Ironi, Ekonomi Makin Tumbuh Bikin Lingkungan Makin Rusak

Liputan6.com; 27 November 2023

Liputan6.com, Jakarta Reforminer Institute menilai, saat ini ekonomi Indonesia masih berada pada fase pre industrial economics menuju industrial economics. Kondisi ini potensi menimbulkan dilema bagi Indonesia, yang dituntut menaikan pertumbuhan ekonomi dan dibarengi dengan program transisi energi, khususnya dalam menekan karbon emisi.

“Artinya, pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia masih akan berbanding lurus dengan tingkat kerusakan lingkungan. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, potensi kerusakan lingkungan yang akan terjadi juga semakin besar,” ujar Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, Senin (27/11/2023).

Pernyataan itu selaras dengan Kurva Kuznets yang dipelopori ekonom Simon Kuznets, menjelaskan bahwa sampai pada titik tertentu pertumbuhan ekonomi/kesejahteraan masyarakat akan berbanding lurus dengan tingkat kerusakan lingkungan.

Komaidi memaparkan, kajian Kuznets untuk negara-negara di wilayah Eropa menemukan bahwa titik balik hubungan linier antara kerusakan lingkungan dan pertumbuhan ekonomi terjadi ketika memasuki fase industrial economics. Pertumbuhan ekonomi dan kerusakan lingkungan berjalan linier mulai dari pre industrial economics sampai dengan industrial economics.

“Selanjutnya, pada fase post-industrial economics yaitu ketika basis pertumbuhan perekonomian adalah sektor jasa, tingkat kerusakan lingkungan tercatat mengalami penurunan meskipun pada periode yang sama pertumbuhan ekonomi meningkat,” paparnya.

Di sisi lain, Indonesia telah menetapkan target bebas emisi, atau net zero emission (NZE) pada 2060 sebagai bagian dari transisi energi. Namun begitu, Komaidi menggarisbawahi, emisi karbon tidak hanya dihasilkan dari aktivitas sektor energi.

Bahkan pada wilayah atau negara tertentu, ia menambahkan, emisi karbon yang dihasilkan dari aktivitas sektor non energi tercatat lebih besar dibandingkan emisi karbon yang dihasilkan oleh sektor energi.

Berdasarkan data, Komaidi mencatat sektor energi hanya merupakan salah satu kontributor penghasil emisi gas rumah kaca (GRK). Kelompok penghasil emisi GRK global meliputi sektor kelistrikan, industri, pertanian, penggunaan lahan, dan limbah, transportasi, dan bangunan.

“Sementara penghasil emisi GRK Indonesia adalah sektor energi, IPPU (Industrial Process and Production Use), pertanian, kehutanan, dan limbah. Kontributor utama penghasil emisi GRK global pada tahun 2021 adalah sektor kelistrikan dan industri. Porsi emisi GRK dari kedua sektor tersebut dilaporkan mencapai 58 persen dari total emisi GRK global tahun 2021,” urainya dalam catatannya, Senin (27/11/2023).

“Kontributor terbesar selanjutnya adalah sektor pertanian, penggunaan lahan, dan limbah 20 persen, sektor transportasi 15 persen, dan bangunan 7 persen,” kata Komaidi.

Kontribusi Emisi GRK

Menurut data yang dihimpunnya, selama 2000-2022, rata-rata kontribusi emisi GRK yang dihasilkan oleh sektor energi di Indonesia dilaporkan sekitar 18,10 persen dari total emisi Indonesia. Sementara kontribusi sektor pertanian, sektor kehutanan, dan limbah terhadap emisi Indonesia pada periode tersebut masing-masing dilaporkan sekitar 18,04 persen, 30,41 persen, dan 16,74 persen.

“Berdasarkan data tersebut, pencapain target NZE untuk masing-masing negara termasuk Indonesia akan lebih efektif jika tidak hanya mengandalkan kebijakan transisi energi sebagai satu-satunya instrumen, tetapi secara paralel juga perlu melalui implementasi kebijakan solusi rendah karbon lainnya,” imbuh Komaidi.

Untuk negara berkembang seperti Indonesia, ia menuturkan, jika penurunan emisi hanya melalui pengembangan energi terbarukan dan teknologi akan memerlukan waktu yang cukup panjang.

“Hal itu karena negara berkembang akan tetap mempertimbangkan dan melaksanakan pembangunan ekonomi dengan tetap menjalankan aktivitas yang memiliki eksternalitas terhadap lingkungan, terutama aktivitas industri padat energi penghasil karbon,” imbuhnya.

Visi-Misi Energi Capres-Cawapres

Kompas.id; 24 November 2023

Penulis: PRI AGUNG RAKHMANTO
Pengajar di Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti
Pendiri ReforMiner Institute

Sebagaimana isu lain yang dianggap cukup penting, energi menjadi salah satu yang disebut dan dibahas oleh ketiga pasangan calon presiden-wakil presiden (capres-cawapres) belakangan ini dalam berbagai kesempatan. Mencermati paparan dan dokumen yang memuat apa yang disebut sebagai visi-misi dan program dari ketiga pasangan capres-cawapres yang sejauh ini beredar di publik, cukup menarik ketika menemukan bahwa ketiganya tampaknya menawarkan gagasan yang cukup menjanjikan keberagaman pemikiran-pendekatan di dalam isu-isu terkait (sektor) energi.

Pasangan capres-cawapres Anies-Muhaimin menekankan pada aspek ketahanan energi dan menempatkannya sebagai bagian dari upaya pemenuhan ketersediaan kebutuhan pokok yang terjangkau. Pasangan Prabowo-Gibran mengutamakan tercapainya swasembada energi dan menempatkannya sebagai prioritas bersama dengan pencapaian swasembada pangan dan air. Sementara pasangan Ganjar-Mahfud memberikan titik berat pada transisi energi di dalam bingkai ekonomi hijau sebagai instrumen utama di dalam upaya mewujudkan lingkungan hidup yang berkelanjutan.

