Insentif untuk Produksi Migas Nasional

Investor.id; 22 November 2021

Data dan informasi menunjukkan dalam beberapa tahun terakhir kinerja sektor minyak dan gas bumi (migas) Indonesia dalam tren menurun. Penurunan tercermin dari perkembangan realisasi lifting minyak bumi, lifting gas bumi, dan realisasi investasi hulu migas.

Publikasi pemerintah menunjukkan bahwa lifting minyak bumi turun dari 829 ribu barel per hari pada 2016 menjadi 707 ribu barel per hari pada 2020. Lifting gas bumi juga dilaporkan turun dari 1.188 ribu barel setara minyak per hari pada 2016 menjadi 975 ribu barel setara minyak per hari pada 2020.

Sementara realisasi investasi hulu migas dilaporkan turun dari US$ 11,60 miliar pada 2016 menjadi US$ 10,50 miliar pada 2020.

Pentingnya Insentif

Jika dibandingkan dengan era kejayaannya, penurunan produksi migas pada saat ini dapat dikatakan relatif dalam. Pada era kejayaannya, produksi minyak Indonesia tercatat mencapai ki saran 1,6 juta barel per hari. Sementara pada tahun 2020 rata-rata produksi minyak Indonesia dilaporkan sebesar 707 ribu barel per hari atau hanya sekitar 44% dari produksi minyak pada era kejayaan tersebut.

Penurunan tersebut karena saat ini Indonesia mengandalkan lapangan-lapangan migas yang sudah tua (mature field). Sementara secara teknis mature field mengalami penurunan tingkat produksi alamiah untuk setiap tahunnya. Umumnya dalam mengelola mature field adalah tidak lagi bicara mengenai meningkat kan produksi tetapi lebih bagaimana mengupayakan agar tingkat produksi tidak turun.

Penurunan produksi pada mature field tidak semata-mata karena jumlah cadangan yang turun sehingga secara volume produksi menurun. Penurunan juga menyang kut masalah keekonomian dalam proses produksinya.

Dalam banyak kasus, penurunan bukan semata volume produksi tidak dapat ditingkatkan, tetapi karena untuk meningkatkan produksi memerlukan tambahan biaya yang lebih besar, yang berdampak terhadap keekonomian proyek yang lebih rendah. Mencermati kondisi tersebut, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk dapat memberikan insentif agar produksi migas nasional dapat dipertahankan atau bahkan ditingkatkan.

Hal tersebut penting mengingat pem berian insentif diperlukan untuk menjaga agar keekonomian mature field tetap dapat dipertahankan atau minimal tidak mengalami penurunan signifikan.

Meskipun dari perspektif keuangan negara (APBN) pemberian insentif berpotensi mengurangi penerimaan negara dari industri hulu migas, dalam perspektif ekonomi makro kebijakan tersebut tetap penting untuk dilakukan.

Hal tersebut mengingat bahwa produksi migas Indonesia tidak hanya menyangkut masalah penerimaan APBN, tetapi juga memiliki peran penting terhadap kondisi neraca dagang, stabilitas nilai tukar rupiah, penciptaan nilai tambah ekonomi dan pembentukan produk domestik bruto (PDB), penyerapan tenaga kerja, dan iklim investasi di Indonesia.

Data menunjukkan bahwa salah satu kontributor utama yang menjadi penyebab defisit neraca dagang Indonesia dalam beberapa tahun terakhir adalah defisit yang terjadi pada neraca dagang migas. Meningkatnya volume impor minyak mentah, produk BBM, dan LPG akibat ber kurangnya kemampuan produksi migas domestik adalah di antara penyebabnya.

Dengan de mikian, kinerja industri hulu migas nasional juga berperan penting dalam membantu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Jika mencermati tabel inputoutput (IO) Indonesia, terlihat bahwa industri hulu migas memiliki peran penting terhadap penciptaan nilai tambah dan PDB Indonesia.

Hal tersebut karena industri hulu migas menjadi jangkar perekonomian Indonesia yang tercermin dari indicator forward linkage dan backward linkage yang cukup kuat.

Industri hulu migas tercatat m emiliki keterkaitan dengan sektor-sektor penggunanya (forward linkage) sebanyak 45 sektor ekonomi dan memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor pendukungnya (backward linkage) sebanyak 75 sektor ekonomi. Data menunjukkan sektor pengguna dan sektor pendukung industri hulu migas berkontribusi dalam pembentukan sekitar 85% PDB Indonesia dan 80% penyerapan tenaga kerja di Indonesia.

Dari aspek investasi, industri hulu migas juga memiliki peran penting terhadap realisasi investasi Indonesia. Selama periode 2015-2020 rata-rata realisasi investasi migas sekitar 26,75% dari total penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) berdasarkan pencatatan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Sementara pada periode yang sama, rata-rata realisasi investasi hulu migas sekitar 23,78% dari total PMA dan PMDN berdasarkan pencatatan BKPM.

Data dan informasi yang ada ter sebut menegaskan bahwa menjaga dan meningkatkan produksi migas nasional akan memberikan dampak positif terhadap sejumlah aspek perekonomian Indonesia.

Oleh karenanya, menjadi penting bagi pemerintah untukbagaimana dapat memformulasikan kebijakan insentif yang tepat untuk membantu meningkatkan produksi migas Indonesia.

Untuk kepentingan tersebut, pemerintah dapat memberikan insentif pajak maupun non pajak. Pemerintah dapat memberikan pengurangan dan/atau pembe basan pengenaan jenis pajak tertentu untuk membantu menjaga keekonomian dari kegiatan produksi pada lapangan-lapangan migas yang sudah mature.

Insentif juga dapat diberikan melalui penambahanporsi bagi hasil untuk Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang mengelola mature field. Kemudahan dan penyederhanaan proses perizinan di tingkat pusat dan daerah juga dapat menjadi insentif tersendiri bagi KKKS.

Selain itu, peran aktif dan fungsi fasilitator dari para stakeholder seperti SKK Migas, kementerian/lembaga terkait, pemerintah daerah, dan masyarakat di daerah penghasil seringkali juga jauh lebih bernilai dibandingkan dengan insentif pengurangan pajak itu sendiri.

Satu hal yang perlu kita pahami bersama, mengacu pada konsep production sharing contract dalam kegiatan usaha hulu migas, pada da sarnya hampir dapat dikatakan tidak akan terdapat potensi kerugian untuk negara dari kebijakanpem berian insentif.

Jika dilihat le bih lanjut, potensi berkurangnya penerimaan negara dalam jangka pen dek akibat pemberian insentif un tuk industri hulu migas tidak dapat dikategorikan sebagai kerugian.

Dalam implementasinya, Negara sesungguhnya tidak mengeluarkan uang secara riil untuk insentif yang diberikan kepada industri hulu migas. Pemberian insentif memang dapat mengurangi potensi penerimaan Negara dalam jangka pendek. Namun dalam konteks pengelolaan mature field, hampir dapat dikatakan bahwa pilihan yang tersedia adalah memberikan insentif dengan konsekuensi penerimaan Negara berkurang atau tidak ada penerimaan negara sama sekali dari mature field tersebut.

