Menanti Terobosan Kebijakan Pengembangan Panas Bumi Nasional

Kompas.id; 18 Januari 2024

Penulis:
Komaidi Notonegoro,
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute; Pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti

Pemilihan presiden mendatang punya hubungan istimewa dengan pemanfaatan energi baru dan energi terbarukan.

Ini terkait posisi Indonesia yang belum lama ini memegang presidensi G20 dan pelaksana KTT G20 dengan fokus pada pembahasan transisi energi dan pengembangan energi baru dan energi terbarukan (EBET).

Terkait kebijakan transisi energi, Indonesia telah menetapkan target untuk mencapai net zero emission (NZE) pada 2060. Pencapaian target NZE itu melibatkan sejumlah sektor, termasuk sektor energi.

Pemerintah telah menetapkan peta jalan pencapaian NZE pada sektor energi. Target pada peta jalan itu, antara lain, menurunkan emisi sebesar 231,2 juta ton CO2e pada 2025, 388 juta ton CO2e pada 2035, dan 1.043,80 juta ton CO2e pada 2050.

Panas bumi memiliki peran penting dan merupakan EBET potensial untuk membantu merealisasikan target NZE sektor energi. Hal itu karena, pertama, Indonesia memiliki sumber daya panas bumi sangat besar (sekitar 24 GW), terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Kedua, panas bumi merupakan satu-satunya EBET yang tidak tergantung cuaca dan satu-satunya yang dapat menjadi base load dalam sistem kelistrikan.

Indonesia memiliki sumber daya panas bumi sangat besar (sekitar 24 GW), terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat.

Berdasarkan hasil perhitungan, jika seluruh potensi panas bumi di Indonesia dapat dimanfaatkan, terdapat potensi penurunan gas rumah kaca (GRK) sekitar 182,32 juta ton CO2e atau setara dengan 78,85 persen target penurunan GRK sektor energi pada 2025.

Jika dibandingkan jenis EBET lainnya, energi panas bumi tercatat memiliki sejumlah keunggulan. Di antaranya, tidak tergantung pada kondisi cuaca; menghasilkan energi yang lebih besar untuk periode produksi yang sama; tidak memerlukan lahan yang luas dalam proses produksinya.

Selain itu, panas bumi juga memiliki capacity factor yang lebih besar; menjadi prioritas untuk kepentingan domestik karena tidak dapat diekspor; bebas dari risiko kenaikan harga energi primer terutama energi fosil. Biaya operasi pembangkitan energi panas bumi pun relatif paling murah.

Kendala keekonomian
Meski punya sejumlah keunggulan, pengembangan dan pengusahaan panas bumi di Indonesia masih terkendala masalah keekonomian proyek.

Saat ini, harga jual tenaga listrik dari energi panas bumi dilaporkan lebih tinggi dibandingkan harga jual tenaga listrik dari jenis EBET lain. Harga jual tenaga listrik panas bumi juga lebih tinggi dibandingkan biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik nasional.

Berdasarkan reviu, tingkat keekonomian proyek panas bumi di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan rata-rata proyek panas bumi global. Rata-rata keekonomian proyek panas bumi global sudah di bawah 10 sen dollar AS/kWh. Sementara rata-rata nilai keekonomian (harga jual) listrik panas bumi di Indonesia untuk kontrak baru dilaporkan pada kisaran 10 sen dollar AS sampai dengan 13 sen dollar AS/kWh.

Beberapa studi juga menyebutkan, saat ini tingkat keekonomian proyek listrik panas bumi global telah kompetitif jika dibandingkan pembangkit listrik berbasis fosil. Itu terlihat dari indikator levelized cost of electricity (LCOE) pembangkit listrik panas bumi global yang telah berada di kisaran 0,071 dollar AS/kWh. Sementara rata-rata nilai LCOE pembangkit berbasis listrik fosil di kisaran 0,15 dollar AS/kWh.

“Perbaikan keekonomian proyek panas bumi global di antaranya karena optimalisasi value creation pada pengusahaan panas bumi.”

Perbaikan keekonomian proyek panas bumi global di antaranya karena optimalisasi value creation pada pengusahaan panas bumi. Ini seperti dilakukan di Selandia Baru melalui proyek Halcyon, proyek Meager Creek Development Corporation (British Columbia), dan proyek Oguni-Machi di Jepang yang mengembangkan hidrogen hijau sebagai secondary product dari industri panas bumi.

Sejumlah studi melaporkan optimalisasi value creation pada pengusahaan panas bumi global dilakukan melalui sejumlah instrumen. Instrumen ini antara lain pemanfaatan teknologi mutakhir (drilling, well enhancement, power plant, operations), perbaikan rantai suplai, dan komersialisasi secondary product (pemanfaatan langsung, produksi hidrogen hijau, produksi metanol hijau, dan ekstraksi silika).

Secondary product dari industri panas bumi disebut memiliki nilai ekonomi dan dapat dikomersialkan seperti metanol hijau yang dapat digunakan sebagai bahan bakar dan bahan baku kimia. Ekstraksi silika dimanfaatkan untuk industri baja dan industri kimia. Adapun hidrogen hijau dapat dimanfaatkan untuk sektor transportasi dan pembangkit listrik.

Khusus untuk hidrogen, misalnya, kebutuhan Indonesia saat ini berada di kisaran 1,75 juta ton per tahun, dengan alokasi 88 persen untuk urea, 4 persen untuk amonia, dan 2 persen untuk kilang minyak.

Pengusahaan panas bumi di Indonesia sampai saat ini relatif belum kompetitif. Ini disebabkan oleh kendala pada pengembangan. Padahal, dalam jangka panjang, biaya operasi listrik panas bumi tercatat sebagai salah satu yang termurah.

Data menunjukkan, rata-rata beban usaha pembangkitan listrik panas bumi pada 2022 sebesar Rp 118,74/kWh atau hanya 8,12 persen dari rata-rata beban usaha pembangkitan semua jenis pembangkit yang dilaporkan Rp 1.460,59/kWh.

Berdasarkan reviu, keekonomian proyek panas bumi relatif belum kompetitif, antara lain karena, pertama, sulitnya terjadi kesepakatan harga jual-beli antara pengembang panas bumi dan PLN sebagai pembeli tunggal. Kedua, kebijakan existing mengharuskan harga listrik EBET bersaing dengan pembangkit fosil.