Ketahanan Energi
Ketahanan energi dalam pengertian kondisi terjaminnya ketersediaan energi dan akses masyarakat terhadap energi pada harga yang terjangkau dalam jangka panjang dan tetap memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan hidup (Peraturan Pemerintah No 79 Tahun 2014) agaknya adalah pijakan yang mendasari agenda utama pasangan Anies-Muhaimin di sektor energi. Beberapa agenda yang terkait dengan ketersediaan dan keterjangkauan harga energi diantaranya adalah dengan meningkatkan stok Bahan Bakar Minyak (BBM) nasional hingga ke tingkat yang aman untuk menjamin ketersediaan dan memungkinkan dilakukannya perencanaan impor yang matang untuk mendapatkan harga terbaik. Hal yang sama dikatakan juga akan dilakukan dengan menjalin kerja sama dengan negara-negara produsen energi untuk mendapatkan energi murah, memperbaiki ketepatan sasaran subsidi energi melalui perbaikan data dan pendekatan teknologi, perencanaan produksi dan ekspor energi dengan mempertimbangkan keamanan suplai dan cadangan domestik dan menerapkan teknologi terkini untuk memaksimalkan efisiensi produksi termasuk menerapkan Enhanced Oil Recovery.

Dalam aspek energi yang berkelanjutan dan perlindungan lingkungan hidup, beberapa agenda yang berkaitan diantaranya adalah membudayakan perilaku hemat energi melalui insentif kebijakan, melaksanakan program “Indonesia Menuju EBT” melalui diversifikasi energi, termasuk bioenergi, panas bumi, air terjun, angin, hidrogen, dan tenaga surya, dengan dukungan pemerintah dari sisi pembiayaan. Selain itu agenda lainnya adalah memaksimalkan peran panas bumi dengan mendorong penemuan cadangan terbukti oleh pemerintah, untuk menurunkan risiko dan meningkatkan daya tarik investasi, membuka peluang bagi masyarakat dan komunitas, untuk memproduksi EBT dan memasarkannya ke Perusahaan Listrik Negara (PLN), mendorong inovasi pembiayaan EBT dengan berbagai skema termasuk memanfaatkan green financing dengan bunga yang kompetitif dan memanfaatkan peluan perdagangan karbon, hingga membentuk Dana Abadi (Resource Endowment Fund) berasal dari pendapatan sumber daya alam (SDA), yang dialokasikan untuk riset EBT.

Dengan bingkai ketahanan energi yang didalamnya mencakup aspek ketersediaan, keterjangkauan akses-harga dan akseptatibilitas-keberlanjutan, agenda utama sektor energi yang diusung pasangan Anies-Muhaimin, dapat dikatakan cukup lengkap dan detil. Paling tidak, dari apa yang sejauh ini tertuang dalam dokumen visi misi yang ada, isinya cukup menggambarkan pemahaman dan pendekatan teknokratik yang terbilang komprehensif terhadap isu-isu penting di sektor energi Indonesia. Tidak hanya sebatas pada visi-misi, agenda yang tertuang sampai pada tingkatan tertentu sudah menjangkau program dan strategi implementasinya. Hal yang sifatnya operasional, seperti melakukan renegosiasi dan merealisasikan kesepakatan produksi energi yang tertunda, termasuk proyek Masela, juga sudah tercakup di dalamnya.

Swasembada Energi
Meskipun di dalam dokumen yang ada tidak secara eksplisit dielaborasi lebih lanjut perihal swasembada energi dalam pengertian seperti apa yang dimaksud, pencapaian swasembada energi sebagai prioritas pertama pasangan Prabowo-Gibran di sektor energi, tampaknya dimaksudkan ditempatkan dalam kerangka ekonomi hijau-biru yang di dalam pencapaiannya akan disandarkan pada produksi dari energi baru terbarukan (EBT). Beberapa program atau agenda prioritas yang menyertainya disebutkan diantaranya adalah mengembangkan EBT yang disinergikan dengan pelaksanaan ekonomi hijau, dan melanjutkan dan mengevaluasi pengembangan kawasan ekonomi khusus yang terspesialisasi dengan mengedepankan ekonomi hijau dan/atau ekonomi biru.

Masih terkait dengan hal itu, agaknya dalam hal menunjang sisi produksi, terdapat program perbaikan skema insentif untuk mendorong aktivitas temuan cadangan sumber energi baru, program mendirikan kilang minyak bumi, pabrik etanol, serta infrastruktur terminal penerima gas dan jaringan transmisi/distribusi gas, baik oleh BUMN atau swasta. Kemudian juga terdapat program untuk memperluas konversi BBM kepada gas dan listrik untuk kendaraan bermotor, dan menambah porsi energi EBT dalam bauran listrik PLN. Mungkin kedua hal ini berkaitan dengan swasembada energi yang dituju karena dipandang dapat mengurangi konsumsi energi fosil – yang sudah tidak mampu kita penuhi sendiri – untuk digantikan dengan EBT – yang mungkin dalam visi yang ada masih akan mampu dipenuhi secara swasembada. Aspek penguasaan-kedaulatan ekonomi-energi juga dimunculkan dari program yang ada seperti mengembalikan tata kelola migas dan pertambangan nasional sesuai amanat Konstitusi Pasal 33 UUD 1945 dan melanjutkan hilirisasi dan industrialisasi berbasiskan sumber daya alam.
Dari apa yang sejauh ini tertuang di dalam dokumen visi-misi pasangan Prabowo-Gibran, secara umum dapat dikatakan bahwa unsur semangat dan idealisme tentang seperti apa sektor energi Indonesia yang dicita-citakan (swasembada) adalah yang terlihat paling menonjol. Dokumen yang ada belum mengupas lebih jauh tentang strategi dan instrumen implementasinya, sebagaimana juga seperti belum cukup menyentuh satu-dua persoalan mendasar Indonesia di sektor energi, subsidi misalnya.