Dengan memberikan insentif, keekonomian dan produksi dari mature field dapat terjaga atau bahkan ditingkatkan. Sehingga terdapat ekspektasi masih akan terdapat penerimaan negara dari kegiatan tersebut.

Sementara itu, jika insentif yang diperlukan tidak diberikan, peluang untuk dapat menjaga dan meningkatkan produksi dari mature filed juga akan tertutup. Akibatnya, ekspektasi untuk mendapatkan penerimaan negara, baik dalam bentuk penerimaan pajak dan PNBP dari pengelolaan mature field, juga akan tertutup.

*) Direktur Eksekutif Refor- Miner Institute dan Pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti

Kementerian ESDM finalisasi insentif untuk hilirisasi batubara

Kontan.co.id; 18 November 2021

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah memfinalisasi insentif untuk hilirisasi batubara. Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Batubara Kementerian ESDM Sujatmiko mengungkapkan, pemberian insentif sebagai dukungan pemerintah untuk kelayakan ekonomi dan mempercepat hilirisasi batubara.

Sayangnya, rencana pemberian insentif ini bukanlah hal baru. Wacana pemberian insentif telah dikemukakan sejak tahun 2020 lalu. Kendati demikian, hingga saat ini pemberian insentif masih terganjal.

“Terkait insentif, satu yang dari Ditjen minerba itu royalti 0%. Ini sudah tahap finalisasi (dengan) Kementerian Keuangan untuk data-data yang dibutuhkan,” kata Sujatmiko dalam Diskusi Virtual, Kamis (18/11).

Sujatmiko menjelaskan, Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan telah menyepakati pemberian insentif ini. Kendati demikian, memang masih diperlukan tambahan data pendukung. Sayangnya, Sujatmiko tak merinci data-data yang kini masih diperlukan.

Adapun, sejumlah insentif yang masih berproses yakni insentif pemberian royalti hingga 0%  untuk batubara yang diolah dalam skema gasifikasi. Kedua, formula harga khusus batubara untuk gasifikasi. Ketiga, masa berlaku Izin Usaha Pertambangan (IUP) sesuai umur ekonomis proyek gasifikasi.

Sujatmiko menjelaskan, dua insentif lainnya tersebut diharapkan dapat memberikan jaminan pasokan batubara dengan harga sesuai keekonomian proyek dan perpanjangan operasi bagi pelaku usaha.

Merujuk data Kementerian ESDM, ada sejumlah proyek hilirisasi yang kini tengah berlangsung.

Proyek coal gasification terdiri dari tiga proyek yakni coal to methanol project oleh PT Kaltim Prima Coal (PT Bumi Resources-Ithaca Group-Air Product) dengan estimasi rampung pada 2024 mendatang. Proyek yang berlokasi di Kalimantan Timur ini diharapkan akan menghasilkan 1,8 juta ton methanol per tahun. Proyek ini kini dalam tahapan finalisasi Feasibility Study (FS) detail proyek serta pembukaan lahan.

Selanjutnya, proyek coal to DME oleh PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Pertamina dan Air Product yang berlokasi di Tanjung Enim Sumatera Selatan dengan estimasi beroperasi di 2024 mendatang. Proyek yang ditargetkan memproduksi 1,4 juta ton DME per tahun ini kini masih dalam finalisasi kerjasama dan skema bisnis proyek serta perhitungan optimasi biaya DME.

Kedua proyek tersebut pun telah ditetapkan menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN).

Kemudian, proyek coal to methanol oleh PT Arutmin Indonesia dengan estimasi rampung pada 2025 mendatang. Proyek dengan produksi mencapai 2,8 juta ton methanol per tahun ini dalam tahapan pra -FS.

Satu proyek lainnya yakni underground coal gasification yang masih dalam skala pilot project yang dilakukan di Proyek UCG PT Kideco Jaya Agung, Proyek UCG PT Indominco di Kalimantan Timur dan PT Medco Energi Mining International dan Phoenix Energi Ltd di Kalimantan Utara.

Sujatmiko melanjutkan, berdasarkan data tahun 2020 maka sumber daya batubara mencapai 144 juta ton dengan cadangan sebesar 38,8 miliar ton. “Dengan asumsi produksi per tahun sebesar 600 juta ton maka kecukupan cadangan sekitar 65 tahun,” jelas Sujatmiko.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengungkapkan, langkah transisi energi dan mendorong pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) perlu dilakukan secara bijak.

Menurutnya, jika merujuk pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) maka ketergantungan pada energi fosil masih berlangsung hingga 2050 mendatang.

Komaidi melanjutkan, kebutuhan batubara dalam negeri mencapai sekitar 150 juta ton dimana mayoritas menyuplai kebutuhan sektor listrik. Peralihan menuju EBT berpotensi memberi dampak pada aspek fiskal.

“Produksi (batubara) sempat menyentuh kisaran 600 juta ton artinya ada 450 juta yang kita ekspor. Konteks ini yang perlu kita hati-hati karena ada devisa, pajak dan tenaga kerja. Ada beberapa aspek yang mungkin hilang kalau kita move ke EBT,” jelas Komaidi.

Komaidi menilai, kehadiran proyek-proyek hilirisasi batubara pun belum tentu dapat menyerap seluruh produksi batubara dalam negeri.

Komaidi melanjutkan, upaya transisi energi perlu dipikirkan secara bijak. Selain resiko fiskal, pemerintah perlu berkaca pada krisis energi yang terjadi di sejumlah negara Eropa beberapa waktu lalu.

Dari kejadian tersebut, tercermin betapa masih bergantungnya sejumlah negara pada energi fosil yang lebih bisa diandalkan ketimbang EBT.

Selain itu, langkah pemerintah mempercepat rencana pensiun PLTU juga perlu mempertimbangkan banyak hal khususnya pendanaan yang besar. “Untuk satu tahun, kebutuhan untuk bailout 1 GW pembangkit butuh dana sekitar Rp 5 triliun. Dampaknya bukan hanya ke ekonomi, tapi ke fiskal, APBN,” pungkas Komaidi.

Kinerja BUMN energi dan pertambangan moncer di beberapa bulan pertama tahun ini

Kontan, 12 November 2021

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) moncer di beberapa bulan pertama tahun ini. Hal ini tercermin misalnya pada rilis kinerja PT PLN (Persero) yang diumumkan pada Kamis (11/11) ini.

Dalam keterangan tertulisnya, PLN menyampaikan telah membukukan pendapatan sebesar Rp 212,8 triliun (unaudited) atau naik 4% dibandingkan realisasi pendapatan periode sama tahun 2020 yang sebesar Rp 204,7 triliun.

Executive Vice President Komunikasi Korporat dan TJSL PLN Agung Murdifi mengatakan, pencapaian kinerja positif perseroan ditunjang sejumlah langkah inovasi dan efisiensi yang dijalankan perusahaan melalui program transformasi PLN.

Langkah-langkah ini, kata Agung, mendukung PLN meningkatkan penjualan tenaga listrik dan menjaga Beban Pokok Penyediaan (BPP) tetap stabil.

Di samping itu, faktor eksternal berupa apresiasi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing juga dipercaya turut berperan dalam capaian kinerja positif PLN.

“Sejumlah strategi perseroan untuk meningkatkan penjualan tenaga listrik dan efisiensi operasional terbukti mampu mengerek kinerja perseroan pada triwulan III-2021,” ungkap Agung.

Dampak positif program efisiensi yang dilakukan sejak awal 2020 tercermin pada penurunan BPP PLN. Tercatat, realisasi BPP triwulan III-2021 menurun sebesar 1% atau setara dengan Rp10 per kilo Watt hour (kWh)  menjadi Rp 1.345 per kWh. Sebelumnya, BPP PLN mencapai sebesar Rp 1.355 per kWh di triwulan-III 2020.

Di sisi lain, program intensifikasi dan ekstensifikasi penjualan yang dilakukan PLN juga dipercaya berperan dalam meningkatkan penjualan energi sebesar 8 juta kWh.

Tak hanya itu, PLN juga mencatat adanya penambahan jumlah pelanggan sebesar 3,6 juta pelanggan sampai dengan akhir September 2021.

Agung meyakini, dengan strategi yang dijalankan, kinerja perseroan bakal semakin membaik hingga akhir tahun, terutama dengan terus membaiknya perekonomian nasional.

“Bagi kami yang terpenting, hadirnya listrik bisa membantu memudahkan seluruh aktivitas masyarakat, meningkatkan kesejahteraan serta membantu menggerakkan perekonomian nasional,” ungkap Agung.

Kinerja mentereng juga dicatatkan oleh BUMN Holding Industri Pertambangan MIND ID, atau Mining Industry Indonesia. Sepanjang Januari-September 2021 lalu, holding BUMN pertambangan yang beranggotakan PT Aneka Tambang Tbk, PT Bukit Asam Tbk, PT Freeport Indonesia, PT Inalum (Persero) dan PT Timah Tbk itu membukukan total pendapatan sebesar Rp 63,8 triliun, lebih tinggi 35% dibandingkan realisasi periode sama tahun sebelumnya.

“Tiga kontributor terbesar pendapatan berasal dari komoditas batubara, emas dan timah. Perusahaan mencatat Net Profit Margin sebesar 15,4%, meningkat dibandingkan capaian 9M20 sebesar -3,0%,” terang CEO Grup MIND ID, Orias Petrus Moedak  dalam keterangan tertulis (11/11).

Dari pendapatan itu, MIND ID mengantongi laba Bersih Konsolidasian sebesar Rp9,8 triliun. Jika dibandingkan realisasi kinerja periode  sama tahun lalu ketika MIND ID  mencatat Rugi Bersih Rp1,4 triliun, realisasi laba bersih konsolidasian MIND ID pada Januari-September 2021 ini meroket hingga  799%.

Saat dihubungi Kontan.co.id,  Sekretaris Perusahaan MIND ID Ratih Amri mengatakan bahwa  MIND ID akan fokus untuk mendorong tingkat produksi dan penjualan Anggota MIND ID. Selain itu, perusahaan juga akan melakukan optimalisasi sinergi Grup MIND ID, mencapai milestone proyek hilirisasi dan menjaga likuiditas Perusahaan.

“MIND ID terus menempatkan perhatian pada harga komoditas global yang menurut para analis tetap memiliki peluang untuk tumbuh. Namun demikian Perusahaan tetap berupaya menjaga kinerja efisiensi sebagai upaya mitigasi volatilitas harga komoditas agar tetap memiliki daya saing usaha khususnya menutup tahun 2021,” ujar Ratih kepada Kontan.co.id.

Sementara itu, saat tulisan ini dibuat,  PT Pertamina (Persero) belum merilis laporan kinerja perusahaan di sembilan bulan pertama tahun ini.

Namun mengintip laporan keuangan interim Pertamina di semester I 2021, perusahaan pelat merah tersebut berhasil membukukan laba tahun berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk alias laba bersih sebesar US$ 182,81 juta di semester I 2021.

Sebagai pembanding, sebelumnya Pertamina membukukan rugi bersih US$ 767,91 juta pada semester I 2020 lalu.

“Kinerja positif pada paruh pertama tahun 2021 ini didorong dari pertumbuhan di sisi penjualan yang  mencapai US$ 25 miliar dan EBITDA US$ 3,3 miliar, dimana keduanya naik lebih dari 22% dibandingkan tahun lalu,” terang manajemen dalam rilis tertulis kinerja semester I 2021.

Kepada Kontan.co.id, Pjs. Senior Vice President Corporate Communications & Investor Relations Pertamina Fajriyah Usman mengatakan bahwa Pertamina  akan mengupayakan optimalisasi seluruh resources, melakukan efisiensi dengan tetap memberikan pelayanan prima kepada seluruh masyarakat.

“Yang pasti adalah bahwa Pertamina selaku BUMN Energi tetap menjalankan komitmen nya untuk menyediakan, mendistribusikan dan memberikan pelayanan BBM kepada seluruh masyarakat,” kata Fajriyah saat dihubungi Kontan.co.id.

Head of Industry and Regional Research Bank Mandiri, Dendi Ramdani menilai, kinerja positif BUMN tambang dan energi didorong oleh faktor harga komoditas.

“Peningkatan kinerja BUMN bidang energi dan pertambangan pada tahun 2021 terutama didorong oleh membaiknya harga-harga komoditas sejak akhir 2020, dan pada tahun 2021 bahkan terus meningkat,” ujar Dendi saat dihubungi Kontan.co.id.

Meski begitu, Dendi mengingatkan bahwa BUMN bidang energi dan pertambangan sebaiknya mewaspadai potensi  koreksi harga ke depan. Selain itu, perusahaan menurutnya juga harus terus melakukan upaya efisiensi dan terus melakukan inovasi untuk mencari  sumber-sumber bisnis baru dan pengembangan usaha ke depan.

“Harga komoditas ke depan kemungkinan besar mengalami koreksi karena harga-harga komoditas tahun 2021 mengalami overshooting dan banyak dipengaruhi motif spekulatif akibat likuiditas yang berlebih akibat program stimulus di banyak negara yang sangat besar untuk mengatasi pandemi Covid-19,” terang Dendi.

Senada, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro juga menilai bahwa faktor peningkatan harga komoditas berperan penting dalam menopang kinerja positif BUMN pertambangan.

Selain itu, terdapat pula faktor pemulihan kondisi ekonomi yang turut menunjang kinerja positif BUMN pertambangan maupun energi.

“Saya melihatnya faktor utama karena mulai pulihnya kondisi ekonomi Mas sejakan mulai terkendalinya pandemi covid-19,” kata Komaidi kepada Kontan.co.id.

Komaidi optimistis, momentum positif ini masih bisa berlanjut sampai tahun depan sejalan dengan aktivitas perekonomian terus kembali ke arah normal.  Dalam kondisi yang demikian, Komaidi menilai bahwa BUMN energi perlu menyiapkan stok energi.

“Pemulihan energi pasti disertai dengan meningkatnya konsumsi, jangan sampai terjadi kelangkaan yang berpotensi negatif bagi perekonomian,” terang Komaidi.

