satu wilayah. Sehingga begitu ada gangguan cuaca, angin berkurang dan secara sistem ini belum siap mengikuti perubahan tersebut,” kata dia dalam Indonesia Economic Outlook 2022 Rabu (26/1).

Melihat hal tersebut pemerintah pun akan terus menggenjot pengembangan EBT yang beragam ini secara bersamaan. Sehingga risikonya dapat diminimalkan ketika terjadi gangguan cuaca seperti yang ada di Eropa.

Dadan menyadari dari sisi pemanfaatan masih terdapat jarak yang cukup jauh dari target. Pada 2018 misalnya, bauran EBT terhadap bauran energi nasional hanya mencapai 8,6% sementara target saat itu 11,6%.

“Selisihnya 3%. Per sekarang pun demikian, 2021 perhitungan kami capaian EBT 11,5%. Sedangkan target dalam RUEN angkanya 14,% jadi persis selisihnya 3%,” katanya. Meski demikian, dia optimistis target bauran EBT 23% pada 2025 dapat tercapai.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro sebelumnya mengatakan pada akhirnya krisis energi membuat suatu negara mencari energi yang paling murah dan sesuai dengan kondisi negara tersebut. Sehingga proses transisi ke energi bersih juga perlu ditinjau kembali mengenai keekonomian harga.

“Jika ada energi terbarukan yang lebih murah bisa saja negara dapat beralih menggunakan EBT. Namun jika tidak ada pengganti akan seperti Inggris bahwa Indonesia kemungkinan akan tetap menggunakan batu bara dalam jangka panjang,” ujar Komaidi kepada Katadata.co.id, beberapa waktu lalu.

Apalagi menurut dia porsi listrik RI dari batu bara saat ini sekitar 65%. Sementara jika proyek 35 ribu megawatt (MW) selesai, maka porsi listrik batu bara diproyeksikan lebih dari 70%. Sehingga, ketergantungan Indonesia pada batu bara masih akan cukup besar untuk beberapa tahun ke depan. Jika berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional alias RUEN yang ditetapkan pemerintah hingga 2050, konsumsi batu bara secara volume masih sangat besar meskipun porsinya turun.

DME Batu Bara Dinilai Sulit Gantikan LPG karena Infrastrukturnya Beda

Katadata.co.id; 25 Januari 2022

Rencana pemerintah mengembangkan proyek gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) dinilai tak akan mudah. Apalagi kalau proyek ini ditujukan untuk menggantikan konsumsi liquified petroleum gas (LPG) untuk kebutuhan memasak rumah tangga.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro menilai, proyek DME untuk diversifikasi sangat positif. Namun jika proyek ini dimaksudkan untuk menggantikan konsumsi LPG secara penuh, maka pemerintah perlu mengkaji ulang. Pasalnya, banyak hal teknis dan bisnis terkait LPG yang menurut dia tidak bisa digantikan dengan mudah oleh DME begitu saja.

Dari aspek teknis misalnya, tidak semua infrastruktur LPG dapat digunakan untuk DME.

“Tabung, regulator, dan aspek teknis lain konon memerlukan spesifikasi yang berbeda,” ujarnya kepada Katadata.co.id, Selasa (25/1).

Sedangkan terkait aspek bisnis, rantai bisnis dalam proses penyediaan LPG yang sudah mapan juga menjadi satu hal yang perlu dipertimbangkan. Mengingat, terdapat biaya yang akan diperlukan untuk menghilangkan semua rantai bisnisnya.

“Misalnya bagaimana nasib perusahaan pembuat tabung, SPBE, agen, pangkalan, sampai dengan pengecernya,” kata Komaidi.

Senada, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menilai dengan kapasitas terpasang sekalipun, produk DME tidak bisa 100% menggantikan LPG. Menurut dia perlu dikembangkan bauran DME, Kompor Listrik dan Jaringan Gas Bumi untuk rumah tangga atau Jargas.

Fahmy pun optimistis proyek DME hasil kerja sama Air Product dengan PT Bukit Asam dan Pertamina yang pada Senin lalu telah dimulai akan selesai tepat waktu. Sekalipun saat ini pandemi Covid-19 masih berlangsung. “Meski masih pandemi, tapi tren sudah menurun. Saya prediksikan tidak mengganggu penyelesaian proyek DME,” ujarnya.

