Saturday, December 7, 2024
HomeReforminer di Media2016Kapan Indonesia Punya Cadangan Strategis Minyak?

Kapan Indonesia Punya Cadangan Strategis Minyak?

(Kompas,10 Desember 2016)

JAKARTA, KOMPAS.com – Wacana pembangunan cadangan strategis minyak atau strategic petroleum reserve (SPR) terus bergulir, namun belum juga ada realisasinya hingga penghujung 2016 ini. Padahal, negara-negara lain sudah mulai membangun cadangan strategis minyaknya, sebagai salah satu syarat mendukung ketahanan energi.

Negara-negara di kawasan Asia seperti Jepang dan Korea Selatan memiliki SPR antara lima hingga enam bulan. Sementara Amerika Serikat memiliki cadangan strategis minyak hingga empat bulan.

“Indonesia belum punya SPR,” kata Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro dalam sebuah diskusi on air di Jakarta, Sabtu (10/12/2016).

“Cadangan yang disebutkan 15-23 hari itu adalah cadangan operasional atau stok Pertamina,” kata dia lagi.

Untuk membangun cadangan strategis minyak ini, diakui Komaidi, tidak mudah. Keterbatasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi salah satu kendala utama.

“APBN kita sangat terbatas. Untuk menutup defisit saja bingung, apalagi nambah pos belanja baru,” ujar Komaidi.

Kondisi tersebut tentu menyulitkan Indonesia untuk membangun SPR. Akan tetapi, ada risiko ketimpangan produksi dan konsumsi bahan bakar minyak (BBM), serta faktor eksternal yang menurut Komaidi seharusnya bisa menjadi alasan utama pemerintah untuk menyegerakan pembangunan SPR.

Saat ini, konsumsi BBM per hari mencapai 1,6 juta barel. Sedangkan produksinya hanya 815.000 sampai 820.000 per hari, di mana bagian pemerintah hanya sebesar 60 persen.

Artinya kata dia, sebanyak satu juta hingga 1,2 juta barel per hari BBM harus didatangkan dari luar negeri.

Komaidi menjelaskan, jalur impornya pun melalui Singapura. Sehingga, apabila terjadi konflik atau gangguan keamanan di kawasan tersebut, akan mengganggu arus masuk minyak ke Indonesia.

Komaidi mengatakan, apabila tidak ada pasokan sebulan saja dari impor, maka kegiatan ekonomi dan sosial bisa tidak berjalan.

“Hal ini seharusnya menjadi pemicu, memikirkan ketahanan energi, termasuk membangun SPR. Ini harus ditindaklanjuti,” ujar Komaidi.

“Bahwa itu membutuhkan dana besar, tentu. Tetapi kita harus memikirkan, negara-negara lain sudah bikin itu. Kan bisa dananya dilakukan multiyears. Jadi harus ada komitmen pemerintah bahwa ini (SPR) merupakan suatu keharusan,” kata dia.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Bidang Energi Seknas Jokowi Tumpak Sitorus juga mendesak janji Jokowi untuk membangun ketahanan energi, sebagaimana janji kampanye.

“Usulan kami setidaknya kita harus punya cadangan strategis minyak antara tiga hingga enam bulan,” ujar Tumpak.

Pemerintah khususnya Kementerian ESDM sejak zaman Sudirman Said terus menggaungkan wacana SPR ini. Pada awal 2015, Sudirman kala itu mengatakan, sumber dana SPR diambil dari laba bersih penjualan solar. Waktu, itu Sudirman bilang, hal itu sudah menjadi kesepakatan antara Menteri ESDM, bersama Menteri Keuangan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, serta Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Seiring berjalannya waktu, pemerintah mewacanakan pembentukan Dana Ketahanan Energi (DKE) yang mana salah satu peruntukannya membangun SPR. Rencananya, sumber DKE meluas, tidak hanya dari laba bersih penjualan solar, melainkan dari pungutan ke produsen.

Namun, setelah keputusan Presiden mengenai penundaan pungutan pada awal tahun ini, hingga kini belum terdengar lagi rencana pemerintah untuk menjalankan pembangunan SPR.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments