Lifting Migas 2023 Diprediksi Tak Capai Target, Eksplorasi Lapangan Baru Perlu Digenjot

Bisnis.com; 22 November 2023

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah disarankan untuk meningkatkan eksplorasi minyak dan gas (migas) pada lapangan baru untuk mendongkrak lifting migas nasional. SKK Migas memperkirakan lifting minyak akhir tahun nanti berada di kisaran 607.500 barel minyak per hari (bopd) dan gas sebesar 5.400 juta standar kaki kubik per hari (MMscfd). Adapun, target lifting minyak yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 dipatok di level 600.000 bopd dan gas sebesar 6.160 MMscfd.

Tak tercapainya target lifting tersebut lantaran turunnya produksi sejumlah aset yang dimiliki PT Pertamina (Persero) menjelang tutup tahun ini. Sejumlah aset itu, di antaranya Offshore Southeast Sumatra (PHE OSES) dan Blok Cepu, garapan ExxonMobil Cepu Limited (EMCL). “Kalau mau bicara kenaikan produksi, mainnya jangan di lapangan-lapangan yang itu-itu saja, harus dari lapangan baru, skala besar yang masih segar,” kata Ekonom Energi sekaligus pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto saat dihubungi, Rabu (22/11/2023).

Pri menyoroti ihwal penurunan produksi Blok Cepu yang belakangan diidentifikasi akibat naiknya rasio gas atau gas oil ratio (GOR) dan water cut dari lapangan tersebut. Dia menerangkan, naiknya rasio gas itu mengindikasikan turunnya potensi minyak dari salah satu konsesi andalan pemerintah saat ini. “Kalau lapangan minyak GOR tinggi, artinya porsi minyaknya yang terproduksikan makin kecil, yang naik porsi gas ikutannya, atau analoginya dengan water cut naik, artinya airnya makin banyak,” kata dia.

Menurut dia, industri hulu migas domestik bakal terus mengalami penurunan dari sisi produksi lantaran karakteristik lapangan yang sudah terlanjur tua saat ini.

“Tanpa ada lapangan besar baru yang ditemukan dan dikembangkan, sulit hulu migas kita bicara menaikkan produksi,” kata dia.

Sebelumnya, Wakil Kepala SKK Migas Nanang Abdul Manaf menerangkan, faktor utama dari turunnya proyeksi lifting migas itu disebabkan karena titik awal produksi awal 2023 yang sudah terlanjur senjang.

“Di mana sejumlah KKKS sudah terdapat gap produksi karena mundurnya kontribusi realisasi pemboran, workover, well services yang ter-carry foward ke tahun 2023,” kata Nanang saat dihubungi, Rabu (22/11/2023). Selain itu, Nanang menambahkan, terdapat proyek tertunda yang ikut dibarengi dengan beberapa penghentian operasional atau unplanned shutdown.

Beberapa penghentian operasional itu, di antaranya terkait dengan kebocoran pipa dan power outgage di PT Pertamina Hulu Energi Offshore Southeast Sumatra (PHE OSES), kebocoran pipa di PHE Offshore North West Java (ONWJ), tanah longsor di Lapangan Kedung Keris milik ExxonMobil Cepu Ltd (EMCL), kendala Train-1 pada KKKS bp. “Penurunan produksi di PHE OSES terutama disebabkan karena isu power outgage dan kebocoran pipa, sementara Blok Cepu karena kenaikan gas oil ratio dan water cut,” kata dia.

Indonesia Simpan Potensi Listrik Besar dari Panas Bumi, Kok Belum Bisa Gantikan Batu Bara?

Liputan6.com; 15 November 2023

Liputan6.com, Jakarta – Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai, pemanfaatan panas bumi sangat berpotensi merealisasikan target bebas emisi atau net zero emission (NZE) Indonesia. Pasalnya, jika seluruh potensi panas bumi di tanah air dapat dimanfaatkan, terdapat potensi penurunan has rumah kaca (GRK) sekitar 182,32 juta ton CO2e, atau setara 58 persen target penurunan GRK sektor energi 2030 sebesar 314 juta ton CO2e.

Komaidi memaparkan, dibandingkan dengan energi baru dan energi terbarukan (EBET) lain panas bumi punya sejumlah keunggulan. Antara lain, tak tergantung cuaca, menghasilkan energi lebih besar untuk periode produksi yang sama, tak perlu lahan luas untuk proses produksi.

Kemudian, punya capacity factor yang lebih besar, prioritas untuk kepentingan domestik karena tak bisa diekspor, bebas dari risiko kenaikan harga energi fosil, dan biaya operasi pembangkitnya relatif paling murah.

“Capacity factor atau perbandingan produksi listrik dengan kemampuan produksi maksimum dari pembangkit panas bumi merupakan salah satu yang terbaik dibandingkan pembangkit berbasis EBET lainnya maupun pembangkit listrik berbasis fosil,” ujar Komaidi dikutip dari pernyataan tertulis, Rabu (15/11/2023).

“Hal tersebut terlihat dari meskipun kapasitas terpasang pembangkit listrik panas bumi (PLTP) milik PLN pada tahun 2022 hanya sekitar 0,84 persen terhadap total kapasitas terpasang, produksi listrik PLTP PLN pada tahun yang sama mencapai sekitar 2,25 persen terhadap total produksi listrik PLN,” terangnya.

Meski punya banyak keunggulan, Komaidi menambahkan, pengembangan dan pengusahaan panas bumi di Indonesia masih terkendala masalah keekonomian harga. Khususnya karena harga jual tenaga listrik dari panas bumi yang masih lebih tinggi dari jenis EBET lainnya.

“Untuk saat ini, harga jual tenaga listrik panas bumi juga dilaporkan lebih tinggi dibandingkan BPP (biaya pokok penyediaan) tenaga listrik nasional,” imbuh dia.

Proyek Panas Bumi Belum Kompetitif

Menurut dia, sejumlah kendala yang menyebabkan keekonomian proyek panas bumi relatif belum kompetitif, antara lain, sulit terjadi kesepakatan harga jual-beli antara pengembang panas bumi dengan PLN sebagai pembeli tinggal, kebijakan eksisting mengharuskan harga listrik EBET bersaing dengan pembangkit fosil, jumlah lembaga keuangan yang bersedia memberikan pinjaman pada fase eksplorasi masih terbatas.

Lalu, izin sering bermasalah karena wilayah kerja berada di hutan konservasi, risiko investasi tinggi karena kepastian potensi cadangan dan kualitas uap yang belum jelas, dan masih terdapat sejumlah izin yang harus dipenuhi meskipun izin usaha pertambangan (IUP) pengusahaan panas bumi telah terbit.

“Dalam jangka pendek dan menengah, BPP tenaga listrik panas bumi akan relatif sulit bersaing dengan pembangkit berbasis fosil. Sekitar 70 persen komponen biaya pembangkitan listrik panas bumi adalah biaya modal (capital cost). Sementara porsi capital cost dalam struktur biaya pembangkitan berbasis batubara, gas, dan BBM hanya 15-30 persen,” terangnya.

