(Cnnindonesia,10 Desember 2016)
Jakarta,CNN IndonesiaA — Pemerhati sektor energi khawatir dengan rencana perubahan rezim kontrak bagi hasil produksi migas (Production Sharing Contract/PSC) dari sistem cost recovery menjadi gross split. Perubahan rezim kontrak itu dianggap sebagai jalan pintas bagi pemerintah untuk menghindari polemik biaya pemulihan produksi migas kepada Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro menjelaskan, perubahan sistem PSC ini memang bisa mengurangi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam membayar cost recovery. Namun, bukan jaminan jika Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) migas akan terkerek dengan perubahan rezim tersebut.
Dengan tidak diterapkannya cost recovery, sistem PSC gross split ini berpotensi menghilangkan kewenangan pemerintah untuk mengaudit setiap KKKS. Sehingga, jumlah pasti produksi migas per KKKS bisa saja terdistorsi dan berat sebelah, serta berujung pada pelemahan PNBP migas.
“Kalau rezim PSC diubah, maka cadangan produksi migas menjadi taruhannya karena tidak ada audit yang bisa dilakukan oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (SKK Migas). Kasarnya, kehadiran pemerintah di dalam kontrak migas sangat dipertanyakan,†jelas Komaidi dalam sebuah diskusi di Jakarta Pusat, Sabtu (10/12).
Kendati demikian, Komaidi menilai PSC gross split bisa menarik investor untuk melakukan eksplorasi mengingat sistemnya yang lebih mudah. Apalagi, skema ini rencananya hanya akan diterapkan bagi PSC baru dan perpanjangan saja.
Namun, Komaidi meminta pemerintah untuk mengkaji kembali untung rugi PSC tersebut. Alasannya, skema gross split bukanlah satu-satunya kebijakan yang mampu meningkatkan eksplorasi dan produksi migas. Terlebih, saat ini harga minyak dunia belum menunjukkan perbaikan.
“Kalau melihat data SKK Migas, sebanyak 35 persen hambatan dalam investasi hulu migas adalah aspek non teknis seperti perizinan, lahan, dan lain-lain. Mungkin pemerintah perlu membereskan ini dulu daripada mengubah sistem PSC. Sistem kontrak ini jangan dibuat seolah-olah untuk membereskan cost recovery saja,†jelas Komaidi.
Ketua Bidang Energi Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi, Tumpak Sitorus juga mengatakan hal serupa. Dengan memberlakukan PSC gross split, pemerintah hanya dianggap putus asa dalam mengatasi kebocoran cost recovery setiap tahunnya tanpa memikirkan aspek lain.
Salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan pemerintah, kata Tumpak, adalah potensi penurunan PNBP migas karena bagi hasil produksi (split) pemerintah bisa turun dari posisi saat ini 85 persen dari produksi netto.
“Kami mendukung segala kebijakan Presiden Jokowi, tapi kami juga tetap kritis. Memang penyelesaian cost recovery tidak pernah diselesaikan secara baik-baik. Tapi, ada baiknya pemerintah menimbang dulu skema PSC tersebut,†ujar Tumpak.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana mengganti sistem PSC dari basis cost recovery menjadi gross split. Gross split sendiri adalah skema bagi hasil produksi migas, di mana split antara pemerintah dan KKKS dilakukan tepat setelah produksi migas bruto dihasilkan.
Sistem ini berbeda dengan PSC cost recovery, di mana split antara pemerintah dan KKKS akan dilakukan setelah produksi bruto dikurangi produksi tertentu dari sebuah blok migas (First Tranche Petroleum/FTP) dan pemulihan biaya produksi migas yang dikeluarkan KKKS (cost recovery).
Belakangan,cost recovery menjadi perdebatan antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) karena jumlahnya jauh lebih besar dibanding PNBP migas. Ini terlihat dari realisasi cost recovery pada tahun 2015 yang tercatat US$13,9 miliar, atau lebih tinggi dibanding PNBP migas sebesar US$12,86 miliar.
Selain itu, pemerintah menganggarkan cost recovery sebesar US$8,5 miliar pada tahun ini dan masuk di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Penyesuaian (APBNP) 2016. Angka ini kemudian meningkat US$10,4 miliar di tahun 2017 mendatang.