Transisi Energi
Dalam dokumen visi-misi yang ada, pasangan Ganjar-Mahfud menempatkan sektor energi di dalam kerangka misi untuk mempercepat perwujudan lingkungan hidup yang berkelanjutan melalui ekonomi hijau. Secara tidak langsung dapat dikatakan sektor energi di sini adalah bagian dari sistem ekonomi-lingkungan hidup, dengan transisi energi dan pengurangan emisi gas rumah kaca sebagai program utamanya.

Beberapa program yang tercakup di dalam transisi energi pasangan Ganjar-Mahfud adalah pemanfaatan EBT sebagai generator pembaharuan yang potensinya sekitar 3.700 GW secara bertahap untuk kebutuhan energi dalam negeri sehingga porsi EBT di dalam bauran energi menjadi 25-30% hingga tahun 2029. Tercakup di dalamnya, transisi energi diarahkan untuk menuju Net Zero Emission (NZE) bersama dengan program lingkungan hidup berkelanjutan yang lain seperti pemeliharaan hutan, pemangkasan polusi udara dari emisi kendaraan dan industri, dan pembatasan penggunaan plastik. Pengintegrasian penilaian risiko lingkungan, sosial dan tata kelola (Environmental, Social, Governance/ESG) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem ekonomi, juga menjadi salah satu program yang digariskan. Juga program yang bersifat gerakan seperti Desa Mandiri Energi, Kampung Sadar Iklim (KadarKlim) dan gerakan ganyang plastik dan gebrak polusi melalui pendekatan reduce, reuse, recycle, repair and refabricate (5Rs).

Dari apa yang tertuang di dalam dokumen, visi-misi dan program pasangan Ganjar-Mahfud di isu energi dapat dikatakan sangat ringkas dan juga praktis. Dalam pengertian, tampak seperti hanya fokus pada satu isu utama, yaitu transisi energi yang berkaitan dengan pengurangan emisi gas rumah kaca, dan hanya memuat butir-butir nama program di dalamnya dengan sedikit elaborasi tentangnya. Namun, di dalam keringkasan itu, sejatinya visi-misinya sangat tidak sederhana untuk diwujudkan karena berbicara tentang energi-ekonomi hijau.

Tawaran Gagasan-Pendekatan

Merangkum telaah singkat di atas, gagasan-pendekatan terhadap isu (sektor) energi yang ditawarkan oleh ketiga pasangan capres-cawapres, Anies-Muhaimin, Prabowo-Gibran, Ganjar-Mahfud, secara berurutan dalam pandangan sederhana saya kurang lebihnya dalam satu-dua kata adalah ketahanan energi-teknokratis, swasembada energi-idealistis, dan transisi energi-praktis. Benang merah dan irisan di antara tawaran gagasan dari ketiganya yang paling menonjol adalah tentang pendayagunaan dan pemanfaatan sumber energi baru dan terbarukan (EBT). Irisan lainnya adalah bahwa ketiganya sejatinya sama-sama nasionalis dalam pengertian selalu mengedepankan kepentingan nasional di dalam gagasan yang ditawarkannya. Pendekatannya saja mungkin yang sedikit bisa berbeda. Teknokratis akan cenderung mengedepankan kaidah keilmuan tekno-ekonomi yang sesuai dengan kebutuhan dan rasionalitasnya. Idealistis mungkin akan cenderung menggunakan pendekatan ideologi ekonomi “nasionalistik” dengan sedikit-banyak melibatkan unsur populis. Sedangkan praktis mungkin akan lebih mengarah kepada fokus pada satu-dua isu prioritas yang dipandang memenuhi penyelenggaraan pemerintahan baik di aspek substantif maupun politis.

Menelaah hanya dari apa yang sejauh ini tercantum dalam dokumen visi-misi ketiga pasangan capres-cawapres tentu tidak cukup. Seringkali, nantinya akan lebih banyak hal yang tidak tertuang secara eksplisit di dalam dokumen tersebut yang justru kemudian menjadi agenda yang dijalankan. Namun, dengan merujuk pada apa yang dituliskan sebagai visi-misi tersebut, setidaknya kita sebagai rakyat bisa memperoleh gambaran awal tentang gagasan dan pendekatan yang ditawarkan.

Lifting Migas 2023 Diprediksi Tak Capai Target, Eksplorasi Lapangan Baru Perlu Digenjot

Bisnis.com; 22 November 2023

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah disarankan untuk meningkatkan eksplorasi minyak dan gas (migas) pada lapangan baru untuk mendongkrak lifting migas nasional. SKK Migas memperkirakan lifting minyak akhir tahun nanti berada di kisaran 607.500 barel minyak per hari (bopd) dan gas sebesar 5.400 juta standar kaki kubik per hari (MMscfd). Adapun, target lifting minyak yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 dipatok di level 600.000 bopd dan gas sebesar 6.160 MMscfd.

Tak tercapainya target lifting tersebut lantaran turunnya produksi sejumlah aset yang dimiliki PT Pertamina (Persero) menjelang tutup tahun ini. Sejumlah aset itu, di antaranya Offshore Southeast Sumatra (PHE OSES) dan Blok Cepu, garapan ExxonMobil Cepu Limited (EMCL). “Kalau mau bicara kenaikan produksi, mainnya jangan di lapangan-lapangan yang itu-itu saja, harus dari lapangan baru, skala besar yang masih segar,” kata Ekonom Energi sekaligus pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto saat dihubungi, Rabu (22/11/2023).