Harga Listrik Panas Bumi

Mengacu studi IRENA, harga listrik panas bumi di Tanah Air masih tinggi lantaran risiko pada tahap eksplorasi masih besar. Itu menyumbang sekitar 50 persen dari total risiko bisnis dalam pengembangan dan pengusahaan panas bumi, yang dipengaruhi informasi soal lokasi, cadangan panas bumi terbukti, dan ketersediaan data.

Dikatakan Komaidi, dalam jangka panjang seiring tren harga energi primer meningkat, BPP tenaga listrik panas bumi berpotensi lebih kompetitif atau bahkan lebih murah dibandingkan BPP tenaga listrik berbasis fosil.

Sebab, porsi biaya bahan bakar dalam komponen biaya pembangkitan berbasis batubara, gas dan BBM antara 40-74 persen. Sementara porsi biaya bahan bakar dalam komponen biaya pembangkitan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) tidak sampai mencapai 1 persen.

“Data rata-rata beban usaha pembangkitan pada 2022 menegaskan, bahwa dalam jangka panjang BPP tenaga listrik panas bumi akan lebih kompetitif. Data statistik PLN menunjukan, rata-rata beban usaha pembangkitan untuk semua jenis pembangkit di 2022 adalah Rp 1.460,59 per kWh. Sementara beban usaha pembangkitan listrik panas bumi pada tahun yang sama dilaporkan Rp 118,74 per kWh, atau hanya 8,12 persen dari rata-rata beban usaha pembangkitan untuk semua jenis pembangkit,” urainya.

Sektor Energi Rendah Karbon, Skenario dan Faktor yang Mempengaruhinya

Katadata.co.id; 16 November 2023
Penulis: Pri Agung Rakhmanto
Founder & Advisor ReforMiner Institute; pengajar ekonomi dan kebijakan energi FTKEnergi Universitas Trisakti.

Mewujudkan tingkat emisi nol bersih (Net Zero Emission, NZE) pada 2060 atau lebih cepat, telah menjadi komitmen pemerintah. Salah satu kerangka regulasi yang memayunginya saat ini adalah Keputusan Menteri (Kepmen) KLHK No.168/Menlhk/PTKL/PLA.1/2/2002. Merujuk regulasi tersebut, terdapat beberapa kemungkinan dan pilihan skenario untuk mencapai target emisi nol bersih, yaitu skenario Current Policy (CPOS), peta jalan Transitions (TRNS), dan skenario Low Carbon Development Compatible with Paris (LCPP). Dalam skenario CPOS, emisi gas rumah kaca Indonesia diproyeksikan akan terus meningkat menjadi sekitar 2.500 juta ton CO2e pada 2050.

Emisi diproyeksikan turun menjadi sekitar 1.500 juta ton CO2e pada 2050 jika Indonesia menjalankan skenario TRNS. Sementara jika skenario LCPP yang dijalankan, emisi gas rumah kaca Indonesia pada 2050 diproyeksikan dapat lebih rendah lagi.

Terkait dengan berbagai kemungkinan dan pilihan skenario Indonesia untuk mencapai NZE, berbagai komunitas energi internasional seperti International Energy Agency (IEA) dan pelaku industri energi berskala global-multinasional seperti Shell International turut memberikan perhatian.

Dalam dokumen A Roadmap to a Net Zero Energy Sector for Indonesia yang diterbitkan oleh IEA disebutkan, sekitar seperempat pengurangan emisi yang dibutuhkan pada 2050, memerlukan kontribusi penggunaan hidrogen dan bahan bakar berbasis hidrogen, elektrifikasi rendah karbon pada beberapa proses industri, serta penerapan teknologi penangkapan, penyimpanan dan penggunaan karbon (Carbon Capture Storage/Utilisation, CCS/CCUS).

Shell International, dalam dokumen Shell Scenarios Sketch, Indonesia: Transitioning Towards A Sustainable and Inclusive Energy Future (2021) menggarisbawahi beberapa komponen utama yang perlu mendapatkan perhatian, dukungan, dan digarap secara lebih serius dan masif untuk mencapai NZE di sektor energi.

Komponen tersebut meliputi: 1) pengembangan sektor kelistrikan dan infrastrukturnya yang berbasiskan energi baru terbarukan dan rendah karbon; 2) penggunaan bahan bakar rendah karbon seperti hidrogen, green hydrogen, bioenergy, dan bahan bakar nabati pada sektor di luar kelistrikan seperti transportasi dan industri; dan 3) penerapan teknologi Carbon Capture Storage/Utilisation (CCS/CCUS) pada industri energi, baik hulu, midstream, maupun hilir.

Dari berbagai proyeksi skenario dan kemungkinan pilihannya sebagaimana dikemukakan di atas, semuanya pada dasarnya menggarisbawahi sektor energi memegang peranan penting dalam pencapaian target NZE. Sektor kelistrikan akan menjadi kuncinya.

Berdasarkan informasi yang ada, penurunan emisi gas rumah kaca terbesar di sektor kelistrikan ditargetkan akan berasal dari pembangkit listrik. Pencapaian NZE pada sektor kelistrikan dilakukan dengan menyeimbangkan antara porsi pembangkit berbasis fosil dengan pembangkit berbasis energi baru dan energi terbarukan (EBET) rendah karbon.

Kapasitas pembangkit berbasis fosil dikurangi secara bertahap, sementara kapasitas pembangkit berbasis EBET ditambah secara lebih progresif. Secara umum, dapat dikatakan bahwa sektor kelistrikan nasional perlu bertransformasi dari yang saat ini kurang lebih 60% mengandalkan fosil, menjadi 60% lebih mengandalkan EBET di tahun 2060.

Penggunaan bahan bakar rendah karbon seperti hidrogen, green hydrogen, bioenergy, dan bahan bakar nabati, terutama ditujukan untuk mengurangi emisi karbon pada sektor di luar kelistrikan. Sebagaimana terangkum dari berbagai proyeksi di atas, emisi sektor energi yang pada tahun 2060 kurang lebih akan mencapai 401 juta ton CO2e atau lebih, akan berasal dari penggunaan energi pada sektor industri, transportasi, komersial, rumah tangga, dan sektor lainnya.

Salah satu skenario Shell merekomendasikan Indonesia perlu meningkatkan porsi pemanfaatan bahan bakar nabati dan hidrogen hingga porsi terhadap total konsumsi energi final pada 2060 masing-masing mencapai 60% dan 10%.

Penerapan teknologi CCS/CCUS diproyeksikan dapat berkontribusi dalam mengurangi emisi karbon sekitar 190 Mt CO2 atau sekitar sepertiga dari jumlah emisi karbon saat ini. Pada skenario yang progresif, penerapannya diperkirakan bahkan dapat membantu mengurangi emisi karbon hingga sebesar 400 Mt CO2.

Faktor Kunci yang Berpengaruh

Berbagai skenario dan pilihan peta jalan untuk mencapai target NZE di sektor energi sebagaimana dipaparkan di atas pada dasarnya memang telah tersedia, dan dari angka-angka yang ada semuanya tampak menjanjikan. Namun, untuk merealisasikannya sangat tidak mudah.

