Tanpa DMO Batu Bara, Industri Semen sampai Tekstil Terancam Kolaps

Media Indonesia, 21 Oktober 2021

PELAKU industri Tanah Air ramai-ramai mendesak pemerintah untuk melakukan intervensi akibat melambungnya harga batu bara. Pasalnya, sampai saat ini pemerintah belum juga mengambil kebijakan menyelamatkan industri dalam negeri, justru terkesan membiarkan kondisi ini.

Hal itu tentu sangat mengkhawatirkan mengingat jika pemerintah tidak segera turun tangan dampak bagi industri dalam negeri sangat besar. Selain akan menaikkan harga jual produk, kondisi ini bisa berujung pada terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) karena biaya energi yang membengkak.

“Industri pupuk kemudian semen, petrokimia, tekstil merupakan industri-industri yang memang padat energi. Jadi, kalau energinya naik dua kali lipat, ya bisa dibayangkan. Kalau misalnya porsi untuk biaya energi 30%, kalau naik dua kali lipat kan lumayan itu. Ke harga produknya lumayan juga,” ujar Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro dalam keterangannya, Kamis (21/10).

Selama ini, kebijakan capping harga batu bara domestic market obligation (DMO) yang sebesar US$70 per metrik ton hanya untuk sektor kelistrikan umum atau PLN. Akibatnya, saat harga batu bara global melambung seperti sekarang, banyak industri dalam negeri yang selama ini menggunakan batu bara seperti industri semen, petrokimia, tekstil, mengalami kesulitan. Pasalnya, harga batu bara DMO yang mereka beli dari penambang dalam negeri tetap mengacu pada harga global.

Apalagi, selama ini mayoritas batu bara Indonesia digunakan untuk ekspor. Tahun ini, dari target produksi 625 juta ton, yang terserap pasar domestik maksimal hanya sekitar 150 juta ton. Artinya, masih ada 450 juta ton lebih yang diekspor. “Jadi, cukuplah dapat untung dari yang 450 juta ton. Sisanya untuk domestik agar daya saing industri dalam negeri lebih bagus,” tandasnya.

Karena itu, kata Komaidi, untuk menjaga daya saing industri dalam negeri, pemerintah harus melakukan intervensi terhadap harga jual batu bara untuk industri nonkelistrikan umum. Kebijakan tersebut setidaknya berlaku selama harga batu bara yang saat ini sedang melambung tinggi.

Komaidi menegaskan, jika harga produknya naik, sudah pasti akan menurunkan daya saing industri. Kalau daya saing turun, pendapatannya pasti juga turun. Kalau turun, dampaknya nanti ke pemerintah juga. Pendapatan pajak dan nonpajaknya turun juga. “Hal yang sangat dikhawatirkan kalau harga produk naik dan daya saing lemah akan membuat perusahaan mengurangi modal kerja. Itu tentu ada impact ke pengurangan tenaga kerja. Itu yang tidak kita harapkan,” tandasnya.

Terkait capping harga, Komaidi mengatakan kalau pun tidak sama dengan PLN di level US$70 per metrik ton, bisa lebih tinggi misalnya US$80 per ton. “Poinya, industri nonkelistrikan umum perlu diberi harga DMO. Apakah sama dengan PLN atau tidak, tergantung pertimbangan pemerintah di dalam memberikan fasilitas tersebut,” ujarnya.

Yang pasti, mau tidak mau pemerintah harus turun tangan mengambil kebijakan yang bersifat darurat untuk menjaga keberlangsungan industri pengguna. “Intervensi pemerintah sangat dibutuhkan terutama untuk mencegah gejolak harga barang strategis seperti produk semen, tekstil, pupük, baja, kertas, dan lainnya,” ujar Ketua Umum Asosiasi Semen Indonesia (ASI) Widodo Santoso.

Sebagai salah satu industri yang cukup besar menggunakan batu bara sebagai bahan bakar di tanur putar (KILN), industri semen sangat merasakan dampaknya. Selama ini, biaya produksi komponen batu bara mencapai 30%-35%. Tidak mengherankan jika biaya produksi naik hingga 25%-30% karena harga batu bara yang melambung.

Ini diperparah dengan terkendalanya pasokan batu bara dan proses pengiriman ke lokasi pabrik semen. “Bayangkan saja, stok batu bara di pabrik hanya bertahan 1-2 minggu saja yang seharusnya minimum sampai 3 minggu. Ini akan berdampak pada produksi dan volume produksi semen terganggu,” ujarnya.

Di sisi lain, Widodo mengingatkan pemerintah terkait pentingnya peranan semen dalam program infrastruktur nasional. “Ini perlu pertimbangan pemerintah, karena bila harga semen naik, dampaknya akan ke pembangunan perumahan rakyat, kenaikan biaya infrastruktur, dampak industri dalam negeri, serta proyek-proyek strategis nasional,” pungkasnya.

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) juga mulai sempoyongan karena harus merogoh kantong lebih dalam untuk ongkos produksi. Peristiwa cukup mencengangkan dipaparkan oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI) Redma Gita. “Ada dua pabrik yang mematikan pembangkit listriknya. Sedangkan enam pabrik lagi mengurangi kapasitas pembangkitnya. Semua ada di Tangerang, Karawang, dan Purwakarta. Kondisi ini akan semakin parah jika pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan terkait DMO batu bara,” ujarnya.

Untuk pabrik yang mematikan pembangkit listriknya, kini beralih ke PLN. Menurut Redma, langkah ini mau tidak mau dilakukan banyak pabrik tekstil karena harga batu bara sudah terlampau tinggi. Harga batu bara yang berada di atas US$170 per metrik ton telah membuat industri tekstil pusing karena biaya produksi meningkat. Selama ini, bagi produsen serat dan benang filamen, kebutuhan batu bara bukan hanya digunakan sebagai sumber energi, tetapi juga bahan baku dari gasifikasi batu bara.

Karena itu, ongkos energi berkontribusi hingga 25% dari keseluruhan struktur biaya industri TPT dengan sektor serat dan filamen menjadi pengguna terbesar. “Yang pasti kita terkena dua kali pukulan, yakni cost energi dan harga bahan baku akibat harga batu bara juga,” ujar Redma. (OL-14)

Harga minyak mentah merangkak naik, harga BBM bakal naik?

Kontan.co.id; 19 Oktober 2021

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tren kenaikan harga minyak mentah berpotensi mendorong penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) oleh badan usaha. Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengungkapkan kebijakan harga BBM nonsubsidi seharusnya menjadi domain dari badan usaha.

Selain itu, kenaikan harga minyak mentah dinilai turut mendorong kenaikan harga atau biaya perolehan badan usaha. “Jika memang harga perolehan naik seharusnya disesuaikan. (Kenaikan harga minyak) pasti mendorong harga perolehan naik,” kata Komaidi kepada Kontan, Selasa (19/10).

Sekedar informasi, harga perolehan merupakan harga rata-rata yang digunakan badan usaha dalam mengadakan atau menyediakan BBM. Ada badan usaha yang mengolah minyak dari produksi dalam negeri, ada yang mengolah dengan menggunakan minyak impor serta ada juga yang mengimpor BBM jadi dan setengah jadi.

Formula harga yang kini digunakan merujuk pada Keputusan Menteri ESDM Nomor 62.K/12/MEM/2020 tentang Formula Harga Dasar dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar yang Disalurkan Melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum dan/atau Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan.

Dalam Lampiran, dinyatakan bahwa formula harga dasar dalam perhitungan Harga Jual Eceran jenis Bahan Bakar Minyak Umum jenis Bensin dan Minyak Solar yang disalurkan melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum dan/atau Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan dengan harga tertinggi, ditentukan berdasarkan biaya perolehan, biaya penyimpanan dan biaya distribusi, serta margin sebagai berikut:

Untuk jenis bensin di bawah RON 95 dan jenis Minyak Solar CN 48 dengan rumus sebagai berikut: Mean of Platts Singapore (MOPS) atau Argus + Rp 1.800/liter + Margin (10% dari harga dasar).

Untuk jenis Bensin RON 95, jenis Bensin RON 98 dan jenis Minyak Solar CN 51 ditetapkan dengan rumus sebagai berikut: MOPS atau Argus + Rp 2.000/liter + Margin (10% dari harga dasar).

Dikonfirmasi terpisah, Corporate Communications Shell Indonesia Edit Wahyuningtyas belum bisa berbicara lebih jauh soal rencana penyesuaian harga BBM Shell ke depannya. Yang terang, Shell baru saja melakukan penyesuaian harga di awal Oktober lalu.

“Penyesuaian harga terakhir kita update 1 Oktober,” kata Edit kepada Kontan, Selasa (19/10).

Mengutip laman resmi Shell, justru tercatat terjadi penurunan harga untuk beberapa produk BBM Shell dalam penyesuaian terakhir kali lalu.