Pri menyoroti ihwal penurunan produksi Blok Cepu yang belakangan diidentifikasi akibat naiknya rasio gas atau gas oil ratio (GOR) dan water cut dari lapangan tersebut. Dia menerangkan, naiknya rasio gas itu mengindikasikan turunnya potensi minyak dari salah satu konsesi andalan pemerintah saat ini. “Kalau lapangan minyak GOR tinggi, artinya porsi minyaknya yang terproduksikan makin kecil, yang naik porsi gas ikutannya, atau analoginya dengan water cut naik, artinya airnya makin banyak,” kata dia.

Menurut dia, industri hulu migas domestik bakal terus mengalami penurunan dari sisi produksi lantaran karakteristik lapangan yang sudah terlanjur tua saat ini.

“Tanpa ada lapangan besar baru yang ditemukan dan dikembangkan, sulit hulu migas kita bicara menaikkan produksi,” kata dia.

Sebelumnya, Wakil Kepala SKK Migas Nanang Abdul Manaf menerangkan, faktor utama dari turunnya proyeksi lifting migas itu disebabkan karena titik awal produksi awal 2023 yang sudah terlanjur senjang.

“Di mana sejumlah KKKS sudah terdapat gap produksi karena mundurnya kontribusi realisasi pemboran, workover, well services yang ter-carry foward ke tahun 2023,” kata Nanang saat dihubungi, Rabu (22/11/2023). Selain itu, Nanang menambahkan, terdapat proyek tertunda yang ikut dibarengi dengan beberapa penghentian operasional atau unplanned shutdown.

Beberapa penghentian operasional itu, di antaranya terkait dengan kebocoran pipa dan power outgage di PT Pertamina Hulu Energi Offshore Southeast Sumatra (PHE OSES), kebocoran pipa di PHE Offshore North West Java (ONWJ), tanah longsor di Lapangan Kedung Keris milik ExxonMobil Cepu Ltd (EMCL), kendala Train-1 pada KKKS bp. “Penurunan produksi di PHE OSES terutama disebabkan karena isu power outgage dan kebocoran pipa, sementara Blok Cepu karena kenaikan gas oil ratio dan water cut,” kata dia.

Indonesia Simpan Potensi Listrik Besar dari Panas Bumi, Kok Belum Bisa Gantikan Batu Bara?

Liputan6.com; 15 November 2023

Liputan6.com, Jakarta – Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai, pemanfaatan panas bumi sangat berpotensi merealisasikan target bebas emisi atau net zero emission (NZE) Indonesia. Pasalnya, jika seluruh potensi panas bumi di tanah air dapat dimanfaatkan, terdapat potensi penurunan has rumah kaca (GRK) sekitar 182,32 juta ton CO2e, atau setara 58 persen target penurunan GRK sektor energi 2030 sebesar 314 juta ton CO2e.

Komaidi memaparkan, dibandingkan dengan energi baru dan energi terbarukan (EBET) lain panas bumi punya sejumlah keunggulan. Antara lain, tak tergantung cuaca, menghasilkan energi lebih besar untuk periode produksi yang sama, tak perlu lahan luas untuk proses produksi.

Kemudian, punya capacity factor yang lebih besar, prioritas untuk kepentingan domestik karena tak bisa diekspor, bebas dari risiko kenaikan harga energi fosil, dan biaya operasi pembangkitnya relatif paling murah.

“Capacity factor atau perbandingan produksi listrik dengan kemampuan produksi maksimum dari pembangkit panas bumi merupakan salah satu yang terbaik dibandingkan pembangkit berbasis EBET lainnya maupun pembangkit listrik berbasis fosil,” ujar Komaidi dikutip dari pernyataan tertulis, Rabu (15/11/2023).

“Hal tersebut terlihat dari meskipun kapasitas terpasang pembangkit listrik panas bumi (PLTP) milik PLN pada tahun 2022 hanya sekitar 0,84 persen terhadap total kapasitas terpasang, produksi listrik PLTP PLN pada tahun yang sama mencapai sekitar 2,25 persen terhadap total produksi listrik PLN,” terangnya.

Meski punya banyak keunggulan, Komaidi menambahkan, pengembangan dan pengusahaan panas bumi di Indonesia masih terkendala masalah keekonomian harga. Khususnya karena harga jual tenaga listrik dari panas bumi yang masih lebih tinggi dari jenis EBET lainnya.

“Untuk saat ini, harga jual tenaga listrik panas bumi juga dilaporkan lebih tinggi dibandingkan BPP (biaya pokok penyediaan) tenaga listrik nasional,” imbuh dia.

Proyek Panas Bumi Belum Kompetitif

Menurut dia, sejumlah kendala yang menyebabkan keekonomian proyek panas bumi relatif belum kompetitif, antara lain, sulit terjadi kesepakatan harga jual-beli antara pengembang panas bumi dengan PLN sebagai pembeli tinggal, kebijakan eksisting mengharuskan harga listrik EBET bersaing dengan pembangkit fosil, jumlah lembaga keuangan yang bersedia memberikan pinjaman pada fase eksplorasi masih terbatas.

Lalu, izin sering bermasalah karena wilayah kerja berada di hutan konservasi, risiko investasi tinggi karena kepastian potensi cadangan dan kualitas uap yang belum jelas, dan masih terdapat sejumlah izin yang harus dipenuhi meskipun izin usaha pertambangan (IUP) pengusahaan panas bumi telah terbit.

“Dalam jangka pendek dan menengah, BPP tenaga listrik panas bumi akan relatif sulit bersaing dengan pembangkit berbasis fosil. Sekitar 70 persen komponen biaya pembangkitan listrik panas bumi adalah biaya modal (capital cost). Sementara porsi capital cost dalam struktur biaya pembangkitan berbasis batubara, gas, dan BBM hanya 15-30 persen,” terangnya.

Harga Listrik Panas Bumi

Mengacu studi IRENA, harga listrik panas bumi di Tanah Air masih tinggi lantaran risiko pada tahap eksplorasi masih besar. Itu menyumbang sekitar 50 persen dari total risiko bisnis dalam pengembangan dan pengusahaan panas bumi, yang dipengaruhi informasi soal lokasi, cadangan panas bumi terbukti, dan ketersediaan data.