Ketiga, jumlah lembaga keuangan yang bersedia memberikan pinjaman pada fase eksplorasi masih terbatas. Keempat, izin sering bermasalah karena wilayah kerja berada di hutan konservasi. Kelima, risiko investasi tinggi karena kepastian potensi cadangan dan kualitas uap belum jelas. Keenam, masih ada izin-izin yang harus dipenuhi meskipun izin usaha pertambangan (IUP) pengusahaan panas bumi telah terbit.

Mencermati potensi yang sangat besar dan peran pentingnya dalam pencapaian target NZE, signifikansi energi panas bumi tidak terbantahkan lagi.

Oleh karena itu, ide dan gagasan terobosan kebijakan untuk pengembangan, pengusahaan, dan pemanfaatan energi panas bumi nasional dapat menjadi indikator keberpihakan calon presiden dan calon wakil presiden terhadap pengembangan EBET dan transisi energi di Indonesia.

Sektor Migas yang Luput dalam Diskusi dan Perdebatan Pilpres 2024

Kompas; 27 Januari 2024

JAKARTA, KOMPAS — Sektor minyak dan gas bumi, sebagai bagian dari sumber daya energi, luput dari perbincangan dan gagasan para pasangan calon dalam Pemilhan Presiden 2024, termasuk dalam sesi debat. Isu transisi energi dinilai memang lebih seksi secara politik. Namun, pendalaman isu tentang ketersediaan energi terjangkau dan proses peralihan dari energi fosil masihlah minim.

Energi menjadi salah satu tema dalam debat keempat Pilpres 2024 yang diikuti para calon wakil presiden dari ketiga paslon, Minggu (21/1/2024). Energi hijau atau energi terbarukan lebih banyak mencuat dalam debat tersebut. Namun, itu tak menyentuh substansi permasalahan dan solusinya. Cawapres nomor urut 1, Muhaimin Iskandar, sempat menyebutkan akan melanjutkan subsidi bahan bakar minyak (BBM), tetapi tak mengulas persoalan yang ada di dalamnya.

Sebelumnya, pada debat ketiga Pilpres 2024 yang diikuti para calon presiden, capres nomor urut 3, Ganjar Pranowo, sempat menyebut perlunya eksploitasi wilayah kerja migas Natuna D Alpha di Laut China Selatan. Itu dalam konteks penguasaan sejumlah aspek baik dari sisi geopolitik maupun pertahanan, sumber daya, sekaligus serapan tenaga kerja. Namun, belum terbahas bagaimana strategi mewujudkan itu.

Praktisi sekaligus pemerhati migas Hadi Ismoyo, dihubungi dari Jakarta, Sabtu (27/1/2024), mengatakan, secara politik, transisi energi memang menarik atau seksi dalam debat atau adu gagasan pilpres. Namun, kondisi atau kenyataan di lapangan pun perlu dilihat. Perlu ada peralihan secara terencana, terstruktur, dan bertahap agar transisi energi berjalan mulus.

”Pengembangan transisi energi mesti berdasarkan kearifan lokal kita. Jadi, tak hanya karena internasional mengatakan go green lalu kita copy paste tanpa melihat kemampuan kita. Indonesia banyak memproduksi gas bumi (lebih rendah emisi dari jenis energi fosil lainnya). Maka, hingga 2060, kita manfaatkan sebesar-besarnya gas untuk membangun perekonomian kita,” ujar Hadi.

Gas bumi juga menunjukkan catatan positif pada 2023, termasuk ditemukannya dua sumber gas besar, yakni Geng North di laut lepas Kalimantan Timur dan sumur Layaran di South Andaman, di lepas pantai Sumatera bagian utara. Untuk itu, kata Hadi, yang diperlukan kini ialah pembangunan infrastruktur yang masif agar gas bumi termanfaatkan, terutama untuk kebutuhan domestik.

Lebih jauh, Hadi berharap gagasan-gagasan terkait energi bisa lebih muncul dalam Pilpres 2024. ”Seperti dalam neraca APBN kita, subsidi energi masih besar, ratusan triliun rupiah. Bagaimana solusinya? Sementara produksi (minyak bumi) turun terus dan eksplorasi belum bisa seperti dulu. Kalau tidak dalam debat, maka di lain kesempatan perlu dijabarkan seperti apa ide dalam mencari solusi terintegrasi terkait ketahanan energi di Indonesia,” jelasnya.

Tetap berperan
Dosen Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, berpendapat, sulit untuk berharap para paslon di Pilpres 2024 memberikan perhatian lebih pada isu-isu energi, khususnya sektor migas. Dari yang sejauh ini berjalan ada kecenderungan ketiga paslon sama-sama normatif. Kalaupun ada, isu energi terbarukan dipandang lebih menarik secara politis.

Menurut Pri Agung, mayoritas publik, termasuk para paslon di Pilpres 2024, kurang utuh dalam memahami tema transisi energi. ”Sehingga mengganggap seolah-olah nanti migas tidak lagi penting. Padahal, di tingkat global dan negara-negara maju, migas tetap akan terus berperan dalam 20-40 persen porsi bauran energi mereka ke depan, tahun 2050-an,” kata Pri Agung.

Baca juga: Debat Cawapres Belum Tawarkan Banyak Gagasan Transisi Energi

Energi terbarukan dan energi rendah karbon lain akan terus meningkat dan berperan penting ke depan. Namun, menurut Pri Agung, migas tetap merupakan komponen pnting sekaligus jembatan dalam transisi energi. Apabila itu terabaikan, migas bisa mengarah pada sunset. Padahal, di tingkat global, di tengah kampanye dan tren transisi energi, industri dan investasi migas tetap tumbuh positif.

Sementara khusus terkait adu gagasan seperti debat capres/cawapres, Pri Agung sebenarnya mafhum jika level presiden atau wakil presiden tak masuk jauh ke subsektornya. Namun, aspek-aspek fundamentalnya mesti diperhatikan lebih, yaitu ketahanan energi, ketersediaan dan keterjangkauan akses, serta keberlanjutan atau ramah lingkungan.

Apabila aspek-aspek itu sudah tersentuh, barulah masuk ke subsektor dengan mendasarkan pada pengelolaan sumber daya energi yang dimiliki Indonesia. ”Bukan semata mengikuti tren tema yang mengemuka di global saja. Sebab, dalam praktiknya, setiap negara mengedepankan kepentingan dan obyektif nasionalnya masing-masing,” jelas Pri Agung.

Khusus sektor migas, gas bumi diharapkan berkembang, terlebih dengan adanya dua temuan sumber gas besar pada 2023. Pri Agung menuturkan, cadangan gas bumi Indonesia termasuk yang terbesar di Asia Pacifik. Monetisasi pun mesti dipastikan. Belajar dari yang pernah terjadi, jangan sampai blok dengan cadangan terbukti telah dipastikan, tetapi belum beroperasi karena persoalan bisnis investasinya tak berjalan.

Keekonomian Proyek Masih Jadi Tantangan Pembangkit Panas Bumi

Kontan.co.id; 22 Januari 2023

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) masih menghadapi tantangan keekonomian proyek.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menjelaskan, sampai saat ini tantangan yang melingkupi industri panas bumi masih berfokus pada keekonomian proyek yang berkaitan juga dengan harga jual listrik yang dihasilkan.

“Jangka waktu (pengembangan) cukup panjang sementara pembelinya masih tunggal yaitu PLN. Jadi kalau PLN tidak mau membeli (listrik) dengan argumentasi lebih mahal dibandingkan yang rata-rata mereka beli ya gak akan salah, selama ini itu yang terjadi,” terang Komaidi, Senin (22/1).

Komaidi menjelaskan, persoalan lain merupakan turunan dari aspek keekonomian proyek seperti perizinan, investasi pada daerah terpencil hingga konflik penggunaan lahan.

Di sisi lain, PLN sempat menyampaikan rencana mendorong kerjasama dalam membangun 9 Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) dengan total kapasitas diperkirakan mencapai 260 megawatt (MW).

Adapun 9 lokasi geothermal yang akan segera dikembangkan PLN, yakni Tulehu di Maluku Tengah, Atadei di Nusa Tenggara Timur, Songa Wayaua di Halmahera Selatan, Tangkuban Perahu di Jawa Barat, Ungaran di Jawa Tengah, Kepahiang di Bengkulu, Oka Ile Ange di NTT, Gunung Sirung di NTT, Danau Ranau di Sumatra Selatan dan Lampung Barat.

Komaidi menilai langkah ini perlu didorong untuk meningkatkan pengembangan panas bumi.

“Ini terobosan yang bagus untuk meminimalkan risiko investasi dan mendorong pengembangan panas bumi lebih baik lagi,” pungkas Komaidi.

Merujuk data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pengembangan pembangkit panas bumi hingga 2023 mencapai 2.417,7 MW atau bertambah 57,4 MW dari tahun 2022 yang sebesar 2.360,3 MW. Pada tahun 2024 ini, pemerintah menargetkan kapasitas terpasang PLTP mencapai 2.472,7 MW.

Problem Dasar dan Gagasan soal Energi Tidak Terulas

Kompas; 22 Januari 2024

JAKARTA, KOMPAS — Kalangan pengamat kecewa isu energi tidak diulas secara mendalam oleh tiga calon wakil presiden dalam debat keempat kandidat Pemilihan Presiden 2024 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu (21/1/2024) malam. Di tengah keterbatasan waktu, kesempatan yang ada tak dimanfaatkan optimal untuk menyentuh substansi masalah. Bahkan, isu-isu energi yang populis juga terlewatkan.

Dalam debat itu, energi menjadi salah satu tema di samping pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam, lingkungan hidup, pangan, agraria, masyarakat adat, dan desa. Lantaran harus berbagi dengan isu-isu lain, perihal energi hanya beberapa kali disebut, tetapi problem nyata di masyarakat tak terulas. Begitu juga solusi konkret apa yang hendak ditawarkan oleh para cawapres.

Cawapres nomor urut 1, Muhaimin Iskandar, beberapa kali menyinggung energi terbarukan yang perlu digenjot, bukan targetnya diturunkan. Menurut dia, pemerintah tak serius dalam upaya memacu transisi energi.

Berdasarkan Kebijakan Energi Nasional (KEN), sejatinya target energi terbarukan dalam bauran energi primer ialah 23 persen pada 2025 (saat ini baru 13,1 persen). Namun, Dewan Energi Nasional tengah menyiapkan pembaruan KEN, yang salah satu isinya berupa penurunan target energi terbarukan menjadi 17-19 persen pada 2025. Itu atas dasar tak tercapainya asumsi pertumbuhan ekonomi 7-8 persen dalam KEN.

Cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, menyinggung bahan bakar nabati (BBN) atau biofuel dalam transisi energi, termasuk mandatory biodiesel (campuran minyak sawit mentah/CPO dengan solar), yang sudah sampai 35 persen (B35). Selain menekan impor, Gibran menyebut hal itu akan terus meningkatkan produksi sawit serta menjaga kelestarian lingkungan.

Gibran juga menyebut proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung di Waduk Cirata, Jawa Barat, hasil kerja sama dengan Masdar dari Uni Emirat Arab. Proyek itu disebutnya memanfaatkan insentif berupa tax holiday dan tax allowance di tengah kebutuhan investasi energi terbarukan yang mahal. Ia juga mengatakan bauran (energi terbarukan) listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) perlu ditingkatkan.

Sementara itu, cawapres nomor urut 3, Mahfud MD, menuturkan, waktu lima tahun tidak cukup karena target emisi nol bersih (NZE) ialah pada 2060 sehingga masih panjang. Ia justru menyoroti pengelolaan berkelanjutan yang saat ini belum dilakukan. Mahfud juga menekankan keterbukaan atau transparansi terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan energi.

Problem dasar terlewat
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, Senin (22/1/2024), mengatakan, dengan keterbatasan waktu dan banyaknya tema, serta latar belakang cawapres yang berbeda, isu energi tak terangkat optimal dalam debat. Pesan besar terkait energi pun cenderung melompat langsung ke transisi energi.

Menurut dia, betul bahwa transisi energi sedang berjalan dan menjadi tren di tingkat global. ”Namun, saya menyayangkan problem-problem dasar di sektor energi terlewatkan dan seolah-olah sudah siap langsung ke transisi. Misalkan tentang neraca elpiji, harga gas bumi tertentu, dan pembelian elpiji pakai KTP. Memang Pak Muhaimin sempat menyinggung subsidi BBM di penutup, tapi elpiji tidak,” katanya.