Meski begitu, Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Dadan Kusdiana beberapa waktu lalu menyatakan, karakteristik DME memiliki kesamaan baik sifat kimia maupun fisika dengan LPG. Karena itu, DME dapat menggunakan infrastruktur LPG seperti tabung, storage dan handling eksisting.

“Campuran DME sebesar 20% dan LPG 80% dapat digunakan kompor gas eksisting,” kata Dadan.

Kelebihan lain dari DME sendiri yakni dapat diproduksi dari berbagai sumber energi, termasuk bahan yang dapat diperbarui. Antara lain biomassa, limbah dan Coal Bed Methane (CBM). Namun saat ini, batu bara kalori rendah dinilai sebagai bahan baku yang paling ideal untuk pengembangan DME.

Meskipun industrinya belum ada di Indonesia, Kementerian ESDM akan mengembangkan pendukung teknis di dalam negeri, baik dari sisi produksi dan pemanfaatan.

DME memiliki kandungan panas (calorific value) sebesar 7.749 Kcal/Kg, sementara kandungan panas LPG senilai 12.076 Kcal/Kg. Meski demikian, DME memiliki massa jenis yang lebih tinggi sehingga kalau dalam perbandingan kalori antara DME dengan LPG sekitar 1 berbanding 1,6.

Pemilihan DME untuk subtitusi sumber energi juga mempertimbangkan dampak lingkungan. DME dinilai mudah terurai di udara sehingga tidak merusak ozon dan meminimalisir gas rumah kaca hingga 20%.

“Kalau LPG per tahun menghasilkan emisi 930 kg CO2, nanti dengan DME hitungannya akan berkurang menjadi 745 kg CO2. Ini nilai-nilai yang sangat baik sejalan dengan upaya-upaya global menekan emisi gas rumah kaca,” kata Dadan.

Keuangan Pertamina dalam Tekanan Harga Minyak Dunia

Katadata.co.id; 25 Januari 2022

Kebijakan BBM murah di tengah lonjakan harga minyak dunia – yang berdampak pada keuangan Pertamina – perlu ditinjau ulang. Intervensi harga hanya untuk komoditas bersubsidi.
Saat ini kebijakan harga bahan bakar minyak mengacu pada Peraturan Presiden No.191/2014 jo Perpres No.43/2018 jo Perpres No.69/2021 jo Perpres No.117/2021 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Regulasi tersebut membagi BBMmenjadi tiga jenis yaitu BBM tertentu, BBM khusus penugasan, dan BBM umum.

Jenis BBM tertentu meliputi Minyak Tanah (Kerosene) dan Minyak Solar (Gas Oil). BBM khusus penugasan merupakan BBM jenis Bensin (Gasoline) RON minimum 88. Sedangkan jenis BBM umum meliputi seluruh jenis BBM di luar jenis BBM tertentu dan jenis BBM khusus penugasan.

Perpres tersebut mengatur kewenangan penetapan harga jual eceran BBM tertentu dan BBM khusus penugasan di pemerintah. Sementara, harga jual eceran BBM umum dihitung dan ditetapkan oleh badan usaha. Harga BBM umum dihitung di titik serah berdasarkan formula harga tertinggi yang terdiri atas harga dasar ditambah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.

Kebijakan Harga dan Keuangan BUMN

Jika tidak disertai dengan respons kebijakan yang tepat, tren penguatan harga minyak dunia dapat berpotensi menekan kinerja keuangan BUMN energi, khsusunya Pertamina. Sampai pertengahan Januari 2022, harga minyak dunia masih mengalami peningkatan signifikan.

Harga minyak jenis WTI menyentuh level di atas US$ 85 per barel. Sedangkan harga minyak jenis Brent hampir menyentuh level US$ 90. Level harga kedua jenis minyak tersebut tercatat jauh di atas rata-rata harga minyak pada 2020, yang mana WTI sebesar US$ 39,16 per barel dan Brent US$ 41,96.

Meskipun harga minyak dunia meningkat signifikan, harga jual eceran jenis BBM umum oleh Pertamina belum disesuaikan. Harga jual Bensin RON 90 sebesar Rp 7.650 per liter dan harga Bensin RON 92 Rp 9.000. Badan usaha selain Pertamina terpantau telah menyesuaikan harga jual Bensin RON 90 di posisi Rp 9.500–12.500 per liter dan harga jual Bensin RON 92 sebesar Rp 11.900–13.000 per liter.