Per 1 Oktober Shell menetapkan harga Shell Super sebesar Rp 11.550 per liter untuk wilayah Jakarta, Banten dan Jawa Barat. Harga ini turun dibandingkan dengan harga sebelumnya yang rata-rata sebesar Rp 11.570 per liter.

Sementara untuk Jawa Timur sebesar Rp 10.850 per liter dan Sumatera Utara sebesar Rp 10.810 per liter.

PENINGKATAN HARGA MINYAK TIDAK MENGUNTUNGKAN BAGI INDONESIA

Bisnisindonesia.id; 18 Oktober 2021

JAKARTA — Penguatan harga minyak yang terus berlanjut dinilai akan makin memberatkan Indonesia. Kondisi itu akan makin diperberat dengan kondisi meningkatnya konsumsi di dalam negeri akibat mulai membaiknya kegiatan ekonomi.

Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Senin (18/10/2021) harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak November 2021 telah meningkat 0,96 persen menjadi US$83,07 per barel, sedangkan minyak mentah Brent mengalami peningkatan 0,53 persen menjadi US$85,31 per barel.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan  bahwa kenaikan harga minyak merupakan kondisi yang tidak menguntungkan bagi Indonesia. Pasalnya, Indonesia masih membutuhkan impor dalam jumlah besar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

“Kondisi kita sudah net-importer sehingga ketika harga naik pasti cenderung memberatkan,” katanya kepada Bisnis, Senin (18/10/2021).

Untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar di Indonesia, sebagian besar masih mengandalkan dari impor, kecuali untuk jenis Solar. Beban pemerintah untuk memberi subsidi bahan bakar pun akan meningkat seiring dengan naiknya harga minyak dunia.

Untuk Solar, pemerintah menetapkan mekanisme subsidi yang tetap untuk setiap liter yang disalurkan. Namun, untuk minyak tanah dan liquefied petroleum gas (LPG), subsidi yang dikeluarkan pemerintah akan mengikuti perkembangan harga minyak dunia.

“Untuk minyak tanah dan LPG berdampak,” jelasnya.

Komaidi juga menjelaskan, kondisi berat lainnya yang perlu dihadapi pemerintah adalah meningkatnya permintaan bahan bakar di dalam negeri karena aktivitas masyarakat yang mulai pulih setelah penerapan pembatasan kegiatan oleh pemerintah.

Meningkatnya permintaan masyarakat perlu direspons dengan mengamankan pasokan agar tidak terjadi kelangkaan di sejumlah daerah. Untuk itu, impor minyak Indonesia diprediksi akan meningkat pada saat yang bersamaan dengan harga minyak tengah tinggi.

“Kalau Solar ini sebenarnya bisa dari CPO dengan mengimplementasikan B30 atau lebih, harusnya bisa aman dimaksimalkan dulu, sisanya baru impor,” jelasnya.

TEMBUS US$72/BAREL

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan harga minyak mentah  Indonesia di pasar dunia mengalami kenaikan yang cukup signifikan pada September 2021.

Kepala BPS Margo Yuwono mengatakan bahwa harga minyak mentah itu naik dari US$67,80 per barel pada Agustus menjadi US$72,20 per barel pada September 2021.

“Atau kalau kita hitung secara month to month naiknya mencapai 6,49 persen,” kata Margo melalui keterangan pers daring, Jumat (15/10/2021).

Di sisi lain, tren harga minyak mentah dalam negeri itu juga terlihat mengalami kenaikan yang signifikan secara tahunan yakni sebesar 92,89 persen.

“Kalau kita hitung dibandingkan dengan tahun lalu meningkatnya cukup tajam 92,89 persen,” kata dia.

Harga LNG yang melambung jadi peluang bagi Indonesia

Kontan.co.id; 14 Oktober 2021

Krisis energi yang terjadi di Eropa dan sejumlah wilayah lainnya berdampak pada kenaikan harga gas alam cair Liquefied natural gas (LNG) di wilayah Asia Pasifik.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, kenaikan harga komoditas LNG hampir serupa dengan batubara. Keduanya berpotensi memberi keuntungan bagi Indonesia.

Selain itu, kebutuhan LNG dalam negeri pun relatif bisa terpenuhi dari kemampuan produksi saat ini.  “Sehingga ada yang bisa dimanfaatkan untuk memperoleh devisa,” kata Komaidi kepada Kontan.co.id, Rabu (13/10).

Menurut Komaidi, di tengah kondisi harga yang melonjak, kebutuhan domestik harus tetap jadi prioritas. Jika kebutuhan domestik telah mencukupi maka sisanya dimungkinkan untuk diarahkan ke pasar ekspor.

Komaidi melanjutkan, ada sejumlah skema kontrak yang umumnya berlaku untuk LNG.  “Ada yang sudah terkunci dan ada yang masih diindekskan pada harga tertentu,” kata Komaidi.

Sebelumnya, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) sukses menjual 4 uncommited cargo dari Kilang Bontang ke pasar spot dengan harga cukup tinggi.

Deputi Keuangan dan Monetisasi SKK Migas Arief S. Handoko mengatakan, penjualan 4 uncommited cargo ini dilakukan pada September 2021 dan mendorong peningkatan penerimaan. “Dengan rata-rata harga lebih dari US$ 27 per MMBTU, dengan estimasi penerimaan sekitar US$ 250 juta,” kata Arief kepada Kontan.co.id, Selasa (12/10).

Di sisi lain, hingga kuartal III 2021 total produksi LNG mencapai 149,5 standar kargo. Perolehn ini turun tipis 3,85% year on year (yoy) dari produksi periode sama ditahun sebelumnya yang sebesar 155,5 standar kargo.

Kata Arief, dari 149,5 standar kargo produksi pada sembilan bulan pertama, sebanyak 105,6 standar kargo diperuntukan untuk pasar ekspor. Sementara sisanya sebanyak 43,9 standar kargo dialokasikan untuk pembeli domestik. “Untuk domestik, sebanyak 42,3 standar kargo (sekitar 96%) untuk kelistrikan,” terang Arief.

Sementara sisanya sekitar 1,6 standar kargo digunakan sektor industri termasuk pabrik pupuk.

Pemerintah Diminta Hati-Hati Kejar Realisasi EBT, ini Potensi Bahayanya

Meredeka.com; 12 Oktober 2021

Merdeka.com - Pemerintah diminta untuk lebih berhati-hati dalam menyikapi tren transisi energi baru terbarukan (EBT). Sebab, hal itu justru berpotensi menimbulkan krisis energi jika disikapi secara berlebih.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro lantas menyoroti negara-negara seperti Inggris, Uni Eropa, China, dan India yang terlalu progresif menyambut program EBT. Mereka jadi terkena dampak krisis energi akibat harga gas alam yang melambung.

“Tapi yang saya mention adalah, jangan sampai kita mengalami seperti Inggris, seperti China, yang di dalam konteks ini kan mereka ingin cepat-cepat bergeser ke EBT,” ujarnya dalam sesi bincang virtual bersama SKK Migas, Selasa (12/10).

Untuk Inggris misalnya, Komaidi mencontohkan, pada satu bulan sebelumnya mereka menyampaikan akan memberikan contoh kepada dunia untuk menghilangkan penggunaan batu bara.

“Tetapi satu bulan kemudian mereka kembali ke batu bara karena ada kenaikan (harga gas alam) yang cukup signifikan. Itu berdampak terhadap kenaikan tarif listrik sehingga empat kali lipat,” ungkapnya.

Intinya, Komaidi coba menekankan pesan yang ingin disampaikan, bahwa seluruh pabrik atau perusahaan energi perlu mencermati transisi energi secara hati-hati. Meskipun Pemerintah RI juga sudah berkomitmen mengikuti mandatori dari Paris Agreement.

“Tapi kita perlu cerdas melihat tahun 2020, bauran energi Amerika Serikat untuk EBT baru 12 persen. Itu sebagian besar pun dari biomass. Sementara kita sepertinya ingin lari lebih cepat yaitu 23 persen di 2030,” ungkapnya.

“Ini mention yang ingin saya sampaikan supaya kita lebih hati-hati menjaga fosil yang sudah kita punyai, yaitu migas, itu kelolanya harus hati-hati,” tegas Komaidi.

 

Butuh investasi Rp 72,4 triliun per tahun, PLN diharapkan tak tambah utang

Kontan.co.id; 10 Oktober 2021

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) membutuhkan investasi sekitar Rp 72,4 triliun per tahun untuk pembangunan infrastruktur kelistrikan selama kurun 2021-2030.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengungkapkan, besaran kebutuhan investasi tersebut tidak mudah dipenuhi mengingat kondisi keuangan PLN saat ini.

Jika merujuk dokumen Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 maka opsi pendanaan berasal dari beberapa sumber antara lain dana internal, pinjaman dan Penyertaan Modal Negara (PMN).