Dikatakan Komaidi, dalam jangka panjang seiring tren harga energi primer meningkat, BPP tenaga listrik panas bumi berpotensi lebih kompetitif atau bahkan lebih murah dibandingkan BPP tenaga listrik berbasis fosil.

Sebab, porsi biaya bahan bakar dalam komponen biaya pembangkitan berbasis batubara, gas dan BBM antara 40-74 persen. Sementara porsi biaya bahan bakar dalam komponen biaya pembangkitan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) tidak sampai mencapai 1 persen.

“Data rata-rata beban usaha pembangkitan pada 2022 menegaskan, bahwa dalam jangka panjang BPP tenaga listrik panas bumi akan lebih kompetitif. Data statistik PLN menunjukan, rata-rata beban usaha pembangkitan untuk semua jenis pembangkit di 2022 adalah Rp 1.460,59 per kWh. Sementara beban usaha pembangkitan listrik panas bumi pada tahun yang sama dilaporkan Rp 118,74 per kWh, atau hanya 8,12 persen dari rata-rata beban usaha pembangkitan untuk semua jenis pembangkit,” urainya.

Sektor Energi Rendah Karbon, Skenario dan Faktor yang Mempengaruhinya

Katadata.co.id; 16 November 2023
Penulis: Pri Agung Rakhmanto
Founder & Advisor ReforMiner Institute; pengajar ekonomi dan kebijakan energi FTKEnergi Universitas Trisakti.

Mewujudkan tingkat emisi nol bersih (Net Zero Emission, NZE) pada 2060 atau lebih cepat, telah menjadi komitmen pemerintah. Salah satu kerangka regulasi yang memayunginya saat ini adalah Keputusan Menteri (Kepmen) KLHK No.168/Menlhk/PTKL/PLA.1/2/2002. Merujuk regulasi tersebut, terdapat beberapa kemungkinan dan pilihan skenario untuk mencapai target emisi nol bersih, yaitu skenario Current Policy (CPOS), peta jalan Transitions (TRNS), dan skenario Low Carbon Development Compatible with Paris (LCPP). Dalam skenario CPOS, emisi gas rumah kaca Indonesia diproyeksikan akan terus meningkat menjadi sekitar 2.500 juta ton CO2e pada 2050.

Emisi diproyeksikan turun menjadi sekitar 1.500 juta ton CO2e pada 2050 jika Indonesia menjalankan skenario TRNS. Sementara jika skenario LCPP yang dijalankan, emisi gas rumah kaca Indonesia pada 2050 diproyeksikan dapat lebih rendah lagi.

Terkait dengan berbagai kemungkinan dan pilihan skenario Indonesia untuk mencapai NZE, berbagai komunitas energi internasional seperti International Energy Agency (IEA) dan pelaku industri energi berskala global-multinasional seperti Shell International turut memberikan perhatian.

Dalam dokumen A Roadmap to a Net Zero Energy Sector for Indonesia yang diterbitkan oleh IEA disebutkan, sekitar seperempat pengurangan emisi yang dibutuhkan pada 2050, memerlukan kontribusi penggunaan hidrogen dan bahan bakar berbasis hidrogen, elektrifikasi rendah karbon pada beberapa proses industri, serta penerapan teknologi penangkapan, penyimpanan dan penggunaan karbon (Carbon Capture Storage/Utilisation, CCS/CCUS).

Shell International, dalam dokumen Shell Scenarios Sketch, Indonesia: Transitioning Towards A Sustainable and Inclusive Energy Future (2021) menggarisbawahi beberapa komponen utama yang perlu mendapatkan perhatian, dukungan, dan digarap secara lebih serius dan masif untuk mencapai NZE di sektor energi.

Komponen tersebut meliputi: 1) pengembangan sektor kelistrikan dan infrastrukturnya yang berbasiskan energi baru terbarukan dan rendah karbon; 2) penggunaan bahan bakar rendah karbon seperti hidrogen, green hydrogen, bioenergy, dan bahan bakar nabati pada sektor di luar kelistrikan seperti transportasi dan industri; dan 3) penerapan teknologi Carbon Capture Storage/Utilisation (CCS/CCUS) pada industri energi, baik hulu, midstream, maupun hilir.

Dari berbagai proyeksi skenario dan kemungkinan pilihannya sebagaimana dikemukakan di atas, semuanya pada dasarnya menggarisbawahi sektor energi memegang peranan penting dalam pencapaian target NZE. Sektor kelistrikan akan menjadi kuncinya.

Berdasarkan informasi yang ada, penurunan emisi gas rumah kaca terbesar di sektor kelistrikan ditargetkan akan berasal dari pembangkit listrik. Pencapaian NZE pada sektor kelistrikan dilakukan dengan menyeimbangkan antara porsi pembangkit berbasis fosil dengan pembangkit berbasis energi baru dan energi terbarukan (EBET) rendah karbon.

Kapasitas pembangkit berbasis fosil dikurangi secara bertahap, sementara kapasitas pembangkit berbasis EBET ditambah secara lebih progresif. Secara umum, dapat dikatakan bahwa sektor kelistrikan nasional perlu bertransformasi dari yang saat ini kurang lebih 60% mengandalkan fosil, menjadi 60% lebih mengandalkan EBET di tahun 2060.

Penggunaan bahan bakar rendah karbon seperti hidrogen, green hydrogen, bioenergy, dan bahan bakar nabati, terutama ditujukan untuk mengurangi emisi karbon pada sektor di luar kelistrikan. Sebagaimana terangkum dari berbagai proyeksi di atas, emisi sektor energi yang pada tahun 2060 kurang lebih akan mencapai 401 juta ton CO2e atau lebih, akan berasal dari penggunaan energi pada sektor industri, transportasi, komersial, rumah tangga, dan sektor lainnya.