Pemerintah belum Memberi Perhatian Serius pada Ketahanan Energi

Koranbernas.id; 05 November 2021

KORANBERNAS.ID, SLEMAN – Pemerintah Indonesia belum memberikan perhatian yang cukup untuk membangun kemandirian energi. Padahal, energi adalah pilar penting dalam kehidupan. Ibarat kata, energi adalah kehidupan itu sendiri. Industri hulu minyak dan gas di Indonesia, dalam dua dasa warsa terakhir nyaris kurang mendapat perhatian.

Pemerintah enggan berinvestasi untuk membangun industri hulu migas. Dalam perekonomian Indonesia, minyak dan gas bumi masih berkontribusi besar terhadap produk domestik bruto (PDB) serta penyediaan lapangan kerja.

“Sekitar 80 persen PDB dan penyediaan lapangan kerja, dihasilkan dari perdagangan minyak dan gas bumi!”

Pernyataan itu dikemukakan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, menjawab pertanyaan koranbernas.id dalam acara Nongkrong Bareng Pertamina di Hotel Marriot Yogyakarta, Sleman, Jumat pagi (5/11/2021). Acara tersebut diselenggarakan oleh PT Pertamina Patra Niaga Regional Jawa Bagian Tengah (Jateng-DIY), mengundang sejumlah pemimpin redaksi media di Yogyakarta.

Pernyataan Komaidi dibenarkan oleh Ketua Pusat Studi Energi UGM Prof. Deendarlianto yang juga menjadi narasumber dalam acara tersebut. Guru besar ilmu teknik mesin UGM ini menegaskan, pemerintah belum berada pada jalur yang semestinya untuk menyelamatkan energi nasional dan membuat ketahanan energi. Padahal, untuk membangun bangsa ini dan memberikan kemakmuran kepada rakyat, sektor minyak dan gas bumi sangat berperan penting.

Komaidi memberikan ilustrasi, kilang minyak dan gas, relatif mandeg sejak tahun 2000-an. Akibatnya, produksi minyak dalam negeri relatif stagnan bahkan turun. “Rencana membangun jalur distribusi gas, tidak pernah terealisasi. Presiden Jokowi dalam dua periode lebih memilih menggenjot pembangunan infrastruktur. Memang bisa dimaklumi, karena membangun infrastruktur gampang terlihat hasilnya. Berbeda dengan berinvestasi di sektor hulu migas. Duitnya habis banyak, hasilnya tidak segera kelihatan,” tutur Komaidi.

Seiring dengan perkembangan ekonomi masyarakat, kalau pada tahun 1990-an konsumsi minyak hanya sekitar 700.000 barrel/hari, saat ini sudah meningkatkan menjadi sekitar 1,5 sampai 1,6 juta barrel per hari. Sementara kebutuhan konsumsi LPG (Liquefied Petroleum Gas) sudah sekitar 7 juta metrik ton per tahun.

Akibatnya, kata Komaidi, negara melalui PT Pertamina harus memenuhi kebutuhan dengan cara mengimpor minyak. Jumlah impor semakin tahun semakin besar. Dan tentu saja, ini menggerogoti devisa negara. Satu-satunya pintu masuk untuk impor minyak hanya melalui Singapura. Kalau jalur impor ini ditutup satu bulan saja, Indonesia pasti akan kolaps.

“Cadangan minyak kita hanya cukup untuk kebutuhan konsumsi antara 20 sampai 25 hari saja. Bandingkan dengan AS yang cadangan minyaknya cukup untuk konsumsi 6 bulan,” ujar Komaidi.

Tak Bisa Investasi

Sebagai BUMN yang menangani usaha minyak dan gas, PT Pertamina, menurut Komaidi tidak memiliki cukup dana untuk berinvestasi. Keuntungan yang didapat oleh Pertamina, 80 % disetor ke negara melalui Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sisanya yang 20 % dikembalikan ke Pertamina. Keuntungan itu masih harus dibagi-bagi untuk deviden dan kebutuhan lain.

“Kemarin, untuk membangun rumah sakit guna menampung pasien Covid-19, ya pakai duit keuntungan Pertamina. Bisa dibayangkan, bagaimana mungkin Pertamina bisa melakukan ekspansi bisnis dan investasi,” beber Komaidi.

Ia menambahkan, piutang Pertamina yang belum terbayar saat ini mencapai ratusan triliun rupiah. PT Garuda Indonesia, maskapai penerbangan nasional yang sekarang sedang kolaps, berhutang pada Pertamina sebesar Rp 80 triliun.

Ketua Pusat Studi Energi UGM Prof. Deendarlianto mengatakan, dalam kaitan konsumsi energi, sektor transportasi mengalami pertumbuhan paling cepat. Fakta itu ia dapatkan melalui data primer lapangan, yang dikumpulkan mahasiswa UGM untuk menyusun disertasi yang ia bimbing. Apabila hal ini tidak ditangani secara terpadu, krisis energi akan terus meningkat.

Kebijakan pemerintah untuk mengubah pasokan energi dari energi fosil ke energi terbarukan, menghadapi banyak problema yang rumit. Misalnya, pemanfaatan energi surya untuk listrik, tidak bisa diterapkan di semua wilayah. Jumlah panas matahari sangat fluktuatif tergantung daerah. Demikian pula sumber energi lainnya seperti angin, air dan gelombang laut.

UGM, sebenarnya sudah memberikan rekomendasi untuk membangun ketahanan energi. Namun sayangnya, pemerintah belum serius untuk mengikuti peta jalan yang dibuat.

“Belum on the track,” tegas Prof. Deendarlianto.

Executive General Manager PT Pertamina Patra Niaga Regional Jawa Bagian Tengah Putut Andriatno mengatakan, soal energi memang sedang mengalami perubahan besar dan cepat. Sesuai kebijakan pemerintah, Pertamina juga sedang terus bertransformasi, untuk mengurangi penggunaan energi fosil dan beralih ke energi terbarukan.

Salah satu transformasi yang dilakukan, membangun sistem distribusi BBM yang lebih simpel, sehingga mata rantai distribusi semakin pendek dan lebih cepat sampai ke stasiun penjualan BBM.(*)

Indonesia Diminta Realistis Wujudkan Energi Bersih

MediaIndonesia.com; 4 November 2021

DIREKTUR Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro berharap agar Indonesia realistis dalam upayanya menggunakan energi bersih. Jangan sampai ambisi tersebut justru menjadi pupuk permasalahan baru di masa mendatang.

“85% energi kita itu masih fosil, kalau ingin meninggalkan itu sepertinya tidak cukup logis. Dari Kemenkeu sendiri mengatakan untuk memensiunkan batu bara Indonesia membutuhkan sekitar Rp3.900 triliun, sementara APBN hanya sekitar Rp2.000 triliun, kebutuhan lebih besar dari anggarannya,” tuturnya kepada Media Indonesia, Kamis (4/11).

“Dengan angka itu semestinya kita sudah bisa mengukur mungkin atau tidak. Kalau bicara peluang, probabilitas itu meski hanya 0,001% ya itu mungkin. Tapi untuk apa juga kalau probabilitasnya kecil?” sambungnya.