Sumber pendanaan internal bakal ditopang dari laba usaha dan penyusutan aktiva tetap. Sementara dana pinjaman dapat berupa pinjaman luar negeri, pinjaman pemerintah melalui rekening dana investasi, obligasi nasional maupun internasional, pinjaman komersial perbankan lainnya serta hibah luar negeri.

“Laba bersih yang dibukukan PLN pada 2020 hanya sekitar Rp 6 triliun, kalau mengandalkan dari laba ditahan saya kira berat,” ungkap Komaidi kepada Kontan, Minggu (10/10).

Komaidi menambahkan, opsi pendanaan dengan menambah utang juga beresiko mengingat jumlah utang PLN saat ini yang sudah mencapai kisaran Rp 600 triliun. Penambahan investasi dengan skema utang dinilai justru bakal kian memperberat kinerja PLN.

Untuk itu, Komaidi menyarankan agar pemerintah mengambil peran lewat penyertaan modal negara (PMN). Disaat bersamaan, PLN perlu memperbaiki kinerja keuangan perseroan. Dengan demikian, dikemudian hari ada potensi alokasi investasi yang bersumber dari laba yang ditahan.

“Saya kira solusi saat ini adalah menambah PMN. Untuk menambah utang meskipun masih ada peluang saya kira sebaiknya tidak ditambah lagi,” imbuh Komaidi.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengungkapkan dengan kondisi capital expenditure (capex) yang terbatas maka ada sejumlah opsi yang dapat dilakukan PLN untuk memenuhi kebutuhan investasi.

Dalam memenuhi kebutuhan investasi untuk ketenagalistrikan maka perlu ada peningkatan peran Independent Power Producer (IPP) yang membawa 100% pendanaan. Selain itu, PLN juga dapat mencari equity partner untuk bermitra dengan anak usaha.

Fabby melanjutkan, upaya pemenuhan investasi juga dapat dilakukan lewat peran pemerintah. “Dukungan pendanaan dari pemerintah dalam bentuk PMN dan menggunakan skema pensiun dini PLTU milik anak perusahaan PLN dan menggunakan dananya untuk investasi di pembangkit ET,” kata Fabby kepada Kontan, Minggu (10/10).

Fabby menambahkan, pada kondisi saat ini maka anak usaha PLN seperti PT Indonesia Power dan PT Pembangkitan Jawa-Bali perlu didorong untuk menambah aset pembangkit Energi Terbarukan (ET). Ini sebagai upaya untuk mengantisipasi penurunan aset pembangkit fosil yang direncanakan pensiun dini ataupun pembangkit yang usia ekonomisnya sudah tercapai.

Jadi Penggerak Ekonomi dan Industri, Pemerintah Diminta Tidak Abaikan Sektor Hulu Migas

Duniaenergi.com; 07 Oktober 2021

JAKARTA – Transisi energi terus digencarkan oleh seluruh masyarakat dunia. Glorifikasi pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) juga terjadi di tanah air sehingga membuat industri migas seakan menjadi nomor dua, padahal sektor hulu migas sudah sewajarnya harus tetap mendapatkan perhatian dari pemerintah. Ini lantaran struktur ekonomi nasional ternyata masih ditopang oleh sektor hulu migas, sehingga jika hulu migas nasional tidak mendapatkan perhatian maupun tidak dikelola dengan baik maka kondisi ekonomi nasional yang akan jadi taruhannya.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, mengungkapkan hulu migas memiliki peran penting dalam menggerakkan industri lain. Berdasarkan kajiannya di Indonesia memiliki 185 sektor yang menunjang perekonomian nasional. Dari 185 sektor tersebut ada 73 sektor industri pendukung migas dan ada 45 sektor industri yang langsung sebagai pengguna.

Dia menjelaskan sektor pendukung itu selama ini memasok barang dan jasa ke sektor hulu migas. Kalau sektor pengguna yang gunakan seperti kilang pabrik pupuk gas, listrik yang menggunakan gas sementara ada juga pendukung seperti transportasi, alat berat itu jumlah 73 sektor.

“Artinya kalau kegiatan hulu migas bermasalah sebetulnya bukan single player hulu mgias yang bermasalah tapi ada dibelakaangnya 73 sektor ikut bermasalah dan 45 sektor di depan bermasalah,” kata Komaidi dalam diskusi virtual, Kamis (7/10).