Salah satu skenario Shell merekomendasikan Indonesia perlu meningkatkan porsi pemanfaatan bahan bakar nabati dan hidrogen hingga porsi terhadap total konsumsi energi final pada 2060 masing-masing mencapai 60% dan 10%.

Penerapan teknologi CCS/CCUS diproyeksikan dapat berkontribusi dalam mengurangi emisi karbon sekitar 190 Mt CO2 atau sekitar sepertiga dari jumlah emisi karbon saat ini. Pada skenario yang progresif, penerapannya diperkirakan bahkan dapat membantu mengurangi emisi karbon hingga sebesar 400 Mt CO2.

Faktor Kunci yang Berpengaruh

Berbagai skenario dan pilihan peta jalan untuk mencapai target NZE di sektor energi sebagaimana dipaparkan di atas pada dasarnya memang telah tersedia, dan dari angka-angka yang ada semuanya tampak menjanjikan. Namun, untuk merealisasikannya sangat tidak mudah.

Sektor energi Indonesia, saat ini, baik dalam hal kondisi, sistem infrasruktur maupun kebijakannya secara keseluruhan dapat dikatakan masih sangat berat-bergantung kepada bahan bakar dan sumber energi berbasis fosil. Porsi energi fosil dalam sistem energi nasional saat ini masih signifikan, jika tidak bisa dikatakan sangat signifikan. Porsi batubara misalnya, merujuk pada data dan laporan Dewan Energi Nasional (DEN)-KESDM 2022, pada 2021 tercatat masih mencapai 37,6% dalam bauran energi primer. Porsi minyak dan gas (migas), lebih besar lagi, yaitu mencapai kisaran 51% dari bauran energi primer nasional pada 2021 lalu.

Data Kementerian ESDM (2022) menyebutkan, porsi EBET di dalam bauran energi nasional tercatat baru mencapai 14,11% dari target 23% di tahun 2025. Realisasi EBET di dalam bauran energi nasional yang belum memenuhi target tersebut menegaskan bahwa transisi energi dan pencapaian NZE memang tidak mudah untuk dilakukan. Di dalam praktek, untuk dapat merealisasikan target NZE diperlukan investasi (pendanaan) dalam jumlah masif yang disertai dengan dukungan kebijakan fiskal dan non-fiskal. Bagi para pelaku usaha di sektor energi, pergeseran investasi dari fosil ke arah non-fosil dan rendah karbon memerlukan tambahan investasi baru.

Implikasinya, sampai dengan batas waktu tertentu hingga skala ekonominya terpenuhi, harga jual produk EBET tetap akan lebih mahal dibandingkan dengan harga energi fosil. Dalam situasi seperti ini, mekanisme pasar tidak akan dapat bekerja dan berjalan sendiri. Perbedaan target penurunan emisi Indonesia sebesar 26% (0,038 Giga ton CO2) dengan upaya sendiri atau sebesar 41% (0,056 Giga ton CO2) jika mendapatkan bantuan dari dunia internasional, menggambarkan bahwa konsekuensi biaya yang akan timbul atas pilihan skenario yang diambil, menjadi pertimbangan utama di dalam menjalankan berbagai upaya untuk pencapaian target NZE.

Dalam konteks ini, ada tiga hal yang seluruhnya merupakan aspek ekonomi dan memerlukan kebutuhan dana di dalam prakteknya, yaitu investasi (di sisi pelaku usaha), fiskal (di sisi pemerintah) dan pasar (di sisi konsumen). Instrumen kebijakan yang dapat mewakili ketiga aspek ekonomi ini adalah kebijakan harga energi yang tepat, konsisten mengedepakan pertimbangan kaidah keekonomian dan mekanisme bisnis yang wajar, bukan kebijakan harga yang semata mengedepankan pertimbangan politis-populis.

Faktor lain yaitu pertimbangan jaminan keberlanjutan dan keamanan pasokan energi, juga tidak kalah pentingnya. Peningkatan 6% konsumsi energi fosil global terutama batubara pada 2020-2021, yaitu di Asia Pasifik (5,2%), Amerika Utara (16,1%), Amerika Latin (13,6%), Eropa (8,6%), Eurasia (1,4%), Afrika (5,7%), di tengah kampanye transisi energi yang terus menguat, menegaskan bahwa keamanan dan keberlanjutan pasokan energi tetap menjadi prioritas utama dari masing-masing negara.

Fenomena sejumlah negara yang sebelumnya telah berkomitmen meninggalkan batubara tetapi pada saat kritikal kembali menggunakan batubara, perlu menjadi perhatian dan referensi bagi Indonesia dalam menjalankan kebijakan NZE. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa aspek keamanan pasokan energi untuk setiap negara tetap merupakan yang terpenting di dalam era transisi energi dan penerapan NZE ke depan.

Revisi target waktu pencapaian penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia dari tahun 2020 (Perpres No.61/2011), menjadi mundur pada 2030 (UU No.16/2016), telah mengonfirmasi bahwa pencapaian target NZE di dalam prakteknya memang tetap selalu perlu menyesuaikan dengan kondisi dan aspek ketahanan ekonomi-energi. Baik di tingkat global maupun regional-nasional yang selalu bergerak dinamis.

Hal tersebut tidak berarti kita mesti melangkah mundur dari komitmen NZE yang telah digariskan, tetapi justru menjadi pendorong untuk segera menciptakan ekosistem bisnis EBET yang lebih solid. Pengembangan EBET tidak semata-mata dilakukan hanya untuk mencapai target NZE, tetapi tetap merupakan bagian dari upaya untuk mengamankan pasokan energi di dalam negeri.

Karena itu, kerangka regulasi yang diperlukan seperti Undang-Undang Energi Terbarukan dan peraturan pelaksanaanya, aturan tentang insentif dan pelaksanaan CCS/CCUS dan perdagangan karbon, perlu segera disediakan.