Komaidi bilang, penggunaan energi bersih perlu dan menjadi penting. Namun menurutnya, komitmen dari pemangku kepentingan menjadi jauh lebih penting untuk mewujudkan misi tersebut.

Indonesia juga perlu memastikan upaya pengurangan energi fosil dilakukan oleh negara-negara yang telah membuat komitmen. Celaka, menurut Komaidi bila komitmen dalam forum-forum internasional hanya sekadar tutur kata semata.

“Jangan sampai hanya sekadar komitmen, tapi tidak ada implementasinya,” kata dia.

Itu merujuk dari apa yang dilakukan oleh Inggris. Komaidi bilang, belum lama ini Britania Raya menyatakan menghentikan penggunaan batu bara. Namun tak selang sebulan, justru kembali memanfaatkan batu bara karena melonjaknya tarif listrik.

Hal itu menurutnya perlu menjadi perhatian bagi pengambil kebijakan. Komaidi berharap pemerintah tak gegabah mendorong penggunaan energi bersih dan meninggalkan energi fosil.

Terlebih, dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dalam Peraturan Presiden 22/2017 diperkirakan konsumsi minyak akan mencapai 4 juta barel per hari. Angka itu justru melonjak dari konsumsi minyak yang saat ini hanya 1,5 juta barel per hari.

“Jadi penggunaan energi bersih secara bertahap itu wajar. Tapi kalau kemudian dipercepat dan kemudian ingin menjadi yang paling depan, saya rasa ada risiko ekonomi dan fiskal di sana,” kata Komaidi.  Menurutnya, Indonesia tak bisa serta merta meninggalkan energi fosil. Selain tercantum dalam RUEN, ketergantungan Indonesia akan energi fosil sejatinya juga tercermin dalam Paris Agreement.

Sebab, Indonesia berkomitmen menggunakan energi bersih hingga 23% di 2030 dengan upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional.

Persentase itu menurut Komaidi menunjukkan betapa bergantungnya Indonesia pada energi fosil. Pasalnya, bila komitmen dengan upaya sendiri itu tercapai, Indonesia masih bergantung pada energi fosil hingga 77% dari total penggunaan energi.

“Jadi seolah-olah yang 77% ditiadakan, tidak diberikan perhatian, tapi yang 23% dipuji-puji. Padahal kita masih bergantung pada yang 77% itu. Saya kira ada kampanye yang tidak proporsional dalam beberapa waktu terakhir. Modusnya apa saya tidak paham, yang paham mereka yang melakukan kampanye,” jelas Komaidi.

Sementara itu pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menuturkan, keputusan dan kesepakatan yang dibuat dalam forum Conference of The Parties (COP) kerap sukar untuk dicapai oleh banyak negara. Itu terjadi karena adanya perbedaan kepentingan dari tiap-tiap negara.

“USA dan Masyarakat Eropa selalu berbeda dalam penerapan program untuk pengendalian perubahan iklim. Tiongkok dan Inggris kembali menggunakan energi fosil pada saat negaranya dilanda krisis energi,” kata dia.

Belum lagi sebut Fahmy, negara-negara dengan ekonomi besar kerap bertentangan pendapat dengan negara-negara berkembang. Program B100 misalnya, ditolak dan ditentang oleh negara-negara Eropa lantaran re-planting tanaman sawit membutuhkan pembabatan hutan.

Padahal penggunaan B100 disebut Fahmy juga merupakan wujud komitmen Indonesia menerapkan energi bersih. Karena gejolak dan kemampuan, Indonesia dinilai perlu realistis menerapkan transisi energi bersih.

“Indonesia realistis saja tanpa harus memaksakan kehendak dalam proses penggantian fosil menjadi EBT sesuai kemampuan. Dalam kondisi tersebut, Indensia tetap saja konsisten dalam pengambangan B100 untuk menggantikan energi fosil,” pungkas Fahmy. (OL-7)

Harga BBM Shell Naik, Pengamat: Hal Yang Wajar

Validnews.id; 02 November 2021

Berdasarkan informasi harga dari laman resmi Shell Indonesia, BBM Shell Super di Jakarta kini seharga Rp12.860 per liter dari sebelumnya Rp11.550 per liter

JAKARTA – Pengamat Ekonomi Energi dan pertambangan Komaidi Notonegoro mengatakan, kenaikan harga BBM Shell merupakan hal yang wajar karena harga minyak mentah sedang tinggi.

“Jika mencermati harga minyak mentah sedang naik signifikan. Secara prinsip ekonomi tidak ada yang dilanggar,” ujarnya di Jakarta, Selasa, menanggapi naiknya harga BBM Shell Indonesia sejak 1 November 2021
.
Dilansir melalui Antara, berdasarkan informasi harga dari laman resmi Shell Indonesia, BBM Shell Super di Jakarta kini seharga Rp12.860 per liter dari sebelumnya Rp11.550 per liter.

Sementara untuk jenis BBM lainnya juga mengalami penyesuaian harga, seperti Shell B-Power Rp13.400 per liter, Shell V-Power Diesel Rp13.000 per liter, dan Shell V-power Nitro+ Rp13.700 per liter yang juga berlaku untuk wilayah Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.

Kemudian untuk wilayah Jawa Timur, harga BBM Shell Super sebesar Rp12.150 per liter dan Shell V-Power seharga Rp13.400 per liter. Adapun harga Shell Super dan Shell V-Power di Sumatera Utara masing-masing Rp11.500 dan Rp12.300 per liter.

Komaidi yang merupakan Direktur Eksektif Reforminer Institute menyampaikan kenaikan harga BBM Shell diproyeksikan bisa menambah inflasi karena bahan bakar berperan penting dalam proses produksi hingga distribusi barang dan jasa.

“Kemungkinan akan menambah inflasi mengingat BBM memegang peran penting dalam proses produksi dan distribusi barang dan jasa,” ungkapnya.

Komaidi mengatakan, penyesuaian harga yang dilakukan Shell Indonesia dapat memicu Pertamina untuk menaikkan harga BBM-nya karena nilai keekonomian dan harga jual yang terpaut jauh.

Harga keekonomian Pertalite kini sudah mencapai Rp11.000 per liter, namun Pertamina masih menjual Pertalite dengan harga Rp7.650 per liter. Bahkan harga keekonomian BBM Premium telah mencapai Rp9.000 per liter, tetapi masih dijual Rp6.450 per liter.

“Meskipun regulasi memberikan kewenangan dalam praktiknya Pertamina sebagai BUMN tetap harus memperoleh restu pemerintah sebagai pemegang saham,” ujar Komaidi.

Antisipasi Lonjakan Konsumsi Solar Saat Pemulihan Ekonomi

Katadata.co.id; 3 November 2021

Penulis: Komaidi Notonegoro

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute

Pemberitaan mengenai kekosongan stok BBM jenis Solar menyita perhatian publik dalam beberapa waktu terakhir. Kekosongan tercermin dari antrean kendaraan yang akan membeli bahan bakar ini di sejumlah SPBU. Data dan informasi menyebutkan bahwa secara nasional stok Solar disampaikan masih relatif aman.