Ia menambahkan,gimik lebih dominan dalam debat antarcawapres pada Minggu (21/1/2024) malam itu ketimbang memunculkan gagasan-gagasan. Berkisar 60-70 persen bobot lebih pada keperluan untuk meraih suara. Padahal, gagasan yang baik dari paslon yang kalah nantinya juga dapat diadopsi oleh paslon yang terpilih dalam Pemilihan Umum 2024.

Direktur Eksekutif Energy Watch Daymas Arangga juga menilai ada keterbatasan waktu serta terlalu luasnya topik yang dibahas. Namun, itu seharusnya dapat dimanfaatkan untuk menghubungkan satu topik dengan yang lain, misalnya berkaitan dengan kerangka pembangunan berkelanjutan.

”Penghubungan pengelolaan sumber daya alam, pangan, energi, masyarakat adat, dan desa sebenarnya bisa membuat debat lebih menarik. Namun, semalam, dari pertanyaan satu ke pertanyaan lain seperti terputus. Tak dibahas apa masalahnya, tantangannya, dan mau diselesaikan dengan progam apa saja. Tak menyentuh solusi, tetapi permukaan-permukaan saja. Mengecewakan,” ujar Daymas.

Bahkan, lanjut Daymas, kebijakan-kebijakan populis juga tak dimanfaatkan untuk meraup suara. ”Misalnya, bagaimana kebijakan subsidi, tarif listrik, dan elpiji 3 kg. Juga bagaimana transisi energi di tengah kondisi kelebihan pasokan PLN saat ini. Hal-hal seperti itu, serta yang dekat dan lebih banyak relevansinya dengan masyarakat, yang semestinya dibahas,” katanya.

Peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep), Akmaluddin Rachim, menilai, para cawapres seharusnya menggali lebih jauh mengenai isu-isu terkait energi terbarukan juga bencana ekologis. Bagaimana mewujudkan satu regulasi yang bisa menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada. Gagasan-gagasan konkret dari ketiga cawapres juga minim.

Ia mencontohkan, seharusnya muncul bagaimana strategi para paslon untuk mencapai target emisi nol bersih (NZE) pada 2060 selain menyebutkan program-program yang sedang berjalan. ”Juga bagaimana dalam prosesnya untuk tidak meninggalkan masyarakat terdampak. Energi terbarukan disinggung sebagai potensi, tetapi bagaimana implementasinya?” ujar Akmaluddin.

Sementara mengenai isu pertambangan dan hilirisasi mineral, ujar Akmaluddin, sebenarnya muncul sejumlah persoalaan seperti jumlah tambang ilegal serta hilirisasi yang ugal-ugalan dengan melibatkan banyak tenaga kerja asing. Juga dorongan keterbukaan informasi dalam tata keloa. Namun, tawaran solusi konkretnya masih amat minim.

Masih Potensial, Pengembangan Panas Bumi Perlu Penetrasi

Investor.id; 16 Januari 2024

JAKARTA, investor.id – Indonesia merupakan negara dengan cadangan panas bumi terbesar di dunia. Namun hingga kini pengembangannya masih belum maksimal karena berbagai faktor. Karena itu, perlu ada penetrasi untuk akselerasi kemampuan Indonesia dalam implementasi panas bumi.

Berdasarkan proyeksi bauran energi dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) penggunaan panas bumi adalah sebesar 5%. Saat ini, dari potensi yang mencapai 24 ribu MW, baru termanfaatkan sebanyak 3 ribu MW.

“Bisa dibayangkan panas bumi yang banyak belum dikembangkan itu nantinya harus berkontribusi 5% di tahun 2060 dalam bauran energi secara keseluruhan. Maka ini akan jadi pekerjaan rumah agar panas bumi bisa terpenuhi,” jelas Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya W Yudha dalam webinar bertema “Strategi Penciptaan Nilai Panas Bumi sebagai Langkah Mendukung Net Zero Emission 2060” yang digelar Reforminer Institute, Senin (15/1/2024).

Satya menuturkan ada beberapa langkah untuk mempercepat monetisasi potensi panas bumi pertama adalah harga panas bumi harus disesuaikan dengan keekonomian proyek. Tarif yang meluncur sesuai dengan keekonomian proyek (feed in tariff berdasarkan lokasi jaringan), terjangkau dari segi harga rata-rata bauran energi. tidak membandingkan harga satu jenisenergi dengan jenis energi lain yang tidak apple to apple.

Selain itu, lanjut dia, perizinan harus ada keselarasan peraturan di tingkat yang lebih tinggi (Peraturan Presiden Percepatan Pembangunan Panas Bumi terkait izin AMDAL, izin kehutanan (IPPKH/IPJLPB), dan perizinan sumber daya alam.

Menurut Satya, sebaiknya terdapat penggantian biaya infrastruktur sebagai kompensasi atas kewajiban perpajakan khususnya yang bersifat sosial, risiko eksplorasi ditanggung pemerintah (risk mitigation), internalisasi biaya lingkungan (carbon tax). Perpajakan yang dikenakan adalah hanya menanggung pajak badan (20%) dan menerapkan tax holiday serta insentif pajak lainnya.

Selain itu, perlu adanya jaminan keuntungan ekonomi yang wajar terkait dengan alokasi risiko, yaitu pembagian risiko antara PLN sebagai off taker (menjadi tarif kompetitif) dan pengembang yang mempunyai risiko (menjadi tarif menarik), memastikan perlindungan tingkat IRR sesuai dengan usulan berdasarkan perhitungan feed in tariff.

“Agar pengeboran lebih efisien, diusulkan untuk membentuk konsorsium/koperasi rig khusus panas bumi. Serta untuk meningkatkan nilai keekonomian, diharapkan efisiensi biaya dan insentif (a.l. tax Allowance) untuk optimalisasi tarif diharapkan lebih kompetitif,” jelas Satya.

Jufli Hadi, mengatakan masalah yang dihadapi oleh pengembangan panas bumi di tanah air tidak berubah dan berkutat pada masalah yang itu saja. Berbagai upaya yang sudah ditempuh belum bisa memberikan hasil yang optimal. “Masalah komersialisasi dan kepastian. Kebijakan harus pas untuk kurangi risiko panas bumi,” ujar Jufli.