Transisi Energi & Value Creation Industri Panas Bumi

CNBCIndonesia; 10 November 2023

Penulis: Pri Agung Rakhmanto
Founder & Advisor ReforMiner Institute; pengajar ekonomi dan kebijakan energi FTKEnergi Universitas Trisakti.

Di dalam merespons gelombang transisi energi, salah satu garis utama kebijakan pemerintah adalah mencapai target Net Zero Emission (NZE)pada tahun 2060. Lima strategi pokoknya adalah melalui peningkatan pemanfaatan energi baru dan energi terbarukan (EBET), pengurangan energi fosil, penggunaan kendaraan listrik di sektor transportasi, peningkatan pemanfaatan listrik pada rumah tangga dan industri, dan melalui penerapan Carbon Capture and Storage (CCS).

Dalam hal peningkatan porsi EBET, dalam skenario NZE Dewan Energi Nasional (DEN), porsi EBET dalam bauran energi nasional ditargetkan mencapai 39% di tahun 2040 dan 66% pada tahun 2060.

Sumber energi panas bumi memiliki peluang yang besar untuk membantu mewujudkan upaya pemerintah mencapai target NZEpada tahun 2060. Karakteristik panas bumi sebagai sumber energi bersih-terbarukan dengan potensi sumberdaya dan cadangan yang cukup besar membuat energi panas bumi potensial untuk berkontribusi dan menjadi salah satu komponen penting dalam pencapaian target NZE transisi energi.

Jika seluruh potensi sumber daya panas bumi Indonesia yang mencapai 23,7 Gigawatt (GW) dapat dimanfaatkan, terdapat potensi penurunan gas rumah kaca (GRK) sekitar 182,31 Juta Ton CO2e atau setara dengan 58 % target penurunan emisi gas rumah kaca di sektor energi pada tahun 2030 yang ditetapkan sebesar 314 Juta Ton CO2e.

Listrik Panas Bumi

Pemanfaatan panas bumi di sektor kelistrikan tentu saja merupakan salah satu komponen transisi energi dan instrumen pencapaian NZE yang terpenting. Hingga tahun 2022, kapasitas listrik dari panas bumi terpasang mencapai 2,3 GW, atau kurang lebih 10% dari dari total sumberdaya panas bumi yang ada.

Total kapasitas terpasang pembangkit listrik panas bumi tersebut tercatat sebagai ketiga terbesar diantara pembangkit listrik EBET lainnya. Porsi kapasitas terpasang pembangkit panas bumi dibandingkan total kapasitas terpasang pembangkit EBET nasional adalah sekitar 18,70%.

Berdasarkan RUPTL 2021-2030, diproyeksikan total tambahan kapasitas pembangkit akan mencapai 40,575 Gigawatt (GW), dengan porsi pembangkit EBET diproyeksikan sebesar 20,923 GW atau 51,6% dan porsi pembangkit fosil sebesar 19,562 GW atau 48,4%. Penambahan pembangkit listrik dari panas bumi diproyeksikan mencapai 3,355 GW, atau kurang lebih mencapai 16% dari rencana penambahan pembangkit listrik dari sumber EBET.

Tentu tidak sederhana untuk dapat mencapai target penambahan kapasitas tersebut. Pengembangan energi panas bumi di sektor kelistrikan masih berkutat dengan sejumlah permasalahan pokok, seperti:

1. Listrik dari pembangkit panas bumi dihadapkan pada kondisi single buyer-market

2. Harga jual listrik panas bumi yang tidak dapat melampaui Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik nasional dan/atau BPP listrik di wilayah setempat

3. Tidak mudahnya mencapai titik temu harga jual-beli antara pengembang panas bumi dengan pembelinya

4. Harga listrik panas bumi yang masih dikompetisikan dengan listrik dari energi fosil

5. Daya dukung lembaga keuangan yang masih relatif terbatas, dan

6. Perizinan berusaha yang tidak selalu didapatkan oleh pengembang.

Value-Creation Industri Panas Bumi

Pengembangan industri panas bumi tidak terbatas pada pembangkitan energi listrik saja. Pemanfaatan langsung (direct use) dari energi panas bumi yang dihasilkan telah banyak berkembang untuk mendukung pembudidayaan di sektor pertanian, perkebunan dan peternakan.

Implementasi value-creation lainnya adalah dengan mengekstrak, mengolah dan memanfaatkan secondary product dari produksi panas bumi. Di antaranya yang sudah banyak dijalankan di berbagai negara seperti Jepang, Islandia, Italia, Polandia, AS dan Selandia Baru adalah ekstraksi silika, produksi green methanol dan green hydrogen.

Silika adalah bahan baku untuk berbagai industri kimia, green methanol dan green hydrogen dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi dan bahan bakar.

Di Indonesia, implementasi value creation pada industri panas bumi, oleh Pertamina Geothermal Energy (PGE) salah satunya, pada dasarnya telah berjalan di sejumlah wilayah. Uap dari lapangan panas bumi Lahendong dan Kamojang dimanfaatkan secara langsung untuk kegiatan perkebunan dan budidaya dengan target produksi 100 kg/hari.

Beberapa upaya lain yang tengah dilakukan PGE diantaranya adalah pilot project untuk green hydrogen di lapangan Lahendong, studi ekstraksi silika untuk mendapatkan penilaian pra-kelayakan potensi ekstraksi di Hululais dan pre-study green methanol untuk potensi perluasan jalur hidrogen hijau di proyek Ulubelu.

Penerapan value-creation pemanfaatan energi panas bumi pada skala yang sudah layak secara ekonomi dan komersial pada dasarnya nantinya tidak hanya akan membantu pencapaian target NZE. Lebih dari itu, secondary product dari panas bumi berpotensi memberikan dampak positif bagi perekonomian negara.

Produk yang dihasilkan dalam hal ini nantinya tidak hanya dapat dipasarkan untuk kebutuhan di dalam negeri tetapi juga untuk memenuhi permintaan global yang diproyeksi terus meningkat. Untuk hydrogen misalnya, berdasarkan informasi yang dihimpun, permintaan hydrogen global diproyeksi meningkat sekitar 4,3% selama kurun waktu 2020 – 2030.

Sementara berdasarkan publikasi Kementerian ESDM (2023), kebutuhan hydrogen di Indonesia saat ini berada pada kisaran 1,75 juta ton per tahun, dengan pemanfaatan didominasi untuk urea (88%), amonia (4%) dan kilang minyak (2%). Kebutuhan tersebut diproyeksi akan terus meningkat. Pada periode 2031 – 2041, kebutuhan hydrogen diproyeksi tidak hanya akan datang dari sektor industri tetapi juga dari sektor transportasi, sebagai bahan bakar.

Dengan demikian, selain untuk produksi listrik, penerapan value-creation pada industri panas bumi dengan perluasan jangkauan direct-use dan dengan mengoptimalkan secondary product sebagaimana dipaparkan di atas merupakan pilihan rasional yang harus didukung semua pihak.

Sejumlah kendala utama yang masih harus diatasi diantaranya adalah biaya produksi dan ekstraksi yang masih tinggi, kebutuhan infrastruktur transportasi dan penyimpanan, ketidakpastian pasar yang masih cukup tinggi, hingga masalah rantai pasokan yang kemudian mempengaruhi keekonomian dan kelangsungan proyek secara keseluruhan.

Terobosan dan kebijakan konkret memang sangat diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan pengembangan panas bumi di Indonesia, baik untuk sektor kelistrikan maupun di dalam konteks untuk dapat menerapkan value creation dalam pemanfaatan lainnya.

Dalam hal harga listrik panas bumi, salah satu terobosan yang mungkin dapat diterapkan adalah melalui pemberian subsidi khusus atau penugasan khusus kepada PLN dengan kompensasi agar dapat membeli listrik panas bumi sesuai dengan tingkat keekonomiannya.

Alternatif lainnya adalah pemerintah memberikan sejumlah insentif investasi dan insentif perpajakan agar keekonomian proyek panas bumi masuk dalam rentang harga beli listrik oleh PLN. Keterlibatan langsung pemerintah dalam tahapan kegiatan eksplorasi, juga dapat menjadi salah satu opsi kebijakan yang dapat dapat diambil untuk menurunkan risiko usaha pengembangan panas bumi yang ada.

Dalam hal untuk mempercepat dan memperluas implementasi value creation, diperlukan kolaborasi berbagai pihak untuk menciptakan ekosistem pengembangan dan pemanfaatan secondary product panas bumi yang secara kelayakan penerapan teknologi dan model bisnisnya feasible dan berkelanjutan.

Tak Ada Temuan Raksasa, Mustahil Produksi Minyak RI Bisa Naik

CNBCIndonesia.com; 06 November 2023

Jakarta, CNBC Indonesia – Upaya Pemerintah Indonesia untuk mengejar target kenaikan produksi yang signifikan kemungkinan cukup sulit. Terutama, apabila hanya mengandalkan lapangan minyak yang sudah berusia uzur.
Founder & Advisor ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menjelaskan, perlu upaya ekstra bagi pemerintah untuk dapat menggenjot kenaikan produksi minyak. Sebab, apabila hanya mengandalkan produksi dari lapangan tua cukup mustahil.

Menurut dia, kenaikan produksi minyak dapat terjadi apabila sudah ada investasi dan produksi dari lapangan-lapangan baru yang skalanya cukup besar. Misalnya, sekelas Blok Cepu yang dikelola ExxonMobil Cepu Ltd atau Blok Rokan yang kini dikelola PT Pertamina Hulu Rokan (PHR).

“Yang akan membuat produksi naik adalah kalau sudah ada investasi dan produksi dari lapangan-lapangan baru yang skalanya besar seperti sekelas Blok Cepu atau Rokan misalnya. Harus berhasil dulu eksplorasinya atau upaya EOR nya di lapangan besar sekelas itu, baru akan bisa naik produksi,” kata Pri Agung kepada CNBC Indonesia, Senin (6/11/2023).

Sementara itu, Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Migas (Aspermigas) Moshe Rizal menilai, setidaknya terdapat dua hal yang dapat mengurangi tingkat penurunan produksi minyak nasional.

Pertama, yaitu optimalisasi produksi yang ada seperti dengan workover wells, peningkatan produktivitas dan pemanfaatan sumur-sumur yang ditinggalkan (abandoned wells) dengan re-entry. Kedua, yakni dengan percepatan monetisasi rencana pengembangan lapangan migas atau Plan of Development (PoD).

“Dan kalau untuk meningkatkan produksi nasional, ada dua hal juga, yaitu implementasi teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) dan Eksplorasi untuk menemukan cadangan-cadangan baru,” tambahnya.

Namun, menurut Moshe semua itu setidaknya membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Di sisi lain, sektor energi dunia saat ini juga sudah mulai shifting dari energi fosil ke energi yang lebih bersih.

“Begitu juga kapital yang diinvestasikan, sehingga membuat situasi persaingan antara negara makin keras untuk menarik investor ke negaranya masing-masing, jadi Indonesia harus terus berlomba untuk meningkatkan iklim investasinya,” kata dia.

Sebagaimana diketahui, produksi minyak nasional hingga kini masih belum menunjukkan tren kenaikan yang positif. Padahal, pergantian tahun dari 2023 menuju 2024 semakin dekat.

Mengutip data Kementerian ESDM, produksi minyak harian per 4 November baru mencapai 571.280 barel per hari (bph). Sementara pemerintah memasang target produksi lifting minyak dalam APBN 2023 di level 660.000 bph.