Berdasarkan pencermatan penulis, stakeholder terkait yaitu Pertamina dan BPH Migas telah berkoordinasi untuk menyelesaikan masalah tersebut. Para pihak bersepakat melakukan normalisasi penyaluran Solar untuk masyarakat. Sebagai pelaksana kewajiban pelayanan umum atau PSO, Pertamina mengajukan beberapa hal kepada BPH Migas yang berwenang mengatur distribusi BBM bersubsidi.

Di antaranya, meminta diberikan fleksibilitas dalam mengatur kuota Solar subsidi, meminta dapat menambah alokasi Solar Subsidi pada lokasi-lokasi yang terdapat antrian, dan mengusulkan tambahan kuota Solar subsidi sejumlah volume tertentu sampai akhir 2021.

Pemulihan Ekonomi

Kegiatan ekonomi dan konsumsi energi dapat dikatakan seperti dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Peningkatan kegiatan ekonomi akan disertai dengan meningkatnya permintaan atau konsumsi energi untuk proses produksi dan distribusi. Sebaliknya, penurunan kegiatan ekonomi akan berdampak terhadap berkurangnya konsumsi energi.

Penurunan konsumsi energi Indonesia pada tahun 2020 menggambarkan korelasi tersebut. Ketika kinerja perekonomian turun, konsumsi energi terutama BBM pada tahun lalu menyusut sekitar 12,42 % menjadi 65,79 juta KL dari 75,12 juta KL pada 2019. Pada periode yang sama konsumsi Solar turun sekitar 8 %.

Penurunan konsumsi BBM tersebut salah satunya merupakan konsekuensi dari menurunnya kegiatan ekonomi. Berdasarkan publikasi pemerintah, kinerja makro ekonomi Indonesia tahun 2020 turun. Sehingga menjadi logis jika konsumsi energi teruma BBM yang dibutuhkan untuk proses produksi dan distribusi barang dan jasa juga berkurang.

Laporan pemerintah menyebutkan bahwa pada triwulan kedua 2020 ekonomi Indonesia mengalami konstraksi sebesar 5,32 % year on year. Nilai ekspor dilaporkan turun sekitar 8,36 % dan impor turun 24,19 %. Sementara itu kinerja sektor pariwisata anjlok 68,17 % dan kinerja sektor transportasi mengkerut 36,23 % dibandingkan tahun sebelumnya.

Berdasarkan publikasi Data Sosial Ekonomi (Oktober 2021), kondisi makro ekonomi Indonesia pada 2021 lebih baik dibandingkan tahun lalu. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan kedua 2021 7,07 % year on year. Nilai ekspor melambung 47,64 %, impor melonjak 40,31 %, kinerja sektor pariwisata naik 25,07 %, dan kinerja sektor transportasi naik 7,26 % dibandingkan tahun sebelumnya. Jika mencermati korelasi antara kegiatan ekonomi dan konsumsi BBM, hampir dapat dipastikan konsumsi BBM pada 2021 akan lebih tinggi dibandingkan 2020.

Data yang ada menujukkan bahwa konsumsi BBM jenis Solar pada 2021 naik signifikan. Setelah tercatat menurun sangat signifikan pada Mei 2020, sejak Agustus 2021 konsumsi Solar kembali pada level 45-47 ribu kilo liter per hari. Volume konsumsi tersebut setara dengan konsumsi Solar pada periode sebelum terjadinya pandemi Covid-19.

Sejalan dengan ekonomi yang diproyeksikan meningkat sekitar 4-5 % year on year pada Q3-2021, konsumsi Solar kemungkinan meningkat lagi. Saat ini konsumsi Solar untuk ritel dan industri dilaporkan naik signifikan. Konsumsi Solar sektor ritel naik 8 % dan industri naik 41 %. Khusus konsumsi Solar oleh industri pertambangan melonjak 48 % dan industri perkebunan naik sekitar 12 %.

Berdasarkan data historis, konsumsi BBM termasuk Solar pada periode Oktober, November, dan Desember tercatat lebih tinggi dibandingkan bulan lain untuk setiap tahunnya. Menjelang akhir tahun, umumnya kegiatan mobilitas masyarakat dan distribusi barang dan jasa memang meningkat. Karena itu, kebutuhan BBM untuk kegiatan tersebut pun naik.

Mencermati kondisi eksisting dan perkembangan yang ada, hampir dapat dipastikan konsumsi BBM termasuk Solar pada akhir 2021 akan meningkat. Karena itu, perencanaan dan pengaturan kuota BBM perlu dilakukan dengan lebih baik lagi untuk meminimalkan potensi kekosongan stok BBM pada sejumlah SPBU seperti yang diberitakan dalam beberapa waktu terakhir.

Pusat kegiatan yang berpotensi menjadi konsentrasi konsumsi BBM perlu diantisipasi. Misalnya, perlu menambah jumlah stok BBM yang lebih tinggi dibandingkan kondisi normal pada jalur distribusi barang dan jasa, wilayah yang menjadi basis produksi barang dan jasa, dan wilayah-wilayah yang akan menjadi basis berkumpulnya dan mobilitas masyarakat.

Secara teknis, para stakeholder pengambil kebijakan perlu memberikan perhatian lebih untuk stok Solar pada SPBU-SPBU di Jalur Pantura, jalur pelabuhan, area dan wilayah sekitar pertambangan, perkebunan, dan wilayah sekitar dan lokasi wisata. Ini lokasi-lokasi yang kemungkinan kembali menjadi pusat konsentrasi dan mobilitas masyarakat seiring keberhasilan pemerintah menangani Covid-19.

Untuk kepentingan optimalisasi dan efisiensi, para pengambil kebijakan dapat mempertimbangkan untuk dapat menggeser stok BBM di SPBU-SPBU yang tidak terserap kepada SPBU-SPBU yang berpotensi mengalami kekosongan stok akibat meningkat permintaan. Karena itu menjadi penting untuk kemudian tidak diberlakukan kebijakan kuota BBM yang dikunci pada level SPBU, tetapi kuota BBM ditetapkan pada level wilayah.

Dengan menetapkan kuota BBM pada level wilayah, masih memungkinkan terjadi fleksibilitas untuk melakukan redistribusi kuota jika terjadi deviasi antara perencanaan dan realisasi pada masing-masing SPBU. Sehingga jika terdapat kekosongan stok atau kelangkaan BBM pada SPBU tertentu, misalnya, akan lebih mudah dan sederhana di dalam penanganan dan penyelesaiannya.

RUPTL dan Komitmen Pengembangan Panas Bumi Nasional

Dunia Energi, 27 Oktober 2021

RENCANA Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 menggambarkan bahwa pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) sedang mendapatkan momentum. Dengan porsi target pembangunan pembangkit EBT yang ditetapkan sekitar 51,6 %, sampai dengan saat ini RUPTL 2021-2030 tercatat sebagai rencana sektor kelistrikan yang paling hijau.