Untuk itu API kini memiliki pendekatan baru sehingga bisa meminimalkan berbagai kendala tersebut utamanya adalah kolaborasi yang wajib dilakukan antara badan usaha serta stakeholders lain seperti pemerintah. Selanjutnya adalah business model yang perlu diperbarui kemudian, penggunaan teknologi sehingga mampu mempercepat Commercial of Date (CoD) proyek panas bumi serta ada pengembangan secondary product seperti hidrogen.

Selama ini, lanjut Jufli, isunya adalah Affordability. Banyak insentif yang dibahas, tapi bukan baru, ini sudah ada dari dulu. API mengambil sudut pandang ada kebijakan transisi, teknologi, secondary product, harus didorong, business model update harus terjadi teknologi apa yang bisa lebih cepat, yang bisa secondary product. “Kolaborasi dengan pemerintah PLN bicara mana insentif paling perlu. Pemerintah serius tapi harus duduk bersama,” jelas Jufli.

Komaidi Notonegoro mengatakan hingga saat ini industri panas bumi adalah satu-satunya industri energi baru terbarukan yang memberikan kontribusi secara langsung terhadap PNBP dalam APBN. Sejak 2010 hingga 2022, penerimaan negara dari panas bumi terus meningkat. Jika pada 2010 PNP panas bumi baru Rp343 miliar, meningkat jadi Rp882 miliar pada 2015 dan pada 2018 bahkan menembus Rp2,28 triliun. Pada 2019 dan 2020 hingga 2021 fluktuasi, naik lagi PNBP dari panas bumi pada 2022 menjadi Rp2,8 triliun.

“Dibandingkan EBT lain, panas bumi banyak keunggulan. Selain tidak bergantung cuaca, menghasilkan energi yang lebih besar untuk periode produksi yang sama serta memiliki capacity factor yang lebih besar,” katanya.

Di sisi lain, lanjut Komaidi, biaya operasi PLTP tercatat sebagai salah satu yang termurah. Rata-rata biaya operasi pebangkit listrik nasional pada 201 sebesar Rp1.391,08 per Kwh sedangakn rata-rata operasi PLTP pada tahun yangs ama Rp107,15/KWH atau 7,70% dari rata-rata biaya operasi pembangkit listrik nasional.

Komaidi menjelaskan pengembangan industri panas bumi di Indonesia dihadapkan sejumlah kendala, antara lain sulit terjadinya kesepakatan harga jual-beli antara pengembang panas bumi dan PLN. Selain itu, kebijakan eksisting mengharuskan harga listrik EBT bersaing dengan pembangkit fosil. Jumlah Lembaga keuangan yang bersedia memberikan pinjaman pada fase eksplorasi pun masih terbatas, selain perizinan jadi masalah karen wilayah kerja berada di hutan konservasi. “Dibandingkan Amerika Serikat dan Filipina kita kurang atraktif, terutama dalam pemberian stimulus fiscal kepada pengembang panas bumi,” katanya.

Edy Soeparno mengatakan, panas bumi adalah salah satu EBET yang potensial dan memiliki peran penting/strategis dalam mendukung transisi dan ketahanan energi masa depan. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, terlihat peran strategis panas bumi, dimana penambahan kapasitas pembangkit listrik dari panas bumi masuk “tiga besar” dengan proyeksi penambahan sebanyak 3.355 MW.

Dalam RUEN 2025 dan berdasarkan target bauran EBET sebesar 23% di tahun 2025, pengembangan PLTP memiliki porsi sekitar 7% dari total target atau setara dengan 7,2 GW. Dengan target capaian kapasitas terpasang PLTP tahun 2023 sebesar 2,37 GW tersebut, diperlukan upaya pengembangan proyek PLTP sebesar 4,8 GW untuk mencapai target 7,2 GW di tahun 2025. “Artinya progress pengembangan PLTP masih sangat lambat, padahal PLTP diharapkan menjadi salah satu backbone kelistrikan masa depan yang berasal dari sumber energi bersih,” ujar Eddy.

Upaya penciptaan nilai panas bumi di Indonesia dapat dilakukan melalui penyiapan skema insentif atau pengaturan tarif yang mempertimbangkan keekonomian proyek PLTP. Edy mencontohkan nilai keekonomian proyek panas bumi global di bawah 10 sen US$ per kWh), sedangkan di Indonesia di kisaran 10 – 13 sen US$ per kWh.

Panas Bumi Mampu Tekan Emisi Gas Rumah Kaca Hingga 60%

Kontan.co.id; Senin, 15 Januari 2024 / 20:18 WIB

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Indonesia memiliki potensi energi panas bumi atau geothermal yang melimpah sebesar 23 gigawatt (GW) yang tersebar di seluruh daerah.

Reforminer Institute menyatakan bahwa pemanfaatan geothermal atau energi panas bumi Indonesia mampu menekan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 183 juta CO2 ekuivalen apabila difungsikan secara optimal.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro menjelaskan bahwa angka tersebut setara dengan 58% hingga 60% dari target penurunan emisi GRK di 20230 untuk sektor energi yang ditetapkan kisaran 314 juta CO2 ekuivalen.

“Artinya panas bumi ini memiliki potensi yang sangat luar biasa untuk bisa menjadi pendorong atau mewujudkan apa yang telah ditetapkan pemerintah,” kata Komaidi saat webinar Webinar Strategi Penciptaan Nilai Tambah Panas Bumi sebagai langkah mendukung NZE 2060, Senin (15/1).

Komaidi menjelaskan, panas bumi hingga saat ini masih menjadi satu-satunya energi terbarukan yang tidak bergantung cuaca seperti energi surya, angin dan air.

“Jadi artinya jenis energi terbarukan yang potensial bisa menjadi baseload di dalam sistem kelistrikan untuk saat ini adalah panas bumi,” ucapnya.

Kendati demikian, lanjutnya, pengembangan panas bumi di Indonesia masih mengalami sejumlah kendala meskipun pemerintah sudah banyak menerbitkan sejumlah aturan.

“Ada kendala-kendala yang sampai dengan hari ini belum bisa terselesaikan, sehingga menghambat di dalam pengembangan panas bumi,” ujarnya.

Pengembangan Panas Bumi RI Lamban

Merujuk data Kementerian ESDM, Indonesia memiliki potensi panas bumi sebanyak 23,06 GW. Akan tetapi dalam pengembangannya berjalan lambat baru dimanfaatkan sekitar 2,35 GW atau berkisar 10,19% dari total potensi yang ada.

Ketua Umum Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Julfi Hadi menyatakan pengembangan panas bumi sebagai salah satu sumber energi terbarukan memang masih berjalan pelan. Untuk itu, ia meminta untuk kolaborasi dari sejumlah pihak.

“Kuncinya nomor satu kolaborasi. Kalau kita mau akselerasi perlu kolaborasi IPP (independen power producers), PLN dan pemerintah. Ini menjadi satu-satunya jalan untuk bisa akselerasi,” terangnya.

Setelah kolaborasi, lanjutnya, pengembangan panas bumi harus mengubah jenis bisnis model sesuai dengan isu saat ini.

“Kedua, kita harus mengubah jenis bisnis model sekarang yang tidak sensitif pada isu affordability. Kurang lebih tadi seperti teknologi, menciptakan value, mempercepat Commercial Operation Date (COD),” paparnya.

Butuh Insentif dan Tarif Atraktif untuk Akselerasi Pengembangan Panas Bumi

Sindonews.com; 15 Januari 2024

JAKARTA – Terletak di zona geologi dengan aktivitas vulkanik tinggi yang dikenal sebagai “cincin api” di sepanjang Samudera Pasifik, Indonesia dikaruniai potensi panas bumi luar biasa besar, mencapai 24 gigawatt. Namun demikian, pengembangan dan pemanfaatannya sebagai sumber energi bersih masih terbilang rendah. Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha mengatakan, realisasi penggunaan panas bumi saat ini baru sekitar 3.000 MW. Satya mengatakan, untuk mengakselerasi pengembangan panas bumi dari total potensi sebesar 24 GW yang ada, perlu ada terobosan yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder).

“Bisa dibayangkan, panas bumi yang banyak belum dikembangkan itu harus berkontribusi 5% dalam bauran energi secara keseluruhan di tahun 2060. Jadi masih banyak pekerjaan rumah agar panas bumi bisa memenuhi bauran itu pada 2060,” ujar Satya dalam webinar bertajuk “Strategi Penciptaan Nilai Panas Bumi sebagai Langkah Mendukung Net Zero Emission 2060” yang digelar Reforminer Institute, Senin (15/1/2024).

Menurut Satya, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mempercepat monetisasi potensi panas bumi. Pertama, harga panas bumi harus disesuaikan dengan keekonomian proyek.

“Jadi jangan dibandingkan harga satu jenis energi dengan jenis energi lain yang tidak apple to apple,” katanya.

Agar lebih menarik, lanjut Satya, sebaiknya ada insentif lain semisal penggantian biaya infrastruktur, mitigasi risiko eksplorasi, atau menerapkan tax holiday serta insentif pajak lainnya. Selain itu, menurutnya perlu adanya jaminan keuntungan ekonomi yang wajar terkait dengan alokasi risiko, yaitu pembagian risiko antara PLN sebagai off taker dan pengembang. Hal senada dikatakan, Ketua Umum Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Julfi Hadi.

Menurut dia, pengembangan panas bumi di Tanah Air tidak akan berubah dan akan berkutat pada masalah yang sama tanpa terobosan baru.

Berbagai upaya yang sudah ditempuh menurutnya belum memberikan hasil optimal bagi percepatan pengembangan panas bumi.

“Harus ada kebijakan yang pas untuk mengurangi risiko pengembangan panas bumi,” tegasnya.

API menilai perlu kolaborasi antara badan usaha dan stakeholders lainnya untuk meminimalkan berbagai kendala tersebut. Salah satunya adalah persoalan tarif yang masih kurang atraktif. Dari sisi pengusaha, kata dia, skema feed in tariff menjadi pilihan untuk memberikan kepastian. Selain itu, kata dia, model bisnis juga perlu diperbarui, demikian pula penggunaan teknologi yang mampu mempercepat commercial of date (CoD) proyek panas bumi, serta pengembangan produk sekunder yang dapat menjadi tambahan pendapatan bagi pengembang panas bumi.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institut Komaidi Notonegoro mengatakan, di tengah kendala yang ada, panas bumi sejatinya adalah sumber energi terbarukan yang paling potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Tak hanya mampu menekan emisi karbon dalam rangka pencapaian Net Zero Emission (NZE) 2060, namun juga paling sesuai sebagai pembangkit listrik base load yang dapat menggantikan pembangkit berbahan bakar batu bara.

Komaidi menambahkan, hingga saat ini industri panas bumi juga adalah satu-satunya industri energi baru terbarukan yang memberikan kontribusi secara langsung terhadap PNBP dalam APBN. Sejak 2010 hingga 2022, penerimaan negara dari panas bumi terus meningkat. Jika pada 2010 PNPB panas bumi baru Rp343 miliar, pada 2022 nilainya telah mencapai Rp2,8 triliun.

“Panas bumi juga tidak bergantung pada cuaca, menghasilkan energi yang lebih besar untuk periode produksi yang sama, serta memiliki capacity factor yang lebih besar,” paparnya.

Untuk itu, Komaidi berharap persoalan harga panas bumi antara pengembang dan pembeli, juga kebijakan yang mengharuskan harga listrik EBT bersaing dengan pembangkit fosil dapat diselesaikan. “Dibandingkan Amerika Serikat dan Filipina kita kurang atraktif, terutama dalam pemberian stimulus fiskal kepada pengembang panas bumi,” tegasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komisi VII DPR Edy Soeparno menegaskan bahwa DPR sangat mendukung pengembangan panas bumi di dalam negeri. Namun, dia juga mengakui bahwa progres pengembangan PLTP masih lamban. Padahal, PLTP diharapkan menjadi salah satu backbone kelistrikan masa depan Indonesia.

Berdasarkan pada RUEN 2025 dan target bauran EBET sebesar 23% di tahun 2025, pengembangan PLTP memiliki porsi sekitar 7% dari total target atau setara dengan 7,2 GW. Dengan target capaian kapasitas terpasang PLTP tahun 2023 sebesar 2,37 GW, diperlukan upaya pengembangan proyek PLTP sebesar 4,8 GW untuk mencapai target di tahun 2025. “Artinya progres pengembangan PLTP masih sangat lambat,” ujarnya.

Terkait dengan itu, Edy mengatakan bahwa upaya meningkatkan panas bumi perlu dilakukan. Hal itu, kata dia, antara lain bisa dilakukan melalui penyiapan skema insentif atau pengaturan tarif yang mempertimbangkan keekonomian proyek PLTP.

Produksi Minyak RI Bikin Gelisah, Menciut Mirip Era 1960-an

CNBCIndonesia; 31 Desember 2023

Jakarta, CNBC Indonesia – Produksi minyak siap jual atau lifting di Indonesia terus menunjukkan tren penurunan dari tahun ke tahun. Bahkan target produksi lifting minyak bumi sebesar 660 ribu barel per hari (bph) pada tahun 2023 tidak tercapai.

Beberapa pakar berpandangan turunnya produksi minyak mentah di Indonesia menjadi pekerjaan yang berat bagi pemerintah. Sebab, saat ini Indonesia hanya mampu mengandalkan produksi minyak dari lapangan-lapangan yang eksisting dan kebanyakan lapangan migas Indonesia sudah tergolong mature atau tua.

Berita mengenai produksi minyak Indonesia yang mengalami penurunan menjadi salah satu yang diminati pembaca CNBC Indonesia di tahun 2023 ini. Dan masuk dalam kategori Big Stories 2023. Simak ulasannya:

Berdasarkan data dari Kementerian ESDM per 29 Desember 2023, produksi minyak RI baru mencapai 589.825 barel per hari (bph). Sementara Indonesia mempunyai target produksi minyak 1 juta barel per hari pada 2030.

Salah satu penyebab tidak tercapainya target produksi disebabkan oleh banyaknya gangguan operasional atau unplanned shutdown di beberapa fasilitas produksi yang ada. Hal ini lantas berdampak pada kinerja produksi dari lapangan-lapangan tersebut.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan terdapat fasilitas produksi migas berupa pipa yang sudah berumur puluhan tahun. Kondisi tersebut tentunya sudah tidak layak untuk digunakan.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji mengatakan fasilitas pipa yang berumur 30-40 tahun beberapa diantaranya berada di wilayah operasi anak usaha PT Pertamina (Persero). “Nggak ada cara lain, selain mengganti,” kata Tutuka dalam acara Penghargaan Keselamatan Migas tahun 2023, Selasa (3/10/2023).

Menurut Tutuka usia pipa yang sudah cukup tua belakangan ini telah berdampak pada penurunan produksi siap jual (lifting) migas setiap tahunnya. Selain itu, kondisi tersebut juga berpengaruh pada kinerja keselamatan migas.

“Nah itu kan performance dari manajemen pada waktu itu kan, produksi turun. Ya karena nggak diganti-ganti. Kita melihat itu kok sudah banyak decline-nya, sudah tua. Harus diganti,” ujarnya. Adapun, Pertamina saat ini sudah mulai merencanakan untuk mengganti sejumlah pipa tersebut.

Bila dirunut ke belakang, produksi minyak nasional ini bahkan di bawah level produksi pada era tahun 1968-an.

Produksi minyak RI pada 1968, berdasarkan data BP Statistical Review, tercatat mencapai 599.000 bph, sebelum mengalami kenaikan terus-menerus yang mencapai masa puncak produksi pada 1977 sebesar 1.685.000 bph, lalu puncak produksi ke-2 sebesar 1.669.000 bph pada 1991, hingga kemudian terus mengalami penurunan secara bertahap.

Adapun sebelum 1968, produksi minyak RI masih berada di level 400 ribuan barel per hari. Berikut datanya:

1965: 486.000 bph

1966: 474.000 bph

1967: 510.000 bph

1968: 599.000 bph

1969: 642.000 bph

1970: 854.000 bph

Oleh karena itu, rencana pemerintah merealisasikan target produksi minyak 1 juta barel per hari (bph) dan gas 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD) pada 2030 kemungkinan cukup sulit. Terlebih, di tengah kondisi capaian produksi terangkut (lifting) migas tahunan yang terus ambles.

Berdasarkan catatan ReforMiner Institute, tantangan pemerintah untuk mencapai target produksi migas semakin berat. Apalagi, selama periode 2010 hingga 2022 produksi migas nasional tercatat mengalami penurunan rata-rata sekitar 3,28% per tahun untuk minyak dan 3,36% per tahun untuk gas.

Ditambah, kinerja produksi migas pada tahun 2023 tercatat juga masih dibawah target. Berdasarkan data yang ada, proyeksi produksi minyak hingga akhir 2023 adalah 606,3 ribu barel per hari atau 91,1 persen dari target APBN 2023.

Sementara, perkiraan salur gas bumi pada 2023 adalah 5.400 standar kaki kubik per hari (MMSCFD), atau 87,7 persen dari target APBN 2023. Selama lima tahun terakhir, realisasi produksi migas terhadap target APBN rata-rata adalah 93,69% untuk minyak bumi dan 95,26% untuk gas bumi.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro dalam laporan ini memaparkan kinerja produksi migas nasional di atas telah dapat diperkirakan sebelumnya lantaran hanya mengandalkan produksi eksisting. Dimana sekitar 70% diantaranya sudah masuk kategori mature.

“Profil dan kinerja produksi migas yang demikian itu juga terbentuk dari pola investasi hulu migas nasional yang telah hampir dua dekade terakhir ini porsi terbesarnya adalah untuk pemeliharaan produksi,” kata Komaidi dalam laporan tersebut, Kamis (7/12/2023).

Dalam laporan ini, Komaidi memerinci selama periode 2015-2023, porsi terbesar dari investasi hulu migas nasional rata-rata kurang lebih adalah untuk produksi (71,06%) dan pengembangan (15,4%). Sedangkan, porsi investasi untuk kegiatan eksplorasi pada periode yang sama hanya berada pada kisaran 5-6%.

Menurut dia, dengan profil produksi yang sebagian besar mengandalkan lapangan migas yang berumur tua dan pola investasi hulu yang porsi eksplorasinya minim. Hal ini tentunya akan sangat sulit untuk dapat mencapai target produksi minyak bumi sebesar 1 juta BOPD dan gas bumi sebesar 12.000 MMSCFD pada 2030.

Komaidi menilai optimalisasi lapangan mature sejatinya dapat dikatakan telah cukup berhasil dilakukan oleh para KKKS yang beroperasi di tanah air, dalam menahan laju penurunan produksi yang ada.

Sebagai contoh dalam hal ini, adalah Pertamina, yang saat ini berkontribusi sekitar 68% terhadap produksi minyak nasional dan 34% terhadap produksi gas nasional.

Produksi Minyak Pertamina justru Meningkat

Berdasarkan data SKK Migas, produksi minyak nasional pada 2023 mengalami penurunan sekitar 0,16% dari tahun sebelumnya. Realisasi produksi minyak nasional turun dari 607,3 ribu barel per hari pada 2022 menjadi 606,3 ribu barel per hari pada 2023.

Sementara, produksi minyak Pertamina pada periode yang sama tercatat meningkat sekitar 10%, dari 586 ribu barel per hari pada 2022 menjadi 593 ribu barel per hari pada 2023.

Untuk gas, peningkatan produksi nasional sebesar 1,05% pada 2023 dibandingkan tahun sebelumnya diantaranya juga merupakan kontribusi dari Pertamina. Realisasi produksi gas nasional pada 2023 diproyeksi sekitar 5.400 MMSCFD, meningkat sekitar 1,05% dari realisasi 2022 yang tercatat sekitar 5.344 MMSCFD pada 2022.

“Pada periode yang sama produksi gas Pertamina meningkat sekitar 5%, dari 2.624 MMSCFD pada 2022 menjadi 2.746 MMSCFD pada 2023,” tambahnya.

Di samping itu, total investasi Pertamina di sektor hulu migas pada tahun 2023 tercatat juga mengalami peningkatan sebesar 25% dari tahun sebelumnya. Adapun, realisasi investasi Pertamina di sektor hulu migas pada 2023 tercatat sebesar US$ 4,009 juta, meningkat dari sebelumnya USD$ 3,203 juta.

“Investasi Pertamina di sektor hulu migas tersebut berkontribusi sekitar 41,3% terhadap investasi hulu migas nasional pada tahun 2023 yang diproyeksi sebesar US$ 13,9 juta,” ujarnya.

Komaidi pun menyebut tren positif dari kinerja Pertamina selama kurun 2022-2023, diproyeksikan akan terus berlanjut pada 2024. Berdasarkan work program and budget (WP&B) tahun 2024, Pertamina menargetkan produksi minyak sebesar 593 ribu barel per hari,atau meningkat sebesar 5% dibandingkan realisasi 2023.

Sementara untuk gas, Pertamina menargetkan peningkatan produksi gas pada 2024 sebesar 1% dari 2.746 MMSCFD pada tahun 2023 menjadi 2.769 MMSCFD pada tahun 2024.

Dalam hal menahan laju penurunan produksi, dengan sebagian besar lapangan migas mature yang sebagian besar juga telah diserah kelolakan ke Pertamina, maka pilihan kebijakan pemerintah dapat dikatakan relatif tidak banyak selain memberikan dukungan berupa peningkatan keekonomian lapangan seoptimal mungkin.

“Di dalam implementasi, hal ini pada dasarnya memungkinkan untuk dapat dilakukan dengan relatif sederhana,” katanya.

Diantaranya seperti melalui: Pertama, memberikan keleluasaan (fleksibilitas) untuk dapat memilih bentuk kontrak yang lebih sesuai dengan kondisi wilayah kerjanya dan strategi portofolio investasinya. Kedua, menambah porsi bagian KKKS melalui penyesuaian besaran komponen-komponen fiskal yang ada di dalam Kontrak Kerja Sama (KKS).

Adapun, beberapa komponen fiskal yang dapat disesuaikan tersebut diantaranya adalah perubahan split bagi hasil (penambahan split bagi kontraktor), mengurangi persentase First Tranche Petroleum (FTP).

Kemudian pengembalian biaya operasi melalui depresiasi yang dipercepat, perpanjangan periode Domestic Market Obligation (DMO) Holiday dengan mengacu pada harga Indonesian Crude Price (ICP) dan penambahan investment credit.

Pemerintah Diminta Pastikan Pasokan Gas untuk Tarik Investasi Swasta

Bisnis.com; 2 Januari 2023

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah dinilai perlu menjaga keberlangsungan investasi infrastruktur gas domestik dengan memastikan alokasi serta konsumen di dalam negeri. Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan pemerintah dapat mengintervensi soal alokasi gas yang disalurkan untuk kepentingan domestik hingga meningkatkan kemampuan serap industri di dalam negeri.

“Keberlangsungan atau kelanjutan investasi infrastruktur gas, saya kira perlu jadi perhatian bersama sehingga perlu solusi dan intervensi dari pemerintah,” kata Komaidi saat dihubungi, Selasa (2/1/2024).

Menurut Komaidi, kepastian pasokan gas menjadi krusial untuk pengembang terkait dengan investasi pada pembangunan infrastruktur gas transmisi tersebut di sejumlah ruas yang telah ditetapkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

“Mereka akan investasi kalau kedua ini pasokan dan serapan gas ini pasti,” kata dia.

Setali tiga uang, Chairman Indonesia Gas Society (IGS), Aris Mulya Azof menyarankan pemerintah untuk mulai memetakan dengan detail potensi gas yang bisa disalurkan untuk mendukung pengembangan infrastruktur gas di dalam negeri.

“Faktor ketersediaan pasokan juga akan memengaruhi keekonomian pembangunan pipa oleh badan usaha dan pada akhirnya juga memengaruhi besaran toll fee,” kata Aris.

Seperti diberitakan sebelumnya, BPH Migas belum kunjung membuka lelang 72 wilayah jaringan distribusi (WJD) gas bumi dari enam ruas yang sudah terpetakan saat ini.

Ketidakpastian pasokan gas dari hulu menjadi alasan badan pengatur niaga gas hilir itu menunda eksekusi lelang tersebut.

Padahal, amanat pelelangan WJD itu menjadi tindak lanjut atas Keputusan Menteri ESDM Nomor 10.K/MG.01/MEM.M/2023 tentang Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional Tahun 2022-2031 yang ditetapkan pada 12 Januari 2023.

“Apabila kita melakukan lelang WJD [sekarang] itu nanti si pemenang lelang mempunyai hak untuk melakukan alokasi gas, ini yang belum bisa kita pastikan karena ada beberapa proyek itu terlambat di beberapa tempat,” kata Kepala BPH Migas Erika Retnowati saat konferensi pers akhir tahun di Sentul, Sabtu (30/12/2023). Erika mengatakan, lelang mesti ditunda sampai adanya kepastian pasokan gas dari hulu untuk calon operator jaringan distribusi di sejumlah daerah.