Dengan kondisi itu maka industri hulu migas kata dia bisa dikatakan adalah lokomotif perekonomian nasional. Sejumlah data kata Komaidi menunjukkan bagaimana industru hulu migas sangat vital dalam struktur ekonomi nasional. Misalnya Sektor pendukung industri hulu migas membentuk 55,99% PDB dan menyerap 61,53% tenaga kerja Indonesia. Sementara sektor pengguna membentuk 27.27% PDB dan menyerap 19,34% tenaga kerja.

Selain itu dari sisi investasi dalam data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dalam 6 tahun 2015-2020 dari total realisasi investasi rata-rata US$51 miliar, sementara hulu migas sekitar US$12 miliar atau secara persentase mencapai hampir 24% dari seluruh investasi di tanah air.

Selain itu menurut Komaidi dari data juga digambarkan ketika investasi hulu migas naik maka akan indikator makro ekonomi lainnya juga akan bergerak positif. Misalnya GDP nasional naik, ekspor naik, impor naik (struktur ekonomi bahan baku penolong impor), neraca pembayaran menguat, penerimaan kuat, pajak bagus serta nilai tukar terapresiasi.

“Kalau bicara khusus hulu mgias porsinya 24% dr total investasi di nasional. Satu sektor dari 185 sektor di indonesia porsi investasi mencapai 24% sisanya 184 sektor lain. Ini menunjukan sektor hulu migas terhadap investasi porsinya sangat besar kalau ada impact ke investasi nasional sangat signifikan. Kalau hulu migas tutup investasi indonesia hilang 23-24% kalau itu hilang output nasional akan turun dampaknya terhadap struktur ekonomi nasional membahayakan kalau kita cermati data yang ada,” jelas Komaidi.

Begitu juga dengan neraca perdagangan. Salah satu beban neraca perdagangan adalah neraca perdagangan migas yang diakibatkan oleh impor migas yang cukup besar. Jika mau impor dikurangi maka mau tidak mau produksi harus ditingkatkan.

“Maka pemeritah harus hati-hati perlakukan sektor migas termasuk merespon tuntutan internasional dalam melakukan transisi energi,” ungkap Komaidi.

Satu hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah fungsi hulu migas untuk menggerakan industri lain. Ini tentu berhubungan dengan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) karena ada 73 sektor industri yang terlibat sebagai penunjang industri hulu migas.

I Gusti Putu Suryawirawan, Staf Khusus Menteri Bidang Pengembangan Industri dan Kawasan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, menjelaskan sejak dulu industri hulu migas jadi perhatian pemerintah terutama untuk meningkatkan penggunana produk dalam negeri. Hal ini lantaran hulu migas merupakan sektor yang padat dan memerlukan pembelanjaan barang maupun jasa yang tidak sedikit sehingga potensi perputaran ekonominya sangat besar.

Sinergi antar lembaga menang jadi kunci untuk meningkatkan penggunaan produk barang maupun jasa dalam negeri.

Putu menjelaskan penggunaan komponen dalam negeri adalah karena adanya permintaan. Ketika permintaan terhadap barang dan jasa sudah terkonsolidasi dengan baik maka investasi juga akan mulai mengalir yang didukung oleh berbagai fasilitas dari pemerintah seperti kemudahan perizinan ketersediaan akses listrik dan lainnya.

“Para kontraktor migas juga diharapkan bisa terbuka mengenai kebutuhan barang maupun jasa. “Demand dari mana dari KKKS itu harus secara terbuka terutama di akhir tahun mengundang pelaku industri, tahun depan kami mau belanja ini itu, di sini, tanggal sekian. Ini harus terbuka .Karena yang belanja itu kontraktor migas,” ungkap Putu.

Menurut Putu, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) dan Kementerian Perindustrian memiliki peran sentral dalam kebijakan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (P3DN). Di sana bisa langsung dikoordinasikan apa saja kebutuhan para kontraktor migas untuk selanjutnya diinformasikan kepada industri melalui Kemenperin. ” Ini mereka (SKK Migas) jadi komandannya,” ujar Putu.

Dia menegaskan industri hulu migas masih tetap akan menjadi komponen penting dalam pengembangan industri nasional karena banyaknya turunan yang masih bergantung terhadap keberlangsungan industri hulu migas meskipun tren transisi energi saat ini makin gencar dikampanyekan.

“Jadi kegiatan ini (migas) masih akan berlangsung lama dan ada di wilayah Indonesia kita wajib mempunyai kemampuan mengolah. Kalau nggak bisa minimal kita punya kemampuan suplai peralatan penunjangnya. Jangan kegiatan banyak di sini tapi meterial harus impor,” jelas Putu.