Hadirnya RUPTL 2021-2030 tersebut memberikan harapan bahwa pengembangan EBT yang selama ini disebutkan lebih banyak terkendala pada masalah keekonomian proyek akan segera mendapatkan solusi. Dalam historisnya, pengembangan EBT seringkali terkendala pada tidak bertemunya kepentingan pengembang dan PLN sebagai pembeli.

Pengembang EBT menghendaki agar PLN membeli pada harga keekonomian, sementara PLN dihadapkan pada kondisi bahwa mereka harus menjaga BPP Listrik Nasional pada besaran tertentu. BPP tersebut perlu dijaga karena merupakan basis di dalam menetapkan alokasi subsidi listrik yang telah disepakati di dalam APBN.

Meskipun positif untuk pengembangan EBT, saya menilai RUPTL 2021-2030 belum mencerminkan adanya komitmen yang kuat dalam mengembangkan dan memanfaatkan panas bumi. Dalam RUPTL 2021-2030 justru target pengembangan listrik panas bumi ditetapkan lebih rendah dibandingkan RUPTL periode sebelumnya. Padahal dengan potensi yang disebutkan mencapai 29.544 MW, sumber daya panas bumi Indonesia tercatat sebagai yang terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat.

Terkait potensinya tersebut, industri panas bumi sebenarnya merupakan salah satu yang dapat mengakomodasi pemenuhan target bauran energi yang ditetapkan pemerintah. Melalui Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang diatur dalam Perpres No.22/2017, pemerintah menetapkan porsi energi baru dan terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional minimal 23 persen pada 2025 dan minimal 31 persen pada tahun 2050.

Meskipun memiliki potensi yang besar, perkembangan industri panas bumi dalam negeri dapat dikatakan relatif belum cukup menggembirakan. Secara historis, pengusahaan panas bumi Indonesia sesungguhnya telah dimulai sejak tahun 1983 yang ditandai dengan beroperasinya PLTP Kamojang Unit 1 dengan kapasitas 30 MW.

Kendati telah diusahakan sekitar 37 tahun, kapasitas pembangkit listrik panas bumi Indonesia komulatif sampai saat ini baru sekitar 2.439 MW. Artinya, sampai dengan saat ini Indonesia rata-rata hanya menghasilkan kapasitas PLTP sekitar 57 MW untuk setiap tahunnya. Sementara di sisi yang lain, selama lima tahun terakhir kapasitas pembangkit listrik yang menggunakan batubara (PLTU) yang dihasilkan Indonesia rata-rata bertambah sekitar 2.000 MW untuk setiap tahunnya.

Berdasarkan review, belum berkembangnya industri panas bumi di dalam negeri karena terdapat sejumlah kendala. Beberapa diantaranya adalah karena (1) sulit terjadi kesepakatan harga jual-beli antara pengembang panas bumi dengan PLN; (2) kebijakan eksisting mengharuskan harga listrik EBT bersaing dengan pembangkit fosil; (3) jumlah lembaga keuangan yang bersedia memberikan pinjaman pada fase eksplorasi masih terbatas; (4) izin bermasalah karena wilayah kerja berada di hutan konservasi, (5) risiko tinggi karena kepastian potensi cadangan dan kualitas uap yang belum jelas; dan (6) masih banyak izin yang harus dipenuhi setelah IUP pengusahaan panas bumi terbit.

Dari sejumlah kendala yang ada tersebut, titik temu dalam jual-beli uap dan/atau listrik panas bumi antara pengembang dan PLN yang sulit merupakan penyebab utama pengembangan panas bumi di dalam negeri relatif lambat. Dalam hal ini agar dapat berjalan pengembang mengharapkan harga jual uap dan/atau listrik panas bumi sesuai keekonomian proyek. Sementara PLN yang harus mengupayakan BPP tenaga listrik seefisien mungkin untuk tetap berada pada batasan dan tidak melampaui alokasi anggaran subsidi listrik yang ditetapkan dalam APBN relatif kesulitan memenuhi permintaan pengembang panas bumi tersebut.

Terkait permasalahan yang ada tersebut, jual-beli uap dan/atau listrik panas bumi antara pengembang dan PLN tidak dapat sepenuhnya diserahkan melalui mekanisme business to business. Dengan objective melakukan efisiensi BPP, secara logis PLN akan memilih sumber pasokan listrik yang lebih murah dan dapat dipastikan bukan dari panas bumi. Sementara bagi pengembang, tidak dapat pula menjual listrik pada harga yang dapat diterima PLN ketika harga tersebut masih di bawah nilai keekonomian proyek panas bumi itu sendiri.

Berdasarkan pencermatan, pemerintah sebenarnya telah menerbitkan sejumlah regulasi yang mengatur mengenai harga jual-beli listrik panas bumi. Beberapa diantaranya adalah Permen ESDM No.02/2011, Permen ESDM No.17/2014, Permen ESDM No.12/2017, Permen ESDM No.43/2017, Permen ESDM No.50/2017, dan Permen ESDM No.53/2018. Meskipun menggunakan formulasi yang berbeda, secara prinsip harga jual-beli listrik panas bumi yang diatur dalam sejumlah regulasi tersebut menggunakan kebijakan yang sama yaitu ceiling price atau harga patokan tertinggi.

Dalam Permen ESDM No.50/2017 jo Permen ESDM No.53/2018 ditetapkan dua mekanisme harga. Pertama, jika BPP pembangkitan sistem ketenagalistrikan setempat di atas rata-rata BPP pembangkitan nasional, harga listrik dari PLTP paling tinggi sebesar BPP pembangkitan sistem ketenagalistrikan setempat. Kedua, jika BPP pembangkitan sistem ketenagalistrikan setempat sama atau di bawah rata-rata BPP pembangkitan nasional, harga listrik dari PLTP ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak.

Berdasarkan ketentuan regulasi tersebut, peluang industri panas bumi untuk dapat berkembang akan semakin kecil. Regulasi tersebut memberikan batasan bahwa harga pembelian listrik panas bumi yang dapat dilakukan PLN tidak boleh melebihi rata-rata BPP pada sistem ketenagalistrikan di mana panas bumi tersebut diusahakan. Sementara peluang harga jual listrik panas bumi lebih tinggi dari rata-rata BPP di sistem ketenagalistrikan setempat cukup besar. Apalagi jika pada wilayah tersebut terdapat banyak pembangkit yang menggunakan energi fosil sebagai energi primer pembangkitannya.

Peluang bahwa harga jual listrik panas bumi dapat lebih rendah dari rata-rata BPP pada sistem ketenagalistrikan di mana panas bumi tersebut diusahakan memang masih terbuka. Terutama pada wilayah-wilayah terluar, tertinggal, dan terdepan yang umumnya masih di luar jangkauan sistem kelistrikan utama. Akan tetapi, pada wilayah tersebut umumnya dihadapkan pada masalah permintaan tenaga listrik yang relatif rendah yang mana akan berdampak terhadap keekonomian proyek panas bumi yang akan diusahakan.