Regulasi memang memberikan kewenangan kepada setiap badan usaha, termasuk Pertamina, untuk menyesuaikan dan menetapkan harga jual Bensin RON 90 dan RON 92 yang merupakan jenis BBM umum. Namun terkait statusnya sebagai BUMN, Pertamina relatif tidak memiliki fleksibilitas jika dibandingkan dengan badan usaha yang lain.

Pada satu sisi regulasi memberikan kewenangan Pertamina untuk dapat menetapkan harga jual BBM umum. Akan tetapi, meskipun tidak selalu melalui prosedur formal, penetapan dan penyesuaian harga jenis BBM umum oleh Pertamina tetap memerlukan persetujuan pemegang saham, dalam hal ini adalah pemerintah. Hampir dapat dikatakan ini untuk semua jenis BBM yang dijual Pertamina.

Terkait harga BBM, seluruh negara pada dasarnya mendapatkan akses harga yang sama di pasar internasional. Perbedaan kebijakan pajak dan subsidi menyebabkan harga BBM antarnegara menjadi berbeda. Negara dengan pendapatan per kapita yang tinggi umumnya menetapkan harga jual BBM lebih mahal. Sementara negara dengan pendapatan per kapita rendah dan negara-negara yang memproduksi dan mengekspor minyak, umumnya menetapkan harga jual BBM lebih murah.

Berdasarkan publikasi GlobalPetrolPrice, rata-rata harga jual Bensin RON 95 pada 17 Januari 2022 di Philipina Rp 16.351 per liter, Thailand Rp 17.375 per liter, Vietnam Rp 15.020 per liter, Laos Rp 18.711 per liter, dan Singapura Rp 27.058 per liter. Sementara pada periode yang sama rata-rata harga jual Bensin RON 95 di Indonesia sebesar Rp 11.932 per liter.

Dari perspektif makro ekonomi dan daya beli masyarakat, dalam tingkatan tertentu kebijakan harga BBM murah adalah positif dan diperlukan. Harga BBM murah dapat menjadi faktor pendorong aktivitas dan mobilitas masyarakat. BBM murah juga berpotensi meningkatkan produksi dan distribusi barang dan jasa saat dan pasca-pandemi. Secara keseluruhan, harga BBM murah dapat menjadi katalis bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

Dalam perspektif neraca BBM dan kinerja keuangan BUMN, kebijakan BBM murah di tengah harga minyak dunia yang meningkat perlu ditinjau ulang. Terkait posisi Indonesia sebagai net importir, kebijakan harga BBM murah memerlukan daya dukung fiskal atau subsidi yang cukup besar. Dalam hal ini pilihan kebijakan yang tersedia relatif hanya ada dua, memberikan subsidi atau memilih kinerja keuangan BUMN yang akan tertekan.

Sebagai gambaran, penjualan BBM RON 90 oleh Pertamina Patraniaga pada 2021 dilaporkan lebih dari 20 juta kilo liter. Sementara penjulan BBM RON 92 sekitar 5 juta kilo liter.

Jika mengacu pada perbedaan harga jual dengan badan usaha yang lain, selisih pendapatan Pertamina Patraniaga dari penjualan BBM RON 90 tahun 2021 sebesar Rp 37–97 triliun. Sementara dari penjualan BBM RON 90 antara Rp 14 dan 20 triliun. Selisih nilai penjualan kedua jenis BBM tersebut dibandingkan dengan badan usaha lain mencapai Rp 51–117 triliun.

Berdasarkan ketentuan regulasi, selisih nilai penjualan tersebut akan menjadi beban atau kerugian Pertamina Patraniaga sebagai badan usaha penyedia BBM. Hal tersebut mengingat BBM RON 90 dan BBM RON 92 merupakan jenis BBM umum yang di dalam kebijakan keuangan negara tidak akan diberikan subsidi atau kompensasi melalui APBN.

Mencermati permasalahan yang ada, konsistensi pengambil kebijakan dalam mengimplementasikan regulasi merupakan kunci dari keberhasilan kebijakan harga BBM agar optimal untuk para pihak, termasuk untuk kepentingan BUMN.

Para pengambil kebijakan perlu konsisten dengan UU Keuangan Negara, bahwa kebijakan harga yang dapat diintervensi adalah untuk komoditas bersubsidi. Sementara untuk komoditas non-subsidi termasuk BBM RON 90 dan BBM RON 92 kewenangan pemerintah adalah menetapkan batas harga tertinggi dan terendah untuk melindungi kepentingan produsen dan konsumen.