Sektor energi Indonesia, saat ini, baik dalam hal kondisi, sistem infrasruktur maupun kebijakannya secara keseluruhan dapat dikatakan masih sangat berat-bergantung kepada bahan bakar dan sumber energi berbasis fosil. Porsi energi fosil dalam sistem energi nasional saat ini masih signifikan, jika tidak bisa dikatakan sangat signifikan. Porsi batubara misalnya, merujuk pada data dan laporan Dewan Energi Nasional (DEN)-KESDM 2022, pada 2021 tercatat masih mencapai 37,6% dalam bauran energi primer. Porsi minyak dan gas (migas), lebih besar lagi, yaitu mencapai kisaran 51% dari bauran energi primer nasional pada 2021 lalu.

Data Kementerian ESDM (2022) menyebutkan, porsi EBET di dalam bauran energi nasional tercatat baru mencapai 14,11% dari target 23% di tahun 2025. Realisasi EBET di dalam bauran energi nasional yang belum memenuhi target tersebut menegaskan bahwa transisi energi dan pencapaian NZE memang tidak mudah untuk dilakukan. Di dalam praktek, untuk dapat merealisasikan target NZE diperlukan investasi (pendanaan) dalam jumlah masif yang disertai dengan dukungan kebijakan fiskal dan non-fiskal. Bagi para pelaku usaha di sektor energi, pergeseran investasi dari fosil ke arah non-fosil dan rendah karbon memerlukan tambahan investasi baru.

Implikasinya, sampai dengan batas waktu tertentu hingga skala ekonominya terpenuhi, harga jual produk EBET tetap akan lebih mahal dibandingkan dengan harga energi fosil. Dalam situasi seperti ini, mekanisme pasar tidak akan dapat bekerja dan berjalan sendiri. Perbedaan target penurunan emisi Indonesia sebesar 26% (0,038 Giga ton CO2) dengan upaya sendiri atau sebesar 41% (0,056 Giga ton CO2) jika mendapatkan bantuan dari dunia internasional, menggambarkan bahwa konsekuensi biaya yang akan timbul atas pilihan skenario yang diambil, menjadi pertimbangan utama di dalam menjalankan berbagai upaya untuk pencapaian target NZE.

Dalam konteks ini, ada tiga hal yang seluruhnya merupakan aspek ekonomi dan memerlukan kebutuhan dana di dalam prakteknya, yaitu investasi (di sisi pelaku usaha), fiskal (di sisi pemerintah) dan pasar (di sisi konsumen). Instrumen kebijakan yang dapat mewakili ketiga aspek ekonomi ini adalah kebijakan harga energi yang tepat, konsisten mengedepakan pertimbangan kaidah keekonomian dan mekanisme bisnis yang wajar, bukan kebijakan harga yang semata mengedepankan pertimbangan politis-populis.

Faktor lain yaitu pertimbangan jaminan keberlanjutan dan keamanan pasokan energi, juga tidak kalah pentingnya. Peningkatan 6% konsumsi energi fosil global terutama batubara pada 2020-2021, yaitu di Asia Pasifik (5,2%), Amerika Utara (16,1%), Amerika Latin (13,6%), Eropa (8,6%), Eurasia (1,4%), Afrika (5,7%), di tengah kampanye transisi energi yang terus menguat, menegaskan bahwa keamanan dan keberlanjutan pasokan energi tetap menjadi prioritas utama dari masing-masing negara.

Fenomena sejumlah negara yang sebelumnya telah berkomitmen meninggalkan batubara tetapi pada saat kritikal kembali menggunakan batubara, perlu menjadi perhatian dan referensi bagi Indonesia dalam menjalankan kebijakan NZE. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa aspek keamanan pasokan energi untuk setiap negara tetap merupakan yang terpenting di dalam era transisi energi dan penerapan NZE ke depan.

Revisi target waktu pencapaian penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia dari tahun 2020 (Perpres No.61/2011), menjadi mundur pada 2030 (UU No.16/2016), telah mengonfirmasi bahwa pencapaian target NZE di dalam prakteknya memang tetap selalu perlu menyesuaikan dengan kondisi dan aspek ketahanan ekonomi-energi. Baik di tingkat global maupun regional-nasional yang selalu bergerak dinamis.

Hal tersebut tidak berarti kita mesti melangkah mundur dari komitmen NZE yang telah digariskan, tetapi justru menjadi pendorong untuk segera menciptakan ekosistem bisnis EBET yang lebih solid. Pengembangan EBET tidak semata-mata dilakukan hanya untuk mencapai target NZE, tetapi tetap merupakan bagian dari upaya untuk mengamankan pasokan energi di dalam negeri.

Karena itu, kerangka regulasi yang diperlukan seperti Undang-Undang Energi Terbarukan dan peraturan pelaksanaanya, aturan tentang insentif dan pelaksanaan CCS/CCUS dan perdagangan karbon, perlu segera disediakan.

Transisi Energi & Value Creation Industri Panas Bumi

CNBCIndonesia; 10 November 2023

Penulis: Pri Agung Rakhmanto
Founder & Advisor ReforMiner Institute; pengajar ekonomi dan kebijakan energi FTKEnergi Universitas Trisakti.

Di dalam merespons gelombang transisi energi, salah satu garis utama kebijakan pemerintah adalah mencapai target Net Zero Emission (NZE)pada tahun 2060. Lima strategi pokoknya adalah melalui peningkatan pemanfaatan energi baru dan energi terbarukan (EBET), pengurangan energi fosil, penggunaan kendaraan listrik di sektor transportasi, peningkatan pemanfaatan listrik pada rumah tangga dan industri, dan melalui penerapan Carbon Capture and Storage (CCS).

Dalam hal peningkatan porsi EBET, dalam skenario NZE Dewan Energi Nasional (DEN), porsi EBET dalam bauran energi nasional ditargetkan mencapai 39% di tahun 2040 dan 66% pada tahun 2060.

Sumber energi panas bumi memiliki peluang yang besar untuk membantu mewujudkan upaya pemerintah mencapai target NZEpada tahun 2060. Karakteristik panas bumi sebagai sumber energi bersih-terbarukan dengan potensi sumberdaya dan cadangan yang cukup besar membuat energi panas bumi potensial untuk berkontribusi dan menjadi salah satu komponen penting dalam pencapaian target NZE transisi energi.

Jika seluruh potensi sumber daya panas bumi Indonesia yang mencapai 23,7 Gigawatt (GW) dapat dimanfaatkan, terdapat potensi penurunan gas rumah kaca (GRK) sekitar 182,31 Juta Ton CO2e atau setara dengan 58 % target penurunan emisi gas rumah kaca di sektor energi pada tahun 2030 yang ditetapkan sebesar 314 Juta Ton CO2e.

Listrik Panas Bumi

Pemanfaatan panas bumi di sektor kelistrikan tentu saja merupakan salah satu komponen transisi energi dan instrumen pencapaian NZE yang terpenting. Hingga tahun 2022, kapasitas listrik dari panas bumi terpasang mencapai 2,3 GW, atau kurang lebih 10% dari dari total sumberdaya panas bumi yang ada.

Total kapasitas terpasang pembangkit listrik panas bumi tersebut tercatat sebagai ketiga terbesar diantara pembangkit listrik EBET lainnya. Porsi kapasitas terpasang pembangkit panas bumi dibandingkan total kapasitas terpasang pembangkit EBET nasional adalah sekitar 18,70%.

Berdasarkan RUPTL 2021-2030, diproyeksikan total tambahan kapasitas pembangkit akan mencapai 40,575 Gigawatt (GW), dengan porsi pembangkit EBET diproyeksikan sebesar 20,923 GW atau 51,6% dan porsi pembangkit fosil sebesar 19,562 GW atau 48,4%. Penambahan pembangkit listrik dari panas bumi diproyeksikan mencapai 3,355 GW, atau kurang lebih mencapai 16% dari rencana penambahan pembangkit listrik dari sumber EBET.

Tentu tidak sederhana untuk dapat mencapai target penambahan kapasitas tersebut. Pengembangan energi panas bumi di sektor kelistrikan masih berkutat dengan sejumlah permasalahan pokok, seperti:

1. Listrik dari pembangkit panas bumi dihadapkan pada kondisi single buyer-market

2. Harga jual listrik panas bumi yang tidak dapat melampaui Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik nasional dan/atau BPP listrik di wilayah setempat

3. Tidak mudahnya mencapai titik temu harga jual-beli antara pengembang panas bumi dengan pembelinya

4. Harga listrik panas bumi yang masih dikompetisikan dengan listrik dari energi fosil

5. Daya dukung lembaga keuangan yang masih relatif terbatas, dan

6. Perizinan berusaha yang tidak selalu didapatkan oleh pengembang.

Value-Creation Industri Panas Bumi

Pengembangan industri panas bumi tidak terbatas pada pembangkitan energi listrik saja. Pemanfaatan langsung (direct use) dari energi panas bumi yang dihasilkan telah banyak berkembang untuk mendukung pembudidayaan di sektor pertanian, perkebunan dan peternakan.

Implementasi value-creation lainnya adalah dengan mengekstrak, mengolah dan memanfaatkan secondary product dari produksi panas bumi. Di antaranya yang sudah banyak dijalankan di berbagai negara seperti Jepang, Islandia, Italia, Polandia, AS dan Selandia Baru adalah ekstraksi silika, produksi green methanol dan green hydrogen.

Silika adalah bahan baku untuk berbagai industri kimia, green methanol dan green hydrogen dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi dan bahan bakar.

Di Indonesia, implementasi value creation pada industri panas bumi, oleh Pertamina Geothermal Energy (PGE) salah satunya, pada dasarnya telah berjalan di sejumlah wilayah. Uap dari lapangan panas bumi Lahendong dan Kamojang dimanfaatkan secara langsung untuk kegiatan perkebunan dan budidaya dengan target produksi 100 kg/hari.

Beberapa upaya lain yang tengah dilakukan PGE diantaranya adalah pilot project untuk green hydrogen di lapangan Lahendong, studi ekstraksi silika untuk mendapatkan penilaian pra-kelayakan potensi ekstraksi di Hululais dan pre-study green methanol untuk potensi perluasan jalur hidrogen hijau di proyek Ulubelu.

Penerapan value-creation pemanfaatan energi panas bumi pada skala yang sudah layak secara ekonomi dan komersial pada dasarnya nantinya tidak hanya akan membantu pencapaian target NZE. Lebih dari itu, secondary product dari panas bumi berpotensi memberikan dampak positif bagi perekonomian negara.

Produk yang dihasilkan dalam hal ini nantinya tidak hanya dapat dipasarkan untuk kebutuhan di dalam negeri tetapi juga untuk memenuhi permintaan global yang diproyeksi terus meningkat. Untuk hydrogen misalnya, berdasarkan informasi yang dihimpun, permintaan hydrogen global diproyeksi meningkat sekitar 4,3% selama kurun waktu 2020 – 2030.

Sementara berdasarkan publikasi Kementerian ESDM (2023), kebutuhan hydrogen di Indonesia saat ini berada pada kisaran 1,75 juta ton per tahun, dengan pemanfaatan didominasi untuk urea (88%), amonia (4%) dan kilang minyak (2%). Kebutuhan tersebut diproyeksi akan terus meningkat. Pada periode 2031 – 2041, kebutuhan hydrogen diproyeksi tidak hanya akan datang dari sektor industri tetapi juga dari sektor transportasi, sebagai bahan bakar.

Dengan demikian, selain untuk produksi listrik, penerapan value-creation pada industri panas bumi dengan perluasan jangkauan direct-use dan dengan mengoptimalkan secondary product sebagaimana dipaparkan di atas merupakan pilihan rasional yang harus didukung semua pihak.

Sejumlah kendala utama yang masih harus diatasi diantaranya adalah biaya produksi dan ekstraksi yang masih tinggi, kebutuhan infrastruktur transportasi dan penyimpanan, ketidakpastian pasar yang masih cukup tinggi, hingga masalah rantai pasokan yang kemudian mempengaruhi keekonomian dan kelangsungan proyek secara keseluruhan.

Terobosan dan kebijakan konkret memang sangat diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan pengembangan panas bumi di Indonesia, baik untuk sektor kelistrikan maupun di dalam konteks untuk dapat menerapkan value creation dalam pemanfaatan lainnya.

Dalam hal harga listrik panas bumi, salah satu terobosan yang mungkin dapat diterapkan adalah melalui pemberian subsidi khusus atau penugasan khusus kepada PLN dengan kompensasi agar dapat membeli listrik panas bumi sesuai dengan tingkat keekonomiannya.

Alternatif lainnya adalah pemerintah memberikan sejumlah insentif investasi dan insentif perpajakan agar keekonomian proyek panas bumi masuk dalam rentang harga beli listrik oleh PLN. Keterlibatan langsung pemerintah dalam tahapan kegiatan eksplorasi, juga dapat menjadi salah satu opsi kebijakan yang dapat dapat diambil untuk menurunkan risiko usaha pengembangan panas bumi yang ada.

Dalam hal untuk mempercepat dan memperluas implementasi value creation, diperlukan kolaborasi berbagai pihak untuk menciptakan ekosistem pengembangan dan pemanfaatan secondary product panas bumi yang secara kelayakan penerapan teknologi dan model bisnisnya feasible dan berkelanjutan.

Tak Ada Temuan Raksasa, Mustahil Produksi Minyak RI Bisa Naik

CNBCIndonesia.com; 06 November 2023

Jakarta, CNBC Indonesia – Upaya Pemerintah Indonesia untuk mengejar target kenaikan produksi yang signifikan kemungkinan cukup sulit. Terutama, apabila hanya mengandalkan lapangan minyak yang sudah berusia uzur.
Founder & Advisor ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menjelaskan, perlu upaya ekstra bagi pemerintah untuk dapat menggenjot kenaikan produksi minyak. Sebab, apabila hanya mengandalkan produksi dari lapangan tua cukup mustahil.

Menurut dia, kenaikan produksi minyak dapat terjadi apabila sudah ada investasi dan produksi dari lapangan-lapangan baru yang skalanya cukup besar. Misalnya, sekelas Blok Cepu yang dikelola ExxonMobil Cepu Ltd atau Blok Rokan yang kini dikelola PT Pertamina Hulu Rokan (PHR).

“Yang akan membuat produksi naik adalah kalau sudah ada investasi dan produksi dari lapangan-lapangan baru yang skalanya besar seperti sekelas Blok Cepu atau Rokan misalnya. Harus berhasil dulu eksplorasinya atau upaya EOR nya di lapangan besar sekelas itu, baru akan bisa naik produksi,” kata Pri Agung kepada CNBC Indonesia, Senin (6/11/2023).

Sementara itu, Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Migas (Aspermigas) Moshe Rizal menilai, setidaknya terdapat dua hal yang dapat mengurangi tingkat penurunan produksi minyak nasional.

Pertama, yaitu optimalisasi produksi yang ada seperti dengan workover wells, peningkatan produktivitas dan pemanfaatan sumur-sumur yang ditinggalkan (abandoned wells) dengan re-entry. Kedua, yakni dengan percepatan monetisasi rencana pengembangan lapangan migas atau Plan of Development (PoD).

“Dan kalau untuk meningkatkan produksi nasional, ada dua hal juga, yaitu implementasi teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) dan Eksplorasi untuk menemukan cadangan-cadangan baru,” tambahnya.

Namun, menurut Moshe semua itu setidaknya membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Di sisi lain, sektor energi dunia saat ini juga sudah mulai shifting dari energi fosil ke energi yang lebih bersih.

“Begitu juga kapital yang diinvestasikan, sehingga membuat situasi persaingan antara negara makin keras untuk menarik investor ke negaranya masing-masing, jadi Indonesia harus terus berlomba untuk meningkatkan iklim investasinya,” kata dia.

Sebagaimana diketahui, produksi minyak nasional hingga kini masih belum menunjukkan tren kenaikan yang positif. Padahal, pergantian tahun dari 2023 menuju 2024 semakin dekat.

Mengutip data Kementerian ESDM, produksi minyak harian per 4 November baru mencapai 571.280 barel per hari (bph). Sementara pemerintah memasang target produksi lifting minyak dalam APBN 2023 di level 660.000 bph.

Peran Penting Kegiatan Usaha Hulu Migas dalam Stabilitas Rupiah

Katadata.co.id; 27 Oktober 2023

Kegiatan usaha industri hulu migas memiliki peran penting terhadap stabilitas nilai tukar rupiah. Hal tersebut karena industri ini memiliki kontribusi yang cukup signifikan dalam perolehan dan pengeluaran devisa. Jumlah devisanya cukup besar. Dalam perkembangannya, kebutuhan devisa impor untuk migas juga relatif besar dan terus meningkat. Terkait dengan perolehan devisa, industri hulu migas memiliki rekam jejak yang sangat baik. Perolehan devisa yang dicapai paling tidak melalui dua sumber utama yaitu dari aktivitas kegiatan investasi yang sebagian merupakan penanaman modal asing (PMA) dan devisa dari hasil kegiatan ekspor minyak dan gas bumi yang telah diproduksi.

Realisasi nilai investasi hulu migas dapat dikatakan relatif besar. Sebagai gambaran, pada 2014, nilai investasi hulu migas ditargetkan US$ 26,64 miliar. Dalam beberapa tahun terakhir realisasi investasinya memang sedikit menurun, tetapi tetap pada nilai signifikan yaitu US$ 14 – 18 miliar untuk setiap tahunnya. Akumulasi realisasi nilai investasi selama 2012 – 2022 mencapai sekitar Rp 2.250 triliun.

Neraca Migas dan Nilai Tukar Rupiah

Data dan informasi yang ada menunjukkan bahwa kegiatan usaha hulu migas memiliki peran yang sangat penting pada periode awal pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Selain berkontribusi signifikan terhadap penerimaan negara dan hibah pada saat itu, industri hulu migas berkontribusi signifikan dalam perolehan devisa impor. Peran penting industri hulu migas tersebut terlihat dari porsi perolehan devisa ekspor migas. Pada 1975 dan 1976, misalnya, kontribusi nilai ekspor minyak bumi dan gas bumi masing-masing mencapai 80 % dan 78 % terhadap total nilai ekspor Indonesia. Porsi ini masih relatif signifikan sampai dengan periode Indonesia menjadi net importir minyak bumi.

Dalam perkembangannya, kondisi neraca minyak bumi Indonesia berubah signifikan. Terjadi jurang antara kemampuan produksi dan tingkat konsumsi minyak di dalam negeri. Produksi minyak bumi yang pada 1975 dan 1976 masing-masing 1,3 juta dan 1,5 juta barel per hari, turun menjadi 644 ribu barel per hari pada 2022. Sementara konsumsi minyak bumi Indonesia pada 1975 dan 1976 baru sebesar 221 ribu dan 237 ribu barel per hari, telah meningkat menjadi 1,58 juta barel per hari pada tahun kemarin.

Peningkatan konsumsi minyak Indonesia yang tidak seimbang dengan kemampuan produksi tersebut kemudian harus dipenuhi dari impor. Pada 2022, Indonesia mengimpor sekitar 104,72 juta barel minyak mentah dan 28 juta kilo liter (KL) produk. Jenis produk yang diimpor meliputi avtur, avgas, gasoline, gasoil, naphta, HOMC, fuel oil, dan MDF. Berdasarkan jenisnya, sebagian besar impor didominasi oleh gasoline (77 %) dan gasoil (19 %).

Perubahan yang terjadi pada neraca migas, terutama neraca minyak bumi telah berdampak terhadap peningkatan kebutuhan devisa impor migas yang signifikan. Nilai impor migas pada 1975 dan 1976 masing-masing US$ 4,76 miliar dan 5,67 miliar. Sementara pada 2022 nilai impor migas meningkat menjadi US$ 40,41 miliar. Peningkatan impor yang signifikan tersebut memberikan dampak terhadap defisit pada neraca perdagangan migas.

Pada 2022 neraca perdagangan migas Indonesia defisit US$ 24,40 miliar. Defisit tersebut karena nilai impor migas pada tahun lalu mencapai US$ 40,41 miliar, sementara nilai ekspor migas pada tahun yang sama hanya US$ 16,02 miliar. Defisit neraca perdagangan migas ini meningkat 83,69 % dibandingkan defisit tahun 2021 yang dilaporkan US$ 13,28 miliar. Jika tidak segera ditangani dengan baik, defisit neraca perdagangan migas dalam beberapa tahun ke depan kemungkinan semakin meningkat. Jika mengacu pada proyeksi neraca migas dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), kebutuhan devisa impor migas pada 2030 paling tidak mencapai sekitar US$ 100 miliar. Peningkatan kebutuhan devisa impor tersebut akibat defisit neraca minyak bumi yang diproyeksikan mencapai sekitar US$ 679 juta barel, defisit gas bumi 2 juta BBTU, dan defisit neraca LPG sekitar 4,2 juta ton.

Kebutuhan devisa impor migas akan meningkat sangat signifikan jika Indonesia tidak mampu untuk mempertahankan keberlanjutan produksi migas di dalam negeri. Dengan asumsi tidak lagi terdapat produksi dalam negeri dan tingkat konsumsi migas sesuai dengan proyeksi RUEN, kebutuhan devisa impor migas pada 2050 dapat mencapai US$ 270 miliar. Dan sebagai gambaran, kemampuan cadangan devisa Indonesia pada saat ini baru sekitar US$ 137 miliar. Data dan informasi tersebut memberikan gambaran bahwa industri hulu migas memiliki keterkaitan yang kuat terhadap stabilitas nilai tukar rupiah. Meskipun bukan merupakan faktor tunggal, kemampuan industri hulu migas dalam menghasilkan devisa serta kebutuhan devisa impor migas yang cukup besar, dalam tingkatan tertentu dapat menjadi faktor penentu terhadap stabilitas nilai tukar rupiah.

Data dan informasi tersebut memberikan gambaran bahwa industri hulu migas memiliki keterkaitan yang kuat terhadap stabilitas nilai tukar rupiah. Meskipun bukan merupakan faktor tunggal, kemampuan industri hulu migas dalam menghasilkan devisa serta kebutuhan devisa impor migas yang cukup besar, dalam tingkatan tertentu dapat menjadi faktor penentu terhadap stabilitas nilai tukar rupiah. Korelasi yang relatif kuat antara pergerakan harga minyak bumi dan gas bumi dengan penguatan/pelemahan nilai tukar rupiah yang telah terjadi hampir dalam sepuluh tahun terakhir semakin menegaskan bahwa kegiatan usaha hulu migas memiliki peran penting dalam membantu terjadinya stabilitas nilai tukar rupiah.

Aspek Keekonomian Jadi Kunci Keberhasilan Bisnis CCS/CCUS di Indonesia

Kontan.co.id; 22 Oktober 2023

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah masih mengkaji opsi skema monetisasi atau komersialisasi proyek penyimpanan karbon atau carbon capture storage (CCS) di Indonesia. Pengamat menilai, salah satu kunci supaya proyek ini bisa sukses ialah aspek keekonomian dan bisnis yang menarik.

Indonesia sudah memiliki modal yang kuat menjadi CCS Hub di Kawasan Regional berupa potensi penyimpanan karbon yang mencapai 400 giga ton CO2. Saat ini sudah ada 15 proyek sedang dirancang dan diperkirakan mampu menyimpan karbon sebanyak 4,31 giga ton CO2.

Founder dan Advisor ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto menjelaskan, saat ini teknologi CCS/CCUS relatif sudah tersedia di tingkat global. Pelaku usahanya pun juga sebagian besar sama dengan pengusaha hulu migas global yakni International oil companies (IOCs).

Dia mengakui, potensi investasi CCS/CCUS di Tanah Air sangat besar. Tetapi belum tentu alokasi investasi dari para perusahaan besar otomatis masuk ke sektor ini. Pasalnya, investor akan selalu mendasarkan keputusan investasinya pada skala prioritas sesuai strategi korporasi denga parameter utamanya adalah seberapa menarik dari sisi keekonomian.

“Dalam hal penerapan CCS/CCUS di Indonesia ini isunya lebih kepada aspek atau hitung-hitungan bisnis dan keekonomian. Jika diterapkan di Indonesia bagaimana para pelaku atau investor mendapatkan pengembalian investasinya yang wajar,” kata dia kepada Kontan.co.id.

Baca Juga: Harga Listrik PLTU yang Gunakan CCS Bisa Mahal, Pemerintah Masih Kaji Opsi Terbaik

Maka itu, pada dasarnya pemerintah semestinya membuat skema pengembangan CCS/CCUS di Indonesia sama dengan menarik investasi di hulu migas.

Namun dia menilai, saat ini regulasi CCS/CCUS baru sebatas memberikan sinyal bahwa investasi pada teknologi ini bisa dianggap sebagai bagian biaya operasi perminyakan. Maka itu, masih diperlukan mekanisme kajian dan persetujuan untuk memenuhinya.

“Artinya, bagi investor, tetap masih menyisakan sinyal ketidakpastian. Mestinya, regulasi yang ada sudah bisa lebih tegas mengatur bahwa CCS/CCUS yang diterapkan di WK operasi upstream, otomatis itu adalah bagian dari operasi, dan investasinya adalah biaya operasi perminyakan tersebut,” kata dia.

Cara itu akan memberi kepastian lebih bagi investor. Misalnya saja, dengan sistem production sharing contract (PSC) cost recovery yang ada, sehingga proyek CCS/CCUS akan menjadi menarik.

Pembinaan Usaha Hulu Migas Ditjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Noor Arifin Muhammad menjelaskan, sejauh ini pemerintah masih menggodok skema monetisasi atau komersialisasi dalam pengembangan proyek penyimpanan karbon.

“Ini masih rancangan ya, tetapi kalau nanti jadi, arahnya akan diterapkan storage fee (biaya penyimpanan) dan carbon trading. Tetapi carbon trading ada di luar hulu dan bagaimana menghitungnya belum diputuskan,” kata dia, Selasa (10/10).

Arifin menjelaskan, jika aturan sudah rampung, maka karbon yang diinjeksi di dalam ruang penyimpanan akan dipungut biaya. Namun pihak yang menentukan dan besaran biaya belum ditetapkan, apakah pemerintah atau perusahaan sebagai pemilik Wilayah Kerja (WK).

Yang terang, dalam pelaksanaannya nanti, pemerintah akan mengacu pada PSC. “Apakah nanti dia royalti ke negara, bisa juga PSC kontrak bagi hasil. Cuma kecenderungan diskusi sepertinya royalti, tetapi belum fix,” imbuh Arifin.

Berkaca dari teori yang ada dan pengalaman di Eropa, Arifin menjelaskan, pemanfaatan CCS akan ramai diminati ketika suatu negara menetapkan biaya pajak karbon yang tinggi. Jadi badan usaha lebih memilih untuk menyimpan karbonnya, ketimbang membayar pajak yang mahal.

Dia bilang, penetapan pajak karbon ini tentu menjadi pekerjaan rumah bagi otoritas perpajakan alias Kementerian Keuangan.

“Nantinya potensi keuntungan bagi negara akan tergantung pada pajak karbon, biaya penyimpanan (storage fee), dan perdagangan karbon. Oleh negara itu selalu dipesankan kepentingan negara nomor satu,” imbuhnya.

Baca Juga: Kebutuhan Investasi Naik Karena Perubahan Iklim, Pemerintah Perlu Pasang Kuda-Kuda

Wakil Kepala SKK Migas, Nanang Abdul Manaf menjelaskan, masih banyak proyek-proyek CCS maupun CCUS yang sedang dalam tahap studi dan uji coba.

Dari sisi manajemen operasional, SKK Migas sedang menyusun pedoman prosedur CCS/CCUS untuk penerapan yang terintegrasi dengan lapangan migas, plan of development (PoD), dan manajemen karbon.

“Indonesia memiliki banyak lapangan tua yang berpotensi menjadi lokasi penyimpanan karbon,” ujar dia.

Nanang menegaskan, potensi yang menjanjikan ini hanya bisa dilaksanakan dengan aksi konkret dan membutuhkan dukungan dari semua stakeholders di industri migas.

RI Diwanti-wanti Serius Antisipasi Kenaikan Harga BBM Imbas Perang Hamas-Israel

IDXChannel; 17 Oktober 2023

IDXChannel – Pemerintah diminta mewaspadai perang Hamas-Israel yang nantinya diperkirakan akan berdampak terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Sebab, hal ini bisa saja terjadi karena minyak merupakan komoditas di pasar terbuka.

“Artinya kalau satu kawasan naik, ya juga akan berpengaruh ke semua kawasan ikut naik ya. Dampaknya nanti ke pengadaan harga BBM jadi lebih mahal. Nah ini yang saya kira perlu diantisipasi oleh pemerintah,” ujar Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro kepada MNC Portal Indonesia, Selasa (17/10/2023).

Komaidi menilai, apabila terjadi perang di kawasan Timur Tengah, maka akan memicu ekspektasi negatif dari pelaku pasar. Hal ini terlepas dari dukungan Amerika Serikat (AS) terhadap Israel.

“Relevansinya mungkin ada atau tidaknya dukungan ke sana yang namanya perang di kawasan Timur Tengah, maka fundamental yang berpengaruh besar terhadap pergerakan harga minyak,” imbuhnya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga telah menekankan bahwa kondisi dunia sedang tidak baik-baik saja dengan memanasnya konflik antara Hamas dan Israel.

Kepala Negara pun menyebut Indonesia bisa terdampak oleh tegangnya geopolitik di kawasan Timur Tengah itu.

Hal ini dikarenakan konflik yang berlangsung antara kedua kubu itu bisa berdampak terhadap harga BBM dunia dan tentunya bisa merembet ke kenaikan harga BBM Indonesia baik yang subsidi maupun yang non-subsidi.

“Saya tidak ingin menakut-nakuti, tapi bisa kejadian, kalau perang enggak selesai, harga BBM global pasti akan naik. Harga energi ini bisa naik gara-gara perang Palestina-Israel, harga energi tuh artinya bensin, Pertamax, Pertalite,” ujar di Jakarta, Minggu (15/10/2023) lalu.

Waspadai Lonjakan Harga Minyak Efek Perang Israel-Hamas

Kontan.co.id; 18 Oktober 2023

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pemerintah perlu mewaspadai lonjakan harga minyak global efek ketegangan geopolitik di Timur Tengah, yakni perang antara Israel dan Hamas.

Belum lagi, harga minyak mentah berjangka brent yang saat ini, Rabu (18/10) menguat US$ 1,75 atau 2% menjadi US$ 91,65 per barel.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, dengan berbagai kondisi tersebut maka anggaran subsidi maupun kompensasi pada tahun ini berpotensi jebol atau akan lebih besar dari yang dianggarkan.

“Semua faktor pendorongnya menuju ke arah sana ya baik dari komponen harga minyaknya juga cenderung berada pada level yang tinggi. Kemudian, nilai tukar Rupiah juga stabil ditingkat yang lebih tinggi, belum ada tanda-tanda penguatan signifikan,” ujar Komaidi kepada Kontan.co.id, Rabu (18/10).

Dirinya juga melihat ada peningkatan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) mengingat pada saat ini masih dalam tahap pemulihan menuju endemi.

“Artinya semua faktor yang ada mendorong untuk melampaui kuota maupun nilai subsidi yang ditetapkan,” katanya.

Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan antisipasi dalam merespons potensi faktor non fundamental dari pergerakan harga minyak dalam beberapa waktu terakhir. Utamanya akibat konflik geopolitik Timur Tengah yang membuat volume minyak di pasar global digunakan untuk kegiatan perang tersebut.

“Ini yang perlu diantisipasi oleh pemerintah mengingat nanti juga konsekuensinya kan ke anggaran subsidi. Jadi harus diantisipasi berbagai kemungkinannya,” terang Komaidi.

Menurutnya, pada saat pelaku pasar berekspektasi dengan kondisi perekonomian yang tidak baik, maka biasanya akan terjadi pembelian secara berlebihan yang ujungnya juga akan mengerek harga minyak ke level yang tidak wajar.

“Biasanya akan cenderung terjadi pembelian secara berlebihan, mungkin untuk mengamankan pasokan dan lain-lain karena terjadinya perang,” pungkasnya.

Catatan Implementasi Pengembangan Infrastruktur Gas Bumi

CNBCIndonesia; 12 Oktober 2023

Gas bumi diyakini dan diprediksi memainkan peranan penting dalam transisi energi, baik di tingkat global maupun untuk transisi energi di Indonesia. Peranan penting itu adalah sebagai jembatan dan sekaligus salah satu komponen utama yang keberadaannya vital.

Di tingkat global, merujuk BP Statistical Review 2022, porsi gas bumi dalam bauran energi primer saat ini adalah sekitar 24% dan diproyeksi terus meningkat. Konsumsi gas bumi global selama sepuluh tahun terakhir tercatat meningkat sekitar 1,78% per tahun.

Di tingkat nasional, pada tahun 2022, porsi gas bumi dalam bauran energi primer mencapai kisaran 15,96%. Proporsi tersebut diproyeksi terus berlanjut dan meningkat hingga 2050 mendatang. Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) pemerintah memroyeksikan porsi gas bumi dalam bauran energi primer Indonesia tahun 2050 menjadi sekitar 24% atau terbesar kedua setelah energi terbarukan.

Ketersediaan infrastruktur yang mampu menyalurkan gas bumi dari sumber pasokannya hingga termanfaatkan di titik-titik pengguna akhirnya dengan jangkauan konektivitas dan kapasitas yang memadai merupakan kunci bagi percepatan peningkatan pemanfaatan gas bumi di tanah air.

Dalam konteks Indonesia, di mana secara geografis baik sumber pasokan maupun pengguna gas bumi yang ada lokasinya tersebar – dan tidak selalu merata – di dalam pulau-pulau yang membentang dari NAD di bagian barat hingga Papua di bagian timur, maka infrastruktur yang diperlukan tidak hanya berupa jaringan pipa transmisi dan distribusi, tetapi juga meliputi infrastruktur LNG yang dapat berupa kilang, fasilitas pengisian, penyimpanan dan terminal regasifikasinya.

Kebijakan Makro

Terkait dengan ini, di tingkat kebijakan makro, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah menetapkan Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional (RIJTDGBN) melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor Nomor 10.K/MG.01/MEM.M/2023 tentang RIJTDGBN tahun 2022-2031 yang ditandatangani pada tanggal 12 Januari 2023 yang lalu.

Dalam Kepmen ESDM tentang RIJTDGBN tahun 2022-2031 tersebut, secara geografis Wilayah Jaringan Distribusi (WJD) terbagi ke dalam 6 region yaitu Region I : Aceh dan Sumatera Bagian Utara; Region II : Kepulauan Riau, Sumatera Bagian Tengah dan Selatan dan Jawa Bagian Barat; Region III : Jawa Bagian Tengah; Region IV : Jawa Bagian Timur; Region V : Kalimantan dan Bali; Region VI : Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua.

Dalam jangka menengah, pemerintah menggariskan kebijakan bahwa selama kurun waktu 2020 sampai dengan 2024 pembangunan infrastruktur pipa transmisi-distribusi gas bumi ditargetkan akan bertambah sebanyak 2.000 km dengan proyeksi akumulasi panjang pipa di tahun 2024 mencapai 17.300 km.

Sebagian besar dari target ini direncanakan berada di wilayah Indonesia bagian barat, yang kurang lebih mencakup Region I hingga Region IV. Sementara itu, untuk wilayah Indonesia bagian Timur (Region IV hingga Region VI), pembangunan infrastruktur gas lebih difokuskan pada pembangunan fasilitas LNG berupa kilang, pengisian-penyimpanan, dan regasifikasi.

Dari perspektif makro, garis kebijakan yang telah disusun dan ditetapkan pemerintah pada dasarnya dapat dikatakan telah cukup jelas di dalam mengidentifikasi dan memetakan kebutuhan infrastruktur yang selama ini menjadi isu utama di dalam pengembangan pemanfaatan gas di tanah air.

Rencana makro infrastruktur yang ada tersebut, jika terealisasikan dengan baik, selain akan lebih mendorong pengembangan lapangan-lapangan gas yang ada, juga akan dapat lebih menyeimbangkan neraca kebutuhan-pasokan gas antar wilayah yang selama ini tidak cukup berimbang.

Di tingkat implementasinya, beberapa rencana strategis pengembangan infrastruktur, baik yang akan dilakukan sendiri oleh pemerintah maupun yang sudah sekaligus merupakan rencana strategis dan program kerja dari BUMN terkait, seperti halnya Pertamina (khususnya subholding gas, PGN) dan PLN, jika dicermati, pada dasarnya secara umum juga telah sejalan dengan garis kebijakan makro yang ada.

Pada tingkatan yang lebih operasional, namun demikian, dan dalam konteks untuk dapat lebih mempercepat implementasi kebijakan yang ada, tetap diperlukan setidaknya tiga hal pokok berikut, yaitu konsistensi, sinkronisasi, dan intervensi proporsional atas kebijakan tersebut.

Konsistensi Kebijakan

Konsistensi kebijakan sangat diperlukan, terutama di dalam hal bagaimana menciptakan iklim investasi yang kondusif pada seluruh mata rantai penyediaan gas bumi. Hal ini mencakup bagaimana memberikan sinyal yang positif bagi para pelaku ekonomi untuk: 1) mendorong investasi eksplorasi-produksi lapangan gas di sisi hulu, 2) melakukan investasi di dalam ekspansi dan pembangunan infrastruktur penyaluran gas di sisi midtream, 3) meningkatkan pemanfaatan gas di tingkat pengguna akhir.

Instrumen kebijakan yang diperlukan dalam hal ini adalah kebijakan harga yang tepat, yang didasarkan atas prinsip dan kaidah keekonomian. Harga, di setiap segmen mata rantai penyediaan gas, haruslah sesuai dengan nilai keekonomiannya dan memberikan sinyal adanya (jaminan) pengembalian investasi atau maksimalisasi pemanfaatannya yang menarik.

Kebijakan insentif dan disinsentif, dalam konteks ini, semestinya diterapkan secara langsung-tertutup kepada yang ditargetkan (baik produsen maupun konsumen), dan tidak diterapkan di dalam bentuk intervensi atau pengaturan secara langsung terhadap level harga yang diberlakukan.

Dalam kaitan dengan ini, kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) untuk industri, misalnya, sebaiknya dievaluasi untuk diarahkan menjadi kebijakan insentif fiskal langsung-tertaget untuk sektor industri.

Sinkronisasi Rencana Program

Sinkronisasi diperlukan terutama untuk menyelaraskan berbagai konsep, rencana, dan program yang ada dan tersebar di berbagai institusi perumus maupun pelaksana kebijakan. Sebagai contoh dalam hal ini adalah sinkronisasi atas Rencana Induk Infrastruktur Gas Bumi dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dan dengan Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional (RIPIN).

Sinkronisasi juga diperlukan misalnya di dalam rencana dan program gasifikasi pembangkit listrik PLN untuk dapat selaras dengan rencana dan program pembangunan infrastruktur penyediaan dan penyaluran gasnya. Sinyal utama yang hendak dicapai dari sinkronisasi dalam konteks ini adalah kejelasan (kepastian) tentang pasar.

Bagi pelaku usaha di segmen hulu dan midstream, hal itu akan memberikan gambaran dan kepastian lebih jelas tentang permintaan gas. Bagi konsumen gas dan juga bagi pelaku usaha di midstream, hal itu sekaligus juga akan memberikan gambaran dan kepastian tentang pasokan Kejelasan dan kepastian tentang pasokan dan sekaligus permintaan ini dapat dikatakan merupakan kunci bagi para pelaku usaha di midstream dalam pengambilan keputusan dan eksekusi investasinya.

Kecepatan perluasan dan pengembangan infrastruktur gas, di dalam konteks ini, dengan demikian, ditentukan oleh sinkronisasi rencana program yang ada dan sinyal kepastian terkait pasokan-permintaan tersebut.

Intervensi Proporsional

Intervensi secara proporsional, seringkali diperlukan karena merupakan konsekuensi logis – yang tak terhindarkan dan (semestinya) harus dilakukan – dari adanya suatu pilihan kebijakan. Dari sudut pandang teori ekonomi, intervensi secara proporsional (dari pemerintah) diperlukan pada dasarnya untuk mengatasi kegagalan pasar (market failure) untuk membuat mekanisme pasar dapat bekerja.

Pada tingkatan praktikal, sebagai misal di dalam implementasi kebijakan yang memerlukan investasi dari pelaku usaha, ketika investasi (mekanisme pasar) itu tidak dapat berjalan secara mandiri karena adanya gap (harga) antara willingness to sell di sisi produsen dan willingness to buy di sisi konsumen, di situlah letak intervensi proporsional dari pemerintah diharapkan hadir.

Penugasan kepada badan usaha, PLN misalnya dalam konteks ini, untuk melakukan gasifikasi pembangkit listrik – dari pembangkit listrik batubara misalnya – tentu perlu dibarengi dengan “intervensi” berupa jaminan fiskal (kompensasi) di dalam menanggung selisih biaya produksi yang dikeluarkan. Hal yang serupa juga semestinya berlaku pada penugasan kepada PGN untuk melakukan perluasan jaringan pipa gas perkotaan untuk rumah tangga.

Mengingat, di dalam keduanya, sebenarnya terdapat opportunity cost yang harus ditanggung oleh badan usaha di dalam pilihan mereka untuk mengalokasikan sumberdaya dan modal yang dimilikinya.

Pemberian insentif fiskal secara langsung kepada industri pengguna gas adalah salah satu bentuk intervensi proporsional yang secara relatif lebih tepat – dibandingkan penerapan kebijakan HGBT – di dalam konteks untuk lebih mendorong pemanfaatan gas dan memberi dukungan daya saing sektor industri.

Ketiga hal di atas itulah yang semestinya ada di dalam upaya percepatan pengembangan dan pembangunan infrastruktur penyediaan gas bumi di tanah air.

Pelaksanaan atas ketiganya tidak hanya sekadar akan melengkapi garis kebijakan makro dan beragam rencana program strategis yang telah ada, namun akan menjadi faktor yang memungkinkan (enabling factor) kebijakan dan rencana program strategis pengembangan infrastruktur gas bumi di tanah air dapat benar-benar berjalan dan terealisasi dengan baik.