Mencermati permasalahan yang ada tersebut, pengusahaan dan pengembangan panas bumi domestik mutlak memerlukan komitmen yang kuat dari pemerintah. Untuk kondisi saat ini pengusahaan dan pengembangan panas bumi nasional akan sulit berjalan jika hanya diserahkan pada menakisme business to business. Diantara pilihan yang tersedia untuk meningkatkan pengusahaan dan pengembangan industri panas bumi adalah pemerintah memberikan subsidi kepada PLN agar dapat membeli listrik panas bumi sesuai dengan keekonomian proyek panas bumi. Atau memberikan sejumlah insentif investasi dan perpajakan agar keekonomian proyek panas bumi masuk dalam rentang harga beli listrik oleh PLN. (*)

Pasokan Energi Bersih Perlu Keseimbangan

Kompas.com; 15 Oktober 2021

Kekayaan energi terbarukan di Indonesia, baik hidro, bayu, surya, maupun panas bumi, harus terus dioptimalkan. Namun, pemanfaatannya mesti terukur dan seimbang.

JAKARTA, KOMPAS — Pengembangan energi terbarukan yang bersih dan berkelanjutan memerlukan keseimbangan dalam aspek pasokan dan permintaan, keekonomian, serta tak mengabaikan pengembangan minyak dan gas bumi. Masalah perizinan yang berbelit, insentif fiskal, dan  intermitensi membutuhkan solusi yang tepat.

Dalam dokumen Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, pemerintah memberikan porsi lebih besar pada sumber energi terbarukan. Dengan tambahan kapasitas pembangkit listrik 40.600 megawatt (MW) sampai 2030, porsi energi terbarukan sebanyak 51,6 persen dari jenis hidro, bayu, surya, panas bumi, dan biomassa. Sisanya berasal dari sumber energi fosil, seperti batubara, minyak, dan gas bumi.

Menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, optimalisasi energi terbarukan menjadi keniscayaan. Namun, pengembangannya harus seimbang serta tidak meniadakan pengembangan energi fosil, seperti minyak dan gas bumi. Indonesia belum sepenuhnya bisa lepas dari ketergantungan terhadap energi fosil.

”Keseimbangan keekonomian pengembangan energi terbarukan perlu diperhatikan. Dari aspek fiskal, perlu intervensi negara, seperti dalam bentuk subsidi. Penyebabnya, dalam beberapa kasus, harga listrik dari energi terbarukan masih mahal,” kata Komaidi, Minggu (24/10/2021), di Jakarta.

Optimalisasi energi terbarukan menjadi keniscayaan. Namun, pengembangannya harus seimbang serta tidak meniadakan pengembangan energi fosil, seperti minyak dan gas bumi.”

Dari bauran energi nasional saat ini, kata Komaidi, peran energi fosil masih 85 persen. Indonesia juga masih berstatus negara pengimpor bersih (net importer) minyak. Meski demikian, potensi energi terbarukan tetap harus dikembangkan seoptimal mungkin.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana dalam telekonferensi pers, akhir pekan lalu, menyampaikan, sampai triwulan III- 2021, porsi energi baru dan terbarukan dalam bauran energi nasional sebesar 11 persen. Pada 2025, Indonesia menargetkan peran energi baru dan terbarukan sedikitnya 23 persen dalam bauran energi.

”Penambahan kapasitas terpasang pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan sebesar 376 MW dari target 854 MW,” ujar Dadan.

Untuk mempercepat capaian target 23 persen tersebut, imbuh Dadan, pembangkit listrik energi terbarukan terus dikembangkan. Pemerintah juga menempuh strategi substitusi bahan bakar fosil ke bahan yang lebih ramah lingkungan. Strategi itu antara lain metode co-firing (pencampuran bahan bakar batubara dengan biomassa) pada pembangkit listrik tenaga uap dan pemanfaatan biodiesel dari minyak kelapa sawit.

 ”Kami berusaha membantu menyelesaikan hambatan-hambatan terkait pengembangan energi terbarukan di lapangan, seperti masalah di pendanaan, perizinan, atau konstruksi,” ucap Dadan.
“Pemerintah juga menempuh strategi substitusi bahan bakar fosil ke bahan yang lebih ramah lingkungan. Strategi itu antara lain metode co-firing (pencampuran bahan bakar batubara dengan biomassa) pada pembangkit listrik tenaga uap dan pemanfaatan biodiesel dari minyak kelapa sawit.”

Keandalan pasokan

Dari pantauan di lapangan, di wilayah yang belum terjangkau jaringan listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), warga mengandalkan pasokan listrik dari tenaga surya atau bayu. Di Pulau Papagarang, Nusa Tenggara Timur, misalnya, sekitar 1.500 penduduk Desa Papagarang bergantung pada pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berkapasitas 380 kilowatt peak (kWp).

”Saat musim hujan ketika matahari tidak bersinar penuh dilakukan pemadaman bergilir karena daya listrik yang disimpan dalam baterai tak cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik semua warga,” kata Basir, Kepala Desa Papagarang.

Situasi yang sama terjadi di PLTS Oelpuah di Kupang, NTT. PLTS dengan kapasitas 5 megawatt peak yang diresmikan Presiden Joko Widodo pada Januari 2016 ini memiliki sekitar 22.000 modul panel surya. Modul itu memiliki kemampuan menangkap cahaya pada suhu tertentu. Jika suhu melebihi batas normal, alat akan rusak secara perlahan.

”Saat cuaca mendung, hujan, atau awan menutup sinar matahari, daya listrik langsung anjlok dalam hitungan detik,” kata operator dan teknisi di PLTS Oelpuah, Mateus Manggo.

Sementara itu, pada Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap, yang berkapasitas 75 MW di Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, faktor cuaca turut memengaruhi besaran produksi tenaga listrik. PLTB Sidrap kerap menghadapi musim angin kencang dan angin lemah. Biasanya musim angin kencang terjadi pada Mei sampai Oktober. Puncaknya terjadi pada Juli hingga September.

”Pada masa pergantian musim, angin bertiup lemah. Jika kecepatan angin tak sampai tiga meter per detik, turbin belum berputar. Di sini, rata-rata kecepatan angin 10-12 meter per detik. Kalau sedang bagus, kecepatan angin mencapai 12-20 meter per detik,” kata Manajer Operasi PLTB Sidrap Pribadhi Satriawan.

Terkait intermitensi pembangkit listrik dari energi terbarukan, Wakil Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, dilema pemanfaatan sumber energi terbarukan sejauh ini adalah sifatnya yang intermiten. Belum semua pembangkit listrik energi terbarukan mampu beroperasi 24 jam.

Akibatnya, diperlukan pasokan dari jenis energi lain atau penyimpan daya listrik (baterai). ”Ongkos baterai yang digunakan untuk menyimpan energi masih tinggi, sekitar 30 sen dollar AS per kilowatt jam (kWh). Apabila ada teknologi baterai baru dan biayanya lebih rendah, hal itu akan membantu. Meski pembangkit listrik dialihkan ke energi terbarukan, permintaan konsumen terhadap listrik tetap dan mungkin malah naik,” ucap Darmawan (Kompas, 22/10/2021).

Pemerintah telah menetapkan target emisi nol karbon pada 2060. Berbagai insentif fiskal disiapkan, termasuk penyusunan regulasi tarif jual beli tenaga listrik dari sumber energi terbarukan.